Common sense alias akal sehat adalah frasa yang
diulang-ulang oleh beberapa tokoh dunia dalam menyikapi serangan senjata
kimia di Suriah yang terjadi di Ghouta, pinggiran Damaskus, tanggal 21
Agustus lalu. Vladimir Putin, Presiden Rusia, di Vladivostock (30/8)
mengatakan, “Kita harus bersandar pada akal sehat. Tentara Suriah sedang
dalam posisi ofensif dan tengah mengepung para pemberontak di beberapa
wilayah. Dalam kondisi seperti ini, amat konyol bila menyerahkan kartu
truf kepada mereka yang selama ini selalu menyerukan intervensi militer
asing, apalagi dilakukan tepat ketika datangnya misi inspeksi PBB.”
Tentu saja, Assad pun mengatakan hal senada, “Adakah negara yang
menggunakan senjata kimia atau senjata pemusnah massal di sebuah tempat
dimana pasukannya sendiri terkonsentrasi di sana? Hal ini jelas
bertentangan dengan akal sehat!”
George Galloway, dengan berapi-api mengingatkan anggota Parlemen
Inggris agar menggunakan logikanya, “Pemerintahan Assad cukup buruk
sehingga mungkin saja menggunakan senjata kimia, tetapi apakah mereka
cukup gila untuk melakukannya? Untuk melancarkan serangan senjata kimia
di Damaskus tepat pada hari yang sama ketika Inspektur Senjata Kimia PBB
datang ke Damaskus? Ini pasti definisi baru dari kegilaan. Dan bila
Assad sedemikian buruk dan gilanya, bagaimana mungkin dulu PM Tony Blair
mengundangnya ke London, bahkan diterima Ratu di Istana Buckhingham?”
Ya, pada tahun 2002, Bashar Assad dan istrinya, Asma, melakukan
kunjungan kenegaraan ke Inggris. Selain bertemu dengan Ratu Elizabeth,
Blair pun menjamunya makan siang. Bahkan, baru-baru ini, media Inggris
mengungkap bahwa Blair pun saat itu mengupayakan agar Assad diberi gelar
ksatria kehormatan oleh Ratu. Namun hal ini batal dilakukan. Agaknya
karena Assad tetap menolak menghentikan konfrontasinya dengan Israel.
Bahkan dalam jumpa pers bersama Blair, Assad dengan tegas menolak
tuduhan bahwa pihaknya melindungi organisasi teroris. Menurutnya, kantor
Hamas dan Jihad Islam yang berada di Damaskus adalah ‘kantor juru
bicara rakyat Palestina’, bukan kantor teroris.
Ketika akhirnya Parlemen Inggris menolak keinginan PM Cameron untuk
bergabung dengan AS menyerang Suriah, Putin berkomentar, “Ini tidak
disangka-sangka, tapi menunjukkan akal sehat.”
Ya, akal sehat. Nalar. Inilah yang agaknya sulit ditemukan dalam
analisis konflik Suriah yang disampaikan oleh pihak-pihak
pro-pemberontak. Tanpa menunggu bukti penyelidikan dari PBB, Obama dan
rekannya, Cameron, bersuara keras menuduh Assad sebagai pelakunya. Dari
Israel, hanya beberapa jam setelah kejadian, Menteri Perang Israel,
Moshe Yaalon, mengklaim bahwa pihaknya sudah mengetahui siapa pelaku
serangan senjata kimia yang menewaskan ratusan rakyat sipil itu. Tak
lain, tentara Assad, kata Yaalon. Dan seperti biasa, media massa
mainstream, yang (anehnya) bekerja sama dengan media-media berlabel
Islam, dengan segera menyebarluaskan foto-foto dan video korban senjata
kimia, yang memicu keprihatinan luas publik dunia.
Seperti biasa pula, para facebooker dan blogger –lah yang segera
berjuang melawan hegemoni media mainstream dengan cara memberikan
pengimbangan berita. Dengan cepat mereka menyebarluaskan ‘penemuan’
mereka. Ternyata, foto korban senjata kimia Suriah yang disebarluaskan
oleh Al Jazeera dan Reuters sudah diunggah sehari sebelum kejadian.
Bahkan mereka menemukan video yang memperlihatkan beberapa aktor sedang
berakting terkena gas kimia. Juga, mereka mendeteksi keanehan video yang
disebarluaskan, antara lain, bila dalam rekaman tersebut benar korban
gas sarin, mengapa tim penolong yang datang tidak mengenakan masker?
Lambat laun, media-media besar pun mulai memberitakan berbagai bukti
kejanggalan serangan senjata kimia itu. Antara lain, koresponden
Associated Press, Dale Gavlak (29/8) menulis laporan investigasinya yang
mengungkap bahwa senjata kimia itu berada di tangan pasukan pemberontak
yang meledak secara tak sengaja. Bahkan, senjata kimia itu disuplai
oleh Pangeran Bandar bin Sultan, Direktur Badan Intelijen Arab Saudi,
untuk kelompok pemberontak Jabhah Al Nusrah yang merupakan sayap Al
Qaida. Sekelompok pemberontak di Ghouta menangani senjata yang berupa
tabung gas besar itu secara ceroboh dan akhirnya meledak. Dua belas
pasukan pemberontak tewas bersama ratusan rakyat sipil lainnya.
Namun Obama, Cameron, Hollande, dan Erdogan mengabaikan semua
kejanggalan ini dan berkeras mempertahankan narasi mereka: Assad adalah
rezim bengis pengguna senjata kimia; dia harus digulingkan demi
menyelamatkan rakyat Suriah. Tantangan Putin, “Mereka (Barat) menyatakan
punya bukti (bahwa tentara Assad yang menggunakan senjata kimia);
mereka harus menunjukkan bukti itu. Bila mereka tidak bisa
menunjukkannya, artinya mereka memang tak punya bukti” dianggap angin
lalu.
Untunglah, masyarakat di berbagai belahan dunia lebih banyak yang
menggunakan akal sehatnya. Demo-demo antiperang Suriah digelar di
berbagai negara, mulai dari AS, hingga Yordania. Di depan Gedung Putih,
mereka membawa spanduk bertuliskan “War on Syria Built on a Lie”
Demo-demo di Washington, Los Angeles , Chicago dan New York seolah
membuktikan kebenaran jajak pendapat yang diselenggarakan Reuters, 60%
rakyat AS menolak intervensi ke Suriah. Di Jerman, selain rakyatnya
berdemo antiperang, Angela Merkel pun telah mengumumkan bahwa pihaknya
tidak akan ikut mengirim pasukan ke Suriah. London, Turki, Venezuela,
Yunani, Yordan pun tak sepi dari demo antiperang Suriah. Tak kurang
Vatikan pun menyuarakan penentangannya pada perang.
Di Indonesia, SBY telah secara tegas menolak intervensi militer dan
menyerukan solusi politik. Para pemimpin G20 pun tidak berhasil dibujuk
oleh Obama untuk mendukung intervensi militer. Sepertinya, sudah lebih
banyak pihak yang menggunakan common sense-nya.
Namun sayangnya, sebagian aktivis muslim Indonesia pro-pemberontak
Suriah masih saja menyebarluaskan narasi yang antinalar, misalnya: Syiah itu bukan Islam, karenanya sah-sah saja mujahidin bekerjasama dengan pasukan kafir untuk menumpas Assad, atau Mujahidin
sebenarnya hampir menang di Suriah dan kemenangan ini sangatlah
berbahaya bagi kepentingan Amerika, itulah sebabnya AS ingin menyerang
Suriah, yaitu untuk membantu Assad dalam mengalahkan mujahidin. Pernyataan seperti ini tidak logis karena menggunakan asumsi yang ahistoris serta mengabaikan fakta di lapangan.
Lalu, bagaimana dengan kemungkinan intervensi AS di Suriah? Meski
awalnya sesumbar akan segera menyerang Suriah, akhirnya Obama
menyerahkan keputusan kepada Kongres yang baru akan bersidang pekan
depan. Semoga saja Kongres AS, dan Obama, mau menyerah di hadapan
tekanan publik yang tengah menggunakan nalar kemanusiaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar