Jumat, 25 September 2015

Akan Terlihat Jelas Siapa yang Otoriter Siapa yang Revolusioner?

Sering saya temukan, ketika saya (atau orang lain) menulis “Barat ada di balik konflik negara X”, muncul bantahan seperti ini “Jangan nyalah-nyalahin Barat! Itu kan salah warga negara X sendiri karena..bla..bla..” atau “Anda ini pakai teori konspirasi!” atau kecaman senada dengan berbagai model. Saya sungguh heran, di zaman internet begini, masih juga banyak yang belum paham bahwa dunia sudah jauh berubah. Tidak ada konflik yang berdiri sendiri di era globalisasi ini.
Tentu saja, yang dimaksud ‘Barat’ adalah politisi, korporasi, media mainstream yang memang sangat krusial perannya dalam konflik. Jadi, sangat tidak setara (not apple-to-apple; qiyas ma’al faariq) bila kita bilang Barat itu ‘baik’ hanya dengan bukti betapa baiknya rakyatnya (civil society) mengurusi para pengungsi. Ya, secara kemanusiaan, sangat mungkin civil society di Barat sangat humanis dan baik hati. Tapi kita sedang bicara soal politik internasional, soal siapa yang mendalangi perang.
Buku-buku sudah banyak ditulis juga oleh orang Barat sendiri, betapa memang tangan-tangan Barat berlumuran darah di berbagai konflik, mulai dari Asia hingga Afrika, dan bahkan Eropa (misal, Ukraina). Contoh konkritnya, Suriah. Seharusnya dengan cepat bisa ditangkap ada bau amis di balik konflik ini: para jihadis itu datang dari berbagai penjuru dunia, bukan orang Suriah asli. Website SOHR (Syrian Observatory for Human Rights – ini lembaga sangat anti-Assad) menyebutkan bahwa 90% petempur dari pihak “Rezim” adalah rakyat Suriah asli. Sebaliknya, 70% petempur dari pihak pemberontak adalah orang-orang asing/bukan warga Suriah.
Tak heran bila Assad berkata, “Apakah pantas konflik ini disebut sebagai “Revolusi” sementara kita tahu para pemberontak mayoritasnya bukanlah rakyat Suriah, melainkan para milisi asing yang berasal dari lebih 83 negara dan mendapat support senjata dan finansial dari luar. Revolusi biasanya dilakukan oleh rakyat, bukan oleh para militan asing yang datang memberontak melawan rakyat,”
Maaf ya, jihadis itu digaji ratusan hingga ribuan dollar, bro.. nggak gratisan. Senjata dan bom juga harus dibeli. Yang namanya perang itu mahal sekali, amat mahal. Jadi, sudah pasti ada yang mendanai. Ga mungkin gratisan lillahi ta’ala. Lalu, siapa donaturnya? Gampang sekali, lihat siapa yang bersikukuh menginginkan pergantian rezim di sebuah negara?
Contohnya, Libya, yang katanya juga jihad menggulingkan Qaddafi (padahal, hanya segelintir kelompok yang “berjihad” lalu minta bantuan NATO). Libya dulu adalah negara negara paling makmur se-Afrika (mobil aja dikasih gratis, apalagi yang lain, kesehatan, pendidikan, dll). Setelah Qaddafi tumbang, siapa yang menguasai proyek-proyek infrakstruktur (membangun kembali apa-apa yang sudah hancur dibom NATO dan jihadis)? Siapa yang rame-rame mengeksplorasi minyak di sana? Siapa yang lebih dulu salaman dengan para jihadis? Tak lain tak bukan, Hillary Clinton. Googling saja. Lalu, ente masih bilang, “Ini semua gara-gara rakyat Libya yang bodoh, berantem satu sama lain, ga ada urusannya dengan Barat”?!
U.S. Secretary of State Hillary Clinton (C) gestures with Libyan soldiers upon her departure from Tripoli in Libya October 18, 2011. REUTERS/Kevin Lamarque (LIBYA - Tags: POLITICS TPX IMAGES OF THE DAY MILITARY) - RTR2ST1X
U.S. Secretary of State Hillary Clinton (C) gestures with Libyan soldiers upon her departure from Tripoli in Libya October 18, 2011.
REUTERS/Kevin Lamarque (LIBYA – Tags: POLITICS TPX IMAGES OF THE DAY MILITARY) – RTR2ST1X

Hillary Clinton bersama pasukan pemberontak Libya (Okt 2011; Qaddafi tewas 20 Okt 2011)
Hillary Clinton bersama pasukan pemberontak Libya (Okt 2011; Qaddafi tewas 20 Okt 2011)

Senator McCain bersama pasukan pemberontak Libya
Senator McCain bersama pasukan pemberontak Libya

Terakhir, bagaimana dengan Iran? Dalam beberapa tulisan, Iran disalahkan dengan logika: kalau Iran-Syiah tidak bantu Assad-Syiah, tentu sekarang jihadis sudah menang dan khilafah Islam sudah tegak, tidak ada lagi pengungsi. Plis deh stop mikir sektarian yang -maaf- kampungan sekali ini. Banyak pengamat sudah berbusa-busa nulis soal geopolitik, situ masih juga berargumen ala abad pertengahan. Gini nih cara melihatnya, yang agak sohisticated: Iran dan Hizbullah membantu Suriah karena memang sangat terkait dengan keamanan mereka sendiri. Bila Suriah tumbang dan dikuasai rezim boneka Barat (seperti terjadi di Libya), Hizbullah akan sangat terancam (Israel akan mudah kembali mencaplok Lebanon). Bila Suriah tumbang, serangan ke Iran pun semakin “mudah” karena praktis Iran sudah dikepung basis militer AS (lihat peta). Belum lagi faktor Palestina (tapi terlalu panjang kalau dibahas di sini). Dan yang pasti, Iran dan Hizbullah masuk ke medan perang setelah Assad kepepet, jauh beda dengan AS, Inggris, Perancis, Saudi, Qatar, dan Turki yang sejak awal sudah membacking pasukan oposisi sekuler maupun jihadis.

US military base
Foto: tanda bintang di peta menunjukkan keberadaan pangkalan militer AS.


Melihat konflik itu harus lihat big picture-nya, jangan sepotong kecil di peta lalu menggeneralisasi. Poin saya adalah: bahwa sekarang “Barat” membantu para pengungsi Suriah, patut diapresiasi, tapi jangan lupakan bahwa yang terpenting -HARUS- dilakukan para pemimpin Barat supaya tidak ada lagi pengungsi adalah menghentikan support mereka (termasuk memaksa sekutu-sekutu mereka, Arab dan Turki agar juga berhenti menyuplai dana dan sejata) kepada para jihadis agar perang bisa berhenti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar