Buya menulis (dengan berlandaskan pada tulisan pengamat politik dari kubu oposisi Suriah): ”Presiden
Bashar al-Assad dengan dukungan Tehran dan Moskwa tampaknya rela
melihat Suriah jadi puing perang daripada berdamai dengan lawan-lawan
politik domestiknya.”
Di sini, “kesalahan” Buya (saya benar-benar mohon maaf atas
penggunaan kata ini) adalah hanya mengindahkan kata-kata dari kubu
oposisi saja. Bukankah Tehran dan Moskow terjun ke dalam konflik ini,
setelah jihadis yang menggunakan cara-cara barbar (mengebom bunuh diri,
menghancurkan infrastruktur, membunuh rakyat sipil dari berbagai agama
dan mazhab, termasuk Muslim Sunni, menghancurkan masjid-masjid dan
situs-situs bersejarah, serta memenggal kepala musuh-musuh mereka)? Jauh
berbeda dengan AS, Inggris, Perancis, Arab Saudi, Qatar, Turki, yang
sudah masuk masuk ke gelanggang sejak awal konflik.
Pertemuan Friends of Syria di Amman |
Hillary Clinton dalam pertemuan Friends of Syria di Tunis, 2012 |
Dari sisi geopolitik, tindakan Rusia dan Iran untuk membantu Suriah
adalah rasional. Bagi Rusia, Damaskus adalah sumber energi (penjelasan
ada di bawah). Bagi Tehran, Damaskus adalah benteng terakhirnya di Arab
dalam menghadapi Israel (tidak ada yang menyangkal permusuhan panjang
Israel-Iran sejak awal kemenangan Revolusi Islam Iran 1979, kecuali para
penyuka teori konspirasi abal-abal yang menyebut Iran-Israel
sesungguhnya adalah sekutu dekat). Suriah berbatasan darat dengan
Israel, Palestina, dan Lebanon. Posisinya sangat penting dalam
perjuangan Iran menumbangkan Israel, yang sudah dikobarkannya sejak
1979. Perjuangan anti-Israel itu didasarkan pada identifikasi yang
sangat tepat dari pemimpin Iran terhadap struktur dunia. (Perlu dicatat,
yang dilawan Iran adalah rezim Zionis Israel, bukan Yahudi dalam makna
Judaisme, karena terbukti Iran tetap melindung HAM warga negaranya yang
beragama Yahudi).
Sebagaimana pernah saya jelaskan panjang lebar dalam buku saya
“Ahmadinejad on Palestine”, Israel sesungguhnya adalah sumber segala
konflik di muka bumi; dan Palestina dan Iran adalah salah satu korban
utama dari kebijakan agresif Israel di Timteng. Bila kita melihat secara
mendalam berbagai konflik di dunia, jejak-jejak Israel selalu terlihat.
Jejak-jejak itu seringkali tertutupi karena Israel memanfaatkan AS. Tak
heran bila profesor Hubungan Internasional dari Chicago University
menulis paper berjudul “Lobby Israel dan Kebijakan Luar Negeri AS” yang
menyodorkan bukti-bukti betapa kelompok-kelompok lobby
pro-Israel sangat berhasil mengalihkan kebijakan politik AS menjauh dari
kepentingan nasionalnya sendiri, dan pada saat yang sama, meyakinkan
publik dan politisi AS akan adanya kesamaan kepentingan AS dan Israel.[1]
Misalnya, perang Irak. Atas dasar apakah AS sampai mengeluarkan 4
Trilyun dollar uang pajak rakyatnya untuk membiayai Perang Irak? Apakah
rakyat Irak membahayakan warga AS? Tidak sama sekali. Yang menjadi
alasan adalah agar eksplorasi minyak Irak bisa dilakukan dengan bebas
oleh perusahaan-perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh orang-orang
Yahudi pro-Israel. Di masa Saddam, jalur pasokan minyak Tikrit –Haifa
ditutup, dan segera setelah Saddam tewas, jalur itu dibuka dan minyak
Irak dengan leluasa mengalir ke Israel.[2]
Begitupun Libya. Untuk siapakah AS menyerang Qaddafi? Siapakah yang
berpesta-pora mengeksplorasi minyak di negeri yang amat kaya emas hitam
(=minyak) itu? Tak lain Big Oil, yang sahamnya sebagian besar dikuasai
orang-orang Zionis.
Senator AS, McCain bersama oposisi dan pemberontak Libya |
Cengkeraman bisnis raksana para pengusaha Zionis menyebar di berbagai
penjuru bumi dan mereka menggunakan cara-cara kotor untuk mengeruk
kekayaan; termasuk di Indonesia. Karena itulah Gilad Atzmon, penulis
Yahudi kelahiran Israel yang kini menjadi pengkritik rezim Zionis,
menyimpulkan, “Kita semua ini adalah bangsa Palestina dan kita memiliki
satu musuh yang sama.”
Manipulasi informasi tentang Libya oleh Aljazeera |
Demo pro-Qaddafi dan anti NATO di Libya, 2011 |
Lalu, Suriah. Apakah warga Suriah mengancam warga AS atau Eropa?
Tidak. “Perjuangan” bersenjata kelompok jihadis tak lama setelah
ditandatanganinya MoU pembangunan jalur pipa gas Irak-Iran-Suriah (di
Iran, 25 Juni 2011) dimana Rusia dan China menjadi salah satu pemegang
saham utama.[3]
Jalur ini mengancam keuntungan jalur pipa gas Nabucco–yang didukung
para pengusaha Zionis—yang menyalurkan gas dari Timur Tengah dan Laut
Kaspia, melewati Turki, hingga ke pasar Eropa.
Suriah adalah satu-satunya negara produsen minyak dan gas di antara
negara-negara di pesisir laut Mediterania. Gas adalah primadona energi
abad ke-21 karena relatif bebas polusi dan harganya pun lebih murah. Di
saat yang sama, Eropa dan AS tengah dilanda krisis ekonomi, sehingga
kontrol energi menjadi kunci utama bila mereka ingin bertahan sebagai
penguasa dunia.
Dari penjelasan singkat ini, semoga bisa dirasakan, bahwa kalimat ini [Presiden
Bashar al-Assad dengan dukungan Tehran dan Moskwa tampaknya rela
melihat Suriah jadi puing perang daripada berdamai dengan lawan-lawan
politik domestiknya] bak “puisi” di hadapan hitung-hitungan materiil perang. Ini adalah “pengamatan melankolis” di hadapan kerasnya kondisi riil.
Lagi pula, perdamaian apa yang dimaksud? Siapa lawan politik yang
harus diajak berdamai? Kelompok oposisi demokratis dan sekuler, terbukti
sudah ‘berdamai’ melalui keikutsertaan mereka dalam pemilu dan
referendum. Apakah yang harus diajak berdamai itu para jihadis yang
hanya menghendaki zero sum game? Analoginya, bila ada partai
tertentu di Indonesia merekrut pasukan dari lebih 100 negara di dunia,
mendapat pasokan senjata dan dana dari AS, Arab Saudi, Qatar, Perancis,
Inggris, Jerman, lalu mengebom dan membunuhi rakyat dan tentara
Indonesia, apakah yang harus dilakukan oleh Presiden Indonesia? Haruskah
berdamai dengan partai itu? Bagaimana nasib dari mayoritas rakyat
Indonesia yang bukan pendukung partai itu, apakah harus dipaksa menerima
kepemimpinan partai buas tersebut demi ‘perdamaian’? Akal sehat akan
menjawab TIDAK.
Yang sudah dilakukan Assad terkait “lawan politik” yang rasional
(menghendaki win-win solution, bukan zero-sum-game ala jihadis), adalah
sbb.
- Pada tanggal 21 April 2011, pemerintah secara resmi mengumumkan pencabutan undang-undang darurat (State Emergency Law/SEL) yang dituduh anti-HAM.
- Pada 26 Februari 2012, diadakan referendum yang mengesahkan UUD baru Suriah, yang antara lain membatasi masa kekuasaan presiden hanya 2 periode (1 periode = 7 tahun) dan menghapus Pasal 8 yang menyatakan bahwa Partai Baath menjadi pemimpin negara (dengan demikian, semua partai berhak jadi pemimpin, asal mendapatkan suara dalam pemilu).
- Pada 3 Juni 2014, diselenggarakan pemilu presiden. Jumlah rakyat yang datang ke kotak pemili mencapai 10.2 juta orang (73,42% turn-ourt vote), dan Assad meraih suara 88,7% sehingga terpilih kembali menjadi presiden. Pemilu 2014 ini diikuti 3 kandidat, yaitu Assad, Hassan Abdullah Nouri dari “National Initiative for Administration and Change in Syria” dan Maher Abd Al-Hafiz Hajjar, dari People’s Will Party. Ini adalah pemilu pertama sejak 50 tahun terakhir di Suriah yang diikuti oleh lebih dari satu kandidat.
Demonstrasi besar-besaran di Damaskus, mendukung Assad, 2012. |
Demonstrasi pro-Assad, untuk mengindetifikasi, perhatikan bendera yang dikibarkan. Kelompok oposisi mengibarkan bendera dengan tiga bintang. |
Yang ditolak Assad adalah : berdamai dengan teroris. Inilah yang
diucapkan Assad dalam wawancaranya dengan wartawan Jerman, Todenhöfer, “Kami
memiliki dua sisi penyelesaian: pertama, Anda harus memerangi
terorisme. Tidak ada pertanyaan soal memerangi teroris. Tidak ada di
manapun di dunia. Apa yang Anda lakukan jika seseorang membunuh rakyat
sipil, membunuh rakyat tak berdosa, membunuh anak-anak, dan membunuh
tentara, dan polisi, dan siapa saja? Anda harus memeranginya jika dia
tidak mau berdialog. Dan inilah yang sejauh ini kami saksikan. Di sisi
lain, [kami] melakukan dialog dengan berbagai komponen politik dan pada
saat yang sama melakukan reformasi untuk [membuka] partisipasi semua
pihak. Dan rakyat yang harus memutuskan siapa yang menjadi wakil rakyat
melalui kotak suara [pemilu].”[4]
Todenhöfer dan Assad |
(4) Kolaborasi Arab Saudi dan Israel
Saya tidak membantah asumsi ke-4 dari Buya ini; hanya ingin
menambahkan argumen untuk memperkuatnya. Peran Arab Saudi dalam konflik
ini adalah menjadi ‘tangan’ bagi Israel untuk menumbangkan Assad, dengan
cara membiayai dan memfasilitasi jihadis yang berafiliasi dengan Al
Qaida (yang akhirnya berubah ‘wajah’ menjadi ISIS). Meskipun secara
resmi Israel dan Arab Saudi tidak memiliki hubungan diplomatik, namun
kerjasama di antara keduanya tidak bisa ditutupi.[5] Di antaranya, Arab Saudi membiayai operasi-operasi intelijen Israel melawan Iran[6], Arab Saudi menyewa perusahaan keamanan Israel, G4S untuk mengamankan haji[7], dan sebaliknya, Israel membantu Arab Saudi untuk menginvasi Yaman.[8]
Lalu, mengapa Israel sangat ingin menumbangkan Assad (dan selama
perang pun rumah sakit Israel merawat para jihadis yang terluka)? Dalam
buku saya Prahara Suriah, saya memberikan argumen dan data bahwa
ditinjau dari politik dan ekonomi, pihak yang paling diuntungkan dari
tumbangnya Assad dan hancurnya Suriah adalah Israel. D
Dalam the Oded Yinon’s Plan disebutkan bahwa untuk mewujudkan Israel
Raya, negara-negara Arab perlu dipecah-pecah ke dalam negara-negara
yang [lebih] kecil. Rencana ini berjalan berdasarkan dua premis; untuk
bisa bertahan, Israel harus 1) menjadi sebuah imperium kekuatan regional
2) mempengaruhi pembagian seluruh kawasan ke dalam negara-negara kecil,
dengan cara pembubaran semua negara-negara Arab yang ada.[9]
Selain itu, Suriah adalah ‘musuh bebuyutan’ Israel. Suriah terlibat
dalam tiga perang melawan Israel, yaitu tahun 1948 (Perang Arab-Israel),
1967 (Perang 6 Hari), dan tahun 1973 (Perang Yom Kippur). Suriah juga
terlibat dalam perang melawan agresi Israel di Lebanon 1982.
Penutup
Dalam kajian Resolusi Konflik, minimalnya ada empat faktor yang harus dikaji, yaitu triggers (pemicu), pivotal factor (akar konflik), mobilizing factor (peran pemimpin), dan aggravating factor
(faktor yang memperburuk atau memperuncing situasi konflik). Keempat
faktor ini umumnya berjalin berkelindan dalam sebuah konflik, sehingga
sering menimbulkan kesalahan persepsi. Para mediator (atau pengamat)
harus mempertimbangkan keempat faktor ini untuk mendapatkan kesimpulan
yang benar. Yang terjadi dalam tulisan Buya adalah kesimpangsiuran
penetapan mana yang triggers, mana yang pivotal, mana mobilizing, mana aggravating.
Selama identifikasi ke-4 faktor belum tepat, sulit mencari resolusi
konflik (dan mungkin karena itulah akhirnya Buya hanya bisa ‘berdoa’ di
akhir tulisan beliau).
Pendapat saya, dengan mempertimbangkan uraian di atas, isu Sunni-Syiah adalah triggers, dan pivot-nya
adalah kepentingan Israel yang bersekutu dengan AS, Perancis, Inggris,
Arab Saudi, Qatar, dan Turki (plus negara-negara Barat lain, seperti
Jerman dan Australia). Karena itu, jalan keluar dari konflik ini adalah:
negara-negara asing berhenti ikut campur di Suriah. Hentikan suplai
dana dan senjata kepada para jihadis; tutup pintu-pintu perbatasan Turki
dan Jordan sehingga pasukan jihadis tidak terus mengalir masuk ke
Suriah. Selama dana, suplai senjata, dan pasukan asing masih terus masuk
ke Suriah perang tak akan berhenti karena para jihadis tidak mau
bernegosiasi, hanya menghendaki zero-sum game.
Bila Israel dan sekutunya angkat kaki dari Suriah, Iran dan Rusia pun
dipastikan angkat kaki. Keduanya bukan negara kaya, sehingga dipastikan
akan bersikap realistis: tak akan menghamburkan uang untuk perang.
Lalu, biarkan para oposisi Suriah –yang asli warga Suriah, bukan mereka
yang selama ini hidup nyaman di luar negeri dan mendapat kucuran dana
dari Barat untuk menggerogoti Suriah- dan yang asli ‘demokratis’ [tidak
menghendaki konflik bersenjata] memperjuangkan aspirasi mereka dengan
cara-cara demokratis. Bila rakyat Suriah benar-benar menghendaki
kejatuhan Assad, tak akan ada yang bisa menghentikan mereka, sebagaimana
yang terjadi di Iran (tergulingnya Shah Pahlevi), Tunisia (tergulingnya
Ben Ali), Mesir (tergulingnya Mubarak), dan Yaman (tergulingnya Ali
Abdullah Saleh). Sebaliknya, bertahannya Assad meskipun telah diperangi
4 tahun beramai-ramai oleh negara-negara kaya sedunia -lewat tangan
para jihadis asing dari lebih 100 negara dunia- seharusnya memunculkan
pertanyaan bagi kaum yang berpikir
Foto atas: tentara Suriah, semua orang Suriah, Foto bawah: pemberontak Suriah, terdiri dari pasukan asing. Pria Chechen bernama Umar, tewas 2013 |