Pengungsi Suriah = Korban Konflik Politik Bertopeng Sektarian |
Dengan tidak mengurangi sedikitpun respek saya pada Buya Syafi’i
Ma’arif, salah satu di antara beberapa ulama Indonesia yang paling saya
hormati, berikut ini catatan saya atas tulisan beliau di Republika
(8/9/2015) yang berjudul “Kepingan Neraka di Surga”. Semoga diskusi ini
bisa menjadi wahana belajar bagi kita semua terkait pemetaan dan
resolusi konflik. Karena cukup panjang (+3000 kata), tulisan ini akan
saya bagi dua.
Tulisan Buya didasarkan setidaknya pada 4 asumsi besar, yaitu (1)
kasus pengungsi di Eropa adalah klimaks dari fenomena konflik Suriah,
(2) Presiden Suriah Bashar Assad adalah akar konflik (biang kerok), (3)
Iran dan Rusia adalah negara agresor yang ingin memperluas kekuasaannya
di Suriah, (4) Arab Saudi yang berkolaborasi dengan Israel juga ingin
memperluas kekuasaannya hingga ke Suriah. Perspektif yang dipakai Buya
dalam menganalisis konflik ini masih di seputar mazhab, yaitu
menempatkan Iran dan Saudi sebagai negara yang “memanfaatkan” isu
Syiah-Sunni untuk kepentingan kekuasaan.
Dari keempat asumsi ini, terlihat Buya memiliki pandangan yang khas,
yaitu, meskipun “anti-Assad” dan “anti-Iran”, beliau dengan jernih juga
melihat adanya tangan kotor Arab Saudi dan Israel di Suriah. Asumsi ke-4
ini biasanya tidak dihiraukan oleh kelompok-kelompok pendukung “jihad”
Suriah; mereka umumnya sangat pro-Arab Saudi yang sejak awal konflik
sudah menggelontorkan dana untuk para jihadis.
Saya akan mengkritisi keempat asumsi ini satu persatu.
Ada yang terlewat dalam tulisan Buya yang hanya memfokuskan pada
masalah pengungsian Suriah ini. Masifnya gelombang pengungsian ke Eropa
dimulai sejak 2011, pasca tergulingnya Qaddafi. Sejak itu pula, sudah
ribuan pengungsi dari berbagai negara mati tenggelam. Data UNHCR
menyebut bahwa selama 2014 saja, total 3500 migran (dari berbagai
negara) tewas dalam upaya mereka mencapai Eropa. Pada 27 Agustus 2015,
dua kapal yang mengangkut 500 migran tenggelam di perairan Zuwara,
Libya. Sebelumnya, pada Februari 2015, 300 migran dari Afrika Utara
tenggelam di laut Mediterania, berasal dari Pantai Gading, Senegal,
Gambia, Niger, Mali, dan Mauritania (data dari International
Organisation for Migration-IOM). Sedemikian masifnya gelombang pengungsi
dari Afrika ini, sampai-sampai Italia sejak Oktober 2013 meluncurkan
operasi khusus bertajuk Mare Nostrum, segera setelah terjadinya tragedi
Lampedusa di mana 366 migran tewas tenggelam.
Data dari BBC menyebutkan, sepanjang 2014-2015, pengungsi Suriah ke
Eropa berjumlah 106.039 orang, Afghanistan 61.826, Pakistan 6.641,
Kosovo 23.260, Eritrea 23.878, Nigeria 10.747, dan negara-negara Sub
Sahara Afrika lainnya 9.766. Selain itu, lebih dari 300.000 orang
meninggalkan Libya pada Januari-Agustus 2015, dan angka ini meningkat
40% dari tahun 2014.
Atas dasar ini, saya tidak melihat kasus pengungsi di Eropa
ini sebagai klimaks konflik Suriah. Arus migran di Eropa adalah gambaran
dari betapa banyak manusia di berbagai negara di dunia (tidak hanya
Suriah) yang hidup dalam nestapa. Sehingga, yang seharusnya dilakukan
adalah melihat lebih dalam, ada apa di balik di semua ini? Siapa yang
berlumuran darah memicu konflik di berbagai negara di dunia? (Untuk
mendapatkan jawaban lengkapnya, bisa baca buku William Blum, “Demokrasi,
Ekspor AS yang Paling Mematikan”).
Khusus untuk Suriah, antara lain yang menjadi pertanyaan, mengapa
media massa internasional sedemikian mem-blow-up kasus migran Suriah
setelah adanya foto jasad bocah Kurdi-Suriah, Aylan, yang terdampar di
pantai Turki? Ke mana saja mereka selama ini? Dan mengapa perhatian
dunia seolah digiring untuk mengira bahwa pengungsi di Eropa hanya orang
Suriah? Foto Aylan yang disebarluaskan secara masif di media massa
mainstream, membuat sebagian rakyat Eropa ‘histeris’ dan beramai-ramai
menyambut pengungsi dengan rasa haru; mereka juga menekan pemerintah
mereka yang semula ‘anti-pengungsi’ (dilihat dari pidato-pidato para
pemimpin Eropa, terjadi pergeseran posisi; awalnya mereka menolak tegas
menampung pengungsi dengan alasan ‘kedaulatan’ atau ‘kepentingan
nasional’).
Tentu di satu sisi, penerimaan (sebagian) pemerintah Eropa terhadap
(sebagian) pengungsi adalah hal yang baik dan menunjukkan wajah humanis
Barat. Namun, yang menyedihkan –dan banyak terlewatkan dalam analisis-
adalah adanya upaya menggiring opini publik Eropa untuk mendukung
serangan yang lebih masif terhadap Suriah agar Eropa tidak lagi
dibanjiri pengungsi.[i]
Opini publik sangat berperan di negara-negara demokrasi mapan seperti
AS dan Eropa Barat. Karena itulah dalam melancarkan perang, yang paling
utama dilakukan pemerintah Barat adalah menggiring opini publik agar
setuju uang pajak mereka digunakan untuk membiayai perang. Dalam agresi
AS ke Irak, misalnya, disebarkan secara sangat tersistematis –bahkan
dengan menggunakan kebohongan—opini bahwa Saddam adalah ancaman bagi
perdamaian dunia karena memiliki senjata biologis (yang di kemudian hari
tidak terbukti adanya senjata pembunuh massal tersebut). [ii]
AS pun telah berkali-kali mengancam akan menyerang Suriah dengan
menggunakan isu penggunaan senjata kimia oleh Assad (tuduhan yang telah
terbantahkan oleh hasil investigasi PBB). Namun, serangan itu batal
karena penolakan opini publik (demo anti-perang Suriah ramai terjadi di
AS pada September 2013). Upaya AS dan sekutunya (Inggris, Perancis,
Jerman) untuk mendapatkan mandat PBB agar menyerang Suriah pun
berkali-kali digagalkan oleh veto Rusia dan China. Skenario Libya,
hingga kini belum berhasil dilakukan negara-negara NATO di Suriah.
Sebagaimana kita ketahui, pada Maret 2011, NATO ‘berhasil’ mendapatkan
mandat DK PBB (saat itu Rusia dan China abstain) untuk membombardir
Libya. Penelitian disertasi Umar Suryadi Bakry (HI Unpad, 2013)
menemukan bahwa serangan NATO telah melanggar tiga dari 4 syarat
keabsahan Humanitarian Intervention (just cause, just authority, just intention, last resort).[iii]
Segera setelah Qaddafi terguling, pemerintahan interim dibentuk.
Tokoh-tokoh “jihad” Libya tiba-tiba saja berubah “baju” menjadi tokoh
sekuler, berjabat tangan dan tersenyum lebar dengan Hillary Clinton,
memberikan konsesi-konsesi minyak dan proyek infrastruktur (membangun
kembali apa-apa yang sudah dihancurkan NATO) kepada
perusahaan-perusahaan Barat, dan ironisnya, berhutang kepada
negara-negara yang selama ini menyimpan dana Libya (membekukan simpanan
uang tersebut). Negara termakmur di Afrika itu kini hancur, menjadi
penghutang, terus dilanda konflik internal, sehingga timbullah arus
pengungsi ke Eropa.
Hillary Clinton bersama pasukan pemberontak Libya (18 Okt 2011; Qaddafi tewas 20 Okt 2011) |
Tokoh-tokoh jihadis Libya kemudian diketahui membentuk dan melatih milisi-milisi jihad di Suriah.[iv] Jurnalis-jurnalis independen sejak awal konflik Syria sudah menguak
rencana negara-negara adidaya untuk menggulingkan Bashar Assad lewat
cara militer. Pada 11 Desember 2011, Global Research memberitakan,
tentara AS yang disebutkan sudah ditarik pulang, ternyata justru
dipindahkan ke Yordania, tepatnya, ke Pangkalan Udara King Hussein di Al
Mafraq. Laporan itu menyebutkan bahwa ratusan tentara yang berbicara
dalam bahasa-bukan-Arab terlihat mondar-mandir di antara pangkalan
al-Mafraq dan desa-desa di perbatasan Yordania-Syria (di kemudian hari
terbukti bahwa mereka sedang melatih pasukan oposisi Suriah).[v]
Mahdi Al Harati, tokoh jihadis Libya, melatih milisi Suriah (foto: cnn.com) |
(2) Apakah Semua ini Gara-Gara Assad?
Bahwa di Suriah ada kelompok oposisi, ya benar. Mana ada rezim di
dunia ini yang tak menghadapi oposisi? Namun, oposisi Suriah secara
garis besar ada tiga kelompok, yaitu (1) yang menghendaki perubahan
rezim secara demokratis dan anti kekerasan, antara lain National
Coordination Body for Democratic Change, (2) Kelompok-kelompok jihad
yang berafiliasi dengan Al Qaida, yang kemudian satu sama lain saling
berseteru, dua yang terbesar adalah Jabhah Al Nusra dan ISIS, di antara
anasir kelompok ini adalah Hizbu Tahrir (3) Kelompok oposisi yang
menurut Barat “moderat”, namun tetap angkat senjata dengan membentuk
Free Syrian Army, didominasi kalangan Ikhwanul Muslimin.
Tokoh oposisi Suriah dari kubu Ikhwanul Muslimin, Moaz Al Khatib bersama Presiden Perancis, Francois Hollande |
Moaz Al Khatib bersama Menlu AS, John Kerry |
Kelompok kedua dan ketiga-lah yang paling “bertanggung jawab” atas
terjadinya konflik bersenjata berkepanjangan di Suriah. Bila kita
bandingkan dengan fenomena Arab Spring di Mesir dan Tunisia,
penggulingan rezim dilakukan dengan demonstrasi masif dan tanpa
perlawanan bersenjata. Namun di Suriah, demo tidak pernah bisa semasif
itu. Justru demo yang sangat masif terjadi untuk mendukung Assad (dan
tentu saja tidak diberitakan oleh media mainstream, maupun media Islam
pro-jihadis). [vi]
Persis seperti di Libya, demo anti Qaddafi sangat minor, dan rakyat
tumpah ruah ke jalanan Tripoli justru untuk mendukung Qaddafi dan
menolak NATO (lagi-lagi, hanya media anti-mainstream yang
memberitakannya, dengan mengirim langsung jurnalis-jurnalis independen;
misalnya Mahdi Darius Nazemroaya dari globalresearch.ca dan Thierry Mayssan dari voltairenet.org). [vii]
Pada tahun 1982, Ikhwanul Muslimin pernah melakukan upaya kudeta dan
menguasai kota Hama. Presiden Hafez Al Assad (ayah Bashar Assad)
membalasnya dengan membombardir kota itu sehingga ribuan orang tewas.
Aktivis-aktivis IM juga banyak yang dihukum mati. Untuk menyikapi
peristiwa ini, paradigma kita sangat berpengaruh. Para pendukung IM dan
“khilafah/syariat” akan habis-habisan membela IM dan mengecam Assad.
Sebaliknya, ditinjau dari perspektif realis, sikap Hafez Assad
berkorelasi dengan upaya “mempertahankan kepentingan nasional”. UUD
Syria pasal 1 menyebutkan “Republik Arab Syria adalah sebuah negara
demokratis, kerakyatan, sosialis, dan berdaulat.”
Analoginya, di Indonesia sejak 1945 sudah disepakati bahwa dasar
negara adalah Pancasila dan UUD 1945. Lalu bila tiba-tiba ada kelompok
yang melancarkan serangan bersenjata untuk membentuk Kekhilafahan
Indonesia, apakah yang akan dilakukan oleh rezim yang berkuasa?
Pembahasannya tidak saya tuliskan di sini karena saya hanya sedang
berupaya menunjukkan konteks kejadian pemberontakan IM dan pemberangusan
yang dilakukan Hafez Assad.
Sekarang mari kita lihat sekilas data statistik di masa Bashar Assad
(anak Hafez Assad yang menjadi presiden sejak tahun 2000 ; selanjutnya
saat saya menyebut Assad, yang saya maksud adalah Bashar). Selama Assad
memerintah, sebelum kaum oposisi angkat senjata tahun 2011, sama sekali
tidak ada data adanya “kekejaman pemerintah” terhadap rakyat sipil.[viii]
Justru setelah oposisi angkat senjata, dengan merekrut pasukan dari
lebih 100 negara, terjadi pembunuhan masif terhadap rakyat sipil dan
tentara, serta 50% warga Suriah yang menjadi pengungsi. Informasi
tentang ‘kekejaman’ Assad berkali-kali terbukti merupakan informasi
palsu (misalnya, foto jasad korban tentara AS di Irak, disebut sebagai
korban pembunuhan massal oleh Assad). [ix]
Padahal, sebelum 2011, Suriah justru menjadi rumah bagi pengungsi
Palestina dan Irak, mereka tidak tinggal di tenda, melainkan di
gedung-gedung beton. Suriah pula yang menjadi pusat aktivitas Hamas di
luar Palestina (sebelum kemudian mereka berkhianat dan bergabung dengan
pemberontak Suriah).
perumahan pengungsi palestina di Syria, stlh terjadi pertempuran antara jihadis (yg meniduduki lokasi) melawan tentara, 2012; saat ini kondisinya sudah hancur lebur. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar