Merdeka atau Mati |
Komentar teman saya orang Iran, saat chat via LINE, Sebelum kasus Syekh Nimr, Arab Saudi, Bahrain, dan Sudan sudah menurunkan level diplomatik, mereka cuma punya konsulat di Iran. Jadi, kasus Syekh Nimr cuma alasan yang dibuat-buat untuk memutuskan hubungan diplomatik. Apalagi UAE. Yang kemarin menyerang konsulat Saudi itu orang-orang bayaran konsulat UAE, dan sudah ditangkap untuk kemudian diadili pemerintah. Mengapa harus takut dikucilkan pemerintah negara-negara “ngaco”? Santai saja…”
Nasionalisme rakyat Iran sudah teruji 36 tahun terakhir ini (sejak berdirinya Republik Islam). Diembargo obat-obatan? Bikin sendiri. Diembargo senjata? Bikin sendiri. Diembargo jaringan perbankan Rothschild? Pedagang selalu punya jalan keluar, life goes on. Dikucilkan? Nggak takut. Diperangi? Lawan.
Iran bukan negara kaya. Embargo (terutama boikot perbankan) tetap memberikan kesulitan ekonomi bagi Iran. Dalam sebuah diskusi, orang KADIN mengeluhkan perdagangan dengan Iran sulit dilakukan karena Bank Indonesia tidak mau memberi jaminan L/C (tanya kenapa?). Kesulitan sama tentu dirasakan Iran, misalnya, pingin beli kertas langsung dari Indonesia (biar lebih murah) gak bisa, musti lewat Malaysia karena Bank Malaysia kasih jalan. Produk Indonesia, tapi belinya lewat M’sia, enak amat tuh si makelar. Makanya Iran mau jual minyak murah ke Indonesia asal ga lewat makelar. Kenapa ga terwujud? Jawaban ada di bawah.
Tapi, HDI (Human Development Index) Iran ada di ranking 75, sedang Indonesia di 108. HDI dihitung dari pencapaian 3 hal yang menjadi basis pembangunan manusia: kesehatan dan panjang umur; pengetahuan; dan kelayakan standar hidup. Artinya, kesehatan, pengetahuan, dan standar hidup rata-rata orang Iran lebih baik daripada orang Indonesia. Padahal, Iran tidak lebih kaya daripada Indonesia. GDP (Gross Domestic Product) (nilai barang dan jasa yang dihasilkan sebuah negara dalam 1 tahun) Iran jauh di bawah Indonesia. Indonesia bahkan berada di ranking 18 negara terkaya di dunia (dihitung dari GDP). Lalu mengapa HDI Indonesia tetap rendah? Tentu saja ini terkait dengan ‘siapa’ yang memiliki kekayaan itu (karena banyak sekali perusahaan di Indonesia yang ternyata milik asing). Artinya, secara gampang saja bisa dilihat: negara yang diembargo lalu sebagian besar produk dihasilkan oleh bangsa itu sendiri, ternyata kondisi rakyatnya bisa lebih baik.
Btw, kalau Anda tanya pada orang Iran asli, yang keluar umumnya adalah keluhan dan kritikan pada pemerintah; biasanya mereka bilang “daulat hich kari nimikune” (pemerintah ga melakukan apa-apa). Orang Iran memang tukang kritik nomer satu. Ahmadinejad yang (dulu) dielu-elukan di Indonesia, di Iran malah dikritik melulu, terutama oleh kalangan menengah ke atas. Sepertinya ini gejala umum ya, kalangan menengah emang biasa ngehe’ grin emoticon. Tapi kalangan menengah ngehe’ Iran tetap teguh membela negaranya. Indikatornya bisa dilihat dari demo-demo masif pro-pemerintah dalam berbagai even (padahal ga dapet nasbung dan ga ada paksaan).
Jadi, terserah bila Anda mau sebut Iran kafir atau sesat, Iran pun punya banyak kekurangan, khusus spirit independensinya sangat patut diteladani. Independensi pemerintah tidak akan terwujud kalau rakyatnya penakut dan manja. Contohnya, suatu saat, satelit AS mendeteksi ada transaksi minyak antara kapal yang dicurigai kapal Iran dengan kapal Pertamina. Langsung duit Pertamina di AS dibekukan dan baru lepas setelah Indonesia berjanji tidak beli minyak Iran (ini info dari seorang diplomat dalam sebuah diskusi di zaman SBY dulu). Coba bayangkan dengan jujur: kalau saja dulu SBY (atau sekarang Jokowi) berani nekad beli minyak Iran dan kemudian kita diembargo AS, sikap Anda (kita, rakyat, terutama kelas menengah) apa? Jujur saja. Berani tegak membela pemerintah dan hidup prihatin, atau malah rame-rame menggulingkan pemerintah?
Jawaban dari pertanyaan ini memberi arti pada kata “merdeka”
Luar biasa tulisannya teman. Kemandirian adalah segalanya.
BalasHapusSalam santun.....