Kamis, 27 Oktober 2016

Konflik Suriah dalam Tinjauan Hukum Internasional (Bagian I)

A. Pendahuluan

Gejolak yang terjadi di Timur Tengah merupakan sebuah gejolak dahsyat yang meruntuhkan struktur politik nasional beberapa negara, kejadian tersebut berlangsung secara berurutan yang di mulai dari Tunisia, selanjutnya satu demi satu negara-negara Timur Tengah mengalami pergolakan antara lain Mesir, Maroko, Algeria, Yaman, Bahrain, Libya dan yang belum juga usai sampai saat ini adalah Suriah. Kejadian ini merupakan sebuah rangkaian kejadian yang selanjutnya disebut dengan “Arab Spring”, yang menandai suatu penciptaan kondisi yang baru bagi negara-negara yang tengah bergejolak. Kondisi gejolak ini nampaknya belum menemui titik penyelesaian untuk konflik yang terjadi di Suriah, karena pada faktanya sampai dengan saat ini Suriah masih mengalami gejolak yang belum nampak titik penyelesaian dan berhentinya konflik. Hal itulah yang akan kami elaborasi secara lebih mendalam dalam tulisan ini, yakni bagaimana kita meninjau konflik yang terjadi di Suriah dalam pendekatan keamanan internasional dengan mendasarkannya pada analisa wacana yang dikembangkan oleh kaum posmodernisme.


Tentunya banyak pespektif yang bisa bermain untuk menjelaskan kasus konflik Suriah ini, namun kami lebih tertarik untuk menganalisanya dalam perspektif posmodernisme dengan menyandarkannya pada teori wacana yang dikemukakan oleh Foucault. Namun, sebelum terlebih jauh membahas tentang perkara tersebut alangkah lebih baiknya ketika kita terlebih dahulu memahami kondisi riil yang terjadi di Suriah tentang hakekat konflik tersebut, bagaimana pemetaan aktor dalam konflik yang terjadi dalam internal Suriah tersebut, kepentingan-kepentingan apa saja yang bermain di dalamnya, bagaimana proses untuk membangun isu tersebut sebagai bagian integral dalam proses keamanan internasional atau dengan kata lain proses sekuritisasi isu ini, dan penerapan teori wacana yang dikemukakan oleh Foucault untuk menjelaskan fenomena konflik Suriah.


B. Hakekat Konflik Suriah

Perkara utama yang harus kita telusuri secara lebih mendalam ketika membahas konflik Suriah adalah hakekat dari konflik Suriah itu sendiri. Konflik di Suriah pada hakekatnya adalah konflik kepentingan dan ideologis yang melibatkan berbagai macam aktor baik state maupun non-state. Konflik ini terjadi karena rezim penguasa yakni Bashar al-Assad telah kehilangan legitimasi politiknya, hal tersebut ditengarai karena rezim pemerintahan Bassar al-Assad menggunakan kekuasaan yang dimilikinya secara otoriter, kekuasaan politik tersebut malah dipergunakan untuk menindas rakyatnya. Implikasi dari penggunaan kekuasaan yang cenderung menindas mengarah pada suatu kondisi dimana masyarakat mulai merasa tidak senang atas tindakan represif dari penguasa tersebut yang akhirnya menimbulkan pergerakan pada level masyarakat yang menuntut agar Bashar al-Assad turun dari tampuk kekuasaan. Kondisi pergerakan dan perlawanan yang mulai tumbuh dari masyarakat yang menuntut agar Assad turun dari kekuasaannya akhirnya semakin meluas, disisi lain pergerakan rakyat ini menemukan momentumnya bersamaan dengan “Arab Spring”.

Terkait dengan persoalan yang berkenaan dengan pemetaan aktor yang bermain dalam konflik Suriah, maka setidaknya dapat kita petakan dalam beberapa kerangka aktor. Aktor yang sifatnya internal antara lain terdiri dari rezim penguasa Bashar al-Assad, dewan koalisi nasional Suriah, dan kelompok militan Suriah. Secara eksternal maka kita dapat menemukan beberapa aktor lainnya antara lain Rusia, China, Iran, dan Amerika Serikat beserta dengan sekutu Baratnya. Dengan beragamnya aktor yang terlibat dalam konflik internal Suriah ini, yang bukan hanya berasal dari kekuatan di dalam negeri tetapi juga meliputi kekuatan di luar negeri. Maka, memang dapat kita simpulkan bahwa persoalan Suriah ini melibatkan gesekan kepentingan yang bermuatan ideologis yang senantiasa beradu dalam rangka memenangkan wacana. Dari sinilah kami akan menganalisis perkara ini dalam konteks perspektif posmodernisme dengan menggunakan analisa wacana Foucault untuk menjelaskan pertarungan wacana yang terjadi di Suriah dalam rangka perebutan kekuasaan untuk membangun kembali format negara Suriah pasca Assad. Yakni pertarungan wacana antara kelompok-kelompok yang berkepentingan untuk memenangkan wacana dalam bentuk relasi antara power (kekuasaan) dan knowledge (ilmu pengetahuan).


C.Teori Wacana Foucault

Salah satu konsep Foucault yang terkenal adalah wacana atau discourse. Istilah wacana merupakan praktik bahasa yang biasa dikaitkan dengan istilah diskursus.[1] Dalam bahasa Indonesia, istilah diskursus belum ada, tetapi kata yang mendekati istilah itu hanyalah diskursif.[2] Diskursif berkaitan dengan kata nomina seperti nalar berupa kemampuan, kecerdasan, dan pemikiran yang logis. Wacana atau diskursif dikenalkan oleh Foucault untuk dijadikan sebagai analisis yang sangat mendalam tentang fenomena struktur relasi antara power (kekuasaan) dan knowledge (ilmu pengetahuan). Danaher-Schirato-Webb (DSW) mengatakan bahwa wacana adalah format bahasa yang berhubungan dengan ide-ide dan lontaran-lontaran pernyataan yang menampakkan nilai-nilai dasar. Wacana berguna untuk melukiskan nilai-nilai dasar kata-kata pelaku bahasa. Kata-kata tersebut memberikan kita sesuatu yang masuk akal dalam ‘melihat’ sesuatu.[3]

Di balik wacana terdapat kuasa (material force) yang ditampilkan oleh penutur teks-teks bahasa atau praktik-praktik bahasa yang ditentukan sepenuhnya oleh keterbatasan kemampuan nalar, kecerdasan, dan pemikiran logis dirinya, yakni pengetahuannya. Mills menekankan bahwa hanya dalam teks-teks bahasa dan aksi-praktis bahasa saja, pengetahuan dapat ditampilkan. Sedangkan dibalik semua itu adalah kuasa (material force) yang dapat dilihat, dijelaskan, dan dimengerti.[4] Kuasa ini hadir di balik arsip pidato, laporan (dokumen), ide-ide, manifesto, peristiwa bersejarah, wawancara, kebijakan, dan organisasi atau institusi. Semua itu ditampilkan dalam format bahasa teks (inter-tekstualitas) dan tulisan.[5] Studi Foucault ini tidak mencari benar-salah, baik-buruk suatu pengetahuan seperti pencarian kebenaran yang dilakukan oleh ilmu pengetahuan ilmiah (sains) dan sejarahwan, tetapi studi Foucault justru melihat proses penjelajahan wacana (relasi pengetahuan/kuasa) yang berbeda-beda ditiap zaman dalam kerangka struktur pengetahuan/kuasa yang mereproduksi kebenaran.[6] Tidak ada ‘kebenaran’, yang ada hanyalah perspektif dan ‘rejim kebenaran’ yang saling bersaing.[7]


Foucault menciptakan istilah ‘rejim kebenaran’ sebagai kata kunci untuk merujuk atas hal ketika kebenaran dan kekuasaan sama-sama dihasilkan dan bertahan. Istilah tersebut berkaitan dengan apa yang diyakini sebagai kebenaran, sesuai dengan aturan atau kriteria yang menentukan proposisi yang benar dari yang salah, serta menunjukkan bagaimana keyakinan yang memiliki status kebenaran membentuk praktik dan institusi sosial. Kajian atas ‘rejim kebenaran’ ini berbeda dengan pencarian akan kebenaran itu sendiri, seperti halnya penekanan mengenai bagaimana ‘rejim kebenaran’ yang ada berlaku hanya dengan menaklukkan rejim lainnya. Terdapat pertempuran antara dan di dalam rejim kebenaran, dimana hierarki dibangun dan kekuasaan mempengaruhi klaim pengetahuan. Posmodernisme membahas persoalan bagaimana sebuah perspektif menghasilkan representasi yang mencapai legitimasi dominan dan monopolit dengan memarginalisasi yang lainnya.[8] Poin dari posmodernisme adalah tidak menawarkan sebuah representasi hubungan internasional yang ‘benar’, namun menawarkan sebuah pandangan kritis atas bagaimana representasi-representasi itu berkiprah dan secara tetap menghasilkan efek-efek politik praktis.[9] Tidak ada suatu citra diri yang tunggal, yang ada hanyalah citra-citra diri yang saling bersaing.[10]


D. Proses Sekuritisasi Konflik Suriah sebagai Sebuah Isu Keamanan

Mengingat bahwa tulisan ini merupakan sebuah tinjauan keamanan internasional, maka menjadi penting untuk mengungkapkan bagaimana proses sekuritisasi isu ini menjadi sebuah bagian yang integral dalam sebuah isu keamanan. Oleh sebab itu, sebelum mempergunakan teori wacana Foucault dalam menganalisis konflik Suriah, ada baiknya kita menelaah terlebih dahulu tentang proses sekuritisasi isu konflik Suriah ini yang nantinya akan kita kaitkan dengan Teori wacana Foucault.


Secara sederhana sekuritisasi berarti, usaha-usaha untuk menjadikan sebuah isu menjadi bagian dari isu keamanan, Security. Proses sekuritisasi melibatkan dua hal penting, yakni : Securitizing Actor yaitu aktor yang mengangkat atau mensekuritisasi sebuah isu dan Referent Object yaitu objek yang dipandang mengancam secara nyata dan butuh direspon untuk menghindari bahayanya. Menurut Buzan, meski secara teoritis proses sekuritisasi bisa dilakukan oleh siapa saja. Namun, pada faktanya yang umum terjadi adalah securitizing actors kebanyakan dilakukan para pemimpin politik (politisi), birokrasi, pemerintah, kelompok lobi, dan kelompok-kelompok penekan.[11] Teori tentang sekuritisasi ini sebenarnya merupakan sebuah teori yang lahir atas sumbangan dari perspektif konstruktivisme, namun dalam tulisan ini teori tersebut dipinjam dalam rangka pemetaan aktor secara jelas yang domainnya tidak hanya pada tataran ‘ide yang melahirkan sikap atau tindakan’, tetapi lebih daripada itu analisis posmodernisme akan bermain pada ranah ‘pembongkaran wacana’ bagaimana ide itu membentuk sebuah wacana yang didalamnya terdapat relasi antara power (kekuasaan) dan knowledge (ilmu pengetahuan). Atas dasar itulah mengapa teori sekuritisasi ini, juga menjadi perkara yang kami gunakan dalam tulisan ini.

Berbicara mengenai konteks pemetaan aktor dalam konflik di Suriah, nampaknya terjadi sebuah proses pembangunan identitas antara pihak-pihak yang memproduksi wacana sebagai pembenaran atas tindakan mereka. Hal tersebut dapat kita lihat dari diproduksinya sebuah pemahaman ancaman oleh aktor-aktor tertentu. Dalam konteks aktor eksternal, Amerika Serikat berupaya membangun sebuah wacana akan pentingnya proses demokratisasi bagi konflik yang terjadi di Suriah. Amerika Serikat telah sangat terus terang mengatakan bahwa hasil yang mereka harapkan bagi penyelesaian konflik Suriah adalah transisi politik menuju sebuah negara demokratis. Solusi tersebut dianggap sebagai solusi terbaik bagi konflik Suriah. Oleh sebab itu, mereka mendukung untuk tercapainya hal tersebut dan menciptakan sebuah pemahaman umum dalam konteks ancaman, bahwa siapa saja yang menginginkan selain itu adalah ancaman bagi proses perdamaian Suriah. Berdasarkan hal tersebut Amerika Serikat beserta dengan sekutu Barat yang lain sangat mendukung Dewan Koalisi Nasional Suriah yang bertindak sebagai lembaga oposisi pemerintahan Assad untuk mengawal proses demokratisasi tersebut. Disisi lain Amerika Serikat beserta dengan sekutu Barat lainnya dengan melalui media dan berdasar kepada organisasi dunia yaitu PBB. Dalam laporannya, Komisi PBB yang melakukan penyelidikan di Suriah mengatakan kehadiran para militan asing, Islam Radikal atau para jihadi, membuat mereka khawatir akan proses perdamaian di Suriah. Kepala Komisi Sergio Pinheiro kepada wartawan hari Selasa (16/10/2012) memperkirakan ada ratusan kombatan asing yang ikut bertempur di Suriah. Pinheiro menambahkan bahwa komisi itu khawatir para kombatan asing ini tidak berjuang untuk “membangun negara demokratis di Suriah”, tetapi “untuk agenda mereka sendiri”.[12] Pernyataan ini menunjukkan seakan-akan PBB beserta dengan Amerika dan sekutu Baratnya memiliki agenda untuk kepentingan rakyat Suriah.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hilary Clinton secara terbuka memperingatkan kecenderungan Suriah ini. Amerika dengan teknik propagandanya membangun sebuah persepsi ancaman bahwa para mujahidin merupakan “ekstrimisme dan terorisme”, melalui upaya mengaitkan mereka dengan al-Qaida. Tidak hanya itu Amerika malah membangun sebuah opini bahwa para mujahidin adalah ekstrimis dan terorisme yang ingin membajak perjuangan rakyat Suriah. Menteri Luar Negeri AS Hilary Clinton mendesak oposisi Suriah agar melawan berbagai upaya oleh kelompok ekstrimis untuk “membajak revolusi”. Berbicara dalam perjalanan ke Kroasia, ia mengatakan kepemimpinan pemberontak harus lebih inklusif terhadap mereka yang bertempur di Suriah. Ia juga mengatakan ada sejumlah “laporan yang merisaukan” mengenai ekstrimis Islam memasuki Suriah untuk mengambil keuntungan dari pemberontakan melawan Presiden Bashar al-Assad. Pemberontak harus “dengan tegas menolak segala upaya oleh ekstrimis untuk membajak revolusi Suriah”, demikian peringatan Clinton.[13] Tampak jelas Amerika ingin melakukan pemetaan ancaman antara apa yang disebut pemberontak dengan para ekstrimis. Amerika Serikat juga berupaya melakukan kriminalisasi perjuangan para mujahidin dengan bukti video yang diklaim merupakan bentuk kejahatan. Menurut PBB video semacam itu bisa dipakai sebagai bukti kejahatan perang. Sementara pemerintah AS menyatakan “mengutuk pelanggaran HAM oleh pihak mana pun di Suriah”. Upaya kriminalisasi mujahidin ini akhirnya terbukti, pada Rabu (5/12/2012) Presiden Obama secara resmi memasukkan kelompok mujahidin Jabhat al-Nushrah di Suriah dalam daftar baru organisasi terorisme. Jabhat al-Nushrah selama ini dikenal sebagai kelompok jihad yang paling keras menghantam militer rezim Nushairiyah Suriah, yang ingin menggulingkan kekuasaan rezim Assad yang berkuasa selama 40 tahun untuk menggantikannya menjadi sebuah negara Islam di bawah hukum Syariah Islam.


Berdasarkan pada pemaparan di atas, ketika kita menggunakan teori sekuritisasi untuk mengidentifikasi isu konflik Suriah ini agar dapat dikategorikan sebagi sebuah isu keamanan. Maka, ada pihak yang menjadi Securitizing Actor yakni Amerika Serikat melalui Menteri Luar Negerinya Hilary Clinton termasuk pula presiden Amerika Serikat Obama, yang menjadikan kelompok militan dan mujahidin semacam Jabhat al-Nushrah dengan identitas Islam ideologis yang mereka bawa, dimana mereka berkeinginan untuk menegakkan negara Islam di bawah hukum Syariah Islam sebagai kelompok terorisme yang memiliki afiliasi dengan al-Qaidah, itu artinya mereka dijadikan sebagai Referent Object. Atas dasar itu, pada hakekatnya isu Konflik Suriah dapat dikategorisasikan sebagai sebuah isu keamanan pada tingkat regional Timur Tengah yang menyita perhatian masyarakat internasional, dan dapat berkembang menjadi isu keamanan internasional yang mengundang pihak di luar kawasan Timur Tengah untuk melakukan intervensi terhadap konflik Suriah, dengan dalih pelanggaran HAM, menghentikan perang saudara, dan juga penggunaan senjata kimia. Di sisi lain perkembangan tersebut menunjukkan sebuah kenyataan bahwa kekuatan-kekuatan Barat menghadapi “ancaman eksistensial” dari jaringan transnasional ketimbang dari negara berdaulat seperti masa lalu.[14] Al-Qaeda atau kelompok-kelompok teroris lainnya semacam Jabhat al-Nushrah, muncul sebagai ancaman non-negara. Mereka merupakan kelompok perlawanan transnasional baik di tingkat global maupun lokal, yang memiliki agenda untuk menegakkan negara Islam yang akan mengancam eksistensi Barat.

Berangkat dari penjelasan inilah maka kami berkesimpulan bahwa ada sebuah konstruksi wacana yang sedang bermain dalam konteks konflik Suriah, dimana bangunan wacana tersebut sangat dipengaruhi oleh relasi antara kuasa dan pengetahuan, yang pada akhirnya akan mengarahkan pada membangun kembali format negara Suriah pasca Assad. Dari sinilah selanjutnya akan kami bahas tentang pluralitas wacana yang bermain dalam konflik Suriah tersebut dengan mempergunakan analisis wacana Foucault.

Rabu, 03 Februari 2016

ISIS dan Ideologi 'Anti Perbedaan'


Militan Wanita ISIS
ISIS dan Perempuan

Dulu, saya pernah menulis tentang ‘mengapa anak-anak gadis banyak yang kabur bersama lelaki yang baru dikenalnya di FB?’ Jawaban utamanya, karena jablay (jarang dibelai orang tua) dan kurang kasih sayang di rumah.

Sekarang, muncul fenomena baru: anak-anak gadis (terutama dari AS dan Eropa) banyak yang kabur dari rumah untuk bergabung dengan ISIS. Bagaimana bisa? Ternyata jawabannya sama saja: mereka gadis-gadis yang jablay, kurang kasih sayang, dan jatuh cinta pada ‘mujahidin’ setelah berkomunikasi intens melalui berbagai media sosial (medsos).

Yang lebih menarik, saya dapati info bahwa anasir ISIS benar-benar mengurusi satu-persatu “korban”-nya di internet. NYTimes menulis reportase bagaimana seorang gadis Nasrani dari Amerika bernama Alex (26 tahun) dibujuk dengan sangat sabar dan perlahan oleh teman online-nya, bernama Faisal. Alex adalah gadis yang kesepian, meskipun hidup bersama neneknya. Faisal terus “mendampingi” Alex. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari berkomunikasi lewat Twitter, Skype dan email. Bahkan, sesekali Faisal mengirimi uang dan hadiah. Target akhir Faisal adalah Alex pergi ke Suriah untuk menjadi istri “mujahidin”. Khusus untuk perempuan Indonesia, saya amati dari komentar-komentar mereka di medsos, mereka mengira kehidupan di bawah rezim “mujahidin” adalah kehidupan yang baik-baik saja. Mereka tidak terpengaruh oleh banyaknya berita yang menunjukkan kebrutalan para “mujahidin” karena “yang diperlakukan demikian adalah orang kafir.” Jadi, selama mereka tidak kafir, mereka kira, mereka akan baik-baik saja, bahkan hidup tenteram di sana. Apalagi, para jihadis ISIS dan sejenisnya (mereka punya banyak nama, sama-sama ngaku jihad) menerima gaji besar ratusan hingga ribuan dollar perbulan. Sungguh sangat menggiurkan, terutama bagi orang-orang berekonomi lemah di Indonesia. Apalagi yang lebih indah buat orang semacam mereka: hidup di “Daulah Islamiyah”, dapat gaji dollar pula?

Hingga kini belum muncul pengakuan dari para perempuan yang sudah terlanjur ke Suriah. Apakah mereka bahagia? Mereka diharuskan menggunakan cadar, hanya boleh di rumah mengurus anak dan melayani suami, atau bekerja di pabrik garmen. Yang jelas ada dua perempuan Italia yang menyesal. Pemerintah Italia harus membayar tebusan 12 juta Dollar kepada jihadis demi menyelamatkan dua gadis itu.

Ideologi Utama ISIS

Baru-baru ini, postingan saya yang berisi peringatan kepada ibu-ibu agar waspada ISIS diremove oleh Facebook. Beberapa teman mengatakan, untuk meminta FB meremove postingan seseorang, bahkan menghapus akun orang itu, hanya butuh 20, atau 80 (entah mana yang benar). Yang me-report postingan saya, tentu saja mereka yang pro-ISIS. Dan inilah ideologi dasar mereka: anti-perbedaan (istilah lain: takfirisme). Siapa saja yang mengungkapkan narasi yang berbeda dari narasi yang sedang mereka sebarkan, akan mereka bungkam. Di dunia maya, mereka melakukannya dengan bully, fitnah, dan kompak me-report.

Ketika jihad sudah ‘meletus’, kita bisa lihat di Suriah dan Irak: orang yang “berbeda” akan mereka bantai dengan cara-cara barbar. Ga usah jauh-jauh ke orang Syiah, sesama “mereka” saja saling bantai (karena “khalifahnya”-nya beda). Sejak 2012 saya sudah prediksi, di antara kelompok-kelompok jihad Suriah, pasti akan terjadi konflik karena beda “manhaj” (sebagian Hizbuttahrir, sebagian Ikhwanul Muslimin, sebagian Al Qaida, sebagian entah apalah, tapi semua ideologi dasarnya sama: takfirisme/anti perbedaan). Ternyata benar saja, antara ISIS dan Al Nusra kemudian saling mengkafirkan (dan karena pihak lawan kafir, dianggap sah untuk dibantai). Lihat saja pemberitaan mengenai konflik Suriah di antara situs-situs “Islam” di Indonesia (kalian taulah, situs-situs mana yang saya maksud), akhir-akhir ini, masing-masing punya jago sendiri (padahal semua “jago” sama-sama mengaku sedang jihad).

Sekarang, di Indonesia, mereka semena-mena membungkam orang lewat medsos. Jadi, kita bisa bayangkan sendiri apa jadinya negeri ini kalau mereka “berkuasa”. ISIS diketahui menggunakan medsos secara masif untuk mempropagandakan ideologi mereka dan berhasil menarik fans yang sangat banyak dari berbagai penjuru dunia. Menurut data ICSR, hingga kini jumlah orang asing (non Suriah) yang datang berjihad melampaui 20.000 orang, melebihi angka mujahidin dalam konflik Afghanistan. Luar biasa. Bagaimana bisa para “mujahidin” sedemikian bersemangat perang ke negeri Muslim, mengusir penduduk asli dari tanah mereka, membunuhi mereka, dan merampas properti mereka?

Tentu saja, korban propaganda ISIS lewat medsos bukan semata-mata gadis-gadis jablay yang kurang kasih sayang. Baru-baru ini diberitakan dua pilot Indonesia bergabung dengan ISIS, setelah intens bergaul dengan para “mujahidin” lewat medsos. Ideologi adalah pendorong utama tindakan seseorang. Seseorang bisa saja membunuh orang lain yang melakukan kesalahan terhadap dirinya. tapi, ada 20.000 orang asing berdatangan ke Suriah, membunuhi orang Suriah yang tak pernah mereka kenal seumur hidup, tentunya didorong oleh sesuatu yang ‘lain’, yaitu ideologi. Ideologi kebencian kepada ‘segala yang berbeda’. Di sinilah letak bahayanya ideologi ISIS (dan sejenisnya, dalam berbagai nama dan ormas)

Daud vs Goliath: Perselingkuhan Antara Politik dan Narkotika

Narkoba
Fariba, tetangga saya di Teheran (2003-2007) mudah sekali sedih dan stress. Pasalnya, suaminya selalu berada dalam bahaya. Suaminya anggota Garda Revolusi Iran, dan sewaktu-waktu “menghilang” untuk misi anti-terorisme. Fariba selalu ketakutan, suatu saat giliran suaminya yang syahid dibunuh teroris. Dan benar saja, tahun 2009, saat saya sudah di Indonesia, suaminya dan beberapa rekannya syahid dalam aksi bom bunuh diri yang dilakukan teroris di Zahedan (perbatasan Pakistan).

Sejak Republik Islam Iran dibentuk dan AS ditendang keluar Iran (padahal sebelumnya AS sedemikian berkuasa di Iran, baik ekonomi maupun politik), aksi-aksi teror tak habis-habisnya menyerang Iran. Sejak 1979-2014, korban terorisme di Iran (bom bunuh diri/ledakan bom) mencapai 17.180 orang, menjadikan Iran sebagai negara dengan korban terorisme terbesar di dunia. Sebagian yang menjadi korban tewas itu adalah para pejabat tinggi negara seperti Presiden Rajai, PM Bahonar, Ketua MA Beheshti, dan Panglima Militer Shirazi. Ayatollah Khamenei sendiri tangan kanannya kisut dan tak bisa digerakkan akibat terkena serpihan bom saat sedang berceramah di Masjid Abu Dzar, Teheran (1981). Beberapa tahun terakhir, yang menjadi korban teror adalah ilmuwan-ilmuwan nuklir Iran.

Jurnalis investigatif terkemuka, Seymour Hersh (2008) pernah menulis laporannya tentang kucuran dana AS untuk membiayai kelompok-kelompok teror (antara lain, Jundullah, the Mujahideen-e-Khalq/MEKdan kelompok separatis Kurdithe Party for a Free Life in Kurdistan/PJAK). Tim Shipman dari the Telegraph sebelumnya (2007) juga sudah merilis informasi bahwa Bush meluncurkan “operasi hitam” untuk menggulingkan rezim. Pada tahun itu pula, pemerintah Iran mengumumkan telah menangkap 10 anggota Jundullah membawa uang cash USD500.000 bersama “peta daerah sensitif” dan “peralatan mata-mata modern”.

Serangan lain terhadap Iran adalah “terorisme-narkotika” (narco-terrorism). Pada tahun 2005, saya pernah menulis, bahwa setiap tahunnya, Iran sudah mengeluarkan dana 800 juta dolar (!) yang ditanggungnya sendirian untuk melawan sindikat penyelundup narkoba. Mereka menjadikan Iran sebagai jalur penyelundupan narkotika dari Afganistan dan Pakistan ke negara-negara Eropa dan Teluk. Negara-negara adidaya Eropa dan negara-negara Teluk yang kaya-raya –yang diuntungkan karena Iran pasang badan– hanya memberikan “penghargaan” dan “dukungan”, tapi tidak ada aliran dana yang keluar dari kocek mereka.

Bukan cuma rugi uang dalam jumlah sangat besar (pasalnya, Iran memang bukan negara kaya), menurut Tehran Times tahun 2005, 3000 tentara Iran telah gugur sebagai syudaha dalam memberantas sindikat narkotika internasional yang bersenjata lengkap itu (sekarang, tahun 2016, entah berapa yang sudah syahid). Belum lagi dampaknya terhadap rakyat Iran sendiri, data tahun 2005 saja ada dua juta pecandu narkotika di Iran. Dan, justru setelah AS bercokol di Afghanistan, arus penyelundupan narkotika di Iran meningkat tajam.

Yang menjadi luar biasa, Iran tetap menjadi negara yang aman dan nyaman untuk berwisata. Tentu, ada beberapa wilayah sensitif (terutama perbatasan Pakistan, dan wilayah Kurdistan) yang memang bukan jadi tujuan utama wisata. Saya (bersama si Akang, dan bayi Reza) pernah ke Kurdistan, setelah berkoordinasi dengan militer (suami Fariba), agar mendapatkan ‘kawalan’. Banyak yang heran, ngapain saya traveling ke Kurdistan, yang sering ada bom bunuh diri? Tujuan saya ingin melihat sendiri kehidupan warga provinsi itu, yang mayoritas Sunni (sudah saya tulis di buku Journey to Iran *bukan promo, karena bukunya sudah sold out*. Intinya, kaum Sunni Iran baik-baik saja.).

Yang menjadi luar biasa, meski mengalami aksi teror, rencana kudeta, dan embargo, pembangunan di Iran tetap berjalan pesat. Kondisi Teheran saat kami pulang 2007, dengan saat kami datang lagi diundang konferensi internasional 2015, sangat jauh berbeda, banyak sekali jalan tol baru, jauh lebih modern dan nyaman. Kereta bawah tanah Teheran, rutenya jauh bertambah. Di kota-kota lain yang saya datangi, transportasi publik juga terlihat bertambah banyak. Kemajuan di bidang sains pun tetap berjalan pesat. Pada tahun 2015, berdasar data yang dirilis Scopus, Iran menempati ranking ke-15 dunia yang menghasilkan karya ilmiah; pada tahun 2014 di rangking ke-18. Dan masih banyak kemajuan lain yang diraih oleh negara yang tidak lebih kaya daripada Indonesia ini (berdasarkan GDP).

Pertanyaannya: kalian pikir, kalau Iran tidak “keras” terhadap teroris, penjahat narkoba, dan berbagai aksi kriminal lain, apakah semua kemajuan, keamanan, dan kenyamanan itu bisa dicapai? Kita bisa lihat betapa brutalnya jihadis mengebom situs-situs kuno ribuan tahun yang sangat berharga di Suriah. Kalian pikir, dengan cara apa selama ini Iran menjaga semua situs kunonya sehingga tetap indah dan dikunjungi jutaan turis mancanegara setiap tahunnya?

Ya, Iran memang keras pada penjahat. Setiap tahunnya banyak yang dihukum gantung, karena memang serangan kejahatan terhadap Iran selama ini dahsyat sekali.

Ironisnya, berbagai media memlintirnya dengan menyebut: di antara yang digantung adalah ulama dan aktivis Sunni, untuk mengarahkan opini bahwa Sunni ditindas di Iran. Kalau media Islam abal-abal yang didanai Saudi yang menulis, ya sudahlah, memang mereka cari makan di situ. Tapi, gilanya, dalam beberapa hari terakhir, media resmi pun secara berurutan memberitakan hal senada, mulai dari Detik, Kompas, Sindo, dan kemarin Republika. Sumber yang dipakai biasanya Amnesty Internasional dan HRW (yang juga mengecam Indonesia saat Jokowi memutuskan eksekuti mati untuk penjahat narkoba). Padahal, semua media itu sudah pernah mengirim langsung wartawannya ke Iran dan meliput langsung kondisi di sana. Trias Kuncahyono (Kompas) misalnya, pernah menulis serial liputan ke Iran yang sangat bagus.

Mengamati pemberitaan soal Iran, memang terasa bahwa negara kecil itu bak Daud yang sedang bertarung melawan Goliath. Setelah Libya dan Suriah dihancurkan, satu-satunya negara yang masih aman dan belum ditundukkan Imperium adalah Iran. Imperium menguasai jaringan media internasional, serta bekerja sama dengan negara-negara Arab dan Teluk yang kaya raya, yang dengan mudah mengucurkan uang untuk propaganda dahsyat anti-Iran, dibantu oleh para awam yang merasa berjihad dengan menyebar fitnah.

Dalam melawan propaganda itu, Iran hanya dibantu netizen, facebooker, dan blogger gratisan. Bahkan ibuk-ibuk yang seharusnya leyeh-leyeh ngurus anak, terpanggil ikut melawan dengan cara share status (dan tetap teguh meski dibully). Ini bukan karena Syiah, melainkan karena melawan ketidakadilan adalah naluri setiap orang yang bernurani. Ini juga bukan tentang Iran semata, tapi tentang bangsa Indonesia yang sedang dicoba diadudomba melalui isu Sunni-Syiah. Tangan kecil kita sedang melawan tangan raksasa. Tapi, bukankah Daud yang bersenjatakan ketapel bisa tetap menang melawan Goliath?

Kontroversi 'Merdeka' di Persimpangan Jalan

Merdeka atau Mati
Komentar teman saya orang Iran, saat chat via LINE, Sebelum kasus Syekh Nimr, Arab Saudi, Bahrain, dan Sudan sudah menurunkan level diplomatik, mereka cuma punya konsulat di Iran. Jadi, kasus Syekh Nimr cuma alasan yang dibuat-buat untuk memutuskan hubungan diplomatik. Apalagi UAE. Yang kemarin menyerang konsulat Saudi itu orang-orang bayaran konsulat UAE, dan sudah ditangkap untuk kemudian diadili pemerintah. Mengapa harus takut dikucilkan pemerintah negara-negara “ngaco”? Santai saja…”

Nasionalisme rakyat Iran sudah teruji 36 tahun terakhir ini (sejak berdirinya Republik Islam). Diembargo obat-obatan? Bikin sendiri. Diembargo senjata? Bikin sendiri. Diembargo jaringan perbankan Rothschild? Pedagang selalu punya jalan keluar, life goes on. Dikucilkan? Nggak takut. Diperangi? Lawan.

Iran bukan negara kaya. Embargo (terutama boikot perbankan) tetap memberikan kesulitan ekonomi bagi Iran. Dalam sebuah diskusi, orang KADIN mengeluhkan perdagangan dengan Iran sulit dilakukan karena Bank Indonesia tidak mau memberi jaminan L/C (tanya kenapa?). Kesulitan sama tentu dirasakan Iran, misalnya, pingin beli kertas langsung dari Indonesia (biar lebih murah) gak bisa, musti lewat Malaysia karena Bank Malaysia kasih jalan. Produk Indonesia, tapi belinya lewat M’sia, enak amat tuh si makelar. Makanya Iran mau jual minyak murah ke Indonesia asal ga lewat makelar. Kenapa ga terwujud? Jawaban ada di bawah.

Tapi, HDI (Human Development Index) Iran ada di ranking 75, sedang Indonesia di 108. HDI dihitung dari pencapaian 3 hal yang menjadi basis pembangunan manusia: kesehatan dan panjang umur; pengetahuan; dan kelayakan standar hidup. Artinya, kesehatan, pengetahuan, dan standar hidup rata-rata orang Iran lebih baik daripada orang Indonesia. Padahal, Iran tidak lebih kaya daripada Indonesia. GDP (Gross Domestic Product) (nilai barang dan jasa yang dihasilkan sebuah negara dalam 1 tahun) Iran jauh di bawah Indonesia. Indonesia bahkan berada di ranking 18 negara terkaya di dunia (dihitung dari GDP). Lalu mengapa HDI Indonesia tetap rendah? Tentu saja ini terkait dengan ‘siapa’ yang memiliki kekayaan itu (karena banyak sekali perusahaan di Indonesia yang ternyata milik asing). Artinya, secara gampang saja bisa dilihat: negara yang diembargo lalu sebagian besar produk dihasilkan oleh bangsa itu sendiri, ternyata kondisi rakyatnya bisa lebih baik.

Btw, kalau Anda tanya pada orang Iran asli, yang keluar umumnya adalah keluhan dan kritikan pada pemerintah; biasanya mereka bilang “daulat hich kari nimikune” (pemerintah ga melakukan apa-apa). Orang Iran memang tukang kritik nomer satu. Ahmadinejad yang (dulu) dielu-elukan di Indonesia, di Iran malah dikritik melulu, terutama oleh kalangan menengah ke atas. Sepertinya ini gejala umum ya, kalangan menengah emang biasa ngehe’ grin emoticon. Tapi kalangan menengah ngehe’ Iran tetap teguh membela negaranya. Indikatornya bisa dilihat dari demo-demo masif pro-pemerintah dalam berbagai even (padahal ga dapet nasbung dan ga ada paksaan).

Jadi, terserah bila Anda mau sebut Iran kafir atau sesat, Iran pun punya banyak kekurangan, khusus spirit independensinya sangat patut diteladani. Independensi pemerintah tidak akan terwujud kalau rakyatnya penakut dan manja. Contohnya, suatu saat, satelit AS mendeteksi ada transaksi minyak antara kapal yang dicurigai kapal Iran dengan kapal Pertamina. Langsung duit Pertamina di AS dibekukan dan baru lepas setelah Indonesia berjanji tidak beli minyak Iran (ini info dari seorang diplomat dalam sebuah diskusi di zaman SBY dulu). Coba bayangkan dengan jujur: kalau saja dulu SBY (atau sekarang Jokowi) berani nekad beli minyak Iran dan kemudian kita diembargo AS, sikap Anda (kita, rakyat, terutama kelas menengah) apa? Jujur saja. Berani tegak membela pemerintah dan hidup prihatin, atau malah rame-rame menggulingkan pemerintah?

Jawaban dari pertanyaan ini memberi arti pada kata “merdeka”

Jumat, 25 Desember 2015

Cahaya Kebenaran dari Konflik Suriah

Wartawan Republika Nashih Nashrullah, berkesempatan berbincang dengan Ketua Ikatan Ulama Suriah, Dr. Taufiq Al Buthi  pada sela-sela kunjungannya ke Indonesia menghadiri Konferensi ke- 4 International Conference of Islamic Scholars (ICIS) bulan November 2015. Saya membaca dengan terharu, sekaligus geram. Mengapa koran sebesar Republika, atau Kompas, atau yang lain, tak mau mengirim reporter ke Suriah sejak awal konflik (2012-2013)? Mereka bisa mengririm reporter ke berbagai penjuru dunia, mengapa tidak ke Suriah? Mengapa wawancara dengan Dr Al Buthi baru sekarang dilakukan, ketika kebencian terhadap kaum Syiah dan seruan-seruan jihad di Indonesia sudah masif tersebar, ketika latihan-latihan perang sudah dilakukan kaum radikalis di beberapa tempat di Indonesia? Saya saja yang “hanya” blogger, berhasilmewawancarai jurnalis Suriah yang berkunjung ke Indonesia untuk menengok putranya yang berbisnis di sini (2013). Kemana sensitivitas para reporter kawakan dan pengamat politik terkenal? Bahkan Republika dulu menurunkan tulisan yang isinya musuh kaum Muslim tak cuma Israel, demi menjustifikasi jihad di Suriah.
Baiklah, kesadaran yang terlambat lebih baik daripada tidak pernah sadar. Tapi sudah terlalu banyak persaudaraan dan toleransi di negeri ini sudah sedemikian tercederai selama 4 tahun terakhir dan entah bagaimana memperbaikinya dan mencegah kerusakan yang lebih parah lagi, perang sektarian ala Suriah, misalnya.
Berikut ini copas wawancara Republika dengan Dr. Taufiq al Buthi:
Nashrullah: Apa sebenarnya yang terjadi pada detik-detik menjelang kematian Ayah Anda, Syeikh al-Buthi?
Dr Taufiq: Pada 21 Maret 2013, usai shalat Maghrib, seorang pemuda berusia 18 tahun-an datang masuk ke Masjid al- Iman, Damaskus, ia semula duduk di belakang dua menit, lalu beranjak mendekati posisi ayah saya yang sedang menyampaikan kajian tafsir. Jarak antara pemuda dan posisi beliau duduk kira-kira enam meter. Lalu, meledakkan diri. Sebagian besar jamaah meninggal seketika berjumlah 45 orang. Total korban jiwa sebanyak 53 orang. Ledakan tak berdampak signifikan pada luka ayah saya, hanya luka ringan di bagian bibir. Bahan peledak C-4 itu di dalamnya terdapat potongan-potongan material kecil. Ledakkan begitu dahsyat, begitu tersadar, meski dalam kondisi berdarah-darah, Ahmad mencoba menolong kakeknya, tapi lukanya yang parah tak lagi mampu menopang dirinya sendiri. Ia terjatuh dan akhirnya syahid di rumah sakit.
Melalui telepon, kami mendapat informasi, ayahanda saya hanya terluka di bagian kening dan kaki, tetapi Allah SWT berkehendak lain, sesampainya di RS, saya dikasih tahu, beliau telah wafat. Saya akhirnya melihat langsung jenazahnya, perasaan bercampur aduk, seolah tak percaya.
Beliau seperti tertidur biasa. Mukanya putih, badannya masih hangat, bibirnya merah, saya cium keningnya.
Saya tanya ke dokter bagaimana kondisi Ahmad? Dokter menjawab kritis, Ahmad akhirnya wafat.
Dr. Taufiq Ramadhan al-Buthi
Syekh Al Buthi
Nashrullah: Peristiwa tragis ini terjadi, apakah ada firasat sebelumnya?
Dr Taufiq: Yang jelas, mereka menyadari al-Buthi yang telah menyingkap kebusukan di balik krisis Suriah ini harus segara dihabisi. Beberapa pekan sebelum ayah wafat, kita menggelar pertemuan keluarga dan beliau berkata, “Saya bermimpi, wallahu a’lam, apa maknanya, tapi saya berfirasat, ajal telah dekat.” Aksi teror sebetulnya tak membuat kami heran, kita sudah memperkirakan ini semua bakal terjadi, kami mengkhawatirkan ayah kami.
Pesan yang tersirat, yaitu hendak mencoreng wajah Islam lewat sosok al-Buthi. Pekan pertama krisis Suriah, saat saya sedang berada di Brunei Darussalam, sebuah bom dijatuhkan di depan rumah kami, selanjutnya, sebuah bom pernah dilempar nyaris mengenai mobil saya, ini bukan kali pertama, melainkan berulang.
Beberapa kali para pelaku juga menulis ancaman- ancaman dengan kata-kata kasar, menjijikkan, di tembok rumah kami. Begitulah mereka. Karena itu, beliau menyarankan agar tidak pergi ke masjid meski jarak rumah kami tak terlalu jauh karena akses menunju masjid tak lagi aman. Beberapa hari kemudian, Ayah saya kembali mengumpulkan keluarga, termasuk anak-anak saya.
Beliau meminta agar putraku yang tengah sakit, Mahmud, tak pergi merekam ceramah rutin beliau di Universitas al-Kuwait, dekat rumah. Namun, permintaan ini tak diiyakan, Mahmud dan Ahmad tetap berangkat untuk merekam episode ke-17 dari acara fi qadhaya as- sa’ah ma al-Buthi yang diasuh kakeknya tersebut. Ini adalah ceramah pamungkas. Beliau, kata putraku, berbicara blak-blakan dan menyadari bahwa ajal telah dekat.
Sekembalinya dari agenda itu, Ahmad bercengkerama dan berpamitan dengan segenap keluarga, seakan hendak pergi jauh. Mendekati Maghrib, ia bergegas menuju rumah kakeknya seolah-olah ada janji. Keduanya lantas shalat Maghrib ke Masjid al-Iman. Sementara, Mahmud tetap berada di rumah.
Usai shalat, dia kaget mendapat kabar, ada ledakan besar di Masjid Imam. Ia bergegas menuju masjid. Kita mencoba untuk tetap tenang dan mencari tahu apa yang sedang terjadi meski kabar itu mengguncang perasaan kami. Kami menyusul menuju rumah sakit bersama keluarga, termasuk istri dari Ahmad. Hingga saya melihat langsung apa yang terjadi.
Nashrullah: Lalu, seperti apakah sebetulnya sikap almarhum terhadap krisis Suriah?
Dr. Taufiq: Terkait konflik Suriah, almarhum ayah saya memiliki sikap yang dilandasi dengan kaidah syariat. Sikap tersebut tidak condong ke satu pihak atau mendukung pihak lainnya, tetapi berpegangan pada dua hal, hukum syariat menentang ulil amri (pemerintah) merujuk hadis dan pendapat ulama terkait masalah ini. Dan, kedua, fitnah ini adalah siasat pihak luar, terutama Zionis yang menginginkan pertumpahan darah di Suriah juga kehancuran dan perpecahan negara ini.
Terungkap di hadapan kami, agenda besar memecah belah Suriah secara sekterian dan sukuisme hingga menjadi negara-negara kecil yang saling bersiteru. Kami punya buktinya. Posisi ini menempatkan almarhum ayah saya sangat netral, tidak memuji pemerintah tak pula mencelanya, justru menjelaskan hukum syarinya, dan memperingatkan dampak dari fitnah ini. Anda bisa simak sikap beliau dalam film dokumentasi pendek di Youtube dari awal krisis meletus hingga menjelang hari syahidnya dengan judul “Watsaiqi Haula Mauqi al-`Allamah al-Buthi Min al-Azmat as-Suriyah”.
Faktanya, `serangan’ bertubi-tubi ditujukan kepada beliau dari stasiun TV yang berpihak mengobarkan fitnah dan menjulukinya dengan beragam gelar, seperti ulama pemerintah. Padahal, begitu jelas, ayah saya tak pernah sehari pun memuji Bashar al-Assad. Tiap bertemu Assad, al-Buthi justru menasihati langsung, tidak menyanjung.
Berbeda dengan ulama lainnya yang bermanis-manis ria di depan Assad, lalu mereka mengobarkan fitnah tatkala berada di belakang sang Presiden itu. Intimadasi dan ancaman yang dialamatkan ke ayah saya pun bermunculan.
Nashrullah: Apa sebenarnya yang tengah terjadi di negara Anda?
Dr. Taufiq: Konflik di negara kami bukan konflik sekterian dan agama yang membenturkan antara Sunni dan Syiah atau Muslim dan non-Muslim. Ada tiga target utama dari konflik yang melanda Suriah sekarang. Pertama, menghancurkan Suriah. Kedua, mendistorsi dan mencoreng wajah Islam di mata dunia sebagai agama yang menyeramkan sekaligus menakutkan agar mereka menjauh dari risalah ini. Kita punya contoh bukti. Misalnya, perang Suriah sekarang faktanya tidak melibatkan sesama warga Suriah asli sama sekali. Tetapi, konflik ini di-setting agar melibatkan warga sesama Suriah. Kita lihat sekarang ISIS, tak semuanya orang Suriah, begitu juga Jabhat al-Nusra, mereka gabungan dari jihadis dari berbagai negara.
Apakah mereka datang hanya untuk Assad? Tidak.
Sederhana saja, jika masalahnya adalah Assad, lihatlah yang terjadi di Libya, apakah saat Qaddafi berhasil dilengserkan dan dibunuh, masalah selesai? Tidak! Justru di sanalah permulaannya. Demikian juga, ketika Saddam Husein mati di tiang gantungan, Irak bebas masalah?
Tidak. Mereka ingin Suriah porak-poranda karena negara ini dianggap sulit ditaklukkan. Suriah hingga sekarang tak mau menyerahkan kehormatannya untuk mereka.
Nashrullah: Apa bukti lain bila konflik Suriah ini adalah skenario besar?
Dr. Taufiq: Sekarang saya tunjukkan bukti lagi. Banyak sekali para jihadis yang berasal dari Perancis, Inggris, ratusan, hingga ribuan berdatangan ke Suriah bersama dengan istri mereka bahkan melibatkan media dan beranggapan bahwa pintu surga terbuka melalui Suriah. Mereka datang bukan tanpa sepengetahuan negara-negara Barat, jelas Barat tahu.
Mustahil intelijen mereka tak mampu mendeteksi gerak- gerak para jihadis itu. Kita punya rekaman bagaimana aktivitas jihadis itu. Lihat saja, bagaimana seorang jihadis membunuh tentara Suriah, mengeluarkan jantung, lalu memakannya. Apa maksudnya? Tak lain menunjukkan ke Barat, ini lho potret seram Islam jika kalian memeluk agama ini, ujung-ujungnya akan seperti ini. Jadi, apa yang terjadi di Suriah sekarang, ialah mengatasnamakan Islam, tetapi justru untuk `menyembelih’ agama ini.
Tetapi, mereka melandasi doktrin mereka dengan agama? Di titik ini, saya menyangsikan, keislaman mereka.
Kalaupun Islam, mereka adalah kalangan yang tak mengerti hukum-hukum syariat. Islam masuk ke Eropa hanya kulitnya, permukaan saja. Dalam keyakinan para jihadis itu, pintu surga terbuka langsung di Suriah. Memang tidak semua termakan dengan propaganda negatif Islam itu, 20 persen mungkin bersikap bijak bahwa aksi teror di Suriah ini bukan wajah Islam, tapi 80 persen tak banya tahu.
Kondisi tersebut ternyata juga dimanfaatkan oleh Barat.
Inilah tujuan ketiga dari krisis Suriah, yaitu meng habisi umat Islam di Eropa. Biarkan Muslim Eropa berjihad ke Suriah, ratusan bahkan ribuan, dan biar me reka meninggal di sana. Ini pula tujuan ketika Barat mem biarkan Muslim Eropa berjihad ke Afghanistan dan Irak. Kita sudah dalam level target ketiga ini. Barat tak takut dengan Islam di timur, tetapi yang mereka takuti adalah kebangkitan Islam di Barat. Jika mereka takut Islam di Timur, pasti mereka akan menutup jihadis sejak di Imigrasi.
Nashrullah: Mengapa sekali lagi ISIS dan para jihadis mendasari doktrin itu dengan agama?
Dr Taufiq: Ideologi radikal dan ekstrem itu tak berdiri sendiri.
Ada skenario besar di belakangnya. Saya tak perlu sebut, semua orang tahu. Anda bisa lihat sendiri, mengapa ISIS tak memerangi Israel, justru berperang dengan saudara sesama Islam? Dan, lihatlah bagaimana bisa Jabhat al-Nusra mendapatkan logistik bahkan hingga peralatan perang dari Israel? Rudal Hawn berasal dari Israel. Korban luka dari al-Nusra juga ternyata diobati di Israel. Saya rasa, para jihadis itu tak sepenuhnya menyadari skenario besar ini. Pemahaman Islam mereka hanya di permukaan.
Buktinya, fatwa-fatwa yang mereka keluarkan sangat dangkal dan jauh dari prinsip Islam, seperti jihad nikah atau penggunaan narkoba. Mereka bersembunyi di balik ayat-ayat perang, padahal jelas Rasulullah Saw tidaklah diutus kecuali menjadi rahmat bagi alam semesta.
ISIS merusak fasilitas umum, memutuskan listrik, menghancurkan stasiun bahan bakar gas, mereka jual murah minyak mentah. Belum lagi cara mereka berlindung di balik warga sipil. Salah jika Suriah dituding justru yang menggunakan warga sipil sebagai benteng hidup, justru mereka. Tentara Suriah justru kini mendekati mereka head to head. Inilah bukti bahwa radikalisme dan ekstremisme mereka berangkat dari doktrin omong kosong.
Nashrullah: Di tengah kian memanasnya konflik Suriah saat ini, apakah Anda yakin krisis ini akan berakhir?
Dalam konteks Suriah, saya tidak melihat secara fisik. Saya hanya melihat prinsip-prinsip ketuhanan yang agung. Rasulullah Saw dalam hadis shahihnya mengatakan bahwa Allah SWT akan menjaga Syam dan penduduknya. Kita sangat yakin itu. Suriah yang diprediksi jatuh dalam hitungan minggu atau paling banter bulan, ternyata Alhamdulillah, memasuki tahun kelima, Allah masih melindungi negara kami.
Suriah hari ini bahkan lebih kuat dari kemarin.
Oposisi di Damaskus, berislah. Beberapa wilayah juga kembali ke pangkuan Suriah. Jihadis di Gouta saling berperang sesama mereka. Kawasan barat daya hingga perbatasan Palestina memang masih ada perang, tapi lumayan membaik juga demikian di Dar’a. Di wilayah Timur, seperti Raqqa, sebagian besar ISIS kabur.
Kendati demikian, kita tidak menafikan kesalahan sebagian dari kita. Tetapi, yang kita bicarakan adalah per soalan politik dan dinamika yang berkembang. Saya kem balikan lagi kepada tuntunan Alllah SWT dalam Alquran yang mengatakan “Dan apa saja bencana yang me nimpamu maka dari (kesalahan) dirimu sendiri”. (QS an-Nisaa [4]: 79).
Saya yakin, krisis ini akan berakhir di bawah kemenangan Suriah. Tetapi, marilah kita berdoa agar para pendosa tidak menjadi penghalang kemenangan ini terwujud. Krisis ini adalah ujian dan pendidikan bagi kita.

Jumat, 23 Oktober 2015

Analis : Amerika Serikat Cs. Marah Besar Rusia Merebut Hegemoni di Suriah



Peta konflik di Suriah antara Koalisi AS, ISIS dan Pro-Assad
Kunjungan kejutan Presiden Suriah Bashar Assad ke Moskow dinilai sebagai indikasi bahwa pemimpin Suriah itu jadi lebih percaya diri di panggung dunia karena dibela Rusia. Menurut para analis politik dan perang, kunjungan Assad itu telah membuat Amerika Serikat (AS) dan sekutunya di NATO marah besar.

”Kami melihat Rusia mengambil peran kepemimpinan di panggung internasional,” kata analis geopolitik Patrick Henningsen kepada Russia Today, semalam. Dia menekankan bahwa upaya Barat untuk mengalahkan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) telah “menyeret tanpa hasil yang konklusif”.

“Rusia pada dasarnya ada di pihak bawah tanah yang telah berlangsung selama empat tahun,” kata Henningsen mengacu dukungan Kremlin untuk rezim Suriah sejak awal perang sipil di Suriah. ”Negara-negara seperti AS, Turki, Yordania dan sekutu NATO seperti Inggris dan Prancis telah mampu beroperasi dalam bayang-bayang. Rusia pada dasarnya menerobos dan menyalakan lampu,” ujarnya.

”Mereka sangat marah di Washington dan masih membuang amarah, dan mengatakan Rusia telah membuat langkah yang mengerikan,” imbuh Henningsen. Dia berpendapat bahwa AS sejatinya ingin sekali melihat Rusia sama seperti saat berada di Afghanistan yang mengalami kekalahan di masa lalu.

Hanya saja, operasi militer Rusia di Suriah kali ini sangat berbeda dibanding saat mereka beraksi di Afghanistan.”Karena Rusia telah diundang oleh pemerintah yang terpilih secara demokratis hukum di Damaskus,” kata Henningsen, mengacu pada permintaan resmi Presiden Assad.

Henningsen mengatakan bahwa jika Barat benar-benar serius menangani ancaman teroris, mereka akan bekerja dengan pemerintah Assad. Sebab, kekuatan darat mereka memiliki dasar intelijensi.

”Ini adalah apa yang Rusia lakukan. Negara ini baru saja pergi dan telah bekerja dengan pemain kunci yang mereka butuhkan untuk bekerja,” imbuh dia. (Baca juga: Rusia Sambut Kunjungan Kejutan Assad, AS Meradang)

Henningsen menambahkan bahwa dengan 22.000 bom yang dijatuhkan koalisi AS terhadap basis ISIS dalam 13 bulan terakhir, seharusnya kelompok itu sudah lenyap.

Suriah Terancam Dipecah

Pakar Timur Tengah, Willy Van Damme, mengatakan bahwa AS dan sekutu Barat serta Arab-nya telah berada dalam kekacauan yang lengkap. Mereka, kata, Damme, kini saling berdebat satu sama lain.

“Beberapa dari mereka ingin membagi Suriah, sedangkan yang lain ingin menaklukkannya seperti Prancis, Turki yang ingin bagian dari Suriah utara dimasukkan dalam semacam Kekaisaran Ottoman dengan ‘Sultan’ (Recep Tayyip) Erdogan.”

Daniele Ganser, seorang peneliti perdamaian dan ahli NATO, mengatakan strategi Pentagon dalam perang melawan ISIS dan sekaligus mendukung militan yang melawan Assad sama sekali tidak bekerja.

“Pentagon selalu mengatakan, 'Kami tidak ingin menjatuhkan senjata ke ISIS,' dan mereka selalu mengatakan mereka tidak mendukung musuh radikal Assad . 'Kami mendukung musuh moderat Assad’,” kata Ganser menirukan klaim AS selama ini.

”Ini selalu menjadi perbedaan yang sangat sulit untuk, membuat kami paham, kami memiliki orang-orang di Irak yang berjuan di gadis depan bertahun-tahun lalu dan mengatakan, 'Ada senjata yang dijatuhkan oleh Inggris dan AS' dan senjata itu jatuh ke tangan ISIS," imbuh Ganser.



Sumber: http://international.sindonews.com/read/1055208/41/analis-as-cs-marah-besar-rusia-buat-langkah-mengerikan-1445479598
MOSKOW - Kunjungan kejutan Presiden Suriah Bashar Assad ke Moskow dinilai sebagai indikasi bahwa pemimpin Suriah itu jadi lebih percaya diri di panggung dunia karena dibela Rusia. Menurut para analis politik dan perang, kunjungan Assad itu telah membuat Amerika Serikat (AS) dan sekutunya di NATO marah besar.

”Kami melihat Rusia mengambil peran kepemimpinan di panggung internasional,” kata analis geopolitik Patrick Henningsen kepada Russia Today, semalam. Dia menekankan bahwa upaya Barat untuk mengalahkan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) telah “menyeret tanpa hasil yang konklusif”.

“Rusia pada dasarnya ada di pihak bawah tanah yang telah berlangsung selama empat tahun,” kata Henningsen mengacu dukungan Kremlin untuk rezim Suriah sejak awal perang sipil di Suriah. ”Negara-negara seperti AS, Turki, Yordania dan sekutu NATO seperti Inggris dan Prancis telah mampu beroperasi dalam bayang-bayang. Rusia pada dasarnya menerobos dan menyalakan lampu,” ujarnya.

”Mereka sangat marah di Washington dan masih membuang amarah, dan mengatakan Rusia telah membuat langkah yang mengerikan,” imbuh Henningsen. Dia berpendapat bahwa AS sejatinya ingin sekali melihat Rusia sama seperti saat berada di Afghanistan yang mengalami kekalahan di masa lalu.

Hanya saja, operasi militer Rusia di Suriah kali ini sangat berbeda dibanding saat mereka beraksi di Afghanistan.”Karena Rusia telah diundang oleh pemerintah yang terpilih secara demokratis hukum di Damaskus,” kata Henningsen, mengacu pada permintaan resmi Presiden Assad.

Henningsen mengatakan bahwa jika Barat benar-benar serius menangani ancaman teroris, mereka akan bekerja dengan pemerintah Assad. Sebab, kekuatan darat mereka memiliki dasar intelijensi.

”Ini adalah apa yang Rusia lakukan. Negara ini baru saja pergi dan telah bekerja dengan pemain kunci yang mereka butuhkan untuk bekerja,” imbuh dia. (Baca juga: Rusia Sambut Kunjungan Kejutan Assad, AS Meradang)

Henningsen menambahkan bahwa dengan 22.000 bom yang dijatuhkan koalisi AS terhadap basis ISIS dalam 13 bulan terakhir, seharusnya kelompok itu sudah lenyap.

Suriah Ingin Dipecah

Pakar Timur Tengah, Willy Van Damme, mengatakan bahwa AS dan sekutu Barat serta Arab-nya telah berada dalam kekacauan yang lengkap. Mereka, kata, Damme, kini saling berdebat satu sama lain.

“Beberapa dari mereka ingin membagi Suriah, sedangkan yang lain ingin menaklukkannya seperti Prancis, Turki yang ingin bagian dari Suriah utara dimasukkan dalam semacam Kekaisaran Ottoman dengan ‘Sultan’ (Recep Tayyip) Erdogan.”

Daniele Ganser, seorang peneliti perdamaian dan ahli NATO, mengatakan strategi Pentagon dalam perang melawan ISIS dan sekaligus mendukung militan yang melawan Assad sama sekali tidak bekerja.

“Pentagon selalu mengatakan, 'Kami tidak ingin menjatuhkan senjata ke ISIS,' dan mereka selalu mengatakan mereka tidak mendukung musuh radikal Assad . 'Kami mendukung musuh moderat Assad’,” kata Ganser menirukan klaim AS selama ini.

”Ini selalu menjadi perbedaan yang sangat sulit untuk, membuat kami paham, kami memiliki orang-orang di Irak yang berjuan di gadis depan bertahun-tahun lalu dan mengatakan, 'Ada senjata yang dijatuhkan oleh Inggris dan AS' dan senjata itu jatuh ke tangan ISIS," imbuh Ganser.



source: http://international.sindonews.com/read/1055208/41/analis-as-cs-marah-besar-rusia-buat-langkah-mengerikan-1445479598

Jumat, 25 September 2015

Akan Terlihat Siapa Agressor Siapa Revolusioner: Catatan untuk Buya Syafii Maarif_bagian kedua

(3) Iran-Rusia, atau Israel yang Agresor?
Buya menulis (dengan berlandaskan pada tulisan pengamat politik dari kubu oposisi Suriah): ”Presiden Bashar al-Assad dengan dukungan Tehran dan Moskwa tampaknya rela melihat Suriah jadi puing perang daripada berdamai dengan lawan-lawan politik domestiknya.”
Di sini, “kesalahan” Buya (saya benar-benar mohon maaf atas penggunaan kata ini) adalah hanya mengindahkan kata-kata dari kubu oposisi saja. Bukankah Tehran dan Moskow terjun ke dalam konflik ini, setelah jihadis yang menggunakan cara-cara barbar (mengebom bunuh diri, menghancurkan infrastruktur, membunuh rakyat sipil dari berbagai agama dan mazhab, termasuk Muslim Sunni, menghancurkan masjid-masjid dan situs-situs bersejarah, serta memenggal kepala musuh-musuh mereka)? Jauh berbeda dengan AS, Inggris, Perancis, Arab Saudi, Qatar, Turki, yang sudah masuk masuk ke gelanggang sejak awal konflik.

Moaz Al Khatib bersama para pemimpin negara-negara pendukung perang Suriah (mereka menyebut diri 'Friends of Syria')
Moaz Al Khatib bersama para pemimpin negara-negara pendukung perang Suriah (mereka menyebut diri ‘Friends of Syria’: Inggris, Mesir, Mesir, Perancis, Jerman, Italia, Jordania, Qatar, Saudi Arabia, Turki, UAE, dan AS), di Roma

Pertemuan Friends of Syria di Amman
Pertemuan Friends of Syria di Amman

Hillary Clinton dalam pertemuan Friends of Syria di Tunis, 2012
Hillary Clinton dalam pertemuan Friends of Syria di Tunis, 2012


Dari sisi geopolitik, tindakan Rusia dan Iran untuk membantu Suriah adalah rasional. Bagi Rusia, Damaskus adalah sumber energi (penjelasan ada di bawah). Bagi Tehran, Damaskus adalah benteng terakhirnya di Arab dalam menghadapi Israel (tidak ada yang menyangkal permusuhan panjang Israel-Iran sejak awal kemenangan Revolusi Islam Iran 1979, kecuali para penyuka teori konspirasi abal-abal yang menyebut Iran-Israel sesungguhnya adalah sekutu dekat). Suriah berbatasan darat dengan Israel, Palestina, dan Lebanon. Posisinya sangat penting dalam perjuangan Iran menumbangkan Israel, yang sudah dikobarkannya sejak 1979. Perjuangan anti-Israel itu didasarkan pada identifikasi yang sangat tepat dari pemimpin Iran terhadap struktur dunia. (Perlu dicatat, yang dilawan Iran adalah rezim Zionis Israel, bukan Yahudi dalam makna Judaisme, karena terbukti Iran tetap melindung HAM warga negaranya yang beragama Yahudi).

Sebagaimana pernah saya jelaskan panjang lebar dalam buku saya “Ahmadinejad on Palestine”, Israel sesungguhnya adalah sumber segala konflik di muka bumi; dan Palestina dan Iran adalah salah satu korban utama dari kebijakan agresif Israel di Timteng. Bila kita melihat secara mendalam berbagai konflik di dunia, jejak-jejak Israel selalu terlihat. Jejak-jejak itu seringkali tertutupi karena Israel memanfaatkan AS. Tak heran bila profesor Hubungan Internasional dari Chicago University menulis paper berjudul “Lobby Israel dan Kebijakan Luar Negeri AS” yang menyodorkan bukti-bukti betapa kelompok-kelompok lobby pro-Israel sangat berhasil mengalihkan kebijakan politik AS menjauh dari kepentingan nasionalnya sendiri, dan pada saat yang sama, meyakinkan publik dan politisi AS akan adanya kesamaan kepentingan AS dan Israel.[1]
Misalnya, perang Irak. Atas dasar apakah AS sampai mengeluarkan 4 Trilyun dollar uang pajak rakyatnya untuk membiayai Perang Irak? Apakah rakyat Irak membahayakan warga AS? Tidak sama sekali. Yang menjadi alasan adalah agar eksplorasi minyak Irak bisa dilakukan dengan bebas oleh perusahaan-perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh orang-orang Yahudi pro-Israel. Di masa Saddam, jalur pasokan minyak Tikrit –Haifa ditutup, dan segera setelah Saddam tewas, jalur itu dibuka dan minyak Irak dengan leluasa mengalir ke Israel.[2]
Begitupun Libya. Untuk siapakah AS menyerang Qaddafi? Siapakah yang berpesta-pora mengeksplorasi minyak di negeri yang amat kaya emas hitam (=minyak) itu? Tak lain Big Oil, yang sahamnya sebagian besar dikuasai orang-orang Zionis.

Senator AS, McCain bersama pemberontak Libya
Senator AS, McCain bersama oposisi dan pemberontak Libya

Cengkeraman bisnis raksana para pengusaha Zionis menyebar di berbagai penjuru bumi dan mereka menggunakan cara-cara kotor untuk mengeruk kekayaan; termasuk di Indonesia. Karena itulah Gilad Atzmon, penulis Yahudi kelahiran Israel yang kini menjadi pengkritik rezim Zionis, menyimpulkan, “Kita semua ini adalah bangsa Palestina dan kita memiliki satu musuh yang sama.”

Manipulasi informasi tentang Libya oleh Aljazeera
Manipulasi informasi tentang Libya oleh Aljazeera

Demo pro-Qaddafi dan anti NATO di Libya, 2011
Demo pro-Qaddafi dan anti NATO di Libya, 2011

Lalu, Suriah. Apakah warga Suriah mengancam warga AS atau Eropa? Tidak. “Perjuangan” bersenjata kelompok jihadis tak lama setelah ditandatanganinya MoU pembangunan jalur pipa gas Irak-Iran-Suriah (di Iran, 25 Juni 2011) dimana Rusia dan China menjadi salah satu pemegang saham utama.[3] Jalur ini mengancam keuntungan jalur pipa gas Nabucco–yang didukung para pengusaha Zionis—yang menyalurkan gas dari Timur Tengah dan Laut Kaspia, melewati Turki, hingga ke pasar Eropa.
Suriah adalah satu-satunya negara produsen minyak dan gas di antara negara-negara di pesisir laut Mediterania. Gas adalah primadona energi abad ke-21 karena relatif bebas polusi dan harganya pun lebih murah. Di saat yang sama, Eropa dan AS tengah dilanda krisis ekonomi, sehingga kontrol energi menjadi kunci utama bila mereka ingin bertahan sebagai penguasa dunia.
Dari penjelasan singkat ini, semoga bisa dirasakan, bahwa kalimat ini [Presiden Bashar al-Assad dengan dukungan Tehran dan Moskwa tampaknya rela melihat Suriah jadi puing perang daripada berdamai dengan lawan-lawan politik domestiknya] bak “puisi” di hadapan hitung-hitungan materiil perang. Ini adalah “pengamatan melankolis” di hadapan kerasnya kondisi riil.
Lagi pula, perdamaian apa yang dimaksud? Siapa lawan politik yang harus diajak berdamai? Kelompok oposisi demokratis dan sekuler, terbukti sudah ‘berdamai’ melalui keikutsertaan mereka dalam pemilu dan referendum. Apakah yang harus diajak berdamai itu para jihadis yang hanya menghendaki zero sum game? Analoginya, bila ada partai tertentu di Indonesia merekrut pasukan dari lebih 100 negara di dunia, mendapat pasokan senjata dan dana dari AS, Arab Saudi, Qatar, Perancis, Inggris, Jerman, lalu mengebom dan membunuhi rakyat dan tentara Indonesia, apakah yang harus dilakukan oleh Presiden Indonesia? Haruskah berdamai dengan partai itu? Bagaimana nasib dari mayoritas rakyat Indonesia yang bukan pendukung partai itu, apakah harus dipaksa menerima kepemimpinan partai buas tersebut demi ‘perdamaian’? Akal sehat akan menjawab TIDAK.
Yang sudah dilakukan Assad terkait “lawan politik” yang rasional (menghendaki win-win solution, bukan zero-sum-game ala jihadis), adalah sbb.
  1. Pada tanggal 21 April 2011, pemerintah secara resmi mengumumkan pencabutan undang-undang darurat (State Emergency Law/SEL) yang dituduh anti-HAM.
  2. Pada 26 Februari 2012, diadakan referendum yang mengesahkan UUD baru Suriah, yang antara lain membatasi masa kekuasaan presiden hanya 2 periode (1 periode = 7 tahun) dan menghapus Pasal 8 yang menyatakan bahwa Partai Baath menjadi pemimpin negara (dengan demikian, semua partai berhak jadi pemimpin, asal mendapatkan suara dalam pemilu).
  3. Pada 3 Juni 2014, diselenggarakan pemilu presiden. Jumlah rakyat yang datang ke kotak pemili mencapai 10.2 juta orang (73,42% turn-ourt vote), dan Assad meraih suara 88,7% sehingga terpilih kembali menjadi presiden. Pemilu 2014 ini diikuti 3 kandidat, yaitu Assad, Hassan Abdullah Nouri dari “National Initiative for Administration and Change in Syria” dan Maher Abd Al-Hafiz Hajjar, dari People’s Will Party. Ini adalah pemilu pertama sejak 50 tahun terakhir di Suriah yang diikuti oleh lebih dari satu kandidat.
Demonstrasi besar-besaran di Damaskus, mendukung Assad, 2012.
Demonstrasi besar-besaran di Damaskus, mendukung Assad, 2012.

Syria-pro-Assad-rally
Demonstrasi pro-Assad, untuk mengindetifikasi, perhatikan bendera yang dikibarkan. Kelompok oposisi mengibarkan bendera dengan tiga bintang.

Yang ditolak Assad adalah : berdamai dengan teroris. Inilah yang diucapkan Assad dalam wawancaranya dengan wartawan Jerman, Todenhöfer,Kami memiliki dua sisi penyelesaian: pertama, Anda harus memerangi terorisme. Tidak ada pertanyaan soal memerangi teroris. Tidak ada di manapun di dunia. Apa yang Anda lakukan jika seseorang membunuh rakyat sipil, membunuh rakyat tak berdosa, membunuh anak-anak, dan membunuh tentara, dan polisi, dan siapa saja? Anda harus memeranginya jika dia tidak mau berdialog. Dan inilah yang sejauh ini kami saksikan. Di sisi lain, [kami] melakukan dialog dengan berbagai komponen politik dan pada saat yang sama melakukan reformasi untuk [membuka] partisipasi semua pihak. Dan rakyat yang harus memutuskan siapa yang menjadi wakil rakyat melalui kotak suara [pemilu].”[4]

Todenhöfer dan Assad
Todenhöfer dan Assad

Demo warga kota Al Qusayr yang gembira setelah kota mereka dibebaskan oleh tentara Suriah (hampir dua tahun kota ini dijadikan basis suplai senjata dan pasukan dari luar negeri oleh para “mujahidin”), 2013
Demo warga kota Al Qusayr yang gembira setelah kota mereka dibebaskan oleh tentara Suriah (hampir dua tahun kota ini dijadikan basis suplai senjata dan pasukan dari luar negeri oleh para “mujahidin”), 2013

(4) Kolaborasi Arab Saudi dan Israel
Saya tidak membantah asumsi ke-4 dari Buya ini; hanya ingin menambahkan argumen untuk memperkuatnya. Peran Arab Saudi dalam konflik ini adalah menjadi ‘tangan’ bagi Israel untuk menumbangkan Assad, dengan cara membiayai dan memfasilitasi jihadis yang berafiliasi dengan Al Qaida (yang akhirnya berubah ‘wajah’ menjadi ISIS). Meskipun secara resmi Israel dan Arab Saudi tidak memiliki hubungan diplomatik, namun kerjasama di antara keduanya tidak bisa ditutupi.[5] Di antaranya, Arab Saudi membiayai operasi-operasi intelijen Israel melawan Iran[6], Arab Saudi menyewa perusahaan keamanan Israel, G4S untuk mengamankan haji[7], dan sebaliknya, Israel membantu Arab Saudi untuk menginvasi Yaman.[8]
Lalu, mengapa Israel sangat ingin menumbangkan Assad (dan selama perang pun rumah sakit Israel merawat para jihadis yang terluka)? Dalam buku saya Prahara Suriah, saya memberikan argumen dan data bahwa ditinjau dari politik dan ekonomi, pihak yang paling diuntungkan dari tumbangnya Assad dan hancurnya Suriah adalah Israel. D
Dalam the Oded Yinon’s Plan disebutkan bahwa untuk mewujudkan Israel Raya,  negara-negara Arab perlu dipecah-pecah ke dalam negara-negara yang [lebih] kecil. Rencana ini berjalan berdasarkan dua premis; untuk bisa bertahan, Israel harus 1) menjadi sebuah imperium kekuatan regional 2) mempengaruhi pembagian seluruh kawasan ke dalam negara-negara kecil, dengan cara pembubaran semua negara-negara Arab yang ada.[9]
Selain itu, Suriah adalah ‘musuh bebuyutan’ Israel. Suriah terlibat dalam tiga perang melawan Israel, yaitu tahun 1948 (Perang Arab-Israel), 1967 (Perang 6 Hari), dan tahun 1973 (Perang Yom Kippur). Suriah juga terlibat dalam perang melawan agresi Israel di Lebanon 1982.

Penutup
Dalam kajian Resolusi Konflik, minimalnya ada empat faktor yang harus dikaji,  yaitu triggers (pemicu), pivotal factor (akar konflik), mobilizing factor (peran pemimpin), dan aggravating factor (faktor yang memperburuk atau memperuncing situasi konflik). Keempat faktor ini umumnya berjalin berkelindan dalam sebuah konflik, sehingga sering menimbulkan kesalahan persepsi. Para mediator (atau pengamat) harus mempertimbangkan keempat faktor ini untuk mendapatkan kesimpulan yang benar. Yang terjadi dalam tulisan Buya adalah kesimpangsiuran penetapan mana yang triggers, mana yang pivotal, mana mobilizing, mana aggravating. Selama identifikasi ke-4 faktor belum tepat, sulit mencari resolusi konflik (dan mungkin karena itulah akhirnya Buya hanya bisa ‘berdoa’ di akhir tulisan beliau).
Pendapat saya, dengan mempertimbangkan uraian di atas, isu Sunni-Syiah adalah triggers,  dan pivot-nya adalah kepentingan Israel yang bersekutu dengan AS, Perancis, Inggris, Arab Saudi, Qatar, dan Turki (plus negara-negara Barat lain, seperti Jerman dan Australia). Karena itu, jalan keluar dari konflik ini adalah: negara-negara asing berhenti ikut campur di Suriah. Hentikan suplai dana dan senjata kepada para jihadis; tutup pintu-pintu perbatasan Turki dan Jordan sehingga pasukan jihadis tidak terus mengalir masuk ke Suriah. Selama dana, suplai senjata, dan pasukan asing masih terus masuk ke Suriah perang tak akan berhenti karena para jihadis tidak mau bernegosiasi, hanya menghendaki zero-sum game.
Bila Israel dan sekutunya angkat kaki dari Suriah, Iran dan Rusia pun dipastikan angkat kaki. Keduanya bukan negara kaya, sehingga dipastikan akan bersikap realistis: tak akan menghamburkan uang untuk perang. Lalu, biarkan para oposisi Suriah –yang asli warga Suriah, bukan mereka yang selama ini hidup nyaman di luar negeri dan mendapat kucuran dana dari Barat untuk menggerogoti Suriah- dan yang asli ‘demokratis’ [tidak menghendaki konflik bersenjata] memperjuangkan aspirasi mereka dengan cara-cara demokratis. Bila rakyat Suriah benar-benar menghendaki kejatuhan Assad, tak akan ada yang bisa menghentikan mereka, sebagaimana yang terjadi di Iran (tergulingnya Shah Pahlevi), Tunisia (tergulingnya Ben Ali), Mesir (tergulingnya Mubarak), dan Yaman (tergulingnya Ali Abdullah Saleh).  Sebaliknya, bertahannya Assad meskipun telah diperangi 4 tahun beramai-ramai oleh negara-negara kaya sedunia -lewat tangan para jihadis asing dari lebih 100 negara dunia- seharusnya memunculkan pertanyaan bagi kaum yang berpikir

Foto atas: tentara Suriah, semua orang Suriah, Foto bawah: pemberontak Suriah, terdiri dari pasukan asing.
Foto atas: tentara Suriah, semua orang Suriah, Foto bawah: pemberontak Suriah, terdiri dari pasukan asing. Pria Chechen bernama Umar, tewas 2013