“Some of the US forces that left the Ain al-Assad Air base in
Iraq last Thursday, did not come back to the USA or its base in Germany,
but were transferred to Jordan during the evening hours.”(Global Research, 12 Desember 2011).
Berita-berita dari luar media mainstream mulai menguak rencana
negara-negara adidaya untuk menggulingkan Bashir Al Assad, Presiden
Syria. Tentara AS yang konon sudah ditarik pulang, ternyata justru
dipindahkan ke Yordania. Tepatnya, ke Pangkalan Udara King Hussein di Al
Mafraq. Laporan lain menyebutkan bahwa ratusan tentara yang
berbicara dalam bahasa-bukan-Arab terlihat mondar-mandir di antara
pangkalan al-Mafraq dan desa-desa di perbatasan Yordania-Syria. Menurut
Global Research, disinyalir, tentara-tentara asing itu adalah serdadu
NATO.
Al Mafraq adalah nama daerah perbatasan di Yordania. Jaraknya sekitar
10 kilometer dari Syria. Bagi Yordania, Al Mafraq boleh dibilang
“wilayah konspirasi” karena konspirasi yang dijalin oleh Yordania,
Inggris, dan Israel guna menggulingkan pemerintahan di Syria pada masa
lalu memilih Al Mafraq sebagai pusat kegiatan. Tokoh perintis di Al
Mafraq bernama Salim Hatoom, seorang mayor yang gagal melakukan kudeta
terhadap Presiden Suriah Nureddin al-Atassi dan Salah Jadid dekade
1960-an. Pada September 1968, ia melarikan diri ke Yordania dan
mendirikan kamp militer di Al Mafraq. Dari tempat ini pula, ia memulai
‘karir’ sebagai pemberontak terhadap pemerintah Syria.
Tampaknya kisah Hatoom, meskipun tak sukses, mengilhami Syrian Islamic Brotherhood dan sayap militernya, At-Taleeah al-Islamiyyah al-Muqatilah
untuk melakukan perjuangan -atau pemberontakan- terhadap Hafez Al
Assad, Presiden Syria (1971- 2000). Mereka menggunakan pola-pola yang
sama dengan Hatoom: dilatih oleh militer Yordania dan intelijen Israel,
lalu turun ke jalanan kota-kota di Syria untuk melakukan kekacauan,
merusak fasilitas umum, bahkan kalau perlu melakukan pembunuhan terhadap
orang-orang tidak bersalah. Tujuannya, tidak lain ialah menciptakan
destabilisasi politik dalam negara. Tak heran bila aksi-aksi demo itu
sampai berani menyerang markas militer dan bahkan menggunakan roket.
Agaknya, sejarah Syria kini tengah berulang. Sejak musim semi lalu,
banyak serdadu Syria yang melarikan diri dan ditampung dalam di kamp
militer di sebelah barat kota Salt, Yordania. Mereka kemudian
diinvestigasi oleh intelijen militer Israel (AMAN), di bawah pengawasan
intelijen Jordan. Tujuannya adalah untuk mengorek mencari informasi
terkait kekuatan militer Syria pasca tahun 2006.
Selain itu, situs Al Watan Voice Yordania memberitakan bahwa pejabat
negara-negara Barat telah meminta Raja Yordania untuk mengizinkan
pembangunan stasiun mata-mata elektronok di dekat perbatasan Syria di
utara Yordania, dengan tujuan untuk mencari akses terhadap militer Syria
dan mengontak pejabat-pejabat tinggi Syria agar mereka mau melakukan
kudeta terhadap Al Assad.
Sementara itu, dari Turki, modus serupa juga tengah terjadi. Press TV
merilis laporan bahwa ada indikasi bahwa kekuatan oposisi Syria sedang
menjalani latihan militer di kota Hakkari, Turki, di bawah panduan NATO
dan tentara AS. Bahkan, menurut koran Miliyet, Turki, sejak Mei lalu,
15.000 tentara Syria telah desertir dan bergabung dengan Tentara
Pembebasan Syria, yang dipimpin oleh kolonel pembelot Syria, Riad Al
Assad. Riad Al Assad sejak beberapa waktu terakhir telah membelot dari
militer Syria dan dikabarkan berada di pangkalan militer AS di Incirlik,
Turki.
Press TV menulis, sejumlah pemberontak Syria mengakui adanya rencana
yang disponsori pihak asing untuk melakukan operasi bersenjata dan
membunuh rakyat sipil dan pasukan keamanan Syria, membuktikan bahwa
perkembangan terakhir di negara itu adalah bagian dari upaya Barat untuk
menggulingkan pemerintah saat ini dan menggantinya dengan rezim yang
didukung AS.
Skenario yang amat mirip dengan Libya kini tengah berulang di Syria:
AS dan NATO mengorganisir kaum pemberontak, memberi dana, dan memberikan
pelatihan militer untuk kemudian mengadakan berbagai aksi kerusuhan dan
pembunuhan di dalam Syria. Demonizing atau pembunuhan karakter
terhadap Bashar Assad juga dilakukan dengan mengerahkan seluruh mesin
propanda Barat. Assad dengan gencar diberitakan sebagai sosok kejam dan
diktator, persis seperti Qaddafi.
Pertanyaannya sekarang, mengapa Syria? Libya adalah negara dengan
cadangan minyak terkaya di Afrika, sehingga masuk akal bila
negara-negara Barat yang sudah kelimpungan akibat krisis ekonomi
sedemikian bernafsu menguasai Libya. Tapi Syria, bukan negara kaya.
Kesalahan Syria hanya satu: rezim Assad enggan berbaik-baik dengan
Israel. Assad adalah satu-satunya pemimpin negara Arab yang hingga hari
ini tetap teguh menolak berdamai dengan Israel, Assad bahkan membantu
Hizbullah untuk melawan invasi Israel ke Lebanon selatan, bahkan Assad
menyediakan perlindungan bagi aktivis-aktivis top Hamas. Bagi Israel,
Assad adalah duri dalam daging. Lalu mengapa AS dan NATO sampai
berkepentingan menghabiskan energi perang mereka demi Israel?
Menurut pakar Hubungan Internasional, John Mearsheimer dan Stephen Walt dalam makalah mereka, di sinilah letak kekuatan lobby Zionis. Kelompok-kelompok lobby
Zionis sangat berhasil mengalihkan kebijakan politik AS menjauh dari
kepentingan nasionalnya sendiri dan pada saat yang sama meyakinkan
publik dan politisi AS bahwa ada ‘kepentingan yang sama’ di antara AS
dan Israel. Karena itu, gelombang penarikan pasukan AS dari Irak dan
Afghanistan sangat mungkin merupakan taktik yang disebut Sun Tzu dalam art of war-nya, ‘mengecoh langit menyeberang lautan’.
Seolah sedang menghentikan perang, namun sesungguhnya tengah
memindahkan pasukan ke lokasi lain, bersiap untuk perang yang baru.
Namun, situasi tak semudah yang dibayangkan oleh AS. Ternyata, sanksi
PBB untuk Syria gagal terbit karena dihadang oleh veto Cina dan Rusia.
Merapatnya kapal perang Rusia memasuki laut Syria juga merupakan
indikasi kuat bahwa Moskow siap melindungi sekutu dekatnya itu. Dari
Iran, bendera pertempuran juga mulai berkibar.
Iran pun sudah berkali-kali melakukan aksi-aksi deterrence,
bahkan termasuk latihan militer ‘penutupan Selat Hormuz’. Selat Hormuz
adalah jalur distribusi minyak terpenting di dunia, dimana 40 persen
minyak dunia didistribusikan melalui jalur ini. Tak heran bila anggota
parlemen Iran Parviz Sorouri, berkata, “Iran akan membuat dunia tidak
aman jika dunia menyerang Iran.” Hal ini senada dengan ancaman Assad,
“Serangan terhadap Syria akan memicu konflik regional.” Bahkan Assad
sudah sesumbar, jika Syria diserang, pihaknya akan membombardir Israel
dengan berbagai senjata dan roket-roket yang telah ia persiapkan lama.
Apakah akhirnya AS dan NATO tetap nekad melancarkan perang ke Syria,
lalu berlanjut ke Iran, masih menjadi tanda tanya. Namun, pendapat
Andrew Gavin Marshall, peneliti dan kontributor pada Central for Research on Globalization,
menarik untuk disimak. Menurutnya, gejolak yang terjadi di Timur
Tengah ini merupakan taktik politik rahasia untuk memperluas pengaruh
NATO dan AS, serta menghadang Rusia dan China. Tujuan akhirnya adalah
membentuk New World Order (Tatanan Dunia Baru), dimana
segelintir penguasa elit akan memperbudak mayoritas masyarakat dunia. Ia
bahkan mengisyaratkan bahwa revolusi yang kini berlangsung merupakan
awal Perang Dunia III. Apa boleh buat, perkembangan politik memang unpredictable dan sering bersifat turbulent
(tiba-tiba). Kita hanya bisa mencermati dan berharap pada bangkitnya
gelombang kesadaran yang kuat di tengah masyarakat dunia, yang bisa
melawan kekuatan-kekuatan arogan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar