Jumat, 25 September 2015

Perihal Pengungsi Suriah: Catatan Untuk Buya Syafii Maarif_bagian satu

Pengungsi Suriah = Korban Konflik Politik Bertopeng Sektarian
Dengan tidak mengurangi sedikitpun respek saya pada Buya Syafi’i Ma’arif, salah satu di antara beberapa ulama Indonesia yang paling saya hormati, berikut ini catatan saya atas tulisan beliau di Republika (8/9/2015) yang berjudul “Kepingan Neraka di Surga”. Semoga diskusi ini bisa menjadi wahana belajar bagi kita semua terkait pemetaan dan resolusi konflik. Karena cukup panjang (+3000 kata), tulisan ini akan saya bagi dua.
Tulisan Buya didasarkan setidaknya pada 4 asumsi besar, yaitu (1) kasus pengungsi di Eropa adalah klimaks dari fenomena konflik Suriah, (2) Presiden Suriah Bashar Assad adalah akar konflik (biang kerok), (3) Iran dan Rusia adalah negara agresor yang ingin memperluas kekuasaannya di Suriah, (4) Arab Saudi yang berkolaborasi dengan Israel juga ingin memperluas kekuasaannya hingga ke Suriah. Perspektif yang dipakai Buya dalam menganalisis konflik ini masih di seputar mazhab, yaitu menempatkan Iran dan Saudi sebagai negara yang “memanfaatkan” isu Syiah-Sunni untuk kepentingan kekuasaan.
Dari keempat asumsi ini, terlihat Buya memiliki pandangan yang khas, yaitu, meskipun “anti-Assad” dan “anti-Iran”, beliau dengan jernih juga melihat adanya tangan kotor Arab Saudi dan Israel di Suriah. Asumsi ke-4 ini biasanya tidak dihiraukan oleh kelompok-kelompok pendukung “jihad” Suriah; mereka umumnya sangat pro-Arab Saudi yang sejak awal konflik sudah menggelontorkan dana untuk para jihadis.
Saya akan mengkritisi keempat asumsi ini satu persatu.

(1) Problem Pengungsi
Ada yang terlewat dalam tulisan Buya yang hanya memfokuskan pada masalah pengungsian Suriah ini. Masifnya gelombang pengungsian ke Eropa dimulai sejak 2011, pasca tergulingnya Qaddafi. Sejak itu pula, sudah ribuan pengungsi dari berbagai negara mati tenggelam. Data UNHCR menyebut bahwa selama 2014 saja, total 3500 migran (dari berbagai negara) tewas dalam upaya mereka mencapai Eropa. Pada 27 Agustus 2015, dua kapal yang mengangkut 500 migran tenggelam di perairan Zuwara, Libya. Sebelumnya, pada Februari 2015, 300 migran dari Afrika Utara tenggelam di laut Mediterania, berasal dari Pantai Gading, Senegal, Gambia, Niger, Mali, dan Mauritania (data dari International Organisation for Migration-IOM). Sedemikian masifnya gelombang pengungsi dari Afrika ini, sampai-sampai Italia sejak Oktober 2013 meluncurkan operasi khusus bertajuk Mare Nostrum, segera setelah terjadinya tragedi Lampedusa di mana 366 migran tewas tenggelam.
Data dari BBC menyebutkan, sepanjang 2014-2015, pengungsi Suriah ke Eropa berjumlah 106.039 orang, Afghanistan 61.826, Pakistan 6.641, Kosovo 23.260, Eritrea 23.878, Nigeria 10.747, dan negara-negara Sub Sahara Afrika lainnya 9.766. Selain itu, lebih dari 300.000 orang meninggalkan Libya pada Januari-Agustus 2015, dan angka ini meningkat 40% dari tahun 2014.
Atas dasar ini, saya tidak melihat kasus pengungsi di Eropa ini sebagai klimaks konflik Suriah. Arus migran di Eropa adalah gambaran dari betapa banyak manusia di berbagai negara di dunia (tidak hanya Suriah) yang hidup dalam nestapa. Sehingga, yang seharusnya dilakukan adalah melihat lebih dalam, ada apa di balik di semua ini? Siapa yang berlumuran darah memicu konflik di berbagai negara di dunia? (Untuk mendapatkan jawaban lengkapnya, bisa baca buku William Blum, “Demokrasi, Ekspor AS yang Paling Mematikan”).
Khusus untuk Suriah, antara lain yang menjadi pertanyaan, mengapa media massa internasional sedemikian mem-blow-up kasus migran Suriah setelah adanya foto jasad bocah Kurdi-Suriah, Aylan, yang terdampar di pantai Turki? Ke mana saja mereka selama ini? Dan mengapa perhatian dunia seolah digiring untuk mengira bahwa pengungsi di Eropa hanya orang Suriah? Foto Aylan yang disebarluaskan secara masif di media massa mainstream, membuat sebagian rakyat Eropa ‘histeris’ dan beramai-ramai menyambut pengungsi dengan rasa haru; mereka juga menekan pemerintah mereka yang semula ‘anti-pengungsi’ (dilihat dari pidato-pidato para pemimpin Eropa, terjadi pergeseran posisi; awalnya mereka menolak tegas menampung pengungsi dengan alasan ‘kedaulatan’ atau ‘kepentingan nasional’).
Tentu di satu sisi, penerimaan (sebagian) pemerintah Eropa terhadap (sebagian) pengungsi adalah hal yang baik dan menunjukkan wajah humanis Barat. Namun, yang menyedihkan –dan banyak terlewatkan dalam analisis- adalah adanya upaya menggiring opini publik Eropa untuk mendukung serangan yang lebih masif terhadap Suriah agar Eropa tidak lagi dibanjiri pengungsi.[i]
Opini publik sangat berperan di negara-negara demokrasi mapan seperti AS dan Eropa Barat. Karena itulah dalam melancarkan perang, yang paling utama dilakukan pemerintah Barat adalah menggiring opini publik agar setuju uang pajak mereka digunakan untuk membiayai perang. Dalam agresi AS ke Irak, misalnya, disebarkan secara sangat tersistematis –bahkan dengan menggunakan kebohongan—opini bahwa Saddam adalah ancaman bagi perdamaian dunia karena memiliki senjata biologis (yang di kemudian hari tidak terbukti adanya senjata pembunuh massal tersebut). [ii]
AS pun telah berkali-kali mengancam akan menyerang Suriah dengan menggunakan isu penggunaan senjata kimia oleh Assad (tuduhan yang telah terbantahkan oleh hasil investigasi PBB). Namun, serangan itu batal karena penolakan opini publik (demo anti-perang Suriah ramai terjadi di AS pada September 2013). Upaya AS dan sekutunya (Inggris, Perancis, Jerman) untuk mendapatkan mandat PBB agar menyerang Suriah pun berkali-kali digagalkan oleh veto Rusia dan China. Skenario Libya, hingga kini belum berhasil dilakukan negara-negara NATO di Suriah. Sebagaimana kita ketahui, pada Maret 2011, NATO ‘berhasil’ mendapatkan mandat DK PBB (saat itu Rusia dan China abstain) untuk membombardir Libya. Penelitian disertasi Umar Suryadi Bakry (HI Unpad, 2013) menemukan bahwa serangan NATO telah melanggar tiga dari 4 syarat keabsahan Humanitarian Intervention (just cause, just authority, just intention, last resort).[iii]
Segera setelah Qaddafi terguling, pemerintahan interim dibentuk. Tokoh-tokoh “jihad” Libya tiba-tiba saja berubah “baju” menjadi tokoh sekuler, berjabat tangan dan tersenyum lebar dengan Hillary Clinton, memberikan konsesi-konsesi minyak dan proyek infrastruktur (membangun kembali apa-apa yang sudah dihancurkan NATO) kepada perusahaan-perusahaan Barat, dan ironisnya, berhutang kepada negara-negara yang selama ini menyimpan dana Libya (membekukan simpanan uang tersebut). Negara termakmur di Afrika itu kini hancur, menjadi penghutang, terus dilanda konflik internal, sehingga timbullah arus pengungsi ke Eropa.

Hillary Clinton bersama pasukan pemberontak Libya (Okt 2011; Qaddafi tewas 20 Okt 2011)
Hillary Clinton bersama pasukan pemberontak Libya (18 Okt 2011; Qaddafi tewas 20 Okt 2011)


U.S. Secretary of State Hillary Clinton (C) gestures with Libyan soldiers upon her departure from Tripoli in Libya October 18, 2011. REUTERS/Kevin Lamarque (LIBYA - Tags: POLITICS TPX IMAGES OF THE DAY MILITARY) - RTR2ST1X


Tokoh-tokoh jihadis Libya kemudian diketahui membentuk dan melatih milisi-milisi jihad di Suriah.[iv] Jurnalis-jurnalis independen sejak awal konflik Syria sudah menguak rencana negara-negara adidaya untuk menggulingkan Bashar Assad lewat cara militer. Pada 11 Desember 2011, Global Research memberitakan, tentara AS yang disebutkan sudah ditarik pulang, ternyata justru dipindahkan ke Yordania, tepatnya, ke Pangkalan Udara King Hussein di Al Mafraq. Laporan itu menyebutkan bahwa ratusan tentara yang berbicara dalam bahasa-bukan-Arab terlihat mondar-mandir di antara pangkalan al-Mafraq dan desa-desa di perbatasan Yordania-Syria (di kemudian hari terbukti bahwa mereka sedang melatih pasukan oposisi Suriah).[v]

Mahdi Al Harati melatih milisi Suriah (foto: cnn.com)
Mahdi Al Harati, tokoh jihadis Libya, melatih milisi Suriah (foto: cnn.com)

Tidakkah kisah ini sedemikian terang memperlihatkan siapa sebenarnya aktor utama konflik di Suriah?

(2) Apakah Semua ini Gara-Gara Assad?
Bahwa di Suriah ada kelompok oposisi, ya benar. Mana ada rezim di dunia ini yang tak menghadapi oposisi? Namun, oposisi Suriah secara garis besar ada tiga kelompok, yaitu (1) yang menghendaki perubahan rezim secara demokratis dan anti kekerasan, antara lain National Coordination Body for Democratic Change, (2) Kelompok-kelompok jihad yang berafiliasi dengan Al Qaida, yang kemudian satu sama lain saling berseteru, dua yang terbesar adalah Jabhah Al Nusra dan ISIS, di antara anasir kelompok ini adalah Hizbu Tahrir (3) Kelompok oposisi yang menurut Barat “moderat”, namun tetap angkat senjata dengan membentuk Free Syrian Army, didominasi kalangan Ikhwanul Muslimin.

Tokoh oposisi Suriah dari kubu Ikhwanul Muslimin, Moaz Al Khatib bersama Presiden Perancis, Hollande
Tokoh oposisi Suriah dari kubu Ikhwanul Muslimin, Moaz Al Khatib bersama Presiden Perancis, Francois Hollande

Moaz Al Khatib bersama Menlu AS, John Kerry
Moaz Al Khatib bersama Menlu AS, John Kerry

Kelompok kedua dan ketiga-lah yang paling “bertanggung jawab” atas terjadinya konflik bersenjata berkepanjangan di Suriah. Bila kita bandingkan dengan fenomena Arab Spring di Mesir dan Tunisia, penggulingan rezim dilakukan dengan demonstrasi masif dan tanpa perlawanan bersenjata. Namun di Suriah, demo tidak pernah bisa semasif itu. Justru demo yang sangat masif terjadi untuk mendukung Assad (dan tentu saja tidak diberitakan oleh media mainstream, maupun media Islam pro-jihadis). [vi] Persis seperti di Libya, demo anti Qaddafi sangat minor, dan rakyat tumpah ruah ke jalanan Tripoli justru untuk mendukung Qaddafi dan menolak NATO (lagi-lagi, hanya media anti-mainstream yang memberitakannya, dengan mengirim langsung jurnalis-jurnalis independen; misalnya Mahdi Darius Nazemroaya dari globalresearch.ca dan Thierry Mayssan dari voltairenet.org). [vii]
Pada tahun 1982, Ikhwanul Muslimin pernah melakukan upaya kudeta dan menguasai kota Hama. Presiden Hafez Al Assad (ayah Bashar Assad) membalasnya dengan membombardir kota itu sehingga ribuan orang tewas. Aktivis-aktivis IM juga banyak yang dihukum mati. Untuk menyikapi peristiwa ini, paradigma kita sangat berpengaruh. Para pendukung IM dan “khilafah/syariat” akan habis-habisan membela IM dan mengecam Assad. Sebaliknya, ditinjau dari perspektif realis, sikap Hafez Assad berkorelasi dengan upaya “mempertahankan kepentingan nasional”. UUD Syria pasal 1 menyebutkan “Republik Arab Syria adalah sebuah negara demokratis, kerakyatan, sosialis, dan berdaulat.”
Analoginya, di Indonesia sejak 1945 sudah disepakati bahwa dasar negara adalah Pancasila dan UUD 1945. Lalu bila tiba-tiba ada kelompok yang melancarkan serangan bersenjata untuk membentuk Kekhilafahan Indonesia, apakah yang akan dilakukan oleh rezim yang berkuasa? Pembahasannya tidak saya tuliskan di sini karena saya hanya sedang berupaya menunjukkan konteks kejadian pemberontakan IM dan pemberangusan yang dilakukan Hafez Assad.
Sekarang mari kita lihat sekilas data statistik di masa Bashar Assad (anak Hafez Assad yang menjadi presiden sejak tahun 2000 ; selanjutnya saat saya menyebut Assad, yang saya maksud adalah Bashar). Selama Assad memerintah, sebelum kaum oposisi angkat senjata tahun 2011, sama sekali tidak ada data adanya “kekejaman pemerintah” terhadap rakyat sipil.[viii] Justru setelah oposisi angkat senjata, dengan merekrut pasukan dari lebih 100 negara, terjadi pembunuhan masif terhadap rakyat sipil dan tentara, serta 50% warga Suriah yang menjadi pengungsi. Informasi tentang ‘kekejaman’ Assad berkali-kali terbukti merupakan informasi palsu (misalnya, foto jasad korban tentara AS di Irak, disebut sebagai korban pembunuhan massal oleh Assad). [ix] Padahal, sebelum 2011, Suriah justru menjadi rumah bagi pengungsi Palestina dan Irak, mereka tidak tinggal di tenda, melainkan di gedung-gedung beton. Suriah pula yang menjadi pusat aktivitas Hamas di luar Palestina (sebelum kemudian mereka berkhianat dan bergabung dengan pemberontak Suriah).

perumahan pengungsi palestina di Syria, stlh terjadi pertempuran antara jihadis (yg meniduduki lokasi) melawan tentara.
perumahan pengungsi palestina di Syria, stlh terjadi pertempuran antara jihadis (yg meniduduki lokasi) melawan tentara, 2012; saat ini kondisinya sudah hancur lebur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar