Sabtu, 09 Agustus 2014

Arab Spring : Bukan Karena Demokrasi, Tetapi Karena Bangkit dari Keterhinaan

Media-media Barat mulai menyebarkan berita bahwa tensi di Mesir sudah menurun. New York Times, media terdepan penyambung lidah kaum Zionis, menurunkan headline, “Protests Lingers as Normal Life in Cairo Begins to Resume” (Protes tetap berjalan seiring dengan mulai kembalinya kehidupan normal di Kairo). Perhatikan bahwa New York Times menggunakan kata ‘linger’ yang juga punya makna ‘hidup segan mati tak mau’ dan memberitakan, “Kerumunan yang menuntut turunnya Mubarak semakin mengecil.” NYT bahkan mengutip pernyataan Omar Suleiman (yang didukung AS untuk memimpin proses transisi) yang sejatinya merendahkan bangsa Mesir sendiri, “[Mesir belum siap berdemokrasi dan tidak akan siap sampai] rakyat di sini memiliki budaya berdemokrasi.”
Headline NYT itu didampingi dengan artikel opini dengan judul provokatif, How Democracy Became Halal (Ketika Demokrasi Menjadi Halal). Isinya, seperti tergambar dari judulnya, menyatakan bahwa sumbangan terbesar peradaban Barat terhadap Islam adalah demokrasi. Sambil bersuara miring terhadap proses demokrasi di Iran, penulis artikel itu memosisikan AS sebagai pihak yang berjasa meningkatkan kesadaran demokrasi di tengah bangsa-bangsa Timur Tengah. Islam digambarkan sebagai agama diktator yang harus belajar berdemokrasi.

Penghinaan. Inilah kata kunci dari gelombang kebangkitan rakyat Timur Tengah, menurut Ayatullah Khamenei, pemimpin tertinggi Iran. Media Barat selama ini berusaha menampilkan analisis-analisis yang membebankan kesalahan kepada kediktatoran Mubarak. Sebagian analis yang agak ‘merdeka’ bisa menemukan bahwa justru Barat-lah sumber kesengsaraan Mesir dan Mubarak hanya boneka [baca dua tulisan saya sebelumnya tentang Tunisia dan Mesir]. Tetapi, dari Iran, muncul analisis yang lebih mendasar. Betul, ekonomi menjadi salah satu pemicu kemarahan rakyat. Tapi pemicu utamanya adalah keterhinaan yang ditimpakan oleh imperialis Barat melalui boneka-bonekanya yang sudah tak bisa lagi ditanggung oleh manusia yang secara fitrah memiliki harga diri dan kehormatan.

Saya tak hendak menganalisis ulang apa isi analisis Ayatullah Khamenei. Saya pikir, sebaiknya kita membaca sendiri apa yang beliau ungkapkan tentang Tunisia dan Mesir (selama ini yang beredar di media Indonesia adalah kutipan-kutipan berantai yang sangat mungkin jauh berbeda dengan apa yang sebenarnya beliau sampaikan). Berikut ini terjemahan lengkap analisis Ayatullah Khamenei tentang Tunisia dan Mesir.
*
Apa yang terjadi di Tunisia dan Mesir adalah sebuah ‘gempa besar’. Seandainya rakyat Mesir, dengan bantuan Tuhan, mampu berhasil maka akan terjadi sebuah situasi dimana AS mengalami kekalahan yang sangat besar dalam politik Timur Tengahnya. Penguasa Mesir tentu saja sangat khawatir menghadapi situasi ini, tetapi yang paling ketakutan sebenarnya adalah para pejabat Israel. Para pejabat Israel tahu persis bahwa seandainya Mesir menarik diri dari persekutuannya dengan Israel dan Mesir menempatkan dirinya dalam posisi yang seharusnya, akan terjadi tragedi politik yang sangat besar bagi Zionis. Inilah yang sebenarnya dulu pernah diprediksikan oleh Imam Khomeini dan yakinlah bahwa prediksi itu akhirnya akan terwujud. Dari sisi inilah maka yang terjadi di Mesir adalah peristiwa yang sangat penting.

Analisis-analisis yang muncul di kalangan internasional berusaha keras agar faktor utama dari peristiwa yang terjadi di Mesir ini diabaikan. Mereka menyebut faktor-faktor ekonomi ataupun non ekonomi, tetapi itu bukanlah faktor utama. Faktor utama dari apa yang terjadi di Tunisia dan Mesir adalah perasaan keterhinaan. Segala kebijakan yang diambil oleh pemerintah kedua negara itu menyebabkan munculnya perasaan terhina itu. Para penguasa Mesir telah membuat rakyatnya merasa terhina.

Sebelumnya, saya akan menyampaikan dulu apa yang terjadi di Tunisia. Presiden Tunisia yang sudah lari itu memiliki ikatan yang sangat kuat dengan AS. Bahkan kami memiliki beberapa laporan yang menyebutkan bahwa Ben Ali adalah bagian dari CIA. Perhatikanlah betapa ini adalah suatu hal yang sangat berat bagi sebuah bangsa: ketika pemimpin bangsa itu, presidennya, yang secara lahiriah menunjukkan diri sebagai seorang yang sangat sombong kepada rakyatnya sendiri, tapi pada saat yang sama adalah seorang budak resmi dari sebuah lembaga negara lain, yaitu AS. Ben Ali bertahun-tahun berkuasa atas rakyat Tunisia, menerapkan berbagai kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan nasional, juga bertentangan dengan nilai-nilai agama di negara itu. Tunisia adalah sebuah negara muslim dan memiliki sejarah panjang peradaban Islam, serta mewarisi kebudayaan agung Islam, tapi rakyatnya justru tidak bisa pergi ke masjid dengan bebas pada era Ben Ali. Agar bisa pergi ke mesjid, mereka harus memiliki kartu khusus yang hanya dirilis oleh pemerintah. Kartu itu pun tidak diberikan kepada semua rakyat. Ini artinya pembatasan yang sangat ketat bagi rakyat untuk pergi ke mesjid. Jangankan melaksanakan sholat berjamaah, untuk sekedar sholat sendirian pun di masjid dilakukan pembatasan. Pembatasan ini dilakukan secara terang-terangan. Jilbab secara resmi dinyatakan terlarang. Dari sisi ini, sangatlah jelas terlihat bahwa kebangkitan rakyat Tunisia didasari pada semangat kebangkitan Islam. Hal ini juga terlihat dari fenomena ketika para mahasiswi Tunisia langsung mengenakan jilbab ketika pergi ke kampus segera setelah Ben Ali yang pengkhianat itu lari ke luar negeri dan kacaunya kendali pemerintah. Hal ini menunjukkan motivasi keislaman yang sangat kuat. Hal-hal semacam inilah yang berusaha keras disembunyikan oleh para analis Barat.

Motivasi yang lainnya terkait dengan kebangkitan rakyat Tunisia adalah keinginan untuk berlepas diri dari AS dan motivasi ini sungguh sangat penting. AS tidak ingin muncul suara-suara yang menyatakan bahwa alasan kebangkitan rakyat Tunisia –dan berikutnya menjalar ke Mesir—terkait dengan permasalahan ketergantungan kepada AS. Ini adalah hakikat ynag sebenarnya.

Di Tunisia saat ini sudah terjadi perubahan tetapi masih di lapisan permukaan. Ben Ali sudah pergi, akan tetapi kaki tangannya masih bisa bercokol di pemerintahan. Mudanh-mudahan Allah memberi pertolongan kepada rakyat Tunisia agar mereka memahami situasi yang sebenarnya dan jangan sampai musuh melakukan penipuan kepada rakyat Tunisia.
Adapun di Mesir, Mesir adalah sebuah negara yang sangat penting. Mesir adalah negara muslim pertama yang berkenalan dengan budaya Barat. Mesir pulalah yang menjadi negara pertama yang memahami budaya Barat dan memahami berbagai macam cela-nya untuk kemudian mereka melakukan kritik terhadap keburukan-keburukan itu. Jamaluddin Al Afghani, seorang ulama Islami pemberani dan pejuang besar, menemukan bahwa tempat yang tepat untuk melawan Barat dan Eropa adalah di Mesir. Kemudian muridnya, Syekh Muhammad Abduh dan para pejuang Islam lainnya mengikuti jejak Al Afghani. Mesir pulalah kawasan yang melahirkan tokoh-tokoh besar politik dan budaya Islam. Mereka semua adalah pejuang kebebasan. Karena itulah maka sangat layak jika Mesir dulu sempat menjadi pemimpin dunia Arab secara pemikiran maupun politik. Dalam jangka waktu yang cukup lama, negara-negara Arab sangat mengakui kepemimpinan Mesir.

Mesir bersama Suriah adalah negara Arab yang pertama kali berani tampil memasuki medan pertempuran untuk membebaskan rakyat Palestina. Dengan gagah berani Mesir mengirimkan tentara dan rakyatnya, didukung segala fasilitas negara, demi peperangan itu. Walaupun pada akhirnya peperangan itu (tahun 1967 dan 1973) gagal dimenangkan, [namun] inilah fakta sejarah Mesir. Mesir kemudian menjadi tempat bernaungnya pejuang Palestina. Bahkan kaum revolusioner dari negara-negara lainpun ketika membutuhkan perlindungan, mereka akan datang ke Mesir. Bisa dibayangkan, negara yang memiliki sejarah yang membanggakan seperti ini, selama 30 tahun terakhir justru jatuh di bawah kekuasaan seseorang yang malah menjadi musuh dari kebebasan itu sendiri. Dia bukannya memusuhi Zionisme tetapi malah merupakan bagian dan penjamin agenda-agenda Zionisme. Dia malah menjadi budak dari Zionisme. Sebuah negara yang dulunya menjadi pengibar panji perjuangan melawan Zionisme dan menjadi inspirator bagi gerakan perjuangan di seluruh dunia Arab selama 30 tahun terakhir ini, selama 30 tahun terakhir malah menjadi tumpuan harapan dan tameng bagi Israel dalam menjalankan berbagai politik penindasan terhadap Palestina.

Dalam peristiwa Gaza misalnya, seandainya Mubarak tidak membantu Israel, tidak mungkin Israel bisa mengepung Gaza. Orang-orang Palestina di kota Gaza hingga saat ini telah empat tahun berada dalam pengepungan. Dalam peperangan 21 hari [Des 2009-Jan 2010], laki-laki, perempuan, anak-anak Palestina di Gaza dibunuh Israel, rumah-rumah mereka dihancurkan, dan pemerintahan Mubaraklah yang melarang sampainya bantuan kepada warga Gaza. Larangan pemberian bantuan ini bukan hanya diberlakukan kepada rakyat Mesir, melainkan juga diterapkan kepada negara-negara lain yang ingin memberikan bantuan melalui kawasan Mesir. Husni Mubaraklah yang menetapkan pelarangan itu. Situasi seperti inilah yang terjadi di Mesir.
Sangat layak jika rakyat Mesir kemudian marah. Rakyat Mesir marah melihat dukungan total pemerintah mereka kepada Israel, ketaatan luar biasa Mubarak kepada AS. Mereka merasakan keterhinaan dan kerendahan. Inilah yang sebenarnya menjadi faktor utama yang sekarang terjadi di Mesir. Mereka adalah para pejuang Islam, gerakannya pun dimulai dari sholat Jumat dan dari masjid-masjid. Yel-yel yang mereka kumandangkan adalah Allahu Akbar. Rakyat menggelorakan slogan-slogan keagamaan. Dan para aktivis yang menggerakkan demo di Mesir adalah para aktivis Islam. Rakyat Mesir menghendaki terhapusnya kehinaan ini dari diri mereka. Inilah sebenarnya faktor utama. Tapi tentu saja negara-negara Barat tidak membiarkan analisis semacam ini muncul dan menyebar di kalangan masyarakat internasional. Hampir semuanya menunjuk kepada permasalahan ekonomi. Tentu saja, hal ini pun menjadi sebuah realitas. Penghambaan seseorang seperti Mubarak kepada AS terbukti tidak mampu membawa Mesir selangkah pun ke arah kemajuan. 40% dari penduduk Mesir yang berjumlah sekitar 70 juta hidup di bawah garis kemiskinan. Laporan-laporan menyebutkan bahwa ratusan ribu orang (sebenarnya saya mendengar jumlahnya 2-3 juta, tapi yang bisa dipastikan adalah ratusan ribu) di kota Kairo sedemikian miskinnya sehingga terpaksa hidup di kompleks-kompleks pemakaman. Banyak lagi di antara mereka yang menjadi gelandangan. Rakyat memang berhadapan dengan situasi kehidupan yang luar biasa sulit. Penghambaan pemimpin Mesir kepada AS ternyata tidak berbuah dukungan ekonomi dari pemerintah AS kepada bangsa Mesir. Hari ini pun AS tidak akan membantu Mesir. Yakinlah bawah seandainya Husni Mubarak melarikan diri dari Mesir, negara pertama yang menutup pintunya untuk Mubarak adalah AS. Inilah yang juga dilakukan AS kepada Ben Ali dan Muhammad Reza [Pahlevi].
Inilah nasib yang dialami oleh orang yang hatinya tertambat kepada AS dan menunjukkan pertemanan kepada AS. AS itu seperti setan. Dalam doa Sahifah Sajadiah, dikatakan bahwa “ketika sudah menipu manusia, maka setan akan memalingkan mukanya” dan-menurut penafsiran saya- pada saat itu sesunggunnya setan sedang menertawakan dan tidak pernah mempedulikan lagi orang yang ditipunya. Dengan perantaraan orang-orang yang lemah dan hina seperti inilah AS mencoba berusaha mengamankan kepentingan dirinya sendiri.
Tapi hari ini AS betul-betul dalam kondisi terpojok dan yang lebih merasakan situasi sulit saat ini adalah Israel. Mereka sedang berusaha keras untuk mencari jalan keluar bagi peristiwa yang terjadi di Mesir, jalan keluar yang tidak mungkn mereka dapatkan, Mereka berusaha membuat berbagai macam penipuan, seperti berpura-pura menunjukkan dukungan terhadap gerakan rakyat. [Misalnya] sekarang dikabarkan bahwa AS sudah meminta Mubarak untuk mengundurkan diri dan pergi. Keberhasilan politik AS ini tentu saja bergantung kepada rakyat Mesir sendiri.
(Ayatullah Khamenei kemudian melanjutkan khutbahnya dengan bahasa Arab, yang ditujukan kepada muslim berbahasa Arab. Isi khutbah bahasa Arab adalah ringkasan dari khutbah berbahasa Persia, namun ada tambahan kalimat yang khusus ditujukan kepada bangsa Mesir):
Saudara-saudara ini adalah pengalaman kita bersama. Saya sebagai saudara muslim Anda menyampaikan semua ini kepada Anda dengan didasarkan kepada suatu komitmen agama. Perhatikanlah bahwa terompet propaganda musuh akan kembali bersuara. Mereka akan mengatakan bahwa Iran akan melakukan intervensi, ingin mensyiahkan Mesir, ini mengekspor wilayatul faqih ke Mesir, dan berbagai macam tuduhan lainnya. Ini adalah kebohongan yang sudah berlangsung 30 tahun yang tujuannya adalah agar kaum muslimin berpecah-belah dan tidak bisa saling memberikan pertolongan satu sama lain. Slogan-slogan itu diulang-ulang pula oleh para pengikut Barat. [mengutip ayat Quran 6:112] “Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang menipu, tetapi jika Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan mampu mewujudkannya. Maka tinggalkanlah mereka dengan segala kebohongan mereka.” Meskipun berbagai konspirasi dirancang sedemikian hebatnya oleh musuh, kami tidak akan pernah melepaskan kewajiban yang diletakkan oleh agama Islam di atas pundak kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar