Sering saya temukan, ketika saya (atau orang lain) menulis “Barat ada
di balik konflik negara X”, muncul bantahan seperti ini “Jangan
nyalah-nyalahin Barat! Itu kan salah warga negara X sendiri
karena..bla..bla..” atau “Anda ini pakai teori konspirasi!” atau kecaman
senada dengan berbagai model. Saya sungguh heran, di zaman internet
begini, masih juga banyak yang belum paham bahwa dunia sudah jauh
berubah. Tidak ada konflik yang berdiri sendiri di era globalisasi ini.
Tentu saja, yang dimaksud ‘Barat’ adalah politisi, korporasi, media
mainstream yang memang sangat krusial perannya dalam konflik. Jadi,
sangat tidak setara (not apple-to-apple; qiyas ma’al faariq) bila kita
bilang Barat itu ‘baik’ hanya dengan bukti betapa baiknya rakyatnya
(civil society) mengurusi para pengungsi. Ya, secara kemanusiaan, sangat
mungkin civil society di Barat sangat humanis dan baik hati. Tapi kita
sedang bicara soal politik internasional, soal siapa yang mendalangi
perang.
Buku-buku sudah banyak ditulis juga oleh orang Barat sendiri, betapa
memang tangan-tangan Barat berlumuran darah di berbagai konflik, mulai
dari Asia hingga Afrika, dan bahkan Eropa (misal, Ukraina). Contoh
konkritnya, Suriah. Seharusnya dengan cepat bisa ditangkap ada bau amis
di balik konflik ini: para jihadis itu datang dari berbagai penjuru
dunia, bukan orang Suriah asli. Website SOHR (Syrian Observatory for
Human Rights – ini lembaga sangat anti-Assad) menyebutkan bahwa 90%
petempur dari pihak “Rezim” adalah rakyat Suriah asli. Sebaliknya, 70%
petempur dari pihak pemberontak adalah orang-orang asing/bukan warga
Suriah.
Tak heran bila Assad berkata, “Apakah pantas konflik ini disebut
sebagai “Revolusi” sementara kita tahu para pemberontak mayoritasnya
bukanlah rakyat Suriah, melainkan para milisi asing yang berasal dari
lebih 83 negara dan mendapat support senjata dan finansial dari luar.
Revolusi biasanya dilakukan oleh rakyat, bukan oleh para militan asing
yang datang memberontak melawan rakyat,”
Maaf ya, jihadis itu digaji ratusan hingga ribuan dollar, bro.. nggak
gratisan. Senjata dan bom juga harus dibeli. Yang namanya perang itu
mahal sekali, amat mahal. Jadi, sudah pasti ada yang mendanai. Ga
mungkin gratisan lillahi ta’ala. Lalu, siapa donaturnya? Gampang sekali,
lihat siapa yang bersikukuh menginginkan pergantian rezim di sebuah
negara?
Contohnya, Libya, yang katanya juga jihad menggulingkan Qaddafi
(padahal, hanya segelintir kelompok yang “berjihad” lalu minta bantuan
NATO). Libya dulu adalah negara negara paling makmur se-Afrika (mobil
aja dikasih gratis, apalagi yang lain, kesehatan, pendidikan, dll).
Setelah Qaddafi tumbang, siapa yang menguasai proyek-proyek
infrakstruktur (membangun kembali apa-apa yang sudah hancur dibom NATO
dan jihadis)? Siapa yang rame-rame mengeksplorasi minyak di sana? Siapa
yang lebih dulu salaman dengan para jihadis? Tak lain tak bukan, Hillary
Clinton. Googling saja. Lalu, ente masih bilang, “Ini semua gara-gara
rakyat Libya yang bodoh, berantem satu sama lain, ga ada urusannya
dengan Barat”?!
Hillary Clinton bersama pasukan pemberontak Libya (Okt 2011; Qaddafi tewas 20 Okt 2011) |
Senator McCain bersama pasukan pemberontak Libya |
Terakhir, bagaimana dengan Iran? Dalam beberapa tulisan, Iran
disalahkan dengan logika: kalau Iran-Syiah tidak bantu Assad-Syiah,
tentu sekarang jihadis sudah menang dan khilafah Islam sudah tegak,
tidak ada lagi pengungsi. Plis deh stop mikir sektarian yang -maaf-
kampungan sekali ini. Banyak pengamat sudah berbusa-busa nulis soal
geopolitik, situ masih juga berargumen ala abad pertengahan. Gini nih
cara melihatnya, yang agak sohisticated: Iran dan Hizbullah membantu
Suriah karena memang sangat terkait dengan keamanan mereka sendiri. Bila
Suriah tumbang dan dikuasai rezim boneka Barat (seperti terjadi di
Libya), Hizbullah akan sangat terancam (Israel akan mudah kembali
mencaplok Lebanon). Bila Suriah tumbang, serangan ke Iran pun semakin
“mudah” karena praktis Iran sudah dikepung basis militer AS (lihat
peta). Belum lagi faktor Palestina (tapi terlalu panjang kalau dibahas
di sini). Dan yang pasti, Iran dan Hizbullah masuk ke medan perang
setelah Assad kepepet, jauh beda dengan AS, Inggris, Perancis, Saudi,
Qatar, dan Turki yang sejak awal sudah membacking pasukan oposisi
sekuler maupun jihadis.
Foto: tanda bintang di peta menunjukkan keberadaan pangkalan militer AS. |
Melihat konflik itu harus lihat big picture-nya, jangan sepotong
kecil di peta lalu menggeneralisasi. Poin saya adalah: bahwa sekarang
“Barat” membantu para pengungsi Suriah, patut diapresiasi, tapi jangan
lupakan bahwa yang terpenting -HARUS- dilakukan para pemimpin Barat
supaya tidak ada lagi pengungsi adalah menghentikan support mereka
(termasuk memaksa sekutu-sekutu mereka, Arab dan Turki agar juga
berhenti menyuplai dana dan sejata) kepada para jihadis agar perang bisa
berhenti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar