Kamis, 27 Oktober 2016

Konflik Suriah dalam Tinjauan Hukum Internasional (Bagian I)

A. Pendahuluan

Gejolak yang terjadi di Timur Tengah merupakan sebuah gejolak dahsyat yang meruntuhkan struktur politik nasional beberapa negara, kejadian tersebut berlangsung secara berurutan yang di mulai dari Tunisia, selanjutnya satu demi satu negara-negara Timur Tengah mengalami pergolakan antara lain Mesir, Maroko, Algeria, Yaman, Bahrain, Libya dan yang belum juga usai sampai saat ini adalah Suriah. Kejadian ini merupakan sebuah rangkaian kejadian yang selanjutnya disebut dengan “Arab Spring”, yang menandai suatu penciptaan kondisi yang baru bagi negara-negara yang tengah bergejolak. Kondisi gejolak ini nampaknya belum menemui titik penyelesaian untuk konflik yang terjadi di Suriah, karena pada faktanya sampai dengan saat ini Suriah masih mengalami gejolak yang belum nampak titik penyelesaian dan berhentinya konflik. Hal itulah yang akan kami elaborasi secara lebih mendalam dalam tulisan ini, yakni bagaimana kita meninjau konflik yang terjadi di Suriah dalam pendekatan keamanan internasional dengan mendasarkannya pada analisa wacana yang dikembangkan oleh kaum posmodernisme.


Tentunya banyak pespektif yang bisa bermain untuk menjelaskan kasus konflik Suriah ini, namun kami lebih tertarik untuk menganalisanya dalam perspektif posmodernisme dengan menyandarkannya pada teori wacana yang dikemukakan oleh Foucault. Namun, sebelum terlebih jauh membahas tentang perkara tersebut alangkah lebih baiknya ketika kita terlebih dahulu memahami kondisi riil yang terjadi di Suriah tentang hakekat konflik tersebut, bagaimana pemetaan aktor dalam konflik yang terjadi dalam internal Suriah tersebut, kepentingan-kepentingan apa saja yang bermain di dalamnya, bagaimana proses untuk membangun isu tersebut sebagai bagian integral dalam proses keamanan internasional atau dengan kata lain proses sekuritisasi isu ini, dan penerapan teori wacana yang dikemukakan oleh Foucault untuk menjelaskan fenomena konflik Suriah.


B. Hakekat Konflik Suriah

Perkara utama yang harus kita telusuri secara lebih mendalam ketika membahas konflik Suriah adalah hakekat dari konflik Suriah itu sendiri. Konflik di Suriah pada hakekatnya adalah konflik kepentingan dan ideologis yang melibatkan berbagai macam aktor baik state maupun non-state. Konflik ini terjadi karena rezim penguasa yakni Bashar al-Assad telah kehilangan legitimasi politiknya, hal tersebut ditengarai karena rezim pemerintahan Bassar al-Assad menggunakan kekuasaan yang dimilikinya secara otoriter, kekuasaan politik tersebut malah dipergunakan untuk menindas rakyatnya. Implikasi dari penggunaan kekuasaan yang cenderung menindas mengarah pada suatu kondisi dimana masyarakat mulai merasa tidak senang atas tindakan represif dari penguasa tersebut yang akhirnya menimbulkan pergerakan pada level masyarakat yang menuntut agar Bashar al-Assad turun dari tampuk kekuasaan. Kondisi pergerakan dan perlawanan yang mulai tumbuh dari masyarakat yang menuntut agar Assad turun dari kekuasaannya akhirnya semakin meluas, disisi lain pergerakan rakyat ini menemukan momentumnya bersamaan dengan “Arab Spring”.

Terkait dengan persoalan yang berkenaan dengan pemetaan aktor yang bermain dalam konflik Suriah, maka setidaknya dapat kita petakan dalam beberapa kerangka aktor. Aktor yang sifatnya internal antara lain terdiri dari rezim penguasa Bashar al-Assad, dewan koalisi nasional Suriah, dan kelompok militan Suriah. Secara eksternal maka kita dapat menemukan beberapa aktor lainnya antara lain Rusia, China, Iran, dan Amerika Serikat beserta dengan sekutu Baratnya. Dengan beragamnya aktor yang terlibat dalam konflik internal Suriah ini, yang bukan hanya berasal dari kekuatan di dalam negeri tetapi juga meliputi kekuatan di luar negeri. Maka, memang dapat kita simpulkan bahwa persoalan Suriah ini melibatkan gesekan kepentingan yang bermuatan ideologis yang senantiasa beradu dalam rangka memenangkan wacana. Dari sinilah kami akan menganalisis perkara ini dalam konteks perspektif posmodernisme dengan menggunakan analisa wacana Foucault untuk menjelaskan pertarungan wacana yang terjadi di Suriah dalam rangka perebutan kekuasaan untuk membangun kembali format negara Suriah pasca Assad. Yakni pertarungan wacana antara kelompok-kelompok yang berkepentingan untuk memenangkan wacana dalam bentuk relasi antara power (kekuasaan) dan knowledge (ilmu pengetahuan).


C.Teori Wacana Foucault

Salah satu konsep Foucault yang terkenal adalah wacana atau discourse. Istilah wacana merupakan praktik bahasa yang biasa dikaitkan dengan istilah diskursus.[1] Dalam bahasa Indonesia, istilah diskursus belum ada, tetapi kata yang mendekati istilah itu hanyalah diskursif.[2] Diskursif berkaitan dengan kata nomina seperti nalar berupa kemampuan, kecerdasan, dan pemikiran yang logis. Wacana atau diskursif dikenalkan oleh Foucault untuk dijadikan sebagai analisis yang sangat mendalam tentang fenomena struktur relasi antara power (kekuasaan) dan knowledge (ilmu pengetahuan). Danaher-Schirato-Webb (DSW) mengatakan bahwa wacana adalah format bahasa yang berhubungan dengan ide-ide dan lontaran-lontaran pernyataan yang menampakkan nilai-nilai dasar. Wacana berguna untuk melukiskan nilai-nilai dasar kata-kata pelaku bahasa. Kata-kata tersebut memberikan kita sesuatu yang masuk akal dalam ‘melihat’ sesuatu.[3]

Di balik wacana terdapat kuasa (material force) yang ditampilkan oleh penutur teks-teks bahasa atau praktik-praktik bahasa yang ditentukan sepenuhnya oleh keterbatasan kemampuan nalar, kecerdasan, dan pemikiran logis dirinya, yakni pengetahuannya. Mills menekankan bahwa hanya dalam teks-teks bahasa dan aksi-praktis bahasa saja, pengetahuan dapat ditampilkan. Sedangkan dibalik semua itu adalah kuasa (material force) yang dapat dilihat, dijelaskan, dan dimengerti.[4] Kuasa ini hadir di balik arsip pidato, laporan (dokumen), ide-ide, manifesto, peristiwa bersejarah, wawancara, kebijakan, dan organisasi atau institusi. Semua itu ditampilkan dalam format bahasa teks (inter-tekstualitas) dan tulisan.[5] Studi Foucault ini tidak mencari benar-salah, baik-buruk suatu pengetahuan seperti pencarian kebenaran yang dilakukan oleh ilmu pengetahuan ilmiah (sains) dan sejarahwan, tetapi studi Foucault justru melihat proses penjelajahan wacana (relasi pengetahuan/kuasa) yang berbeda-beda ditiap zaman dalam kerangka struktur pengetahuan/kuasa yang mereproduksi kebenaran.[6] Tidak ada ‘kebenaran’, yang ada hanyalah perspektif dan ‘rejim kebenaran’ yang saling bersaing.[7]


Foucault menciptakan istilah ‘rejim kebenaran’ sebagai kata kunci untuk merujuk atas hal ketika kebenaran dan kekuasaan sama-sama dihasilkan dan bertahan. Istilah tersebut berkaitan dengan apa yang diyakini sebagai kebenaran, sesuai dengan aturan atau kriteria yang menentukan proposisi yang benar dari yang salah, serta menunjukkan bagaimana keyakinan yang memiliki status kebenaran membentuk praktik dan institusi sosial. Kajian atas ‘rejim kebenaran’ ini berbeda dengan pencarian akan kebenaran itu sendiri, seperti halnya penekanan mengenai bagaimana ‘rejim kebenaran’ yang ada berlaku hanya dengan menaklukkan rejim lainnya. Terdapat pertempuran antara dan di dalam rejim kebenaran, dimana hierarki dibangun dan kekuasaan mempengaruhi klaim pengetahuan. Posmodernisme membahas persoalan bagaimana sebuah perspektif menghasilkan representasi yang mencapai legitimasi dominan dan monopolit dengan memarginalisasi yang lainnya.[8] Poin dari posmodernisme adalah tidak menawarkan sebuah representasi hubungan internasional yang ‘benar’, namun menawarkan sebuah pandangan kritis atas bagaimana representasi-representasi itu berkiprah dan secara tetap menghasilkan efek-efek politik praktis.[9] Tidak ada suatu citra diri yang tunggal, yang ada hanyalah citra-citra diri yang saling bersaing.[10]


D. Proses Sekuritisasi Konflik Suriah sebagai Sebuah Isu Keamanan

Mengingat bahwa tulisan ini merupakan sebuah tinjauan keamanan internasional, maka menjadi penting untuk mengungkapkan bagaimana proses sekuritisasi isu ini menjadi sebuah bagian yang integral dalam sebuah isu keamanan. Oleh sebab itu, sebelum mempergunakan teori wacana Foucault dalam menganalisis konflik Suriah, ada baiknya kita menelaah terlebih dahulu tentang proses sekuritisasi isu konflik Suriah ini yang nantinya akan kita kaitkan dengan Teori wacana Foucault.


Secara sederhana sekuritisasi berarti, usaha-usaha untuk menjadikan sebuah isu menjadi bagian dari isu keamanan, Security. Proses sekuritisasi melibatkan dua hal penting, yakni : Securitizing Actor yaitu aktor yang mengangkat atau mensekuritisasi sebuah isu dan Referent Object yaitu objek yang dipandang mengancam secara nyata dan butuh direspon untuk menghindari bahayanya. Menurut Buzan, meski secara teoritis proses sekuritisasi bisa dilakukan oleh siapa saja. Namun, pada faktanya yang umum terjadi adalah securitizing actors kebanyakan dilakukan para pemimpin politik (politisi), birokrasi, pemerintah, kelompok lobi, dan kelompok-kelompok penekan.[11] Teori tentang sekuritisasi ini sebenarnya merupakan sebuah teori yang lahir atas sumbangan dari perspektif konstruktivisme, namun dalam tulisan ini teori tersebut dipinjam dalam rangka pemetaan aktor secara jelas yang domainnya tidak hanya pada tataran ‘ide yang melahirkan sikap atau tindakan’, tetapi lebih daripada itu analisis posmodernisme akan bermain pada ranah ‘pembongkaran wacana’ bagaimana ide itu membentuk sebuah wacana yang didalamnya terdapat relasi antara power (kekuasaan) dan knowledge (ilmu pengetahuan). Atas dasar itulah mengapa teori sekuritisasi ini, juga menjadi perkara yang kami gunakan dalam tulisan ini.

Berbicara mengenai konteks pemetaan aktor dalam konflik di Suriah, nampaknya terjadi sebuah proses pembangunan identitas antara pihak-pihak yang memproduksi wacana sebagai pembenaran atas tindakan mereka. Hal tersebut dapat kita lihat dari diproduksinya sebuah pemahaman ancaman oleh aktor-aktor tertentu. Dalam konteks aktor eksternal, Amerika Serikat berupaya membangun sebuah wacana akan pentingnya proses demokratisasi bagi konflik yang terjadi di Suriah. Amerika Serikat telah sangat terus terang mengatakan bahwa hasil yang mereka harapkan bagi penyelesaian konflik Suriah adalah transisi politik menuju sebuah negara demokratis. Solusi tersebut dianggap sebagai solusi terbaik bagi konflik Suriah. Oleh sebab itu, mereka mendukung untuk tercapainya hal tersebut dan menciptakan sebuah pemahaman umum dalam konteks ancaman, bahwa siapa saja yang menginginkan selain itu adalah ancaman bagi proses perdamaian Suriah. Berdasarkan hal tersebut Amerika Serikat beserta dengan sekutu Barat yang lain sangat mendukung Dewan Koalisi Nasional Suriah yang bertindak sebagai lembaga oposisi pemerintahan Assad untuk mengawal proses demokratisasi tersebut. Disisi lain Amerika Serikat beserta dengan sekutu Barat lainnya dengan melalui media dan berdasar kepada organisasi dunia yaitu PBB. Dalam laporannya, Komisi PBB yang melakukan penyelidikan di Suriah mengatakan kehadiran para militan asing, Islam Radikal atau para jihadi, membuat mereka khawatir akan proses perdamaian di Suriah. Kepala Komisi Sergio Pinheiro kepada wartawan hari Selasa (16/10/2012) memperkirakan ada ratusan kombatan asing yang ikut bertempur di Suriah. Pinheiro menambahkan bahwa komisi itu khawatir para kombatan asing ini tidak berjuang untuk “membangun negara demokratis di Suriah”, tetapi “untuk agenda mereka sendiri”.[12] Pernyataan ini menunjukkan seakan-akan PBB beserta dengan Amerika dan sekutu Baratnya memiliki agenda untuk kepentingan rakyat Suriah.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hilary Clinton secara terbuka memperingatkan kecenderungan Suriah ini. Amerika dengan teknik propagandanya membangun sebuah persepsi ancaman bahwa para mujahidin merupakan “ekstrimisme dan terorisme”, melalui upaya mengaitkan mereka dengan al-Qaida. Tidak hanya itu Amerika malah membangun sebuah opini bahwa para mujahidin adalah ekstrimis dan terorisme yang ingin membajak perjuangan rakyat Suriah. Menteri Luar Negeri AS Hilary Clinton mendesak oposisi Suriah agar melawan berbagai upaya oleh kelompok ekstrimis untuk “membajak revolusi”. Berbicara dalam perjalanan ke Kroasia, ia mengatakan kepemimpinan pemberontak harus lebih inklusif terhadap mereka yang bertempur di Suriah. Ia juga mengatakan ada sejumlah “laporan yang merisaukan” mengenai ekstrimis Islam memasuki Suriah untuk mengambil keuntungan dari pemberontakan melawan Presiden Bashar al-Assad. Pemberontak harus “dengan tegas menolak segala upaya oleh ekstrimis untuk membajak revolusi Suriah”, demikian peringatan Clinton.[13] Tampak jelas Amerika ingin melakukan pemetaan ancaman antara apa yang disebut pemberontak dengan para ekstrimis. Amerika Serikat juga berupaya melakukan kriminalisasi perjuangan para mujahidin dengan bukti video yang diklaim merupakan bentuk kejahatan. Menurut PBB video semacam itu bisa dipakai sebagai bukti kejahatan perang. Sementara pemerintah AS menyatakan “mengutuk pelanggaran HAM oleh pihak mana pun di Suriah”. Upaya kriminalisasi mujahidin ini akhirnya terbukti, pada Rabu (5/12/2012) Presiden Obama secara resmi memasukkan kelompok mujahidin Jabhat al-Nushrah di Suriah dalam daftar baru organisasi terorisme. Jabhat al-Nushrah selama ini dikenal sebagai kelompok jihad yang paling keras menghantam militer rezim Nushairiyah Suriah, yang ingin menggulingkan kekuasaan rezim Assad yang berkuasa selama 40 tahun untuk menggantikannya menjadi sebuah negara Islam di bawah hukum Syariah Islam.


Berdasarkan pada pemaparan di atas, ketika kita menggunakan teori sekuritisasi untuk mengidentifikasi isu konflik Suriah ini agar dapat dikategorikan sebagi sebuah isu keamanan. Maka, ada pihak yang menjadi Securitizing Actor yakni Amerika Serikat melalui Menteri Luar Negerinya Hilary Clinton termasuk pula presiden Amerika Serikat Obama, yang menjadikan kelompok militan dan mujahidin semacam Jabhat al-Nushrah dengan identitas Islam ideologis yang mereka bawa, dimana mereka berkeinginan untuk menegakkan negara Islam di bawah hukum Syariah Islam sebagai kelompok terorisme yang memiliki afiliasi dengan al-Qaidah, itu artinya mereka dijadikan sebagai Referent Object. Atas dasar itu, pada hakekatnya isu Konflik Suriah dapat dikategorisasikan sebagai sebuah isu keamanan pada tingkat regional Timur Tengah yang menyita perhatian masyarakat internasional, dan dapat berkembang menjadi isu keamanan internasional yang mengundang pihak di luar kawasan Timur Tengah untuk melakukan intervensi terhadap konflik Suriah, dengan dalih pelanggaran HAM, menghentikan perang saudara, dan juga penggunaan senjata kimia. Di sisi lain perkembangan tersebut menunjukkan sebuah kenyataan bahwa kekuatan-kekuatan Barat menghadapi “ancaman eksistensial” dari jaringan transnasional ketimbang dari negara berdaulat seperti masa lalu.[14] Al-Qaeda atau kelompok-kelompok teroris lainnya semacam Jabhat al-Nushrah, muncul sebagai ancaman non-negara. Mereka merupakan kelompok perlawanan transnasional baik di tingkat global maupun lokal, yang memiliki agenda untuk menegakkan negara Islam yang akan mengancam eksistensi Barat.

Berangkat dari penjelasan inilah maka kami berkesimpulan bahwa ada sebuah konstruksi wacana yang sedang bermain dalam konteks konflik Suriah, dimana bangunan wacana tersebut sangat dipengaruhi oleh relasi antara kuasa dan pengetahuan, yang pada akhirnya akan mengarahkan pada membangun kembali format negara Suriah pasca Assad. Dari sinilah selanjutnya akan kami bahas tentang pluralitas wacana yang bermain dalam konflik Suriah tersebut dengan mempergunakan analisis wacana Foucault.

Rabu, 03 Februari 2016

ISIS dan Ideologi 'Anti Perbedaan'


Militan Wanita ISIS
ISIS dan Perempuan

Dulu, saya pernah menulis tentang ‘mengapa anak-anak gadis banyak yang kabur bersama lelaki yang baru dikenalnya di FB?’ Jawaban utamanya, karena jablay (jarang dibelai orang tua) dan kurang kasih sayang di rumah.

Sekarang, muncul fenomena baru: anak-anak gadis (terutama dari AS dan Eropa) banyak yang kabur dari rumah untuk bergabung dengan ISIS. Bagaimana bisa? Ternyata jawabannya sama saja: mereka gadis-gadis yang jablay, kurang kasih sayang, dan jatuh cinta pada ‘mujahidin’ setelah berkomunikasi intens melalui berbagai media sosial (medsos).

Yang lebih menarik, saya dapati info bahwa anasir ISIS benar-benar mengurusi satu-persatu “korban”-nya di internet. NYTimes menulis reportase bagaimana seorang gadis Nasrani dari Amerika bernama Alex (26 tahun) dibujuk dengan sangat sabar dan perlahan oleh teman online-nya, bernama Faisal. Alex adalah gadis yang kesepian, meskipun hidup bersama neneknya. Faisal terus “mendampingi” Alex. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari berkomunikasi lewat Twitter, Skype dan email. Bahkan, sesekali Faisal mengirimi uang dan hadiah. Target akhir Faisal adalah Alex pergi ke Suriah untuk menjadi istri “mujahidin”. Khusus untuk perempuan Indonesia, saya amati dari komentar-komentar mereka di medsos, mereka mengira kehidupan di bawah rezim “mujahidin” adalah kehidupan yang baik-baik saja. Mereka tidak terpengaruh oleh banyaknya berita yang menunjukkan kebrutalan para “mujahidin” karena “yang diperlakukan demikian adalah orang kafir.” Jadi, selama mereka tidak kafir, mereka kira, mereka akan baik-baik saja, bahkan hidup tenteram di sana. Apalagi, para jihadis ISIS dan sejenisnya (mereka punya banyak nama, sama-sama ngaku jihad) menerima gaji besar ratusan hingga ribuan dollar perbulan. Sungguh sangat menggiurkan, terutama bagi orang-orang berekonomi lemah di Indonesia. Apalagi yang lebih indah buat orang semacam mereka: hidup di “Daulah Islamiyah”, dapat gaji dollar pula?

Hingga kini belum muncul pengakuan dari para perempuan yang sudah terlanjur ke Suriah. Apakah mereka bahagia? Mereka diharuskan menggunakan cadar, hanya boleh di rumah mengurus anak dan melayani suami, atau bekerja di pabrik garmen. Yang jelas ada dua perempuan Italia yang menyesal. Pemerintah Italia harus membayar tebusan 12 juta Dollar kepada jihadis demi menyelamatkan dua gadis itu.

Ideologi Utama ISIS

Baru-baru ini, postingan saya yang berisi peringatan kepada ibu-ibu agar waspada ISIS diremove oleh Facebook. Beberapa teman mengatakan, untuk meminta FB meremove postingan seseorang, bahkan menghapus akun orang itu, hanya butuh 20, atau 80 (entah mana yang benar). Yang me-report postingan saya, tentu saja mereka yang pro-ISIS. Dan inilah ideologi dasar mereka: anti-perbedaan (istilah lain: takfirisme). Siapa saja yang mengungkapkan narasi yang berbeda dari narasi yang sedang mereka sebarkan, akan mereka bungkam. Di dunia maya, mereka melakukannya dengan bully, fitnah, dan kompak me-report.

Ketika jihad sudah ‘meletus’, kita bisa lihat di Suriah dan Irak: orang yang “berbeda” akan mereka bantai dengan cara-cara barbar. Ga usah jauh-jauh ke orang Syiah, sesama “mereka” saja saling bantai (karena “khalifahnya”-nya beda). Sejak 2012 saya sudah prediksi, di antara kelompok-kelompok jihad Suriah, pasti akan terjadi konflik karena beda “manhaj” (sebagian Hizbuttahrir, sebagian Ikhwanul Muslimin, sebagian Al Qaida, sebagian entah apalah, tapi semua ideologi dasarnya sama: takfirisme/anti perbedaan). Ternyata benar saja, antara ISIS dan Al Nusra kemudian saling mengkafirkan (dan karena pihak lawan kafir, dianggap sah untuk dibantai). Lihat saja pemberitaan mengenai konflik Suriah di antara situs-situs “Islam” di Indonesia (kalian taulah, situs-situs mana yang saya maksud), akhir-akhir ini, masing-masing punya jago sendiri (padahal semua “jago” sama-sama mengaku sedang jihad).

Sekarang, di Indonesia, mereka semena-mena membungkam orang lewat medsos. Jadi, kita bisa bayangkan sendiri apa jadinya negeri ini kalau mereka “berkuasa”. ISIS diketahui menggunakan medsos secara masif untuk mempropagandakan ideologi mereka dan berhasil menarik fans yang sangat banyak dari berbagai penjuru dunia. Menurut data ICSR, hingga kini jumlah orang asing (non Suriah) yang datang berjihad melampaui 20.000 orang, melebihi angka mujahidin dalam konflik Afghanistan. Luar biasa. Bagaimana bisa para “mujahidin” sedemikian bersemangat perang ke negeri Muslim, mengusir penduduk asli dari tanah mereka, membunuhi mereka, dan merampas properti mereka?

Tentu saja, korban propaganda ISIS lewat medsos bukan semata-mata gadis-gadis jablay yang kurang kasih sayang. Baru-baru ini diberitakan dua pilot Indonesia bergabung dengan ISIS, setelah intens bergaul dengan para “mujahidin” lewat medsos. Ideologi adalah pendorong utama tindakan seseorang. Seseorang bisa saja membunuh orang lain yang melakukan kesalahan terhadap dirinya. tapi, ada 20.000 orang asing berdatangan ke Suriah, membunuhi orang Suriah yang tak pernah mereka kenal seumur hidup, tentunya didorong oleh sesuatu yang ‘lain’, yaitu ideologi. Ideologi kebencian kepada ‘segala yang berbeda’. Di sinilah letak bahayanya ideologi ISIS (dan sejenisnya, dalam berbagai nama dan ormas)

Daud vs Goliath: Perselingkuhan Antara Politik dan Narkotika

Narkoba
Fariba, tetangga saya di Teheran (2003-2007) mudah sekali sedih dan stress. Pasalnya, suaminya selalu berada dalam bahaya. Suaminya anggota Garda Revolusi Iran, dan sewaktu-waktu “menghilang” untuk misi anti-terorisme. Fariba selalu ketakutan, suatu saat giliran suaminya yang syahid dibunuh teroris. Dan benar saja, tahun 2009, saat saya sudah di Indonesia, suaminya dan beberapa rekannya syahid dalam aksi bom bunuh diri yang dilakukan teroris di Zahedan (perbatasan Pakistan).

Sejak Republik Islam Iran dibentuk dan AS ditendang keluar Iran (padahal sebelumnya AS sedemikian berkuasa di Iran, baik ekonomi maupun politik), aksi-aksi teror tak habis-habisnya menyerang Iran. Sejak 1979-2014, korban terorisme di Iran (bom bunuh diri/ledakan bom) mencapai 17.180 orang, menjadikan Iran sebagai negara dengan korban terorisme terbesar di dunia. Sebagian yang menjadi korban tewas itu adalah para pejabat tinggi negara seperti Presiden Rajai, PM Bahonar, Ketua MA Beheshti, dan Panglima Militer Shirazi. Ayatollah Khamenei sendiri tangan kanannya kisut dan tak bisa digerakkan akibat terkena serpihan bom saat sedang berceramah di Masjid Abu Dzar, Teheran (1981). Beberapa tahun terakhir, yang menjadi korban teror adalah ilmuwan-ilmuwan nuklir Iran.

Jurnalis investigatif terkemuka, Seymour Hersh (2008) pernah menulis laporannya tentang kucuran dana AS untuk membiayai kelompok-kelompok teror (antara lain, Jundullah, the Mujahideen-e-Khalq/MEKdan kelompok separatis Kurdithe Party for a Free Life in Kurdistan/PJAK). Tim Shipman dari the Telegraph sebelumnya (2007) juga sudah merilis informasi bahwa Bush meluncurkan “operasi hitam” untuk menggulingkan rezim. Pada tahun itu pula, pemerintah Iran mengumumkan telah menangkap 10 anggota Jundullah membawa uang cash USD500.000 bersama “peta daerah sensitif” dan “peralatan mata-mata modern”.

Serangan lain terhadap Iran adalah “terorisme-narkotika” (narco-terrorism). Pada tahun 2005, saya pernah menulis, bahwa setiap tahunnya, Iran sudah mengeluarkan dana 800 juta dolar (!) yang ditanggungnya sendirian untuk melawan sindikat penyelundup narkoba. Mereka menjadikan Iran sebagai jalur penyelundupan narkotika dari Afganistan dan Pakistan ke negara-negara Eropa dan Teluk. Negara-negara adidaya Eropa dan negara-negara Teluk yang kaya-raya –yang diuntungkan karena Iran pasang badan– hanya memberikan “penghargaan” dan “dukungan”, tapi tidak ada aliran dana yang keluar dari kocek mereka.

Bukan cuma rugi uang dalam jumlah sangat besar (pasalnya, Iran memang bukan negara kaya), menurut Tehran Times tahun 2005, 3000 tentara Iran telah gugur sebagai syudaha dalam memberantas sindikat narkotika internasional yang bersenjata lengkap itu (sekarang, tahun 2016, entah berapa yang sudah syahid). Belum lagi dampaknya terhadap rakyat Iran sendiri, data tahun 2005 saja ada dua juta pecandu narkotika di Iran. Dan, justru setelah AS bercokol di Afghanistan, arus penyelundupan narkotika di Iran meningkat tajam.

Yang menjadi luar biasa, Iran tetap menjadi negara yang aman dan nyaman untuk berwisata. Tentu, ada beberapa wilayah sensitif (terutama perbatasan Pakistan, dan wilayah Kurdistan) yang memang bukan jadi tujuan utama wisata. Saya (bersama si Akang, dan bayi Reza) pernah ke Kurdistan, setelah berkoordinasi dengan militer (suami Fariba), agar mendapatkan ‘kawalan’. Banyak yang heran, ngapain saya traveling ke Kurdistan, yang sering ada bom bunuh diri? Tujuan saya ingin melihat sendiri kehidupan warga provinsi itu, yang mayoritas Sunni (sudah saya tulis di buku Journey to Iran *bukan promo, karena bukunya sudah sold out*. Intinya, kaum Sunni Iran baik-baik saja.).

Yang menjadi luar biasa, meski mengalami aksi teror, rencana kudeta, dan embargo, pembangunan di Iran tetap berjalan pesat. Kondisi Teheran saat kami pulang 2007, dengan saat kami datang lagi diundang konferensi internasional 2015, sangat jauh berbeda, banyak sekali jalan tol baru, jauh lebih modern dan nyaman. Kereta bawah tanah Teheran, rutenya jauh bertambah. Di kota-kota lain yang saya datangi, transportasi publik juga terlihat bertambah banyak. Kemajuan di bidang sains pun tetap berjalan pesat. Pada tahun 2015, berdasar data yang dirilis Scopus, Iran menempati ranking ke-15 dunia yang menghasilkan karya ilmiah; pada tahun 2014 di rangking ke-18. Dan masih banyak kemajuan lain yang diraih oleh negara yang tidak lebih kaya daripada Indonesia ini (berdasarkan GDP).

Pertanyaannya: kalian pikir, kalau Iran tidak “keras” terhadap teroris, penjahat narkoba, dan berbagai aksi kriminal lain, apakah semua kemajuan, keamanan, dan kenyamanan itu bisa dicapai? Kita bisa lihat betapa brutalnya jihadis mengebom situs-situs kuno ribuan tahun yang sangat berharga di Suriah. Kalian pikir, dengan cara apa selama ini Iran menjaga semua situs kunonya sehingga tetap indah dan dikunjungi jutaan turis mancanegara setiap tahunnya?

Ya, Iran memang keras pada penjahat. Setiap tahunnya banyak yang dihukum gantung, karena memang serangan kejahatan terhadap Iran selama ini dahsyat sekali.

Ironisnya, berbagai media memlintirnya dengan menyebut: di antara yang digantung adalah ulama dan aktivis Sunni, untuk mengarahkan opini bahwa Sunni ditindas di Iran. Kalau media Islam abal-abal yang didanai Saudi yang menulis, ya sudahlah, memang mereka cari makan di situ. Tapi, gilanya, dalam beberapa hari terakhir, media resmi pun secara berurutan memberitakan hal senada, mulai dari Detik, Kompas, Sindo, dan kemarin Republika. Sumber yang dipakai biasanya Amnesty Internasional dan HRW (yang juga mengecam Indonesia saat Jokowi memutuskan eksekuti mati untuk penjahat narkoba). Padahal, semua media itu sudah pernah mengirim langsung wartawannya ke Iran dan meliput langsung kondisi di sana. Trias Kuncahyono (Kompas) misalnya, pernah menulis serial liputan ke Iran yang sangat bagus.

Mengamati pemberitaan soal Iran, memang terasa bahwa negara kecil itu bak Daud yang sedang bertarung melawan Goliath. Setelah Libya dan Suriah dihancurkan, satu-satunya negara yang masih aman dan belum ditundukkan Imperium adalah Iran. Imperium menguasai jaringan media internasional, serta bekerja sama dengan negara-negara Arab dan Teluk yang kaya raya, yang dengan mudah mengucurkan uang untuk propaganda dahsyat anti-Iran, dibantu oleh para awam yang merasa berjihad dengan menyebar fitnah.

Dalam melawan propaganda itu, Iran hanya dibantu netizen, facebooker, dan blogger gratisan. Bahkan ibuk-ibuk yang seharusnya leyeh-leyeh ngurus anak, terpanggil ikut melawan dengan cara share status (dan tetap teguh meski dibully). Ini bukan karena Syiah, melainkan karena melawan ketidakadilan adalah naluri setiap orang yang bernurani. Ini juga bukan tentang Iran semata, tapi tentang bangsa Indonesia yang sedang dicoba diadudomba melalui isu Sunni-Syiah. Tangan kecil kita sedang melawan tangan raksasa. Tapi, bukankah Daud yang bersenjatakan ketapel bisa tetap menang melawan Goliath?

Kontroversi 'Merdeka' di Persimpangan Jalan

Merdeka atau Mati
Komentar teman saya orang Iran, saat chat via LINE, Sebelum kasus Syekh Nimr, Arab Saudi, Bahrain, dan Sudan sudah menurunkan level diplomatik, mereka cuma punya konsulat di Iran. Jadi, kasus Syekh Nimr cuma alasan yang dibuat-buat untuk memutuskan hubungan diplomatik. Apalagi UAE. Yang kemarin menyerang konsulat Saudi itu orang-orang bayaran konsulat UAE, dan sudah ditangkap untuk kemudian diadili pemerintah. Mengapa harus takut dikucilkan pemerintah negara-negara “ngaco”? Santai saja…”

Nasionalisme rakyat Iran sudah teruji 36 tahun terakhir ini (sejak berdirinya Republik Islam). Diembargo obat-obatan? Bikin sendiri. Diembargo senjata? Bikin sendiri. Diembargo jaringan perbankan Rothschild? Pedagang selalu punya jalan keluar, life goes on. Dikucilkan? Nggak takut. Diperangi? Lawan.

Iran bukan negara kaya. Embargo (terutama boikot perbankan) tetap memberikan kesulitan ekonomi bagi Iran. Dalam sebuah diskusi, orang KADIN mengeluhkan perdagangan dengan Iran sulit dilakukan karena Bank Indonesia tidak mau memberi jaminan L/C (tanya kenapa?). Kesulitan sama tentu dirasakan Iran, misalnya, pingin beli kertas langsung dari Indonesia (biar lebih murah) gak bisa, musti lewat Malaysia karena Bank Malaysia kasih jalan. Produk Indonesia, tapi belinya lewat M’sia, enak amat tuh si makelar. Makanya Iran mau jual minyak murah ke Indonesia asal ga lewat makelar. Kenapa ga terwujud? Jawaban ada di bawah.

Tapi, HDI (Human Development Index) Iran ada di ranking 75, sedang Indonesia di 108. HDI dihitung dari pencapaian 3 hal yang menjadi basis pembangunan manusia: kesehatan dan panjang umur; pengetahuan; dan kelayakan standar hidup. Artinya, kesehatan, pengetahuan, dan standar hidup rata-rata orang Iran lebih baik daripada orang Indonesia. Padahal, Iran tidak lebih kaya daripada Indonesia. GDP (Gross Domestic Product) (nilai barang dan jasa yang dihasilkan sebuah negara dalam 1 tahun) Iran jauh di bawah Indonesia. Indonesia bahkan berada di ranking 18 negara terkaya di dunia (dihitung dari GDP). Lalu mengapa HDI Indonesia tetap rendah? Tentu saja ini terkait dengan ‘siapa’ yang memiliki kekayaan itu (karena banyak sekali perusahaan di Indonesia yang ternyata milik asing). Artinya, secara gampang saja bisa dilihat: negara yang diembargo lalu sebagian besar produk dihasilkan oleh bangsa itu sendiri, ternyata kondisi rakyatnya bisa lebih baik.

Btw, kalau Anda tanya pada orang Iran asli, yang keluar umumnya adalah keluhan dan kritikan pada pemerintah; biasanya mereka bilang “daulat hich kari nimikune” (pemerintah ga melakukan apa-apa). Orang Iran memang tukang kritik nomer satu. Ahmadinejad yang (dulu) dielu-elukan di Indonesia, di Iran malah dikritik melulu, terutama oleh kalangan menengah ke atas. Sepertinya ini gejala umum ya, kalangan menengah emang biasa ngehe’ grin emoticon. Tapi kalangan menengah ngehe’ Iran tetap teguh membela negaranya. Indikatornya bisa dilihat dari demo-demo masif pro-pemerintah dalam berbagai even (padahal ga dapet nasbung dan ga ada paksaan).

Jadi, terserah bila Anda mau sebut Iran kafir atau sesat, Iran pun punya banyak kekurangan, khusus spirit independensinya sangat patut diteladani. Independensi pemerintah tidak akan terwujud kalau rakyatnya penakut dan manja. Contohnya, suatu saat, satelit AS mendeteksi ada transaksi minyak antara kapal yang dicurigai kapal Iran dengan kapal Pertamina. Langsung duit Pertamina di AS dibekukan dan baru lepas setelah Indonesia berjanji tidak beli minyak Iran (ini info dari seorang diplomat dalam sebuah diskusi di zaman SBY dulu). Coba bayangkan dengan jujur: kalau saja dulu SBY (atau sekarang Jokowi) berani nekad beli minyak Iran dan kemudian kita diembargo AS, sikap Anda (kita, rakyat, terutama kelas menengah) apa? Jujur saja. Berani tegak membela pemerintah dan hidup prihatin, atau malah rame-rame menggulingkan pemerintah?

Jawaban dari pertanyaan ini memberi arti pada kata “merdeka”