Jumat, 25 September 2015

Akan Terlihat Siapa Agressor Siapa Revolusioner: Catatan untuk Buya Syafii Maarif_bagian kedua

(3) Iran-Rusia, atau Israel yang Agresor?
Buya menulis (dengan berlandaskan pada tulisan pengamat politik dari kubu oposisi Suriah): ”Presiden Bashar al-Assad dengan dukungan Tehran dan Moskwa tampaknya rela melihat Suriah jadi puing perang daripada berdamai dengan lawan-lawan politik domestiknya.”
Di sini, “kesalahan” Buya (saya benar-benar mohon maaf atas penggunaan kata ini) adalah hanya mengindahkan kata-kata dari kubu oposisi saja. Bukankah Tehran dan Moskow terjun ke dalam konflik ini, setelah jihadis yang menggunakan cara-cara barbar (mengebom bunuh diri, menghancurkan infrastruktur, membunuh rakyat sipil dari berbagai agama dan mazhab, termasuk Muslim Sunni, menghancurkan masjid-masjid dan situs-situs bersejarah, serta memenggal kepala musuh-musuh mereka)? Jauh berbeda dengan AS, Inggris, Perancis, Arab Saudi, Qatar, Turki, yang sudah masuk masuk ke gelanggang sejak awal konflik.

Moaz Al Khatib bersama para pemimpin negara-negara pendukung perang Suriah (mereka menyebut diri 'Friends of Syria')
Moaz Al Khatib bersama para pemimpin negara-negara pendukung perang Suriah (mereka menyebut diri ‘Friends of Syria’: Inggris, Mesir, Mesir, Perancis, Jerman, Italia, Jordania, Qatar, Saudi Arabia, Turki, UAE, dan AS), di Roma

Pertemuan Friends of Syria di Amman
Pertemuan Friends of Syria di Amman

Hillary Clinton dalam pertemuan Friends of Syria di Tunis, 2012
Hillary Clinton dalam pertemuan Friends of Syria di Tunis, 2012


Dari sisi geopolitik, tindakan Rusia dan Iran untuk membantu Suriah adalah rasional. Bagi Rusia, Damaskus adalah sumber energi (penjelasan ada di bawah). Bagi Tehran, Damaskus adalah benteng terakhirnya di Arab dalam menghadapi Israel (tidak ada yang menyangkal permusuhan panjang Israel-Iran sejak awal kemenangan Revolusi Islam Iran 1979, kecuali para penyuka teori konspirasi abal-abal yang menyebut Iran-Israel sesungguhnya adalah sekutu dekat). Suriah berbatasan darat dengan Israel, Palestina, dan Lebanon. Posisinya sangat penting dalam perjuangan Iran menumbangkan Israel, yang sudah dikobarkannya sejak 1979. Perjuangan anti-Israel itu didasarkan pada identifikasi yang sangat tepat dari pemimpin Iran terhadap struktur dunia. (Perlu dicatat, yang dilawan Iran adalah rezim Zionis Israel, bukan Yahudi dalam makna Judaisme, karena terbukti Iran tetap melindung HAM warga negaranya yang beragama Yahudi).

Sebagaimana pernah saya jelaskan panjang lebar dalam buku saya “Ahmadinejad on Palestine”, Israel sesungguhnya adalah sumber segala konflik di muka bumi; dan Palestina dan Iran adalah salah satu korban utama dari kebijakan agresif Israel di Timteng. Bila kita melihat secara mendalam berbagai konflik di dunia, jejak-jejak Israel selalu terlihat. Jejak-jejak itu seringkali tertutupi karena Israel memanfaatkan AS. Tak heran bila profesor Hubungan Internasional dari Chicago University menulis paper berjudul “Lobby Israel dan Kebijakan Luar Negeri AS” yang menyodorkan bukti-bukti betapa kelompok-kelompok lobby pro-Israel sangat berhasil mengalihkan kebijakan politik AS menjauh dari kepentingan nasionalnya sendiri, dan pada saat yang sama, meyakinkan publik dan politisi AS akan adanya kesamaan kepentingan AS dan Israel.[1]
Misalnya, perang Irak. Atas dasar apakah AS sampai mengeluarkan 4 Trilyun dollar uang pajak rakyatnya untuk membiayai Perang Irak? Apakah rakyat Irak membahayakan warga AS? Tidak sama sekali. Yang menjadi alasan adalah agar eksplorasi minyak Irak bisa dilakukan dengan bebas oleh perusahaan-perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh orang-orang Yahudi pro-Israel. Di masa Saddam, jalur pasokan minyak Tikrit –Haifa ditutup, dan segera setelah Saddam tewas, jalur itu dibuka dan minyak Irak dengan leluasa mengalir ke Israel.[2]
Begitupun Libya. Untuk siapakah AS menyerang Qaddafi? Siapakah yang berpesta-pora mengeksplorasi minyak di negeri yang amat kaya emas hitam (=minyak) itu? Tak lain Big Oil, yang sahamnya sebagian besar dikuasai orang-orang Zionis.

Senator AS, McCain bersama pemberontak Libya
Senator AS, McCain bersama oposisi dan pemberontak Libya

Cengkeraman bisnis raksana para pengusaha Zionis menyebar di berbagai penjuru bumi dan mereka menggunakan cara-cara kotor untuk mengeruk kekayaan; termasuk di Indonesia. Karena itulah Gilad Atzmon, penulis Yahudi kelahiran Israel yang kini menjadi pengkritik rezim Zionis, menyimpulkan, “Kita semua ini adalah bangsa Palestina dan kita memiliki satu musuh yang sama.”

Manipulasi informasi tentang Libya oleh Aljazeera
Manipulasi informasi tentang Libya oleh Aljazeera

Demo pro-Qaddafi dan anti NATO di Libya, 2011
Demo pro-Qaddafi dan anti NATO di Libya, 2011

Lalu, Suriah. Apakah warga Suriah mengancam warga AS atau Eropa? Tidak. “Perjuangan” bersenjata kelompok jihadis tak lama setelah ditandatanganinya MoU pembangunan jalur pipa gas Irak-Iran-Suriah (di Iran, 25 Juni 2011) dimana Rusia dan China menjadi salah satu pemegang saham utama.[3] Jalur ini mengancam keuntungan jalur pipa gas Nabucco–yang didukung para pengusaha Zionis—yang menyalurkan gas dari Timur Tengah dan Laut Kaspia, melewati Turki, hingga ke pasar Eropa.
Suriah adalah satu-satunya negara produsen minyak dan gas di antara negara-negara di pesisir laut Mediterania. Gas adalah primadona energi abad ke-21 karena relatif bebas polusi dan harganya pun lebih murah. Di saat yang sama, Eropa dan AS tengah dilanda krisis ekonomi, sehingga kontrol energi menjadi kunci utama bila mereka ingin bertahan sebagai penguasa dunia.
Dari penjelasan singkat ini, semoga bisa dirasakan, bahwa kalimat ini [Presiden Bashar al-Assad dengan dukungan Tehran dan Moskwa tampaknya rela melihat Suriah jadi puing perang daripada berdamai dengan lawan-lawan politik domestiknya] bak “puisi” di hadapan hitung-hitungan materiil perang. Ini adalah “pengamatan melankolis” di hadapan kerasnya kondisi riil.
Lagi pula, perdamaian apa yang dimaksud? Siapa lawan politik yang harus diajak berdamai? Kelompok oposisi demokratis dan sekuler, terbukti sudah ‘berdamai’ melalui keikutsertaan mereka dalam pemilu dan referendum. Apakah yang harus diajak berdamai itu para jihadis yang hanya menghendaki zero sum game? Analoginya, bila ada partai tertentu di Indonesia merekrut pasukan dari lebih 100 negara di dunia, mendapat pasokan senjata dan dana dari AS, Arab Saudi, Qatar, Perancis, Inggris, Jerman, lalu mengebom dan membunuhi rakyat dan tentara Indonesia, apakah yang harus dilakukan oleh Presiden Indonesia? Haruskah berdamai dengan partai itu? Bagaimana nasib dari mayoritas rakyat Indonesia yang bukan pendukung partai itu, apakah harus dipaksa menerima kepemimpinan partai buas tersebut demi ‘perdamaian’? Akal sehat akan menjawab TIDAK.
Yang sudah dilakukan Assad terkait “lawan politik” yang rasional (menghendaki win-win solution, bukan zero-sum-game ala jihadis), adalah sbb.
  1. Pada tanggal 21 April 2011, pemerintah secara resmi mengumumkan pencabutan undang-undang darurat (State Emergency Law/SEL) yang dituduh anti-HAM.
  2. Pada 26 Februari 2012, diadakan referendum yang mengesahkan UUD baru Suriah, yang antara lain membatasi masa kekuasaan presiden hanya 2 periode (1 periode = 7 tahun) dan menghapus Pasal 8 yang menyatakan bahwa Partai Baath menjadi pemimpin negara (dengan demikian, semua partai berhak jadi pemimpin, asal mendapatkan suara dalam pemilu).
  3. Pada 3 Juni 2014, diselenggarakan pemilu presiden. Jumlah rakyat yang datang ke kotak pemili mencapai 10.2 juta orang (73,42% turn-ourt vote), dan Assad meraih suara 88,7% sehingga terpilih kembali menjadi presiden. Pemilu 2014 ini diikuti 3 kandidat, yaitu Assad, Hassan Abdullah Nouri dari “National Initiative for Administration and Change in Syria” dan Maher Abd Al-Hafiz Hajjar, dari People’s Will Party. Ini adalah pemilu pertama sejak 50 tahun terakhir di Suriah yang diikuti oleh lebih dari satu kandidat.
Demonstrasi besar-besaran di Damaskus, mendukung Assad, 2012.
Demonstrasi besar-besaran di Damaskus, mendukung Assad, 2012.

Syria-pro-Assad-rally
Demonstrasi pro-Assad, untuk mengindetifikasi, perhatikan bendera yang dikibarkan. Kelompok oposisi mengibarkan bendera dengan tiga bintang.

Yang ditolak Assad adalah : berdamai dengan teroris. Inilah yang diucapkan Assad dalam wawancaranya dengan wartawan Jerman, Todenhöfer,Kami memiliki dua sisi penyelesaian: pertama, Anda harus memerangi terorisme. Tidak ada pertanyaan soal memerangi teroris. Tidak ada di manapun di dunia. Apa yang Anda lakukan jika seseorang membunuh rakyat sipil, membunuh rakyat tak berdosa, membunuh anak-anak, dan membunuh tentara, dan polisi, dan siapa saja? Anda harus memeranginya jika dia tidak mau berdialog. Dan inilah yang sejauh ini kami saksikan. Di sisi lain, [kami] melakukan dialog dengan berbagai komponen politik dan pada saat yang sama melakukan reformasi untuk [membuka] partisipasi semua pihak. Dan rakyat yang harus memutuskan siapa yang menjadi wakil rakyat melalui kotak suara [pemilu].”[4]

Todenhöfer dan Assad
Todenhöfer dan Assad

Demo warga kota Al Qusayr yang gembira setelah kota mereka dibebaskan oleh tentara Suriah (hampir dua tahun kota ini dijadikan basis suplai senjata dan pasukan dari luar negeri oleh para “mujahidin”), 2013
Demo warga kota Al Qusayr yang gembira setelah kota mereka dibebaskan oleh tentara Suriah (hampir dua tahun kota ini dijadikan basis suplai senjata dan pasukan dari luar negeri oleh para “mujahidin”), 2013

(4) Kolaborasi Arab Saudi dan Israel
Saya tidak membantah asumsi ke-4 dari Buya ini; hanya ingin menambahkan argumen untuk memperkuatnya. Peran Arab Saudi dalam konflik ini adalah menjadi ‘tangan’ bagi Israel untuk menumbangkan Assad, dengan cara membiayai dan memfasilitasi jihadis yang berafiliasi dengan Al Qaida (yang akhirnya berubah ‘wajah’ menjadi ISIS). Meskipun secara resmi Israel dan Arab Saudi tidak memiliki hubungan diplomatik, namun kerjasama di antara keduanya tidak bisa ditutupi.[5] Di antaranya, Arab Saudi membiayai operasi-operasi intelijen Israel melawan Iran[6], Arab Saudi menyewa perusahaan keamanan Israel, G4S untuk mengamankan haji[7], dan sebaliknya, Israel membantu Arab Saudi untuk menginvasi Yaman.[8]
Lalu, mengapa Israel sangat ingin menumbangkan Assad (dan selama perang pun rumah sakit Israel merawat para jihadis yang terluka)? Dalam buku saya Prahara Suriah, saya memberikan argumen dan data bahwa ditinjau dari politik dan ekonomi, pihak yang paling diuntungkan dari tumbangnya Assad dan hancurnya Suriah adalah Israel. D
Dalam the Oded Yinon’s Plan disebutkan bahwa untuk mewujudkan Israel Raya,  negara-negara Arab perlu dipecah-pecah ke dalam negara-negara yang [lebih] kecil. Rencana ini berjalan berdasarkan dua premis; untuk bisa bertahan, Israel harus 1) menjadi sebuah imperium kekuatan regional 2) mempengaruhi pembagian seluruh kawasan ke dalam negara-negara kecil, dengan cara pembubaran semua negara-negara Arab yang ada.[9]
Selain itu, Suriah adalah ‘musuh bebuyutan’ Israel. Suriah terlibat dalam tiga perang melawan Israel, yaitu tahun 1948 (Perang Arab-Israel), 1967 (Perang 6 Hari), dan tahun 1973 (Perang Yom Kippur). Suriah juga terlibat dalam perang melawan agresi Israel di Lebanon 1982.

Penutup
Dalam kajian Resolusi Konflik, minimalnya ada empat faktor yang harus dikaji,  yaitu triggers (pemicu), pivotal factor (akar konflik), mobilizing factor (peran pemimpin), dan aggravating factor (faktor yang memperburuk atau memperuncing situasi konflik). Keempat faktor ini umumnya berjalin berkelindan dalam sebuah konflik, sehingga sering menimbulkan kesalahan persepsi. Para mediator (atau pengamat) harus mempertimbangkan keempat faktor ini untuk mendapatkan kesimpulan yang benar. Yang terjadi dalam tulisan Buya adalah kesimpangsiuran penetapan mana yang triggers, mana yang pivotal, mana mobilizing, mana aggravating. Selama identifikasi ke-4 faktor belum tepat, sulit mencari resolusi konflik (dan mungkin karena itulah akhirnya Buya hanya bisa ‘berdoa’ di akhir tulisan beliau).
Pendapat saya, dengan mempertimbangkan uraian di atas, isu Sunni-Syiah adalah triggers,  dan pivot-nya adalah kepentingan Israel yang bersekutu dengan AS, Perancis, Inggris, Arab Saudi, Qatar, dan Turki (plus negara-negara Barat lain, seperti Jerman dan Australia). Karena itu, jalan keluar dari konflik ini adalah: negara-negara asing berhenti ikut campur di Suriah. Hentikan suplai dana dan senjata kepada para jihadis; tutup pintu-pintu perbatasan Turki dan Jordan sehingga pasukan jihadis tidak terus mengalir masuk ke Suriah. Selama dana, suplai senjata, dan pasukan asing masih terus masuk ke Suriah perang tak akan berhenti karena para jihadis tidak mau bernegosiasi, hanya menghendaki zero-sum game.
Bila Israel dan sekutunya angkat kaki dari Suriah, Iran dan Rusia pun dipastikan angkat kaki. Keduanya bukan negara kaya, sehingga dipastikan akan bersikap realistis: tak akan menghamburkan uang untuk perang. Lalu, biarkan para oposisi Suriah –yang asli warga Suriah, bukan mereka yang selama ini hidup nyaman di luar negeri dan mendapat kucuran dana dari Barat untuk menggerogoti Suriah- dan yang asli ‘demokratis’ [tidak menghendaki konflik bersenjata] memperjuangkan aspirasi mereka dengan cara-cara demokratis. Bila rakyat Suriah benar-benar menghendaki kejatuhan Assad, tak akan ada yang bisa menghentikan mereka, sebagaimana yang terjadi di Iran (tergulingnya Shah Pahlevi), Tunisia (tergulingnya Ben Ali), Mesir (tergulingnya Mubarak), dan Yaman (tergulingnya Ali Abdullah Saleh).  Sebaliknya, bertahannya Assad meskipun telah diperangi 4 tahun beramai-ramai oleh negara-negara kaya sedunia -lewat tangan para jihadis asing dari lebih 100 negara dunia- seharusnya memunculkan pertanyaan bagi kaum yang berpikir

Foto atas: tentara Suriah, semua orang Suriah, Foto bawah: pemberontak Suriah, terdiri dari pasukan asing.
Foto atas: tentara Suriah, semua orang Suriah, Foto bawah: pemberontak Suriah, terdiri dari pasukan asing. Pria Chechen bernama Umar, tewas 2013


Perihal Pengungsi Suriah: Catatan Untuk Buya Syafii Maarif_bagian satu

Pengungsi Suriah = Korban Konflik Politik Bertopeng Sektarian
Dengan tidak mengurangi sedikitpun respek saya pada Buya Syafi’i Ma’arif, salah satu di antara beberapa ulama Indonesia yang paling saya hormati, berikut ini catatan saya atas tulisan beliau di Republika (8/9/2015) yang berjudul “Kepingan Neraka di Surga”. Semoga diskusi ini bisa menjadi wahana belajar bagi kita semua terkait pemetaan dan resolusi konflik. Karena cukup panjang (+3000 kata), tulisan ini akan saya bagi dua.
Tulisan Buya didasarkan setidaknya pada 4 asumsi besar, yaitu (1) kasus pengungsi di Eropa adalah klimaks dari fenomena konflik Suriah, (2) Presiden Suriah Bashar Assad adalah akar konflik (biang kerok), (3) Iran dan Rusia adalah negara agresor yang ingin memperluas kekuasaannya di Suriah, (4) Arab Saudi yang berkolaborasi dengan Israel juga ingin memperluas kekuasaannya hingga ke Suriah. Perspektif yang dipakai Buya dalam menganalisis konflik ini masih di seputar mazhab, yaitu menempatkan Iran dan Saudi sebagai negara yang “memanfaatkan” isu Syiah-Sunni untuk kepentingan kekuasaan.
Dari keempat asumsi ini, terlihat Buya memiliki pandangan yang khas, yaitu, meskipun “anti-Assad” dan “anti-Iran”, beliau dengan jernih juga melihat adanya tangan kotor Arab Saudi dan Israel di Suriah. Asumsi ke-4 ini biasanya tidak dihiraukan oleh kelompok-kelompok pendukung “jihad” Suriah; mereka umumnya sangat pro-Arab Saudi yang sejak awal konflik sudah menggelontorkan dana untuk para jihadis.
Saya akan mengkritisi keempat asumsi ini satu persatu.

(1) Problem Pengungsi
Ada yang terlewat dalam tulisan Buya yang hanya memfokuskan pada masalah pengungsian Suriah ini. Masifnya gelombang pengungsian ke Eropa dimulai sejak 2011, pasca tergulingnya Qaddafi. Sejak itu pula, sudah ribuan pengungsi dari berbagai negara mati tenggelam. Data UNHCR menyebut bahwa selama 2014 saja, total 3500 migran (dari berbagai negara) tewas dalam upaya mereka mencapai Eropa. Pada 27 Agustus 2015, dua kapal yang mengangkut 500 migran tenggelam di perairan Zuwara, Libya. Sebelumnya, pada Februari 2015, 300 migran dari Afrika Utara tenggelam di laut Mediterania, berasal dari Pantai Gading, Senegal, Gambia, Niger, Mali, dan Mauritania (data dari International Organisation for Migration-IOM). Sedemikian masifnya gelombang pengungsi dari Afrika ini, sampai-sampai Italia sejak Oktober 2013 meluncurkan operasi khusus bertajuk Mare Nostrum, segera setelah terjadinya tragedi Lampedusa di mana 366 migran tewas tenggelam.
Data dari BBC menyebutkan, sepanjang 2014-2015, pengungsi Suriah ke Eropa berjumlah 106.039 orang, Afghanistan 61.826, Pakistan 6.641, Kosovo 23.260, Eritrea 23.878, Nigeria 10.747, dan negara-negara Sub Sahara Afrika lainnya 9.766. Selain itu, lebih dari 300.000 orang meninggalkan Libya pada Januari-Agustus 2015, dan angka ini meningkat 40% dari tahun 2014.
Atas dasar ini, saya tidak melihat kasus pengungsi di Eropa ini sebagai klimaks konflik Suriah. Arus migran di Eropa adalah gambaran dari betapa banyak manusia di berbagai negara di dunia (tidak hanya Suriah) yang hidup dalam nestapa. Sehingga, yang seharusnya dilakukan adalah melihat lebih dalam, ada apa di balik di semua ini? Siapa yang berlumuran darah memicu konflik di berbagai negara di dunia? (Untuk mendapatkan jawaban lengkapnya, bisa baca buku William Blum, “Demokrasi, Ekspor AS yang Paling Mematikan”).
Khusus untuk Suriah, antara lain yang menjadi pertanyaan, mengapa media massa internasional sedemikian mem-blow-up kasus migran Suriah setelah adanya foto jasad bocah Kurdi-Suriah, Aylan, yang terdampar di pantai Turki? Ke mana saja mereka selama ini? Dan mengapa perhatian dunia seolah digiring untuk mengira bahwa pengungsi di Eropa hanya orang Suriah? Foto Aylan yang disebarluaskan secara masif di media massa mainstream, membuat sebagian rakyat Eropa ‘histeris’ dan beramai-ramai menyambut pengungsi dengan rasa haru; mereka juga menekan pemerintah mereka yang semula ‘anti-pengungsi’ (dilihat dari pidato-pidato para pemimpin Eropa, terjadi pergeseran posisi; awalnya mereka menolak tegas menampung pengungsi dengan alasan ‘kedaulatan’ atau ‘kepentingan nasional’).
Tentu di satu sisi, penerimaan (sebagian) pemerintah Eropa terhadap (sebagian) pengungsi adalah hal yang baik dan menunjukkan wajah humanis Barat. Namun, yang menyedihkan –dan banyak terlewatkan dalam analisis- adalah adanya upaya menggiring opini publik Eropa untuk mendukung serangan yang lebih masif terhadap Suriah agar Eropa tidak lagi dibanjiri pengungsi.[i]
Opini publik sangat berperan di negara-negara demokrasi mapan seperti AS dan Eropa Barat. Karena itulah dalam melancarkan perang, yang paling utama dilakukan pemerintah Barat adalah menggiring opini publik agar setuju uang pajak mereka digunakan untuk membiayai perang. Dalam agresi AS ke Irak, misalnya, disebarkan secara sangat tersistematis –bahkan dengan menggunakan kebohongan—opini bahwa Saddam adalah ancaman bagi perdamaian dunia karena memiliki senjata biologis (yang di kemudian hari tidak terbukti adanya senjata pembunuh massal tersebut). [ii]
AS pun telah berkali-kali mengancam akan menyerang Suriah dengan menggunakan isu penggunaan senjata kimia oleh Assad (tuduhan yang telah terbantahkan oleh hasil investigasi PBB). Namun, serangan itu batal karena penolakan opini publik (demo anti-perang Suriah ramai terjadi di AS pada September 2013). Upaya AS dan sekutunya (Inggris, Perancis, Jerman) untuk mendapatkan mandat PBB agar menyerang Suriah pun berkali-kali digagalkan oleh veto Rusia dan China. Skenario Libya, hingga kini belum berhasil dilakukan negara-negara NATO di Suriah. Sebagaimana kita ketahui, pada Maret 2011, NATO ‘berhasil’ mendapatkan mandat DK PBB (saat itu Rusia dan China abstain) untuk membombardir Libya. Penelitian disertasi Umar Suryadi Bakry (HI Unpad, 2013) menemukan bahwa serangan NATO telah melanggar tiga dari 4 syarat keabsahan Humanitarian Intervention (just cause, just authority, just intention, last resort).[iii]
Segera setelah Qaddafi terguling, pemerintahan interim dibentuk. Tokoh-tokoh “jihad” Libya tiba-tiba saja berubah “baju” menjadi tokoh sekuler, berjabat tangan dan tersenyum lebar dengan Hillary Clinton, memberikan konsesi-konsesi minyak dan proyek infrastruktur (membangun kembali apa-apa yang sudah dihancurkan NATO) kepada perusahaan-perusahaan Barat, dan ironisnya, berhutang kepada negara-negara yang selama ini menyimpan dana Libya (membekukan simpanan uang tersebut). Negara termakmur di Afrika itu kini hancur, menjadi penghutang, terus dilanda konflik internal, sehingga timbullah arus pengungsi ke Eropa.

Hillary Clinton bersama pasukan pemberontak Libya (Okt 2011; Qaddafi tewas 20 Okt 2011)
Hillary Clinton bersama pasukan pemberontak Libya (18 Okt 2011; Qaddafi tewas 20 Okt 2011)


U.S. Secretary of State Hillary Clinton (C) gestures with Libyan soldiers upon her departure from Tripoli in Libya October 18, 2011. REUTERS/Kevin Lamarque (LIBYA - Tags: POLITICS TPX IMAGES OF THE DAY MILITARY) - RTR2ST1X


Tokoh-tokoh jihadis Libya kemudian diketahui membentuk dan melatih milisi-milisi jihad di Suriah.[iv] Jurnalis-jurnalis independen sejak awal konflik Syria sudah menguak rencana negara-negara adidaya untuk menggulingkan Bashar Assad lewat cara militer. Pada 11 Desember 2011, Global Research memberitakan, tentara AS yang disebutkan sudah ditarik pulang, ternyata justru dipindahkan ke Yordania, tepatnya, ke Pangkalan Udara King Hussein di Al Mafraq. Laporan itu menyebutkan bahwa ratusan tentara yang berbicara dalam bahasa-bukan-Arab terlihat mondar-mandir di antara pangkalan al-Mafraq dan desa-desa di perbatasan Yordania-Syria (di kemudian hari terbukti bahwa mereka sedang melatih pasukan oposisi Suriah).[v]

Mahdi Al Harati melatih milisi Suriah (foto: cnn.com)
Mahdi Al Harati, tokoh jihadis Libya, melatih milisi Suriah (foto: cnn.com)

Tidakkah kisah ini sedemikian terang memperlihatkan siapa sebenarnya aktor utama konflik di Suriah?

(2) Apakah Semua ini Gara-Gara Assad?
Bahwa di Suriah ada kelompok oposisi, ya benar. Mana ada rezim di dunia ini yang tak menghadapi oposisi? Namun, oposisi Suriah secara garis besar ada tiga kelompok, yaitu (1) yang menghendaki perubahan rezim secara demokratis dan anti kekerasan, antara lain National Coordination Body for Democratic Change, (2) Kelompok-kelompok jihad yang berafiliasi dengan Al Qaida, yang kemudian satu sama lain saling berseteru, dua yang terbesar adalah Jabhah Al Nusra dan ISIS, di antara anasir kelompok ini adalah Hizbu Tahrir (3) Kelompok oposisi yang menurut Barat “moderat”, namun tetap angkat senjata dengan membentuk Free Syrian Army, didominasi kalangan Ikhwanul Muslimin.

Tokoh oposisi Suriah dari kubu Ikhwanul Muslimin, Moaz Al Khatib bersama Presiden Perancis, Hollande
Tokoh oposisi Suriah dari kubu Ikhwanul Muslimin, Moaz Al Khatib bersama Presiden Perancis, Francois Hollande

Moaz Al Khatib bersama Menlu AS, John Kerry
Moaz Al Khatib bersama Menlu AS, John Kerry

Kelompok kedua dan ketiga-lah yang paling “bertanggung jawab” atas terjadinya konflik bersenjata berkepanjangan di Suriah. Bila kita bandingkan dengan fenomena Arab Spring di Mesir dan Tunisia, penggulingan rezim dilakukan dengan demonstrasi masif dan tanpa perlawanan bersenjata. Namun di Suriah, demo tidak pernah bisa semasif itu. Justru demo yang sangat masif terjadi untuk mendukung Assad (dan tentu saja tidak diberitakan oleh media mainstream, maupun media Islam pro-jihadis). [vi] Persis seperti di Libya, demo anti Qaddafi sangat minor, dan rakyat tumpah ruah ke jalanan Tripoli justru untuk mendukung Qaddafi dan menolak NATO (lagi-lagi, hanya media anti-mainstream yang memberitakannya, dengan mengirim langsung jurnalis-jurnalis independen; misalnya Mahdi Darius Nazemroaya dari globalresearch.ca dan Thierry Mayssan dari voltairenet.org). [vii]
Pada tahun 1982, Ikhwanul Muslimin pernah melakukan upaya kudeta dan menguasai kota Hama. Presiden Hafez Al Assad (ayah Bashar Assad) membalasnya dengan membombardir kota itu sehingga ribuan orang tewas. Aktivis-aktivis IM juga banyak yang dihukum mati. Untuk menyikapi peristiwa ini, paradigma kita sangat berpengaruh. Para pendukung IM dan “khilafah/syariat” akan habis-habisan membela IM dan mengecam Assad. Sebaliknya, ditinjau dari perspektif realis, sikap Hafez Assad berkorelasi dengan upaya “mempertahankan kepentingan nasional”. UUD Syria pasal 1 menyebutkan “Republik Arab Syria adalah sebuah negara demokratis, kerakyatan, sosialis, dan berdaulat.”
Analoginya, di Indonesia sejak 1945 sudah disepakati bahwa dasar negara adalah Pancasila dan UUD 1945. Lalu bila tiba-tiba ada kelompok yang melancarkan serangan bersenjata untuk membentuk Kekhilafahan Indonesia, apakah yang akan dilakukan oleh rezim yang berkuasa? Pembahasannya tidak saya tuliskan di sini karena saya hanya sedang berupaya menunjukkan konteks kejadian pemberontakan IM dan pemberangusan yang dilakukan Hafez Assad.
Sekarang mari kita lihat sekilas data statistik di masa Bashar Assad (anak Hafez Assad yang menjadi presiden sejak tahun 2000 ; selanjutnya saat saya menyebut Assad, yang saya maksud adalah Bashar). Selama Assad memerintah, sebelum kaum oposisi angkat senjata tahun 2011, sama sekali tidak ada data adanya “kekejaman pemerintah” terhadap rakyat sipil.[viii] Justru setelah oposisi angkat senjata, dengan merekrut pasukan dari lebih 100 negara, terjadi pembunuhan masif terhadap rakyat sipil dan tentara, serta 50% warga Suriah yang menjadi pengungsi. Informasi tentang ‘kekejaman’ Assad berkali-kali terbukti merupakan informasi palsu (misalnya, foto jasad korban tentara AS di Irak, disebut sebagai korban pembunuhan massal oleh Assad). [ix] Padahal, sebelum 2011, Suriah justru menjadi rumah bagi pengungsi Palestina dan Irak, mereka tidak tinggal di tenda, melainkan di gedung-gedung beton. Suriah pula yang menjadi pusat aktivitas Hamas di luar Palestina (sebelum kemudian mereka berkhianat dan bergabung dengan pemberontak Suriah).

perumahan pengungsi palestina di Syria, stlh terjadi pertempuran antara jihadis (yg meniduduki lokasi) melawan tentara.
perumahan pengungsi palestina di Syria, stlh terjadi pertempuran antara jihadis (yg meniduduki lokasi) melawan tentara, 2012; saat ini kondisinya sudah hancur lebur.

Akan Terlihat Jelas Siapa yang Otoriter Siapa yang Revolusioner?

Sering saya temukan, ketika saya (atau orang lain) menulis “Barat ada di balik konflik negara X”, muncul bantahan seperti ini “Jangan nyalah-nyalahin Barat! Itu kan salah warga negara X sendiri karena..bla..bla..” atau “Anda ini pakai teori konspirasi!” atau kecaman senada dengan berbagai model. Saya sungguh heran, di zaman internet begini, masih juga banyak yang belum paham bahwa dunia sudah jauh berubah. Tidak ada konflik yang berdiri sendiri di era globalisasi ini.
Tentu saja, yang dimaksud ‘Barat’ adalah politisi, korporasi, media mainstream yang memang sangat krusial perannya dalam konflik. Jadi, sangat tidak setara (not apple-to-apple; qiyas ma’al faariq) bila kita bilang Barat itu ‘baik’ hanya dengan bukti betapa baiknya rakyatnya (civil society) mengurusi para pengungsi. Ya, secara kemanusiaan, sangat mungkin civil society di Barat sangat humanis dan baik hati. Tapi kita sedang bicara soal politik internasional, soal siapa yang mendalangi perang.
Buku-buku sudah banyak ditulis juga oleh orang Barat sendiri, betapa memang tangan-tangan Barat berlumuran darah di berbagai konflik, mulai dari Asia hingga Afrika, dan bahkan Eropa (misal, Ukraina). Contoh konkritnya, Suriah. Seharusnya dengan cepat bisa ditangkap ada bau amis di balik konflik ini: para jihadis itu datang dari berbagai penjuru dunia, bukan orang Suriah asli. Website SOHR (Syrian Observatory for Human Rights – ini lembaga sangat anti-Assad) menyebutkan bahwa 90% petempur dari pihak “Rezim” adalah rakyat Suriah asli. Sebaliknya, 70% petempur dari pihak pemberontak adalah orang-orang asing/bukan warga Suriah.
Tak heran bila Assad berkata, “Apakah pantas konflik ini disebut sebagai “Revolusi” sementara kita tahu para pemberontak mayoritasnya bukanlah rakyat Suriah, melainkan para milisi asing yang berasal dari lebih 83 negara dan mendapat support senjata dan finansial dari luar. Revolusi biasanya dilakukan oleh rakyat, bukan oleh para militan asing yang datang memberontak melawan rakyat,”
Maaf ya, jihadis itu digaji ratusan hingga ribuan dollar, bro.. nggak gratisan. Senjata dan bom juga harus dibeli. Yang namanya perang itu mahal sekali, amat mahal. Jadi, sudah pasti ada yang mendanai. Ga mungkin gratisan lillahi ta’ala. Lalu, siapa donaturnya? Gampang sekali, lihat siapa yang bersikukuh menginginkan pergantian rezim di sebuah negara?
Contohnya, Libya, yang katanya juga jihad menggulingkan Qaddafi (padahal, hanya segelintir kelompok yang “berjihad” lalu minta bantuan NATO). Libya dulu adalah negara negara paling makmur se-Afrika (mobil aja dikasih gratis, apalagi yang lain, kesehatan, pendidikan, dll). Setelah Qaddafi tumbang, siapa yang menguasai proyek-proyek infrakstruktur (membangun kembali apa-apa yang sudah hancur dibom NATO dan jihadis)? Siapa yang rame-rame mengeksplorasi minyak di sana? Siapa yang lebih dulu salaman dengan para jihadis? Tak lain tak bukan, Hillary Clinton. Googling saja. Lalu, ente masih bilang, “Ini semua gara-gara rakyat Libya yang bodoh, berantem satu sama lain, ga ada urusannya dengan Barat”?!
U.S. Secretary of State Hillary Clinton (C) gestures with Libyan soldiers upon her departure from Tripoli in Libya October 18, 2011. REUTERS/Kevin Lamarque (LIBYA - Tags: POLITICS TPX IMAGES OF THE DAY MILITARY) - RTR2ST1X
U.S. Secretary of State Hillary Clinton (C) gestures with Libyan soldiers upon her departure from Tripoli in Libya October 18, 2011.
REUTERS/Kevin Lamarque (LIBYA – Tags: POLITICS TPX IMAGES OF THE DAY MILITARY) – RTR2ST1X

Hillary Clinton bersama pasukan pemberontak Libya (Okt 2011; Qaddafi tewas 20 Okt 2011)
Hillary Clinton bersama pasukan pemberontak Libya (Okt 2011; Qaddafi tewas 20 Okt 2011)

Senator McCain bersama pasukan pemberontak Libya
Senator McCain bersama pasukan pemberontak Libya

Terakhir, bagaimana dengan Iran? Dalam beberapa tulisan, Iran disalahkan dengan logika: kalau Iran-Syiah tidak bantu Assad-Syiah, tentu sekarang jihadis sudah menang dan khilafah Islam sudah tegak, tidak ada lagi pengungsi. Plis deh stop mikir sektarian yang -maaf- kampungan sekali ini. Banyak pengamat sudah berbusa-busa nulis soal geopolitik, situ masih juga berargumen ala abad pertengahan. Gini nih cara melihatnya, yang agak sohisticated: Iran dan Hizbullah membantu Suriah karena memang sangat terkait dengan keamanan mereka sendiri. Bila Suriah tumbang dan dikuasai rezim boneka Barat (seperti terjadi di Libya), Hizbullah akan sangat terancam (Israel akan mudah kembali mencaplok Lebanon). Bila Suriah tumbang, serangan ke Iran pun semakin “mudah” karena praktis Iran sudah dikepung basis militer AS (lihat peta). Belum lagi faktor Palestina (tapi terlalu panjang kalau dibahas di sini). Dan yang pasti, Iran dan Hizbullah masuk ke medan perang setelah Assad kepepet, jauh beda dengan AS, Inggris, Perancis, Saudi, Qatar, dan Turki yang sejak awal sudah membacking pasukan oposisi sekuler maupun jihadis.

US military base
Foto: tanda bintang di peta menunjukkan keberadaan pangkalan militer AS.


Melihat konflik itu harus lihat big picture-nya, jangan sepotong kecil di peta lalu menggeneralisasi. Poin saya adalah: bahwa sekarang “Barat” membantu para pengungsi Suriah, patut diapresiasi, tapi jangan lupakan bahwa yang terpenting -HARUS- dilakukan para pemimpin Barat supaya tidak ada lagi pengungsi adalah menghentikan support mereka (termasuk memaksa sekutu-sekutu mereka, Arab dan Turki agar juga berhenti menyuplai dana dan sejata) kepada para jihadis agar perang bisa berhenti