Jumat, 25 September 2015

Akan Terlihat Siapa Agressor Siapa Revolusioner: Catatan untuk Buya Syafii Maarif_bagian kedua

(3) Iran-Rusia, atau Israel yang Agresor?
Buya menulis (dengan berlandaskan pada tulisan pengamat politik dari kubu oposisi Suriah): ”Presiden Bashar al-Assad dengan dukungan Tehran dan Moskwa tampaknya rela melihat Suriah jadi puing perang daripada berdamai dengan lawan-lawan politik domestiknya.”
Di sini, “kesalahan” Buya (saya benar-benar mohon maaf atas penggunaan kata ini) adalah hanya mengindahkan kata-kata dari kubu oposisi saja. Bukankah Tehran dan Moskow terjun ke dalam konflik ini, setelah jihadis yang menggunakan cara-cara barbar (mengebom bunuh diri, menghancurkan infrastruktur, membunuh rakyat sipil dari berbagai agama dan mazhab, termasuk Muslim Sunni, menghancurkan masjid-masjid dan situs-situs bersejarah, serta memenggal kepala musuh-musuh mereka)? Jauh berbeda dengan AS, Inggris, Perancis, Arab Saudi, Qatar, Turki, yang sudah masuk masuk ke gelanggang sejak awal konflik.

Moaz Al Khatib bersama para pemimpin negara-negara pendukung perang Suriah (mereka menyebut diri 'Friends of Syria')
Moaz Al Khatib bersama para pemimpin negara-negara pendukung perang Suriah (mereka menyebut diri ‘Friends of Syria’: Inggris, Mesir, Mesir, Perancis, Jerman, Italia, Jordania, Qatar, Saudi Arabia, Turki, UAE, dan AS), di Roma

Pertemuan Friends of Syria di Amman
Pertemuan Friends of Syria di Amman

Hillary Clinton dalam pertemuan Friends of Syria di Tunis, 2012
Hillary Clinton dalam pertemuan Friends of Syria di Tunis, 2012


Dari sisi geopolitik, tindakan Rusia dan Iran untuk membantu Suriah adalah rasional. Bagi Rusia, Damaskus adalah sumber energi (penjelasan ada di bawah). Bagi Tehran, Damaskus adalah benteng terakhirnya di Arab dalam menghadapi Israel (tidak ada yang menyangkal permusuhan panjang Israel-Iran sejak awal kemenangan Revolusi Islam Iran 1979, kecuali para penyuka teori konspirasi abal-abal yang menyebut Iran-Israel sesungguhnya adalah sekutu dekat). Suriah berbatasan darat dengan Israel, Palestina, dan Lebanon. Posisinya sangat penting dalam perjuangan Iran menumbangkan Israel, yang sudah dikobarkannya sejak 1979. Perjuangan anti-Israel itu didasarkan pada identifikasi yang sangat tepat dari pemimpin Iran terhadap struktur dunia. (Perlu dicatat, yang dilawan Iran adalah rezim Zionis Israel, bukan Yahudi dalam makna Judaisme, karena terbukti Iran tetap melindung HAM warga negaranya yang beragama Yahudi).

Sebagaimana pernah saya jelaskan panjang lebar dalam buku saya “Ahmadinejad on Palestine”, Israel sesungguhnya adalah sumber segala konflik di muka bumi; dan Palestina dan Iran adalah salah satu korban utama dari kebijakan agresif Israel di Timteng. Bila kita melihat secara mendalam berbagai konflik di dunia, jejak-jejak Israel selalu terlihat. Jejak-jejak itu seringkali tertutupi karena Israel memanfaatkan AS. Tak heran bila profesor Hubungan Internasional dari Chicago University menulis paper berjudul “Lobby Israel dan Kebijakan Luar Negeri AS” yang menyodorkan bukti-bukti betapa kelompok-kelompok lobby pro-Israel sangat berhasil mengalihkan kebijakan politik AS menjauh dari kepentingan nasionalnya sendiri, dan pada saat yang sama, meyakinkan publik dan politisi AS akan adanya kesamaan kepentingan AS dan Israel.[1]
Misalnya, perang Irak. Atas dasar apakah AS sampai mengeluarkan 4 Trilyun dollar uang pajak rakyatnya untuk membiayai Perang Irak? Apakah rakyat Irak membahayakan warga AS? Tidak sama sekali. Yang menjadi alasan adalah agar eksplorasi minyak Irak bisa dilakukan dengan bebas oleh perusahaan-perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh orang-orang Yahudi pro-Israel. Di masa Saddam, jalur pasokan minyak Tikrit –Haifa ditutup, dan segera setelah Saddam tewas, jalur itu dibuka dan minyak Irak dengan leluasa mengalir ke Israel.[2]
Begitupun Libya. Untuk siapakah AS menyerang Qaddafi? Siapakah yang berpesta-pora mengeksplorasi minyak di negeri yang amat kaya emas hitam (=minyak) itu? Tak lain Big Oil, yang sahamnya sebagian besar dikuasai orang-orang Zionis.

Senator AS, McCain bersama pemberontak Libya
Senator AS, McCain bersama oposisi dan pemberontak Libya

Cengkeraman bisnis raksana para pengusaha Zionis menyebar di berbagai penjuru bumi dan mereka menggunakan cara-cara kotor untuk mengeruk kekayaan; termasuk di Indonesia. Karena itulah Gilad Atzmon, penulis Yahudi kelahiran Israel yang kini menjadi pengkritik rezim Zionis, menyimpulkan, “Kita semua ini adalah bangsa Palestina dan kita memiliki satu musuh yang sama.”

Manipulasi informasi tentang Libya oleh Aljazeera
Manipulasi informasi tentang Libya oleh Aljazeera

Demo pro-Qaddafi dan anti NATO di Libya, 2011
Demo pro-Qaddafi dan anti NATO di Libya, 2011

Lalu, Suriah. Apakah warga Suriah mengancam warga AS atau Eropa? Tidak. “Perjuangan” bersenjata kelompok jihadis tak lama setelah ditandatanganinya MoU pembangunan jalur pipa gas Irak-Iran-Suriah (di Iran, 25 Juni 2011) dimana Rusia dan China menjadi salah satu pemegang saham utama.[3] Jalur ini mengancam keuntungan jalur pipa gas Nabucco–yang didukung para pengusaha Zionis—yang menyalurkan gas dari Timur Tengah dan Laut Kaspia, melewati Turki, hingga ke pasar Eropa.
Suriah adalah satu-satunya negara produsen minyak dan gas di antara negara-negara di pesisir laut Mediterania. Gas adalah primadona energi abad ke-21 karena relatif bebas polusi dan harganya pun lebih murah. Di saat yang sama, Eropa dan AS tengah dilanda krisis ekonomi, sehingga kontrol energi menjadi kunci utama bila mereka ingin bertahan sebagai penguasa dunia.
Dari penjelasan singkat ini, semoga bisa dirasakan, bahwa kalimat ini [Presiden Bashar al-Assad dengan dukungan Tehran dan Moskwa tampaknya rela melihat Suriah jadi puing perang daripada berdamai dengan lawan-lawan politik domestiknya] bak “puisi” di hadapan hitung-hitungan materiil perang. Ini adalah “pengamatan melankolis” di hadapan kerasnya kondisi riil.
Lagi pula, perdamaian apa yang dimaksud? Siapa lawan politik yang harus diajak berdamai? Kelompok oposisi demokratis dan sekuler, terbukti sudah ‘berdamai’ melalui keikutsertaan mereka dalam pemilu dan referendum. Apakah yang harus diajak berdamai itu para jihadis yang hanya menghendaki zero sum game? Analoginya, bila ada partai tertentu di Indonesia merekrut pasukan dari lebih 100 negara di dunia, mendapat pasokan senjata dan dana dari AS, Arab Saudi, Qatar, Perancis, Inggris, Jerman, lalu mengebom dan membunuhi rakyat dan tentara Indonesia, apakah yang harus dilakukan oleh Presiden Indonesia? Haruskah berdamai dengan partai itu? Bagaimana nasib dari mayoritas rakyat Indonesia yang bukan pendukung partai itu, apakah harus dipaksa menerima kepemimpinan partai buas tersebut demi ‘perdamaian’? Akal sehat akan menjawab TIDAK.
Yang sudah dilakukan Assad terkait “lawan politik” yang rasional (menghendaki win-win solution, bukan zero-sum-game ala jihadis), adalah sbb.
  1. Pada tanggal 21 April 2011, pemerintah secara resmi mengumumkan pencabutan undang-undang darurat (State Emergency Law/SEL) yang dituduh anti-HAM.
  2. Pada 26 Februari 2012, diadakan referendum yang mengesahkan UUD baru Suriah, yang antara lain membatasi masa kekuasaan presiden hanya 2 periode (1 periode = 7 tahun) dan menghapus Pasal 8 yang menyatakan bahwa Partai Baath menjadi pemimpin negara (dengan demikian, semua partai berhak jadi pemimpin, asal mendapatkan suara dalam pemilu).
  3. Pada 3 Juni 2014, diselenggarakan pemilu presiden. Jumlah rakyat yang datang ke kotak pemili mencapai 10.2 juta orang (73,42% turn-ourt vote), dan Assad meraih suara 88,7% sehingga terpilih kembali menjadi presiden. Pemilu 2014 ini diikuti 3 kandidat, yaitu Assad, Hassan Abdullah Nouri dari “National Initiative for Administration and Change in Syria” dan Maher Abd Al-Hafiz Hajjar, dari People’s Will Party. Ini adalah pemilu pertama sejak 50 tahun terakhir di Suriah yang diikuti oleh lebih dari satu kandidat.
Demonstrasi besar-besaran di Damaskus, mendukung Assad, 2012.
Demonstrasi besar-besaran di Damaskus, mendukung Assad, 2012.

Syria-pro-Assad-rally
Demonstrasi pro-Assad, untuk mengindetifikasi, perhatikan bendera yang dikibarkan. Kelompok oposisi mengibarkan bendera dengan tiga bintang.

Yang ditolak Assad adalah : berdamai dengan teroris. Inilah yang diucapkan Assad dalam wawancaranya dengan wartawan Jerman, Todenhöfer,Kami memiliki dua sisi penyelesaian: pertama, Anda harus memerangi terorisme. Tidak ada pertanyaan soal memerangi teroris. Tidak ada di manapun di dunia. Apa yang Anda lakukan jika seseorang membunuh rakyat sipil, membunuh rakyat tak berdosa, membunuh anak-anak, dan membunuh tentara, dan polisi, dan siapa saja? Anda harus memeranginya jika dia tidak mau berdialog. Dan inilah yang sejauh ini kami saksikan. Di sisi lain, [kami] melakukan dialog dengan berbagai komponen politik dan pada saat yang sama melakukan reformasi untuk [membuka] partisipasi semua pihak. Dan rakyat yang harus memutuskan siapa yang menjadi wakil rakyat melalui kotak suara [pemilu].”[4]

Todenhöfer dan Assad
Todenhöfer dan Assad

Demo warga kota Al Qusayr yang gembira setelah kota mereka dibebaskan oleh tentara Suriah (hampir dua tahun kota ini dijadikan basis suplai senjata dan pasukan dari luar negeri oleh para “mujahidin”), 2013
Demo warga kota Al Qusayr yang gembira setelah kota mereka dibebaskan oleh tentara Suriah (hampir dua tahun kota ini dijadikan basis suplai senjata dan pasukan dari luar negeri oleh para “mujahidin”), 2013

(4) Kolaborasi Arab Saudi dan Israel
Saya tidak membantah asumsi ke-4 dari Buya ini; hanya ingin menambahkan argumen untuk memperkuatnya. Peran Arab Saudi dalam konflik ini adalah menjadi ‘tangan’ bagi Israel untuk menumbangkan Assad, dengan cara membiayai dan memfasilitasi jihadis yang berafiliasi dengan Al Qaida (yang akhirnya berubah ‘wajah’ menjadi ISIS). Meskipun secara resmi Israel dan Arab Saudi tidak memiliki hubungan diplomatik, namun kerjasama di antara keduanya tidak bisa ditutupi.[5] Di antaranya, Arab Saudi membiayai operasi-operasi intelijen Israel melawan Iran[6], Arab Saudi menyewa perusahaan keamanan Israel, G4S untuk mengamankan haji[7], dan sebaliknya, Israel membantu Arab Saudi untuk menginvasi Yaman.[8]
Lalu, mengapa Israel sangat ingin menumbangkan Assad (dan selama perang pun rumah sakit Israel merawat para jihadis yang terluka)? Dalam buku saya Prahara Suriah, saya memberikan argumen dan data bahwa ditinjau dari politik dan ekonomi, pihak yang paling diuntungkan dari tumbangnya Assad dan hancurnya Suriah adalah Israel. D
Dalam the Oded Yinon’s Plan disebutkan bahwa untuk mewujudkan Israel Raya,  negara-negara Arab perlu dipecah-pecah ke dalam negara-negara yang [lebih] kecil. Rencana ini berjalan berdasarkan dua premis; untuk bisa bertahan, Israel harus 1) menjadi sebuah imperium kekuatan regional 2) mempengaruhi pembagian seluruh kawasan ke dalam negara-negara kecil, dengan cara pembubaran semua negara-negara Arab yang ada.[9]
Selain itu, Suriah adalah ‘musuh bebuyutan’ Israel. Suriah terlibat dalam tiga perang melawan Israel, yaitu tahun 1948 (Perang Arab-Israel), 1967 (Perang 6 Hari), dan tahun 1973 (Perang Yom Kippur). Suriah juga terlibat dalam perang melawan agresi Israel di Lebanon 1982.

Penutup
Dalam kajian Resolusi Konflik, minimalnya ada empat faktor yang harus dikaji,  yaitu triggers (pemicu), pivotal factor (akar konflik), mobilizing factor (peran pemimpin), dan aggravating factor (faktor yang memperburuk atau memperuncing situasi konflik). Keempat faktor ini umumnya berjalin berkelindan dalam sebuah konflik, sehingga sering menimbulkan kesalahan persepsi. Para mediator (atau pengamat) harus mempertimbangkan keempat faktor ini untuk mendapatkan kesimpulan yang benar. Yang terjadi dalam tulisan Buya adalah kesimpangsiuran penetapan mana yang triggers, mana yang pivotal, mana mobilizing, mana aggravating. Selama identifikasi ke-4 faktor belum tepat, sulit mencari resolusi konflik (dan mungkin karena itulah akhirnya Buya hanya bisa ‘berdoa’ di akhir tulisan beliau).
Pendapat saya, dengan mempertimbangkan uraian di atas, isu Sunni-Syiah adalah triggers,  dan pivot-nya adalah kepentingan Israel yang bersekutu dengan AS, Perancis, Inggris, Arab Saudi, Qatar, dan Turki (plus negara-negara Barat lain, seperti Jerman dan Australia). Karena itu, jalan keluar dari konflik ini adalah: negara-negara asing berhenti ikut campur di Suriah. Hentikan suplai dana dan senjata kepada para jihadis; tutup pintu-pintu perbatasan Turki dan Jordan sehingga pasukan jihadis tidak terus mengalir masuk ke Suriah. Selama dana, suplai senjata, dan pasukan asing masih terus masuk ke Suriah perang tak akan berhenti karena para jihadis tidak mau bernegosiasi, hanya menghendaki zero-sum game.
Bila Israel dan sekutunya angkat kaki dari Suriah, Iran dan Rusia pun dipastikan angkat kaki. Keduanya bukan negara kaya, sehingga dipastikan akan bersikap realistis: tak akan menghamburkan uang untuk perang. Lalu, biarkan para oposisi Suriah –yang asli warga Suriah, bukan mereka yang selama ini hidup nyaman di luar negeri dan mendapat kucuran dana dari Barat untuk menggerogoti Suriah- dan yang asli ‘demokratis’ [tidak menghendaki konflik bersenjata] memperjuangkan aspirasi mereka dengan cara-cara demokratis. Bila rakyat Suriah benar-benar menghendaki kejatuhan Assad, tak akan ada yang bisa menghentikan mereka, sebagaimana yang terjadi di Iran (tergulingnya Shah Pahlevi), Tunisia (tergulingnya Ben Ali), Mesir (tergulingnya Mubarak), dan Yaman (tergulingnya Ali Abdullah Saleh).  Sebaliknya, bertahannya Assad meskipun telah diperangi 4 tahun beramai-ramai oleh negara-negara kaya sedunia -lewat tangan para jihadis asing dari lebih 100 negara dunia- seharusnya memunculkan pertanyaan bagi kaum yang berpikir

Foto atas: tentara Suriah, semua orang Suriah, Foto bawah: pemberontak Suriah, terdiri dari pasukan asing.
Foto atas: tentara Suriah, semua orang Suriah, Foto bawah: pemberontak Suriah, terdiri dari pasukan asing. Pria Chechen bernama Umar, tewas 2013


1 komentar:

  1. Ilmu pengetahuan dan ilmu yang kita miliki telah membawa umat manusia dalam kemerosotan moral bahkan peperangan.
    Salam santun.....
    hidup adalah PERJUANGAN
    Bahagia selamanya
    konspirasi licik

    BalasHapus