Kamis, 27 Oktober 2016

Konflik Suriah dalam Tinjauan Hukum Internasional (Bagian I)

A. Pendahuluan

Gejolak yang terjadi di Timur Tengah merupakan sebuah gejolak dahsyat yang meruntuhkan struktur politik nasional beberapa negara, kejadian tersebut berlangsung secara berurutan yang di mulai dari Tunisia, selanjutnya satu demi satu negara-negara Timur Tengah mengalami pergolakan antara lain Mesir, Maroko, Algeria, Yaman, Bahrain, Libya dan yang belum juga usai sampai saat ini adalah Suriah. Kejadian ini merupakan sebuah rangkaian kejadian yang selanjutnya disebut dengan “Arab Spring”, yang menandai suatu penciptaan kondisi yang baru bagi negara-negara yang tengah bergejolak. Kondisi gejolak ini nampaknya belum menemui titik penyelesaian untuk konflik yang terjadi di Suriah, karena pada faktanya sampai dengan saat ini Suriah masih mengalami gejolak yang belum nampak titik penyelesaian dan berhentinya konflik. Hal itulah yang akan kami elaborasi secara lebih mendalam dalam tulisan ini, yakni bagaimana kita meninjau konflik yang terjadi di Suriah dalam pendekatan keamanan internasional dengan mendasarkannya pada analisa wacana yang dikembangkan oleh kaum posmodernisme.


Tentunya banyak pespektif yang bisa bermain untuk menjelaskan kasus konflik Suriah ini, namun kami lebih tertarik untuk menganalisanya dalam perspektif posmodernisme dengan menyandarkannya pada teori wacana yang dikemukakan oleh Foucault. Namun, sebelum terlebih jauh membahas tentang perkara tersebut alangkah lebih baiknya ketika kita terlebih dahulu memahami kondisi riil yang terjadi di Suriah tentang hakekat konflik tersebut, bagaimana pemetaan aktor dalam konflik yang terjadi dalam internal Suriah tersebut, kepentingan-kepentingan apa saja yang bermain di dalamnya, bagaimana proses untuk membangun isu tersebut sebagai bagian integral dalam proses keamanan internasional atau dengan kata lain proses sekuritisasi isu ini, dan penerapan teori wacana yang dikemukakan oleh Foucault untuk menjelaskan fenomena konflik Suriah.


B. Hakekat Konflik Suriah

Perkara utama yang harus kita telusuri secara lebih mendalam ketika membahas konflik Suriah adalah hakekat dari konflik Suriah itu sendiri. Konflik di Suriah pada hakekatnya adalah konflik kepentingan dan ideologis yang melibatkan berbagai macam aktor baik state maupun non-state. Konflik ini terjadi karena rezim penguasa yakni Bashar al-Assad telah kehilangan legitimasi politiknya, hal tersebut ditengarai karena rezim pemerintahan Bassar al-Assad menggunakan kekuasaan yang dimilikinya secara otoriter, kekuasaan politik tersebut malah dipergunakan untuk menindas rakyatnya. Implikasi dari penggunaan kekuasaan yang cenderung menindas mengarah pada suatu kondisi dimana masyarakat mulai merasa tidak senang atas tindakan represif dari penguasa tersebut yang akhirnya menimbulkan pergerakan pada level masyarakat yang menuntut agar Bashar al-Assad turun dari tampuk kekuasaan. Kondisi pergerakan dan perlawanan yang mulai tumbuh dari masyarakat yang menuntut agar Assad turun dari kekuasaannya akhirnya semakin meluas, disisi lain pergerakan rakyat ini menemukan momentumnya bersamaan dengan “Arab Spring”.

Terkait dengan persoalan yang berkenaan dengan pemetaan aktor yang bermain dalam konflik Suriah, maka setidaknya dapat kita petakan dalam beberapa kerangka aktor. Aktor yang sifatnya internal antara lain terdiri dari rezim penguasa Bashar al-Assad, dewan koalisi nasional Suriah, dan kelompok militan Suriah. Secara eksternal maka kita dapat menemukan beberapa aktor lainnya antara lain Rusia, China, Iran, dan Amerika Serikat beserta dengan sekutu Baratnya. Dengan beragamnya aktor yang terlibat dalam konflik internal Suriah ini, yang bukan hanya berasal dari kekuatan di dalam negeri tetapi juga meliputi kekuatan di luar negeri. Maka, memang dapat kita simpulkan bahwa persoalan Suriah ini melibatkan gesekan kepentingan yang bermuatan ideologis yang senantiasa beradu dalam rangka memenangkan wacana. Dari sinilah kami akan menganalisis perkara ini dalam konteks perspektif posmodernisme dengan menggunakan analisa wacana Foucault untuk menjelaskan pertarungan wacana yang terjadi di Suriah dalam rangka perebutan kekuasaan untuk membangun kembali format negara Suriah pasca Assad. Yakni pertarungan wacana antara kelompok-kelompok yang berkepentingan untuk memenangkan wacana dalam bentuk relasi antara power (kekuasaan) dan knowledge (ilmu pengetahuan).


C.Teori Wacana Foucault

Salah satu konsep Foucault yang terkenal adalah wacana atau discourse. Istilah wacana merupakan praktik bahasa yang biasa dikaitkan dengan istilah diskursus.[1] Dalam bahasa Indonesia, istilah diskursus belum ada, tetapi kata yang mendekati istilah itu hanyalah diskursif.[2] Diskursif berkaitan dengan kata nomina seperti nalar berupa kemampuan, kecerdasan, dan pemikiran yang logis. Wacana atau diskursif dikenalkan oleh Foucault untuk dijadikan sebagai analisis yang sangat mendalam tentang fenomena struktur relasi antara power (kekuasaan) dan knowledge (ilmu pengetahuan). Danaher-Schirato-Webb (DSW) mengatakan bahwa wacana adalah format bahasa yang berhubungan dengan ide-ide dan lontaran-lontaran pernyataan yang menampakkan nilai-nilai dasar. Wacana berguna untuk melukiskan nilai-nilai dasar kata-kata pelaku bahasa. Kata-kata tersebut memberikan kita sesuatu yang masuk akal dalam ‘melihat’ sesuatu.[3]

Di balik wacana terdapat kuasa (material force) yang ditampilkan oleh penutur teks-teks bahasa atau praktik-praktik bahasa yang ditentukan sepenuhnya oleh keterbatasan kemampuan nalar, kecerdasan, dan pemikiran logis dirinya, yakni pengetahuannya. Mills menekankan bahwa hanya dalam teks-teks bahasa dan aksi-praktis bahasa saja, pengetahuan dapat ditampilkan. Sedangkan dibalik semua itu adalah kuasa (material force) yang dapat dilihat, dijelaskan, dan dimengerti.[4] Kuasa ini hadir di balik arsip pidato, laporan (dokumen), ide-ide, manifesto, peristiwa bersejarah, wawancara, kebijakan, dan organisasi atau institusi. Semua itu ditampilkan dalam format bahasa teks (inter-tekstualitas) dan tulisan.[5] Studi Foucault ini tidak mencari benar-salah, baik-buruk suatu pengetahuan seperti pencarian kebenaran yang dilakukan oleh ilmu pengetahuan ilmiah (sains) dan sejarahwan, tetapi studi Foucault justru melihat proses penjelajahan wacana (relasi pengetahuan/kuasa) yang berbeda-beda ditiap zaman dalam kerangka struktur pengetahuan/kuasa yang mereproduksi kebenaran.[6] Tidak ada ‘kebenaran’, yang ada hanyalah perspektif dan ‘rejim kebenaran’ yang saling bersaing.[7]


Foucault menciptakan istilah ‘rejim kebenaran’ sebagai kata kunci untuk merujuk atas hal ketika kebenaran dan kekuasaan sama-sama dihasilkan dan bertahan. Istilah tersebut berkaitan dengan apa yang diyakini sebagai kebenaran, sesuai dengan aturan atau kriteria yang menentukan proposisi yang benar dari yang salah, serta menunjukkan bagaimana keyakinan yang memiliki status kebenaran membentuk praktik dan institusi sosial. Kajian atas ‘rejim kebenaran’ ini berbeda dengan pencarian akan kebenaran itu sendiri, seperti halnya penekanan mengenai bagaimana ‘rejim kebenaran’ yang ada berlaku hanya dengan menaklukkan rejim lainnya. Terdapat pertempuran antara dan di dalam rejim kebenaran, dimana hierarki dibangun dan kekuasaan mempengaruhi klaim pengetahuan. Posmodernisme membahas persoalan bagaimana sebuah perspektif menghasilkan representasi yang mencapai legitimasi dominan dan monopolit dengan memarginalisasi yang lainnya.[8] Poin dari posmodernisme adalah tidak menawarkan sebuah representasi hubungan internasional yang ‘benar’, namun menawarkan sebuah pandangan kritis atas bagaimana representasi-representasi itu berkiprah dan secara tetap menghasilkan efek-efek politik praktis.[9] Tidak ada suatu citra diri yang tunggal, yang ada hanyalah citra-citra diri yang saling bersaing.[10]


D. Proses Sekuritisasi Konflik Suriah sebagai Sebuah Isu Keamanan

Mengingat bahwa tulisan ini merupakan sebuah tinjauan keamanan internasional, maka menjadi penting untuk mengungkapkan bagaimana proses sekuritisasi isu ini menjadi sebuah bagian yang integral dalam sebuah isu keamanan. Oleh sebab itu, sebelum mempergunakan teori wacana Foucault dalam menganalisis konflik Suriah, ada baiknya kita menelaah terlebih dahulu tentang proses sekuritisasi isu konflik Suriah ini yang nantinya akan kita kaitkan dengan Teori wacana Foucault.


Secara sederhana sekuritisasi berarti, usaha-usaha untuk menjadikan sebuah isu menjadi bagian dari isu keamanan, Security. Proses sekuritisasi melibatkan dua hal penting, yakni : Securitizing Actor yaitu aktor yang mengangkat atau mensekuritisasi sebuah isu dan Referent Object yaitu objek yang dipandang mengancam secara nyata dan butuh direspon untuk menghindari bahayanya. Menurut Buzan, meski secara teoritis proses sekuritisasi bisa dilakukan oleh siapa saja. Namun, pada faktanya yang umum terjadi adalah securitizing actors kebanyakan dilakukan para pemimpin politik (politisi), birokrasi, pemerintah, kelompok lobi, dan kelompok-kelompok penekan.[11] Teori tentang sekuritisasi ini sebenarnya merupakan sebuah teori yang lahir atas sumbangan dari perspektif konstruktivisme, namun dalam tulisan ini teori tersebut dipinjam dalam rangka pemetaan aktor secara jelas yang domainnya tidak hanya pada tataran ‘ide yang melahirkan sikap atau tindakan’, tetapi lebih daripada itu analisis posmodernisme akan bermain pada ranah ‘pembongkaran wacana’ bagaimana ide itu membentuk sebuah wacana yang didalamnya terdapat relasi antara power (kekuasaan) dan knowledge (ilmu pengetahuan). Atas dasar itulah mengapa teori sekuritisasi ini, juga menjadi perkara yang kami gunakan dalam tulisan ini.

Berbicara mengenai konteks pemetaan aktor dalam konflik di Suriah, nampaknya terjadi sebuah proses pembangunan identitas antara pihak-pihak yang memproduksi wacana sebagai pembenaran atas tindakan mereka. Hal tersebut dapat kita lihat dari diproduksinya sebuah pemahaman ancaman oleh aktor-aktor tertentu. Dalam konteks aktor eksternal, Amerika Serikat berupaya membangun sebuah wacana akan pentingnya proses demokratisasi bagi konflik yang terjadi di Suriah. Amerika Serikat telah sangat terus terang mengatakan bahwa hasil yang mereka harapkan bagi penyelesaian konflik Suriah adalah transisi politik menuju sebuah negara demokratis. Solusi tersebut dianggap sebagai solusi terbaik bagi konflik Suriah. Oleh sebab itu, mereka mendukung untuk tercapainya hal tersebut dan menciptakan sebuah pemahaman umum dalam konteks ancaman, bahwa siapa saja yang menginginkan selain itu adalah ancaman bagi proses perdamaian Suriah. Berdasarkan hal tersebut Amerika Serikat beserta dengan sekutu Barat yang lain sangat mendukung Dewan Koalisi Nasional Suriah yang bertindak sebagai lembaga oposisi pemerintahan Assad untuk mengawal proses demokratisasi tersebut. Disisi lain Amerika Serikat beserta dengan sekutu Barat lainnya dengan melalui media dan berdasar kepada organisasi dunia yaitu PBB. Dalam laporannya, Komisi PBB yang melakukan penyelidikan di Suriah mengatakan kehadiran para militan asing, Islam Radikal atau para jihadi, membuat mereka khawatir akan proses perdamaian di Suriah. Kepala Komisi Sergio Pinheiro kepada wartawan hari Selasa (16/10/2012) memperkirakan ada ratusan kombatan asing yang ikut bertempur di Suriah. Pinheiro menambahkan bahwa komisi itu khawatir para kombatan asing ini tidak berjuang untuk “membangun negara demokratis di Suriah”, tetapi “untuk agenda mereka sendiri”.[12] Pernyataan ini menunjukkan seakan-akan PBB beserta dengan Amerika dan sekutu Baratnya memiliki agenda untuk kepentingan rakyat Suriah.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hilary Clinton secara terbuka memperingatkan kecenderungan Suriah ini. Amerika dengan teknik propagandanya membangun sebuah persepsi ancaman bahwa para mujahidin merupakan “ekstrimisme dan terorisme”, melalui upaya mengaitkan mereka dengan al-Qaida. Tidak hanya itu Amerika malah membangun sebuah opini bahwa para mujahidin adalah ekstrimis dan terorisme yang ingin membajak perjuangan rakyat Suriah. Menteri Luar Negeri AS Hilary Clinton mendesak oposisi Suriah agar melawan berbagai upaya oleh kelompok ekstrimis untuk “membajak revolusi”. Berbicara dalam perjalanan ke Kroasia, ia mengatakan kepemimpinan pemberontak harus lebih inklusif terhadap mereka yang bertempur di Suriah. Ia juga mengatakan ada sejumlah “laporan yang merisaukan” mengenai ekstrimis Islam memasuki Suriah untuk mengambil keuntungan dari pemberontakan melawan Presiden Bashar al-Assad. Pemberontak harus “dengan tegas menolak segala upaya oleh ekstrimis untuk membajak revolusi Suriah”, demikian peringatan Clinton.[13] Tampak jelas Amerika ingin melakukan pemetaan ancaman antara apa yang disebut pemberontak dengan para ekstrimis. Amerika Serikat juga berupaya melakukan kriminalisasi perjuangan para mujahidin dengan bukti video yang diklaim merupakan bentuk kejahatan. Menurut PBB video semacam itu bisa dipakai sebagai bukti kejahatan perang. Sementara pemerintah AS menyatakan “mengutuk pelanggaran HAM oleh pihak mana pun di Suriah”. Upaya kriminalisasi mujahidin ini akhirnya terbukti, pada Rabu (5/12/2012) Presiden Obama secara resmi memasukkan kelompok mujahidin Jabhat al-Nushrah di Suriah dalam daftar baru organisasi terorisme. Jabhat al-Nushrah selama ini dikenal sebagai kelompok jihad yang paling keras menghantam militer rezim Nushairiyah Suriah, yang ingin menggulingkan kekuasaan rezim Assad yang berkuasa selama 40 tahun untuk menggantikannya menjadi sebuah negara Islam di bawah hukum Syariah Islam.


Berdasarkan pada pemaparan di atas, ketika kita menggunakan teori sekuritisasi untuk mengidentifikasi isu konflik Suriah ini agar dapat dikategorikan sebagi sebuah isu keamanan. Maka, ada pihak yang menjadi Securitizing Actor yakni Amerika Serikat melalui Menteri Luar Negerinya Hilary Clinton termasuk pula presiden Amerika Serikat Obama, yang menjadikan kelompok militan dan mujahidin semacam Jabhat al-Nushrah dengan identitas Islam ideologis yang mereka bawa, dimana mereka berkeinginan untuk menegakkan negara Islam di bawah hukum Syariah Islam sebagai kelompok terorisme yang memiliki afiliasi dengan al-Qaidah, itu artinya mereka dijadikan sebagai Referent Object. Atas dasar itu, pada hakekatnya isu Konflik Suriah dapat dikategorisasikan sebagai sebuah isu keamanan pada tingkat regional Timur Tengah yang menyita perhatian masyarakat internasional, dan dapat berkembang menjadi isu keamanan internasional yang mengundang pihak di luar kawasan Timur Tengah untuk melakukan intervensi terhadap konflik Suriah, dengan dalih pelanggaran HAM, menghentikan perang saudara, dan juga penggunaan senjata kimia. Di sisi lain perkembangan tersebut menunjukkan sebuah kenyataan bahwa kekuatan-kekuatan Barat menghadapi “ancaman eksistensial” dari jaringan transnasional ketimbang dari negara berdaulat seperti masa lalu.[14] Al-Qaeda atau kelompok-kelompok teroris lainnya semacam Jabhat al-Nushrah, muncul sebagai ancaman non-negara. Mereka merupakan kelompok perlawanan transnasional baik di tingkat global maupun lokal, yang memiliki agenda untuk menegakkan negara Islam yang akan mengancam eksistensi Barat.

Berangkat dari penjelasan inilah maka kami berkesimpulan bahwa ada sebuah konstruksi wacana yang sedang bermain dalam konteks konflik Suriah, dimana bangunan wacana tersebut sangat dipengaruhi oleh relasi antara kuasa dan pengetahuan, yang pada akhirnya akan mengarahkan pada membangun kembali format negara Suriah pasca Assad. Dari sinilah selanjutnya akan kami bahas tentang pluralitas wacana yang bermain dalam konflik Suriah tersebut dengan mempergunakan analisis wacana Foucault.