Rabu, 03 Februari 2016

ISIS dan Ideologi 'Anti Perbedaan'


Militan Wanita ISIS
ISIS dan Perempuan

Dulu, saya pernah menulis tentang ‘mengapa anak-anak gadis banyak yang kabur bersama lelaki yang baru dikenalnya di FB?’ Jawaban utamanya, karena jablay (jarang dibelai orang tua) dan kurang kasih sayang di rumah.

Sekarang, muncul fenomena baru: anak-anak gadis (terutama dari AS dan Eropa) banyak yang kabur dari rumah untuk bergabung dengan ISIS. Bagaimana bisa? Ternyata jawabannya sama saja: mereka gadis-gadis yang jablay, kurang kasih sayang, dan jatuh cinta pada ‘mujahidin’ setelah berkomunikasi intens melalui berbagai media sosial (medsos).

Yang lebih menarik, saya dapati info bahwa anasir ISIS benar-benar mengurusi satu-persatu “korban”-nya di internet. NYTimes menulis reportase bagaimana seorang gadis Nasrani dari Amerika bernama Alex (26 tahun) dibujuk dengan sangat sabar dan perlahan oleh teman online-nya, bernama Faisal. Alex adalah gadis yang kesepian, meskipun hidup bersama neneknya. Faisal terus “mendampingi” Alex. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari berkomunikasi lewat Twitter, Skype dan email. Bahkan, sesekali Faisal mengirimi uang dan hadiah. Target akhir Faisal adalah Alex pergi ke Suriah untuk menjadi istri “mujahidin”. Khusus untuk perempuan Indonesia, saya amati dari komentar-komentar mereka di medsos, mereka mengira kehidupan di bawah rezim “mujahidin” adalah kehidupan yang baik-baik saja. Mereka tidak terpengaruh oleh banyaknya berita yang menunjukkan kebrutalan para “mujahidin” karena “yang diperlakukan demikian adalah orang kafir.” Jadi, selama mereka tidak kafir, mereka kira, mereka akan baik-baik saja, bahkan hidup tenteram di sana. Apalagi, para jihadis ISIS dan sejenisnya (mereka punya banyak nama, sama-sama ngaku jihad) menerima gaji besar ratusan hingga ribuan dollar perbulan. Sungguh sangat menggiurkan, terutama bagi orang-orang berekonomi lemah di Indonesia. Apalagi yang lebih indah buat orang semacam mereka: hidup di “Daulah Islamiyah”, dapat gaji dollar pula?

Hingga kini belum muncul pengakuan dari para perempuan yang sudah terlanjur ke Suriah. Apakah mereka bahagia? Mereka diharuskan menggunakan cadar, hanya boleh di rumah mengurus anak dan melayani suami, atau bekerja di pabrik garmen. Yang jelas ada dua perempuan Italia yang menyesal. Pemerintah Italia harus membayar tebusan 12 juta Dollar kepada jihadis demi menyelamatkan dua gadis itu.

Ideologi Utama ISIS

Baru-baru ini, postingan saya yang berisi peringatan kepada ibu-ibu agar waspada ISIS diremove oleh Facebook. Beberapa teman mengatakan, untuk meminta FB meremove postingan seseorang, bahkan menghapus akun orang itu, hanya butuh 20, atau 80 (entah mana yang benar). Yang me-report postingan saya, tentu saja mereka yang pro-ISIS. Dan inilah ideologi dasar mereka: anti-perbedaan (istilah lain: takfirisme). Siapa saja yang mengungkapkan narasi yang berbeda dari narasi yang sedang mereka sebarkan, akan mereka bungkam. Di dunia maya, mereka melakukannya dengan bully, fitnah, dan kompak me-report.

Ketika jihad sudah ‘meletus’, kita bisa lihat di Suriah dan Irak: orang yang “berbeda” akan mereka bantai dengan cara-cara barbar. Ga usah jauh-jauh ke orang Syiah, sesama “mereka” saja saling bantai (karena “khalifahnya”-nya beda). Sejak 2012 saya sudah prediksi, di antara kelompok-kelompok jihad Suriah, pasti akan terjadi konflik karena beda “manhaj” (sebagian Hizbuttahrir, sebagian Ikhwanul Muslimin, sebagian Al Qaida, sebagian entah apalah, tapi semua ideologi dasarnya sama: takfirisme/anti perbedaan). Ternyata benar saja, antara ISIS dan Al Nusra kemudian saling mengkafirkan (dan karena pihak lawan kafir, dianggap sah untuk dibantai). Lihat saja pemberitaan mengenai konflik Suriah di antara situs-situs “Islam” di Indonesia (kalian taulah, situs-situs mana yang saya maksud), akhir-akhir ini, masing-masing punya jago sendiri (padahal semua “jago” sama-sama mengaku sedang jihad).

Sekarang, di Indonesia, mereka semena-mena membungkam orang lewat medsos. Jadi, kita bisa bayangkan sendiri apa jadinya negeri ini kalau mereka “berkuasa”. ISIS diketahui menggunakan medsos secara masif untuk mempropagandakan ideologi mereka dan berhasil menarik fans yang sangat banyak dari berbagai penjuru dunia. Menurut data ICSR, hingga kini jumlah orang asing (non Suriah) yang datang berjihad melampaui 20.000 orang, melebihi angka mujahidin dalam konflik Afghanistan. Luar biasa. Bagaimana bisa para “mujahidin” sedemikian bersemangat perang ke negeri Muslim, mengusir penduduk asli dari tanah mereka, membunuhi mereka, dan merampas properti mereka?

Tentu saja, korban propaganda ISIS lewat medsos bukan semata-mata gadis-gadis jablay yang kurang kasih sayang. Baru-baru ini diberitakan dua pilot Indonesia bergabung dengan ISIS, setelah intens bergaul dengan para “mujahidin” lewat medsos. Ideologi adalah pendorong utama tindakan seseorang. Seseorang bisa saja membunuh orang lain yang melakukan kesalahan terhadap dirinya. tapi, ada 20.000 orang asing berdatangan ke Suriah, membunuhi orang Suriah yang tak pernah mereka kenal seumur hidup, tentunya didorong oleh sesuatu yang ‘lain’, yaitu ideologi. Ideologi kebencian kepada ‘segala yang berbeda’. Di sinilah letak bahayanya ideologi ISIS (dan sejenisnya, dalam berbagai nama dan ormas)

Daud vs Goliath: Perselingkuhan Antara Politik dan Narkotika

Narkoba
Fariba, tetangga saya di Teheran (2003-2007) mudah sekali sedih dan stress. Pasalnya, suaminya selalu berada dalam bahaya. Suaminya anggota Garda Revolusi Iran, dan sewaktu-waktu “menghilang” untuk misi anti-terorisme. Fariba selalu ketakutan, suatu saat giliran suaminya yang syahid dibunuh teroris. Dan benar saja, tahun 2009, saat saya sudah di Indonesia, suaminya dan beberapa rekannya syahid dalam aksi bom bunuh diri yang dilakukan teroris di Zahedan (perbatasan Pakistan).

Sejak Republik Islam Iran dibentuk dan AS ditendang keluar Iran (padahal sebelumnya AS sedemikian berkuasa di Iran, baik ekonomi maupun politik), aksi-aksi teror tak habis-habisnya menyerang Iran. Sejak 1979-2014, korban terorisme di Iran (bom bunuh diri/ledakan bom) mencapai 17.180 orang, menjadikan Iran sebagai negara dengan korban terorisme terbesar di dunia. Sebagian yang menjadi korban tewas itu adalah para pejabat tinggi negara seperti Presiden Rajai, PM Bahonar, Ketua MA Beheshti, dan Panglima Militer Shirazi. Ayatollah Khamenei sendiri tangan kanannya kisut dan tak bisa digerakkan akibat terkena serpihan bom saat sedang berceramah di Masjid Abu Dzar, Teheran (1981). Beberapa tahun terakhir, yang menjadi korban teror adalah ilmuwan-ilmuwan nuklir Iran.

Jurnalis investigatif terkemuka, Seymour Hersh (2008) pernah menulis laporannya tentang kucuran dana AS untuk membiayai kelompok-kelompok teror (antara lain, Jundullah, the Mujahideen-e-Khalq/MEKdan kelompok separatis Kurdithe Party for a Free Life in Kurdistan/PJAK). Tim Shipman dari the Telegraph sebelumnya (2007) juga sudah merilis informasi bahwa Bush meluncurkan “operasi hitam” untuk menggulingkan rezim. Pada tahun itu pula, pemerintah Iran mengumumkan telah menangkap 10 anggota Jundullah membawa uang cash USD500.000 bersama “peta daerah sensitif” dan “peralatan mata-mata modern”.

Serangan lain terhadap Iran adalah “terorisme-narkotika” (narco-terrorism). Pada tahun 2005, saya pernah menulis, bahwa setiap tahunnya, Iran sudah mengeluarkan dana 800 juta dolar (!) yang ditanggungnya sendirian untuk melawan sindikat penyelundup narkoba. Mereka menjadikan Iran sebagai jalur penyelundupan narkotika dari Afganistan dan Pakistan ke negara-negara Eropa dan Teluk. Negara-negara adidaya Eropa dan negara-negara Teluk yang kaya-raya –yang diuntungkan karena Iran pasang badan– hanya memberikan “penghargaan” dan “dukungan”, tapi tidak ada aliran dana yang keluar dari kocek mereka.

Bukan cuma rugi uang dalam jumlah sangat besar (pasalnya, Iran memang bukan negara kaya), menurut Tehran Times tahun 2005, 3000 tentara Iran telah gugur sebagai syudaha dalam memberantas sindikat narkotika internasional yang bersenjata lengkap itu (sekarang, tahun 2016, entah berapa yang sudah syahid). Belum lagi dampaknya terhadap rakyat Iran sendiri, data tahun 2005 saja ada dua juta pecandu narkotika di Iran. Dan, justru setelah AS bercokol di Afghanistan, arus penyelundupan narkotika di Iran meningkat tajam.

Yang menjadi luar biasa, Iran tetap menjadi negara yang aman dan nyaman untuk berwisata. Tentu, ada beberapa wilayah sensitif (terutama perbatasan Pakistan, dan wilayah Kurdistan) yang memang bukan jadi tujuan utama wisata. Saya (bersama si Akang, dan bayi Reza) pernah ke Kurdistan, setelah berkoordinasi dengan militer (suami Fariba), agar mendapatkan ‘kawalan’. Banyak yang heran, ngapain saya traveling ke Kurdistan, yang sering ada bom bunuh diri? Tujuan saya ingin melihat sendiri kehidupan warga provinsi itu, yang mayoritas Sunni (sudah saya tulis di buku Journey to Iran *bukan promo, karena bukunya sudah sold out*. Intinya, kaum Sunni Iran baik-baik saja.).

Yang menjadi luar biasa, meski mengalami aksi teror, rencana kudeta, dan embargo, pembangunan di Iran tetap berjalan pesat. Kondisi Teheran saat kami pulang 2007, dengan saat kami datang lagi diundang konferensi internasional 2015, sangat jauh berbeda, banyak sekali jalan tol baru, jauh lebih modern dan nyaman. Kereta bawah tanah Teheran, rutenya jauh bertambah. Di kota-kota lain yang saya datangi, transportasi publik juga terlihat bertambah banyak. Kemajuan di bidang sains pun tetap berjalan pesat. Pada tahun 2015, berdasar data yang dirilis Scopus, Iran menempati ranking ke-15 dunia yang menghasilkan karya ilmiah; pada tahun 2014 di rangking ke-18. Dan masih banyak kemajuan lain yang diraih oleh negara yang tidak lebih kaya daripada Indonesia ini (berdasarkan GDP).

Pertanyaannya: kalian pikir, kalau Iran tidak “keras” terhadap teroris, penjahat narkoba, dan berbagai aksi kriminal lain, apakah semua kemajuan, keamanan, dan kenyamanan itu bisa dicapai? Kita bisa lihat betapa brutalnya jihadis mengebom situs-situs kuno ribuan tahun yang sangat berharga di Suriah. Kalian pikir, dengan cara apa selama ini Iran menjaga semua situs kunonya sehingga tetap indah dan dikunjungi jutaan turis mancanegara setiap tahunnya?

Ya, Iran memang keras pada penjahat. Setiap tahunnya banyak yang dihukum gantung, karena memang serangan kejahatan terhadap Iran selama ini dahsyat sekali.

Ironisnya, berbagai media memlintirnya dengan menyebut: di antara yang digantung adalah ulama dan aktivis Sunni, untuk mengarahkan opini bahwa Sunni ditindas di Iran. Kalau media Islam abal-abal yang didanai Saudi yang menulis, ya sudahlah, memang mereka cari makan di situ. Tapi, gilanya, dalam beberapa hari terakhir, media resmi pun secara berurutan memberitakan hal senada, mulai dari Detik, Kompas, Sindo, dan kemarin Republika. Sumber yang dipakai biasanya Amnesty Internasional dan HRW (yang juga mengecam Indonesia saat Jokowi memutuskan eksekuti mati untuk penjahat narkoba). Padahal, semua media itu sudah pernah mengirim langsung wartawannya ke Iran dan meliput langsung kondisi di sana. Trias Kuncahyono (Kompas) misalnya, pernah menulis serial liputan ke Iran yang sangat bagus.

Mengamati pemberitaan soal Iran, memang terasa bahwa negara kecil itu bak Daud yang sedang bertarung melawan Goliath. Setelah Libya dan Suriah dihancurkan, satu-satunya negara yang masih aman dan belum ditundukkan Imperium adalah Iran. Imperium menguasai jaringan media internasional, serta bekerja sama dengan negara-negara Arab dan Teluk yang kaya raya, yang dengan mudah mengucurkan uang untuk propaganda dahsyat anti-Iran, dibantu oleh para awam yang merasa berjihad dengan menyebar fitnah.

Dalam melawan propaganda itu, Iran hanya dibantu netizen, facebooker, dan blogger gratisan. Bahkan ibuk-ibuk yang seharusnya leyeh-leyeh ngurus anak, terpanggil ikut melawan dengan cara share status (dan tetap teguh meski dibully). Ini bukan karena Syiah, melainkan karena melawan ketidakadilan adalah naluri setiap orang yang bernurani. Ini juga bukan tentang Iran semata, tapi tentang bangsa Indonesia yang sedang dicoba diadudomba melalui isu Sunni-Syiah. Tangan kecil kita sedang melawan tangan raksasa. Tapi, bukankah Daud yang bersenjatakan ketapel bisa tetap menang melawan Goliath?

Kontroversi 'Merdeka' di Persimpangan Jalan

Merdeka atau Mati
Komentar teman saya orang Iran, saat chat via LINE, Sebelum kasus Syekh Nimr, Arab Saudi, Bahrain, dan Sudan sudah menurunkan level diplomatik, mereka cuma punya konsulat di Iran. Jadi, kasus Syekh Nimr cuma alasan yang dibuat-buat untuk memutuskan hubungan diplomatik. Apalagi UAE. Yang kemarin menyerang konsulat Saudi itu orang-orang bayaran konsulat UAE, dan sudah ditangkap untuk kemudian diadili pemerintah. Mengapa harus takut dikucilkan pemerintah negara-negara “ngaco”? Santai saja…”

Nasionalisme rakyat Iran sudah teruji 36 tahun terakhir ini (sejak berdirinya Republik Islam). Diembargo obat-obatan? Bikin sendiri. Diembargo senjata? Bikin sendiri. Diembargo jaringan perbankan Rothschild? Pedagang selalu punya jalan keluar, life goes on. Dikucilkan? Nggak takut. Diperangi? Lawan.

Iran bukan negara kaya. Embargo (terutama boikot perbankan) tetap memberikan kesulitan ekonomi bagi Iran. Dalam sebuah diskusi, orang KADIN mengeluhkan perdagangan dengan Iran sulit dilakukan karena Bank Indonesia tidak mau memberi jaminan L/C (tanya kenapa?). Kesulitan sama tentu dirasakan Iran, misalnya, pingin beli kertas langsung dari Indonesia (biar lebih murah) gak bisa, musti lewat Malaysia karena Bank Malaysia kasih jalan. Produk Indonesia, tapi belinya lewat M’sia, enak amat tuh si makelar. Makanya Iran mau jual minyak murah ke Indonesia asal ga lewat makelar. Kenapa ga terwujud? Jawaban ada di bawah.

Tapi, HDI (Human Development Index) Iran ada di ranking 75, sedang Indonesia di 108. HDI dihitung dari pencapaian 3 hal yang menjadi basis pembangunan manusia: kesehatan dan panjang umur; pengetahuan; dan kelayakan standar hidup. Artinya, kesehatan, pengetahuan, dan standar hidup rata-rata orang Iran lebih baik daripada orang Indonesia. Padahal, Iran tidak lebih kaya daripada Indonesia. GDP (Gross Domestic Product) (nilai barang dan jasa yang dihasilkan sebuah negara dalam 1 tahun) Iran jauh di bawah Indonesia. Indonesia bahkan berada di ranking 18 negara terkaya di dunia (dihitung dari GDP). Lalu mengapa HDI Indonesia tetap rendah? Tentu saja ini terkait dengan ‘siapa’ yang memiliki kekayaan itu (karena banyak sekali perusahaan di Indonesia yang ternyata milik asing). Artinya, secara gampang saja bisa dilihat: negara yang diembargo lalu sebagian besar produk dihasilkan oleh bangsa itu sendiri, ternyata kondisi rakyatnya bisa lebih baik.

Btw, kalau Anda tanya pada orang Iran asli, yang keluar umumnya adalah keluhan dan kritikan pada pemerintah; biasanya mereka bilang “daulat hich kari nimikune” (pemerintah ga melakukan apa-apa). Orang Iran memang tukang kritik nomer satu. Ahmadinejad yang (dulu) dielu-elukan di Indonesia, di Iran malah dikritik melulu, terutama oleh kalangan menengah ke atas. Sepertinya ini gejala umum ya, kalangan menengah emang biasa ngehe’ grin emoticon. Tapi kalangan menengah ngehe’ Iran tetap teguh membela negaranya. Indikatornya bisa dilihat dari demo-demo masif pro-pemerintah dalam berbagai even (padahal ga dapet nasbung dan ga ada paksaan).

Jadi, terserah bila Anda mau sebut Iran kafir atau sesat, Iran pun punya banyak kekurangan, khusus spirit independensinya sangat patut diteladani. Independensi pemerintah tidak akan terwujud kalau rakyatnya penakut dan manja. Contohnya, suatu saat, satelit AS mendeteksi ada transaksi minyak antara kapal yang dicurigai kapal Iran dengan kapal Pertamina. Langsung duit Pertamina di AS dibekukan dan baru lepas setelah Indonesia berjanji tidak beli minyak Iran (ini info dari seorang diplomat dalam sebuah diskusi di zaman SBY dulu). Coba bayangkan dengan jujur: kalau saja dulu SBY (atau sekarang Jokowi) berani nekad beli minyak Iran dan kemudian kita diembargo AS, sikap Anda (kita, rakyat, terutama kelas menengah) apa? Jujur saja. Berani tegak membela pemerintah dan hidup prihatin, atau malah rame-rame menggulingkan pemerintah?

Jawaban dari pertanyaan ini memberi arti pada kata “merdeka”