Jumat, 29 Agustus 2014

Studing Perbandingan antara Redenominasi dengan Sanering Mata Uang

Banyak masyarakat yang masih keliru membedakan antara pengertian redenominasi mata uang dan sanering. Sesungguhnya, dua kebijakan tersebut merupakan dua hal yang sangat berbeda. Berikut penjelasan mengenai redenominasi dan sanering.

Redenominasi berarti menyederhanakan pecahan mata uang dengan mengurangi digit nol tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Misalnya, Rp 100.000 disederhanakan menjadi Rp 100 saja, dengan menghilangkan tiga buah angka nol yang paling belakang. Redenominasi biasanya dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil dan menuju ke arah yang lebih sehat.

Sementara sanering adalah pemotongan nilai uang sehingga terjadi penurunan daya beli masyarakat. Kebijakan ini biasanya dilakukan dalam kondisi perekonomian yang tidak sehat.

Adapun tujuan redenominasi rupiah adalah guna mempermudah masyarakat dalam melakukan transaksi. Sementara itu, sanering dilakukan untuk mengurangi jumlah uang beredar akibat harga-harga yang mengalami lonjakan.

Awalnya pemerintah dan BI berencana menjalankan tahapan redenominasi dalam tiga bagian. Pertama, tahap persiapan yang berlangsung selama tahun 2013. Kedua, tahap transisi yang berjalan mulai 2014 hingga 2016. Ketiga, tahap penyelesaian (phasing out) antara tahun 2017-2020. [1]


Pengertian Redenominasi 
Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah mata uang Pada waktu terjadi inflasi jumlah satuan moneter yang sama perlahan-lahan memiliki daya beli yang semakin melemah. Dengan kata lain, harga produk dan jasa harus dituliskan dengan jumlah yang lebih besar. Ketika angka-angka ini semakin membesar, mereka dapat memengaruhi transaksi harian karena risiko dan ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh jumlah lembaran uang yang harus dibawa, atau karena psikologi manusia yang tidak efektif menangani perhitungan angka dalam jumlah besar. Pihak yang berwenang dapat memperkecil masalah ini dengan redenominasi: satuan yang baru menggantikan satuan yang lama dengan sejumlah angka tertentu dari satuan yang lama dikonversi menjadi 1 satuan yang baru. Jika alasan redenominasi adalah inflasi, rasio konversi dapat lebih besar dari 1, biasanya merupakan bilangan positif kelipatan sepuluh, seperti 10, 100, 1.000, dan seterusnya. Prosedur ini dapat disebut sebagai "penghilangan nol".Contoh-contoh yang terkini antara lain:
Satuan baru
=
x
Satuan lama
Tahun
Dolar Zimbabwe
=
1 000 000 000 000
ZWR
Februari 2009
Dolar Zimbabwe ketiga (ZWR)
=
10 000 000 000
ZWN
Agustus 2008
Dolar Zimbabwe kedua (ZWN)
=
1 000
ZWD (dolar pertama)
Agustus 2006
Metical Mozambik baru
=
1 000
Metical lama
2006

Bank Indonesia memandang bahwa keberhasilan redenominasi sangat ditentukan oleh berbagai hal yang saat ini tengah dikaji sebagaimana yang telah dilakukan oleh beberapa Negara yang berhasil melakukannya. Hal-hal tersebut merupakan syarat-syarat untuk melakukan redenominasi yaitu antara lain :
1.2.1.       Inflasi stabil dibawah 5% selama 4 tahun berturut-turut.Redenominasi yang diwacanakan Bank Indonesia, telah mendapat persetujuan dari pemerintah. Oleh sebab itu, sebelum rencana itu terwujud, maka pemerintah harus memperhatikan keadaan ekonomi pada saat ini, salah satunya adalah inflasi. Jika inflasi stabil di bawah 5 % selama 4 tahun berturut-turut, maka redenominasi dapat dilakukan.Dengan melihat apa yang telah terjadi pada sanering, inflasi merupakan faktor penting untuk menjaga kestabilan rupiah. Jika pemerintah akan melakukan redenominasi tiga tahun mendatang, maka dengan tingkat inflasi yang stabil, maka redenominasi dapat dilakukan. Secara singkat inflasi adalah kenaikan harga-harga yang bersifat umum, secara terus menerus sehingga menyebabkan turunnya nilai uang.Dalam hal ini Bank Sentral juga mempunyai kewajiban untuk mengatasi jumlah uang yang beredar, hal ini untuk mencegah jangan sampai uang yang beredar melebihi kebutuhan perekonomian, sehingga akan menyebabkan inflasi. Di sini fungsi bank sentral adalah untuk menjaga nilai mata uang jangan sampai merosot, dengan mencegah jangan sampai terlalu tinggi. Seperti yang sudah diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Bank Indonesia No.3 Tahun 2004 yang isinya adalah  :a. Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.b. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.”Begitu pula di dalam penjelasannya, disebutkan bahwasannya kestabilan nilai rupiah yang dimaksud dalam Undang-undang tersebut adalah kestabilan terhadap barang dan jasa, serta terhadap mata uang Negara lain. Kestabilan terhadap barang dan jasa diukur dengan perkembangan laju inflasi. Jadi pemerintah, khususnya Bank Indonesia harus benar-benar memperhatikan hal itu. Di samping itu, telah jelas bahwasannya adanya Undang-undang tersebut agar kebijakan yang diambil oleh Bank Indonesia sudah mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian nasional.
1.2.2.       Stabilitas perekonomian terjaga dan jaminan stabilitas hargaStabilitas harga juga mempengaruhi terlaksananya redenominasi dengan baik. Karena pada saat rupiah diredenominasi, maka harga akan tetap pada harga lama, yang berubah adalah nominal pada rupiah saja. Sehingga dengan rupiah yang sudah diredenominasi (istilah rupiah baru pada masa transisi), tidak terjadi lonjakan harga-harga. Karena dengan nominal yang kecil, bukan tidak mungkin masyarakat akan merasa bahwa barang yang dijualnya terasa lebih murah dan menaikkan harga. Untuk itu harus ada jaminan stabilitas harga dari pemerintah sebelum redenominasi itu dilakukan agar stabilitas perekonomian tetap terjaga.
1.2.3.       Kesiapan Masyarakat. Kesiapan masyarakat sebelum redenominasi dilakukan merupakan hal yang penting, yaitu pemahaman tentang istilah redenominasi itu sendiri. Terlebih, untuk kalangan masyarakat yang pernah mengalami masa dilakukannya sanering pada tahun 1950-an. Sosialisasi ini juga sangat penting dilakukan untuk masyarakat kalangan bawah yang tidak mengerti rencana pemerintah tersebut. Misalnya saja dimulai dari keadaan yang mengharuskan masyarakat memakai dua mata uang rupiah pada masa transisi, mencantumkan dua label harga, dan jika nanti ada uang pecahan baru yang lebih kecil, maka masyarakat harus bisa menyesuaikan dengan semua perubahan itu.Pada akhirnya, banyak hal yang harus dipersiapkan untuk melakukan redenominasi mata uang rupiah tersebut. Walaupun Bank Indonesia dan juga pemerintah meyakinkan bebagai pihak, bahwasannya redenominasi berbeda dengan sanering. Karena pada redenominasi hanya nominal uangnya saja yang berubah dan cara penyebutannya, tidak mengurangi nilai uangnya. Akan tetapi, tanpa kesiapan yang matang dari berbagai pihak, khususnya sosialisasi kepada masyarakat akan menyebabkan kekacauan karena kesalahan persepsi.Terkait syarat-syarat redenominasi di atas, maka biaya dan risiko yang mungkin muncul ketika redenominasi dilakukan, Tarhan (2006) dalam tulisannya menjelaskan beberapa diantaranya adalah:
1) Efek inflasi karena pembulatan pada harga-harga. Bila dalam contoh rupiah misalnya Rp. 32.500 menjadi Rp 33.
2) Biaya perubahan menu dan administratif, termasuk diantaranya merubah harga pada label.3) Perubahan hukum dan undang-undang.
4) Biaya pencetakan mata uang baru baik kertas maupun koin, serta surat berharga lainnya
5) Biaya pemusnahan mata uang rupiah dan koin lama
6) Biaya edukasi kepada public dan iklan layanan masyarakat untuk perubahan tersebut kepada masyarakat terutama yang berada dipedesaan dimana tingkat pendidikannya rendah serta akses kepada media dan informasi juga sangat rendah
7) Perubahan software serta data akuntansi dan neraca
8) Efek psikologis karena tingkat pendapatan yang dirasakan menurun
9) Biaya tambahan pada ekonomi jika angka nol balik lagi karena inflasi.  
Hubungan Inflasi dengan Redenominasi Seperti telah dijelaskan sebelumnya pada syarat-syarat redenominasi, salah satunya adalah inflasi harus stabil di bawah 5 % dalam 4 tahun berturut-turut. Tentu hal ini sangat berhubungan erat dengan redenominasi yang akan dilakukan pemerintah. Untuk itu ada baiknya mengetahui tentang inflasi.Inflasi menurut Dwi Eko Waluyo adalah merupakan kecenderungankenaikan harga-harga umum secara terus-menerus. Sedangkan menurut Manullang, inflasi adalah satu keadaan dimana terjadi senantiasa meningkatnya harga-harga pada umumnya atau suatu keadaan dimana terjadi turunnya uang. Sedangkan menurut kamus lengkap perekonomian yang berlangsung secara terus-menerus dari waktu ke waktu. Menurut Rahardja dan Manurung mengatakan bahwa inflasi adalah gejala kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan berlangsung secara terus-menerus. Sedangkan menurut Sukirno, inflasi yaitu kenaikan dalam harga barang dan jasa yang terjadi karena permintaan pasar bertambah lebih besar dibandingkan dengan penawaran barang-barang di pasar. Jadi dapat disimpulkan bahwa inflasi adalah suatu kenaikan hargaharga pada umumnya yang berlangsung secara terus-menerus. Bersamaan dengan itu, nilai uang turun secara tajam sebanding dengan kenaikan harga-harga tersebut. Artinya telah terjadi kenaikan harga bila dibandingkan dengan tingkat harga sebelumnya dan kenaikan harga tersebut menyebabkan harga-harga secara umum naik.Akan tetapi belum dapat dikatakan sebagai inflasi jika kenaikan harga hanya secara umum naik. Misalnya harga mangga Rp 5000,- pada saat musim mangga, tetapa naik menjadi Rp 7000,- pada saat tidak musim. Itu bukan termasuk inflasi, karena bersifat sementara dan tidak menyebabkan harga barang lain naik. Begitu juga jika kenaikan harga hanya terjadi sesaat. Misalkan terjadinya kenaikan harga hari ini dibandingkan dengan hari sebelumnya, tetapi keesokan harinya sudah kembali turun. Biasanya perhitungan inflasi dalam rentang waktu minimal bulanan, sebab dalam sebulan akan terlihat kenaikan harga bersifat umum dan terus-menerus. Berbeda halnya dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Karena kenaikan BBM merupakan komoditas yang strategis sehingga menyebabkan harga barang atau komoditas lainnya ikut naik. 
Berikut adalah macam-macam inflasi, di antaranya adalah:Inflasi jika ditinjau dari sudut bobotnya, dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu:1) Inflasi ringan, Inflasi ringan disebut juga Creeping Inflation. Inflasi ringan adalah inflasi dengan laju pertumbuhan yang berlangsung secara perlahan dan berada pada posisi satu digit atau di bawah 10% pertahun.2) Inflasi sedang, Inflasi sedang (moderat) adalah inflasi dengan tingkat laju pertumbuhan berada di antara 10-30% pertahun atau melebihi dua digit dan sangat mengancam struktur dan pertumbuhan ekonomi suatu Negara.3) Inflasi berat, Inflasi berat merupakan inflasi dengan laju pertumbuhan berada diantara 30-100% pertahun. Pada kondisi demikian sektor-sektor produksi hampir lumpuh total kecuali yang dikuasai oleh Negara. 4) Inflasi sangat berat, Inflasi sangat berat (hyper inflation) adalah inflasi dengan laju pertumbuhan melampaui 100% pertahun yang timbul akibat adanya kenaikan harga-harga yang umum yang berlangsung sangat cepat. Sebagaimana yang pernah dialami oleh Negara Indonesia pada masa Orde Lama dan awal Orde Baru. Untuk keperluan perang terpaksa harus dibiayai dengan cara mencetak uang secara berlebihan.Sedangkan ditinjau dari asal terjadinya, maka inflasi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1) Domestic InflationDomestic Inflation (inflasi domestik) adalah inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestik). Kenaikan harga disebabkan karena adanya kejutan (shock) dari dalam negeri, baik karena perilaku masyarakat maupun pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang secara psikologis berdampak inflator. Kenaikan harga-harga terjadi secara absolute akibatnya terjadilah inflasi atau semakin meningkatnya angka (laju) inflasi.
2) Imported InflationImported Inflation adalah inflasi yang terjadi didalam negeri karena adanya pengaruh kenaikan harga dari luar negeri. Kenaikan harga didalam negeri terjadi karena dipengaruhi oleh kenaikan harga dari luar negeri, terutama barang-barang impor atau kenaikan bahan baku industry yang masih belum dapat diprodukai di dalam negeri. Inflasi memiliki memiliki beberapa dampak buruk terhadap individu dan masyarakat, menurut Pratama Rahardja dan Manurung yaitu :a) Menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakatInflasi menyebabkan daya beli masyarakat menjadi berkurang atau malah semakin rendah, apalagi bagi orang-orang yang berpendapatan tetap. Kenaikan upah tidak secepat kenaikan hargaharga, maka inflasi ini akan menurunkan upah riil setiap individu yang berpendapatan tetap, seperti pegawai negeri sipil ataupunkaryawan.b) Memperburuk distribusi pendapatan.Bagi masyarakat yang berpendapatan tetap akan menghadapi kemerosotan nilai riil dari pendapatannya dan pemilik kekayaan dalam bentuk uang akan mengalami penurunan juga. Akan tetapi bagi pemilik kekayaan tetapseperti tanah dan bangunan dapat mempertahankan atau justru menambah nilai riil kekayaannya. Dengan demikian inflasi akan menyebabkan pembagian pendapatan diantara golongan yang berpendapatan tetap dengan para pemilik kekayaan tetap akan semakin tidak merata.c) Terganggunya stabilitas ekonomiInflasi mengganggu stabilitas ekonomi dengan merusak perkiraan atas kondisi dimasa depan (ekspetasi) para pelaku ekonomi sehingga hal ini akan mengacaukan stabilitas dalam perekonomian suatu negara, karena akan memunculkan perilaku spekulasi dari masyarakat.Terkait dengan redenominasi yang akan dilakukan pemerintah, inflasi harus berada dikisaran 5 % selama 4 tahun berturut-turut. Artinya untuk melakukan redenominasi, tingkat inflasi harus ada pada inflasi ringan yaitu laju pertumbuhannya lambat 10 % pertahun. Karena selain dampak yang sudah dijelaskan di atas, terdapat juga dampak lainnya yaitu adanya dampak inflasi bagi para penabung. Ini menyebabkan orang enggan untuk menabung, karena nilai mata uang yang ditabung akan semakin menurun.Penabung yang biasanya menghasilkan bunga atau bagi hasil, tetapi jika tingkat inflasi terjadi masih diatas tingkat bunga yang diterima oleh penabung, tetap saja nilai mata uang yang akan diterima oleh penabung akan menurun. Bila orang sudah enggan menabung, maka dunia usaha dan investasi akan sulit untuk berkembang, karena berkembangnya dunia usaha membutuhkan dana dari masyarakat yang disimpan di Bank.Terlebih lagi jika inflasi yang terjadi melebihi itu akan terjadi kenaikan harga-harga pada umumnya dan bukan tidak mungkin redenominasi akan berubah menjadi sanering. Karena inflasi sulit dikendalikan, sementara akan ada rupiah baru walaupun nilainya tidak berubah, hanya penulisannya saja. Akan tetapi tanpa persiapan yang matang dari berbagai pihak khusunya bagi para penabung akan terjadi kekhawatiran terhadap uang mereka.
Tahapan Pelaksanaan Redenominasi 
Dalam menerapkan redenominasi, pemerintah Indonesia dapat melakukan secara bertahap untuk meredam gejolak yang mungkin akan terjadi di masyarakat. Karena selain efek ekonomi, efek psikologi di masyarakat yaitu kesiapan masyarakat perlu diperhatikan. Untuk itu Bank Indonesia sudah membuat tahapan-tahapan redenominasi. Tahapan-tahapan tersebut meliputi:a. 2011 – 2013 : Tahap sosialisasiBank Indonesia akan mensosialisasikan redenominasi kepada masyarakat. Yaitu Semua sistem akuntansi, pencatatan, dan sistem informasi akan disesuaikan secara bertahap. Hal itu untuk mempermudah masyarakat agar terbiasa dengan rupiah yang baru, dengan angka-angka yang kecil.b. 2013 – 2015 : Tahap transisiDalam masa ini, nantinya harga barang akan ditulis dalam dua harga yaitu terdiri atas rupiah lama dan rupiah baru. Misalnya, barang seharga Rp10.000 akan ditulis dalam dua harga yaitu Rp10.000 dan Rp10 (baru). Uang saat ini akan disebut rupiah lama, yang baru akan disebut rupiah baru. Selama masa ini, masyarakat akan menggunakan dua mata uang yaitu rupiah lama dan rupiah baru. Begitu juga untuk pengembalian uang, boleh menggunakan keduanya. BI juga akan perlahan-lahan mengganti uang rusak rupiah lama dengan uang rupiah baru.c. 2016 – 2018 : Tahap penarikan uang lamaBank Indonesia akan menarik uang lama, sehingga diharapkan pada akhir 2018 mata uang lama sudah tidak beredar lagi.d. 2019 – 2020 : Tahap pemantapanBank Indonesia akan mengganti uang baru yang bertuliskan “Uang Baru” dengan uang baru yang tidak memiliki tulisan baru tersebut sehingga diharapkan pada tahun 2021 redenominasi rupiah telah selesai. Kata-kata uang baru yang menandakan pengganti uang lama akan dihilangkan. Indonesia kembali pada rupiah seperti saat ini, namun nilai uangnya lebih kecil. Untuk mata uang kecil berlaku uang koin dan nilai pecahan sen akan berlaku lagi.Selain itu media diharapkan turut membantu mensosialisasikan proses dan tahapan redenominasi ini agar masyarakat paham akan manfaatnya bagi system keuangan dan perekonomian Negara. 
Alasan dan tujuan redenominasi 
Bank Indonesia (BI) berencana melakukan redenominasi rupiah karena uang pecahan Indonesia yang terbesar saat ini Rp 100.000. Uang rupiah tersebut mempunyai pecahan terbesar kedua di dunia, terbesar pertama adalah mata uang Vietnam yang mencetak 500.000 Dong. Namun tidak memperhitungkan negara Zimbabwe, negara tersebut pernah mencetak 100 miliar dolar Zimbabwe dalam satu lembar mata uang.(detikfinance, 07082010). Jadi BI berencana untuk menyederhanakan angka nominal pada mata uang rupiah. Dengan penyederhanaan ini diharapkan akan lebih memudahkan dalam pencatatan akuntansi.BI mengklaim bahwa sudah sejak lama, walaupun tidak formal, penyederhanaan ini sudah sering dilakukan di tengah masyarakat, misal dengan menyebut jumlah 1 juta menjadi seribu, 100 juta menjadi 100 ribu, jadi mengapa tidak di formalkan sekalian? Selain itu, langkah redenominasi ini dilakukan sebagai persiapan  menghadapi pemberlakuan mata uang bersama ASEAN, tahun 2015 (Ihda Faiz). Dengan penyebutan nominal yang ada, mata uang rupiah dianggap terlalu mencolok jika dibandingkan dengan nilai mata uang negara-negara ASEAN. Mata uang rupiah dianggap terlalu tambun, dan sulit untuk dieja.Dengan nilai nominal yang ada Muhaimin Iqbal menggambarkan ”kepelitan” wisatawan asing dalam memberi tips atas kepuasan pelayanan yang diberikan di hotel-hotel. Tidak jarang tips yang mereka berikan hanya Rp.500 atau Rp.1000, seperti besar padahal nilainya kecil. Bahkan tidak jarang kembalian taxi yang hanya Rp.500 atau Rp.1000, sampai ditagih, oleh para waisatawan asing tersebut karena terlihat seolah bernilai besar. Oleh karena itu redenominasi dilakukan sebagai upaya untuk efisiensi penghitungan dalam sistem pembayaran.(Junanto Herdiawan, 03082010) selain untuk menjadikan rupiah lebih setara (tidak harus sama nilainya tetapi tidak terlalu mencolok) dibanding mata uang negara lain, seperti negara-negara ASEAN, ataupun AS dengan mata uang  dolarnya.(muhammad Iqbal, Ihda Faiz) 

Dampak RedenominasiRencana kebijakan redenominasi di Indonesia akan mempunyai dampak yaitu:a) Dampak positif (manfaat) rencana redenominasiMenurut Bank Indonesia manfaat dilakukannya redenominasi adalah sebagai berikut:1. Mempermudah transaksi keuangan karena angka yang kecil dari pada nominal uang.2. Mempermudah perhitungan pada akuntasi keuangan.3. Meningkatkan kepercayaan diri dimata dunia Internasional.b) Dampak negatif rencana redenominasi1. Sampai saat ini laju inflasi belum stabil yaitu pada 2010 inflasi ada pada kisaran 6,96 %. Yaitu melebihi target pemerintah sebesar 5,3% atau target Bank Indonesia 5%. Sedangkan tingkat inflasi 2011 berada dikisaran 6,5-7,5%. Yaitu melebihi target pemerintah 5,3% yang dituangkan dalam APBN 2011.2. Melihat kondisi masyarakat Indonesia yang perekonomiannya tidak merata, rencana redenominasi kurang tepat jika dilakukan dalam waktu dekat karena akan merugikan masyarakat kalangan bawah yang tidak mengerti redenominasi tersebut sehingga akan terjadi kenaikan harga dari pedagang kecil yang menganggap rupiah semakin kecil akibat penyederhanaan rupiah tersebut. Dan bukan tidak mungkin jika rencana redenominasi dianggap sama dengan sanering yang pernah terjadi dulu

Pengertian SaneringSanering berasal dari bahasa Belanda yang berarti “penyehatan, pembersihan atau reorganisasi”. Sedangkan menurut konteks ilmu moneter, sanering adalah pemotongan nilai uang tanpa mengurangi nilai harga, sehingga daya beli masyarakat menurun1. Misalnya , jika nilai uang Rp. 100,- ribu dipotong menjadi Rp. 100,- Karena nilainya sudah di turunkan, jumlah barang yang di beli dengan uang baru akan lebih sedikit di bandingkan dengan uang lama. Jika Rp. 100,- ribu lama bisa dapat satu baju, maka dengan uang Rp. 100,- pecahan baru tidak bisa lagi mendapatkan satu baju yang sama. 
Dampak SaneringDampak positif (manfaat) sanering 
Kebijakan sanering yang pernah dilakukan pemerintah di Indonesia dimulai pertama kali pada tahun 1950, tepatnya 19 Maret 1950. Pemerintah melakukan sanering yaitu untuk mengatasi situasi perekonomian Indonesia yang saat itu sedang terpuruk yaitu utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung. Hal tersebut disebabkan perekonomian Indonesia yang masih belum tertata setelah kemerdekaan. Untuk itu pemerintah melakukan tindakan sanering yang dikenal dengan sebutan gunting syafruddin.Kemudian pemerintah kembali melakukan tindakan sanering yang kedua pada tahun 1959, tepatnya pada 25 Agustus 1959. Hal ini dilakukan untuk menekan laju infasi sehingga pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PERPU) No. 2 dan No. 3 tahun 1959 yang pada intinya melakukan pemotongan nilai uang kertas dari Rp 500,- dan Rp 1000,- menjadi Rp 50,- dan Rp 100,-. Dan pembekuan simpanan (giro dan deposito) di bank- bank.Selanjutnya pemerintah untuk yang ketiga kalinya melakukan tindakan sanering dengan sebab dan alasan yang sama dengan sebelumnya, yaitu untuk mengurangi jumlah uang yang beredar yang disebabkan oleh inflasi. Kebijakan sanering ini dilakukan oleh pemerintah tepatnya pada 13 Desember 1965. Hal ini menyebabkan penurunan drastis pada rupiah dari nilai Rp 1000,- (uang lama) menjadi Rp 1,- (uang baru).Jika dilihat dari sebab terjadinya sanering mulai dari tahun 1950,1959 dan 1965, maka kebijakan sanering yang dilakukan pemerintah terlihat adanya dampak positif (manfaat) nya yaitu:1. Pada sanering tahun 1950, untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang saat itu sedang terpuruk dan belum tertata setelah kemerdekaan, yakni utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung. Dengan adanya sanering bisa mengisi kas pemerintah yang kosong setelah kemerdekaan dan menurunkan harga-harga akibat inflasi.2. Sanering pada tahun 1959 dilakukan untuk menekan laju inflasi dan menutup hutang pemerintah di bank yaitu dengan adanya pembekuan simpanan (giro dan deposito) yang diganti dengan simpanan jangka panjang oleh pemerintah. Sehingga membantu menutup sebagian hutang pemerintah.3.Sanering pada tahun 1965 dilakukan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar akibat inflasi yang telah menjadi hyperinflasi. 
Dampak negatif sanering
setelah diuraikan sebelumnya tentang adanya manfaat dari kebijakan sanering, akan tetapi terdapat juga dampak negatif dari kebijakan sanering yaitu:1. Kebijakan sanering yang dilakukan pada tahun 1950 kurang tepat dilakukan pemerintah pada saat itu karena menyebabkan terjadinya tindakan sanering berikutnya yang semakin menyebabkan masyarakat menderita. Dan pada dasarnya sanering tersebut dilakukan cenderung untuk kepentingan pemerintah semata, yaitu untuk mengatasi hutang pemerintah yang menumpuk tanpa memikirkan kesulitan rakyatnya yang disebabkan pemotongan nilai rupiah tersebut.2. Sanering yang kedua yaitu tahun 1959 menyebabkan banyak bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Sehingga akhirnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PERPU) No.2 dan No. 3 yang isinya melakukan penurunan nilai rupiah dan pembekuan simpanan di bank-bank.3. Sanering yang ketiga juga tidak membawa perubahan yang lebih baik karena terjadi penurunan secara drastis nilai rupiah dari Rp 1000,- menjadi Rp 1,-. Setelah itu tanpa henti terjadi depresiasi nilai rupiah sehingga pada saat terjadi krisis financial di Asia tahun 1997, nilai rupiah semakin menurun dan tidak berharga.  
Pengalaman Kebijakan Sanering di Indonesia
 2.3.1.   Kebijakan Pertama 
Kebijakan sanering terjadi pertama kali dilakukan pada tahun 1950, tepatnya 19 Maret 1950 yang dikenal dengan sebutan gunting sjafruddin. Kebijakan ini ditetapkan oleh Syafruddin Prawiranegara, menteri keuangan dalam Kabinet Hata II. Kebijakan tersebut dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang saat itu sedang terpuruk. Yaitu utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung.Menurut kebijakan tersebut uang merah (uang NICA) dan uang De Javanesche Bank dari pecahan Rp 5,- digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula. Kemudian guntingan kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Selebihnya bisa juga tidak berlaku atau dibuang. Sedangkan bagian kanan juga tidak berlaku, tetapi masih bisa ditukarkan dengan obligasi Negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar 40 tahun kemudian dengan bunga 3 % setahun. Hal ini juga berlaku pada simpanan di bank. 
2.3.2. Kebijakan Senering Kedua 
Kebijakan sanering yang kedua yaitu terjadi pada tahun 1959. Kebijakan sanering ini salah satu kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk menekan laju inflasi. Akan tetapi akibat dari kebijakan ini banyak bankbank yang mengalami kesulitan likuiditas, yang ditanggapi Bank Indonesia melalui pemberian kredit. Yaitu terjadi pada tanggal 25 Agustus 1959, pemerintah melakukan kebijakan sanering dengan memberlakukan Peraturan Pemerintah (PERPU) No. 2 dan No. 3 tahun 1959 yang isinya adalah :1. Penurunan nilai uang kertas Rp 500 dan Rp 1000 menjadi Rp 50 dan Rp 100 (Perpu No. 2 tahun 1959). Penukaran uang kertas ini harus di 37 lakukan sebelum 1 Januari 1960 (Perpu No. 6 tahun 1959). Sedangkan untuk nilai uang yang hilang akibat pemberlakuan Perpu No. 2, tidak akan di perhatikan pada perhitungan laba maupun pajak (Perpu No. 5 tahun 1959, 25 Agustus 1959).2. Pembekuan sebagian simpanan pada bank-bank (giro dan deposito) sebesar 90% dari jumlah simpanan di atas Rp 25.000, dengan ketentuan bahwa simpanan yang di bekukan akan di ganti dengan simpanan jangka panjang oleh pemerintah (Perpu No. 3 tahun 1959 tanggal 24 Agustus 1959). 
2.3.3. Kebijakan Senering Ketiga
 Kebijakan sanering yang ketiga kalinya dilakukan pada tahun 1965. Tepatnya pada 13 Desember 1965, pada sanering yang ketiga ini terjadi penurunan drastis dari nilai Rp 1.000,- (uang lama) menjadi Rp 1,- (uang baru). Kebijakan ini harus dilakukan lagi oleh pemerintah untuk mengurangi jumlah uang yang beredar akibat inflasi. Karena sejak dilakukan tindakan sanering yang kedua, pada tahun 1959, inflasi memang menurun. Akan tetapi harga tetap menunjukkan kenaikan. Tetapi sejak tahun 1960, inflasi kembali mengalami peningkatan. Bahkan pada tahun 1962, inflasi meningkat menjadi hyperinflasi. Untuk itu pemerintah kembali mengeluarkan peraturan melalui Penetapan Presiden Penpres) No. 27 pasal 3 tahun 1965 yang isinya adalah :“(1) Sesudah 1 (satu) bulan berlakunya Penetapan Presiden ini maka semua jenis uang kertas Bank Negara Indonesia dari pecahan-pecahan Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) dan Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) yang beredar sebagai alat pembayaran yang sah sebelumPenetapan Presiden ini berlaku, tidak lagi merupakan alat pembayaran yang sah.(2) Sesudah 3 (tiga) bulan berlakunya Penetapan Presiden ini maka semua jenis uang kertas Bank Negara Indonesia dari pecahan Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah), Rp. 1.000,-(seribu rupiah) dan Rp. 500,- (lima ratus rupiah) yang beredar sebagai alat pembayaran yang sah sebelum Penetapan Presiden ini berlaku, tidak lagi merupakan alat pembayaran yang sah.(3) Sesudah 6 (enam) bulan berlakunya Penetapan Presiden ini maka semua jenis uang kertas bank, uang kertas Pemerintah dan uang logam dari pecahan-pecahan Rp. 100,- (seratus rupiah) ke bawah yang beredar sebagai alat pembayaran yang sah sebelum Penetapan Presiden ini berlaku, tidak lagi merupakan alat pembayaran yang sah.(4) Penarikan uang rupiah Irian Barat dari peredaran yang berlaku dan beredar sebagai alat pembayaran yang sah sebelum Penetapan Presiden ini berlaku, akan diatur lebih lanjut oleh Pemerintah”Sejak saat itu akibat dari pengeluaran uang rupiah baru yang nilinya ditetapkan sebasar 1000 kali uang rupiah lama, tidak berarti bahwa harga barang-barang dalam rupiah baru menjadi seperseribu dari harga uang rupiah lama.3 Hal ini menunjukkan bahwa nilai tukar antara uang rupiah baru dengan uang rupiah lama bergerak antara 1:10. Jadi , nilai uang rupiah baru hanya dinilai kurang lebih 10 kali lebih tinggi daripada uang rupiah lama. Setelah itu tanpa henti terjadi depresiasi nilai mata uang rupiah sehingga ketika terjadi krisis moneter di Asia tahun 1997 nilai Rp 1,- US $ menjadi Rp 5.500 dan terus-menerus tidakterkendali.     
Perbedaan redenominasi  dan sanering
Dalam redenominasi tersebut, BI berencana akan menghilangkan 3 digit dari nilai pecahan rupiah yang ada. Misalnya dari Rp1.000  menjadi Rp1. Harga barang yang semula Rp 1.000  juga berubah menjadi seharga Rp 1. Contohnya,  pada harga bawang putih 1 kilogram Rp.4000, dengan redenominasi tiga digit nolnya dihilangkan, maka harga bawang putih  menjadi Rp.4. Harga bawang putih tetap, hanya nominalnya saja yang disederhanakan. Daya beli uang yang dikenakan redenominasi pun tetap. Dengan uang Rp.4, masyarakat tetap dapat membeli 1 kilogram bawang putih.Sedangkan dalam sanering, pemotongan uang belum tentu diikuti dengan harga barang. Misalnya harga bawang putih yang semula Rp 4000, tidak serta merta bisa menjadi Rp 4. Bisa jadi, harga barang tetap seperti harganya semula. Sementara nilai uang Rp 4000 di masyarakat, telah berubah menjadi Rp 4. Artinya, daya beli masyarakat akan menurun drastis dengan adanya sanering. Kita jadi tak mampu membeli bawang putih lagi.
Redenominasi dilakukan pada saat inflasi terkendali,sementara sanering dilakukan dalam kondisi ekonomi yang tidak sehat dan inflasi yang melejit tidak terkendali.Perbedaan redenominasi dan sanering menurut Ihda Faiz, digambarkan dalam tabel berikut : 
Perbedaan
Redenominasi
Sanering
Pengertian
Penataan nominal mata uang
Pemotongan nilai mata uang
Tujuan
Penyederhanaan angka
Mengurangi jumlah uang beredar
Dampak thd masyarakat
Tidak ada (kecuali penyesuaian kebiasaaan)
Dirugikan karena daya beli uang turun
Daya Beli Uang
Tetap
Turun
Syarat kondisi
Kondisi makroekonomi stabil, ekonomi tumbuh    
Instabilitas makroekonomi, hiperinflasi
Waktu pergantian
Perlu masa transisi yang terukur dan terkendali
dilakukan secara mendesak
 
Kesimpulan 
Tampak jelas bahwa kebijakan redenominasi rupiah tidak akan menyelesaikan ekonomi di Indonesia, melainkan justru akan menambah biaya pembangunan dan semakin bercokolnya sistem ekonomi kapitalisme. Redenominasi yang seolah-olah merupakan solusi yang ditawarkan pemerintah saat ini sangat jauh dari akar permasalahan perekonomian. Yang menjadi akar permasalahan adalah dengan perubahan sistem mata uang dan sistem ekonomi Indonesia, ke arah yang lebih baik.           


 ________________________________

Daftar Pustaka :

[1] http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/02/04/1016380/Apa.Perbedaan.Redenominasi.dengan.Sanering.?utm_campaign=related_left&utm_medium=bp&utm_source=bisniskeuangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar