Senin, 11 Agustus 2014

Resolusi Embargo Iran dan Self Delegitimation PBB



Sanksi PBB: Embargo Iran
Dewan Keamanan (DK) PBB tanggal 23 Desember lalu akhirnya mengeluarkan resolusi embargo terhadap Iran, yang memerintahkan semua negara untuk menghentikan suplai material dan teknologi yang terkait dengan proyek nuklir Iran. Menanggapi embargo ini, Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad dengan nada santai, dalam pidatonya di depan para “veteran perang pencipta lapangan kerja” Teheran, (24/12), mengatakan, “Apakah kalian—Barat—selama ini memberi kami peralatan (untuk reaktor nuklir), sehingga kini kalian menghentikan suplai peralatan itu?Kalau selama ini memang semua peralatan itu kami dapatkan dari kalian, sudah sejak lama kalian akan menghentikan suplai itu, tanpa perlu ribut-ribut. Yang membuat kalian kesal adalah karena kami mencukupi sendiri semua kebutuhan dalam proyek nuklir damai kami.”
Resolusi embargo terhadap Iran disahkan oleh DK PBB hanya dua belas hari setelah Perdana Menteri Israel mengakui bahwa negaranya memiliki senjata nuklir, di samping Amerika, Perancis, dan Rusia. Pengakuan Olmert ini tidak mendapat tanggapan yang semestinya dari PBB. Namun di saat yang sama, DK terus melanjutkan usaha untuk mengembargo Iran, sampai akhirnya resolusi bernomor 1737 itu disepakati. Padahal, hingga kini tidak ada satupun laporan dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA)—satu-satunya lembaga internasional di bawah naungan PBB yang memiliki otoritas untuk mengawasi aktivitas nuklir negara-negara dunia yang menjadi penandatangan perjanjian non-proliferasi nuklir (NPT)—yang menyebutkan adanya penyelewengan dalam program nuklir Iran. Argumen yang diajukan oleh para petinggi AS dan Troika Eropa dalam menyikapi laporan ini adalah: ada kemungkinan Iran memproduksi senjata nuklir. Jawaban singkat dari argumen ini sesungguhnya mudah: jika laporan IAEA tidak dipercayai dan tetap saja dikemukakan kalimat ‘ada kemungkinan’, lalu untuk apa dibentuk lembaga semacam IAEA? Apa gunanya investigasi yang dilakukan IAEA selama tiga tahun terakhir terhadap situs nuklir Iran, yang dilakukan secara mendadak tanpa pemberitahuan sebelumnya, bila akhirnya laporan-laporan IAEA itu diabaikan dan tetap saja teori ‘kemungkinan’ dan asumsi itu yang diajukan?
Fasilitas nuklir Iran

Program Pengayaan Uranium oleh Iran


Namun bila kita ingin mencari jawaban yang lebih mendalam tentang apa dan bagaimana kinerja IAEA dalam menyikapi nuklir Iran, kita akan menemukan banyak sekali penyimpangan yang justru dilakukan IAEA sendiri. Dalam sebuah perjanjian internasional seperti NPT, semua negara yang menjadi anggotanya harus mematuhi isi perjanjian itu dan keberadaan IAEA memiliki tugas untuk mengawasi pelaksanaan dari perjanjian NPT. Namun, kenyataan menunjukkan setelah berdiri 49 tahun, IAEA gagal dalam menjalankan tugasnya tersebut. Lebih jauh lagi, IAEA bahkan menjadi pelanggar atas sejumlah aturan penting yang dibuatnya sendiri. Kini kita lihat sejumlah kegagalan atau pelanggaran yang dilakukan IAEA tersebut.
Pertama, tujuan perjanjian NPT, sebagai tercantum dalam pembukaan (preambule) adalah mencegah negara-negara di dunia untuk membuat senjata nuklir serta mencegah negara-negara yang sudah memiliki senjata nuklir untuk memperbanyak senjatanya itu. Negara-negara pemilik senjata nuklir itu bahkan diharuskan secara bertahap memusnahkan senjata-senjata yang dimilikinya itu. Kenyataan menunjukkan bahwa lima negara anggota NPT yang sudah memiliki senjata nuklir, yaitu AS, Perancis, Inggris, Cina, dan Rusia, bukan saja tidak memusnahkan senjatanya secara bertahap, melainkan malah meneruskan produksi senjatanya itu.
Kedua, dalam Bab 3 ayat 2 NPT disebutkan, negara-negara pemilik teknologi nuklir dilarang untuk mengirimkan peralatan atau mentransfer teknologi ke negara-negara non-NPT, bahkan untuk proyek nuklir bertujuan damai sekalipun. Hal ini ditetapkan dengan alasan bahwa negara-negara non-NPT berada di luar pengawasan IAEA sehingga aktivitas mereka tidak bisa dikontrol. Kenyataan menunjukkan bahwa AS, Perancis, dan Inggris secara terang-terangan membantu proyek pembuatan senjata nuklir di Israel.
Ketiga, dalam Bab 4 pasal 1 NPT disebutkan larangan tindakan diskriminatif terhadap negara-negara anggota dalam mendayagunakan teknologi nuklir bertujuan damai, dan pasal 2 mewajibkan negara-negara pemilik teknologi nuklir untuk membantu negara-negara sesama anggota NPT dalam hal ini. Namun, kenyataan menunjukkan dalam kasus Iran, alih-alih memberikan bantuan, negara-negara pemilik teknologi nuklir itu bahkan melakukan diskriminasi terhadap Iran dengan cara menghalang-halangi Iran dalam melanjutkan proyek nuklirnya, dengan tuduhan ‘ada kemungkinan Iran akan memproduksi senjata’.
Keempat, anggaran Dasar IAEA Pasal 7 F menyebutkan “In the performance of their duties, the Director General and the staff shall not seek or receive instructions from any source external to the Agency.” Namun kenyataan menunjukkan bahwa Dirjen IAEA selalu berada dalam tekanan AS. Dalam bab yang sama juga disebutkan bahwa Dirjen IAEA harus menjaga kerahasiaan informasi. Namun, berkali-kali terjadi, laporan atas investigasi situs-situs nuklir di Iran yang dilakukan secara mendadak (sesuai isi Protokol Tambahan yang ditandatangani Iran, Iran mengizinkan investigasi dadakan dari IAEA ke semua bagian situs nuklirnya), malah diserahkan kepada CIA.
Kelima, berdasarkan Anggaran Dasar Pasal 12 C, pengajuan kasus nuklir sebuah negara kepada Dewan Keamanan PBB hanya bisa dilakukan jika negara tersebut melakukan pelanggaran dalam aktivitas nuklirnya. Namun, terkait dengan Iran, Dewan Gubernur memutuskan untuk melaporkan kasus nuklir Iran ke Dewan Keamanan PBB di saat tidak ada satupun laporan dari Dirjen IAEA yang membuktikan adanya penyimpangan dalam proyek nuklir Iran. Sebagaimana diketahui, dikeluarkannya resolusi oleh DK PBB kali ini bermula dari keputusan Dewan Gubernur IAEA untuk melaporkan berkas nuklir Iran kepada lembaga keamanan tersebut.
Keenam, dalam konvensi Wina tahun 1969 terkait dengan aturan perjanjian internasional, pada pasal 31 disebutkan bahwa pemakaian istilah baru dalam perjanjian haruslah dilakukan atas kesepakatan seluruh anggota penanda tangan perjanjian itu. Namun, dalam Resolusi IAEA terkait dengan proyek nuklir Iran, banyak digunakan istilah-istilah baru yang belum disepakati maknanya (tidak tercantum dalam Anggaran Dasar IAEA), misalnya “confidence building measures” (ukuran pembangunan kepercayaan) atau “suspension” (penundaan).
Sebagaimana diketahui, sejak tanggal 15 November 2004 Iran dan troika Eropa menandatangani perjanjian di Paris bahwa untuk ‘meraih kepercayaan internasional” Iran bersedia dengan sukarela ‘menunda’ aktivitas nuklirnya dengan kompensansi bahwa ketiga negara Eropa itu memberikan bantuan ekonomi dan teknologi kepada Iran. Namun sampai batas waktu yang disepakati, Eropa tak jua memenuhi janjinya. Karena itulah pada bulan Januari 2006, Iran telah mengaktifkan kembali aktivitas nuklirnya.
Ketujuh, dalam laporan IAEA bulan Februari 2003, disebutkan bahwa kecurigaan terhadap Iran disebabkan oleh ditemukannya ‘kontaminasi’ 200 miligram plutonium pada salah satu alat di situs nuklir Iran. Meskipun Iran sudah menjelaskan dalam laporannya bahwa sumber kontaminasi plutonium itu berasal dari Pakistan, karena alat itu diimpor dari Pakistan, namun laporan itu diabaikan saja selama tiga tahun oleh IAEA. Hal ini jelas-jelas melanggar keprofesionalan sebuah badan yang dianggap berhak mengawasi aktivitas nuklir, karena adanya ‘debu-debu’ 200 miligram plutonium di sebuah alat sama sekali tidak bisa menjadi bukti bahwa Iran sedang membuat senjata nuklir (untuk pembuatan senjata nuklir dibutuhkan minimalnya 7 atau 8 kilogram plutonium). Selain itu, negara-negara lain (seperti Perancis, Inggris, Rusia, Jepang, dan India) yang diketahui memiliki ratusan ton plutonium sama sekali tidak diprotes oleh IAEA.
Kedelapan, dalam Anggaran Dasar IAEA disebutkan bahwa segala kesimpulan yang dibuat tim inspeksi IAEA saat melakukan pemeriksaan terhadap situs nuklir sebuah negara hanya akan memiliki nilai hukum jika didasarkan kepada penemuan-penemuan yang faktual. Klausul ini jelas diratifikasi demi mengkonsistenkan segala keputusan hukum yang dibuat IAEA dengan asas ‘praduga tak bersalah’. Selama tidak ada bukti penyimpangan yang bisa ditunjukkan oleh tim inspeksi IAEA, tidak boleh ada vonis yang dijatuhkan terhadap sebuah negara pemilik proyek nuklir. Akan tetapi, prinsip paling esensial dalam logika hukum itu ternyata dilanggar oleh IAEA. Pernyataan berulang-ulang yang disampaikan IAEA terkait hasil pemeriksaan atas situs nuklir Iran adalah “tidak ditemukannya penyimpangan sedikitpun dari proyek nuklir Iran”. Anehnya, resolusi terakhir Dewan Gubernur IAEA merekomendasikan agar Iran menghentikan seluruh aktivitas nuklirnya. Resolusi Dewan Gubernur itu pula yang menjadi landasan ratifikasi resolusi DK PBB. Artinya, Iran divonis bersalah gara-gara tidak ditemukannya tanda-tanda penyimpangan.
Dalam sebuah pidato di depan sidang Uni Eropa tanggal 20 Februari 2006, Menlu Iran, Manouchehr Mottaki, menyinggung masalah ini dengan mengatakan, “Logika hukum apakah yang dipakai dalam kasus nuklir ini? Sebagai terdakwa, kami disuruh membuktikan bahwa kami tidak bersalah.” Sebagaimana diketahui, dalam proses pengadilan, hakim dan jaksalah yang harus membuktikan kesalahan terdakwa, dan terdakwa umumnya akan selalu membela dirinya. Namun dalam kasus Iran, justru negara ini yang didesak untuk membuktikan ‘ketidakbersalahannya’.
Terkait dengan ini, editorial Koran Kayhan terbitan Teheran edisi 13 April 2006 mengajukan pertanyaan retoris kepada Dirjen IAEA Mohamad Elbaradei sebagai berikut. “Mr. Elbaradei, kami asumsikan bahwa Anda dituduh terlibat dalam sebuah kejahatan. Kemudian, tim investigasi kepolisian gagal menemukan bukti apapun terkait keterlibatan Anda dalam kejahatan itu. Akan tetapi, Anda tetap ditahan oleh petugas keamanan karena dimungkinkan suatu saat bukti-bukti itu akan ditemukan. Sebagai seorang ahli hukum (Elbaradei adalah tokoh senior pada Kelompok Praktisi Hukum New York– pen), bisakah Anda menerima logika hukum seperti itu?”

Self Delegitimation PBB

Pembahasan di atas adalah semacam judicial review atas segala keputusan terkait proyek nuklir Iran yang pernah dikeluarkan oleh IAEA, yang nota bene berada di bawah naungan PBB. Kasus yang sama juga terjadi pada lembaga-lembaga dunia lainnya di bawah payung PBB, misalnya Komisi HAM, WTO, dan IMF. Secara umum, saat ini kinerja—bahkan eksistensi—PBB tengah menjadi bahan sorotan dunia. Suara-suara yang muncul bahkan sudah mewacanakan pembentukan lembaga semacam “PBB baru”. PBB sudah tidak bisa lagi diharapkan untuk menjadi lembaga penyelesai berbagai persoalan dunia yang ada. Salah satu penyebab utamanya adalah inkonsistensi lembaga itu dalam menyikapi banyak persoalan dunia. Jika dilakukan judicial review atas produk-produk hukum PBB, kita akan menemukan banyak sekali keputusan-keputusan (atau tidak diambilnya keputusan) PBB yang menabrak landasan hukum lebih tinggi yang ada di lembaga itu, semisal Piagam PBB.
Contoh paling kasat mata tentang pelanggaran terhadap Piagam PBB adalah adanya hak veto yang dimiliki oleh AS, Rusia, Perancis, Inggris, dan Cina. Hak veto jelas bertentangan dengan prinsip egalitarianisme, demokrasi, keadilan, dan berbagai prinsip asasi lainnya dalam Piagam PBB. Karena adanya hak veto inilah PBB gagal melakukan langkah tegas dalam menyelesaikan konflik Timur Tengah yang semakin membara, dan malah mengambil langkah tidak populer dengan mengeluarkan resolusi anti nuklir Iran.
Dari sisi ini, sebenarnya yang sedang terjadi adalah proses self-deligitimation oleh lembaga PBB. Lembaga ini secara sadar telah melakukan banyak langkah yang justru menghancurkan legitimasi dirinya sendiri di tengah masyarakat internasional. Jika tidak ada upaya pembenahan, sangat mungkin PBB pada akhirnya akan ditinggalkan oleh negara-negara anggotanya. Saat ini, kita betul-betul memerlukan tata dunia baru yang lebih egaliter, terbuka, demokratis, dan adil. Langkah paling terdepan yang paling mungkin diambil untuk mewujudkan hal ini adalah membenahi PBB dan mencegahnya melakukan self-deligitimation

Tidak ada komentar:

Posting Komentar