Apa yang sedang terjadi di Libya dan Bahrain, merupakan operasi
siluman yang disponsori oleh dua konglomerat besar Rockefeller dan
Rothschild melalui Dewan Kerjasama Teluk (GCC), dan melibatkan
setidaknya enam negara yaitu Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Uni Emirat
Arab, Oman dan Qatar.
Langkah awal yang mereka tempuh adalah menyerukan kepada dunia
internasional agar tidak memasuki wilayah udara Libya. Barang tentu,
hal itu dimaksudkan untuk menciptakan situasi destabilisasi terhadap
rejim Moamar Qadafi, yang pada akhirnya akan memicu gelombang
perlawanan untuk menggusur sang tiran yang notabene merupakan binaan
Amerika-Inggris sejak 2003.
Skema kerjasama strategis yang dirancang dua konglomerat
Amerika-Inggris Rockefeller dan Rothschild itu bermula sejak 1979,
menyusul runtuhnya kerajaan Iran di bawah kepemimpinan Shah Reza
Pahlevi. Sebagai buntut dari diberlakukannya nasionalisasi
perusahaan-perusahaan minyak asing di Iran, beberapa pengusaha minyak
Amerika dan Eropa dipaksa untuk mencari basis kekuatan dan pengaruh
baru di Timur Tengah.
Maka, beberapa perusahaan besar seperti Exxon Mobil, Texaco, BP Amoco dan Royal Dutch/Shell, yang berada dalam kepemilikan Rockefeller dan Rothschild, mulai merancang sistem pengamanan menyeluruh untuk mengamankan penguasaan mereka akan minyak mentah di kawasan teluk. Maka, Arab Saudi yang dikuasai dinasti Ibnu Saud dijadikan sebagai basis dan markas operasi politik-ekonomi-intelijen-militer dari kekuatan-kekuatan korporasi tersebut.
Konsesi yang diberikan Arab Saudi dengan adanya perlindungan militer
dari persekutuan negara-negara yang kemudian tergabung dalam Dewan
Kerjasama Teluk tersebut adalah, negara-negara barat mendapatkan
pasokan minyak mentah dengan harga semurah mungkin. Sebagai konsekwensi
dari kerjasama itu, muncullah beberapa perusahaan kontraktor
pertahanan negara-negara barat memberi pelatihan militer terhadap
angkatan bersenjata Arab Saudi. Beberapa perusahaan tersebut antara
lain SAIC, Booz Hamilton, TRW dan Vinnel Corp.
Menariknya lagi, beberap pilot Mesir dan Pakistan kemudian dilatih
untuk menerbangkan pesawat tempur AS jenis F-15 untuk melindungi
kerajaan Arab Saudi. Sebagai imbalannya, Arab Saudi menjadi sumber
penyandang dana bagi operasi-operasi siluman yang dilancarkan oleh
badan intelijen Amerika CIA dan badan intelijen Inggris MI-6 maupun
badan intelijen Israel Mossad.
Rupanya melalui Chad, sebuah negara di kawasan Afrika, operasi
siluman yang melayani hajatan Exxon Mobil, segala sesuatunya dirancang
dan dipersiapkan. Termasuk dalam mengontrol dan mengendalikan Libya di
bawah kepemimpinan Moamar Qadafi.
Inggris-AS memang mempertaruhkan segalanya di Timur Tengah, karena
66,5 persen cadangan minyak mentahnya memang berada di kawasan
tersebut. Dan 42 persen di antaranya, berada di keenam negara Arab di
kawan teluk tersebut. Sementara di Arab Saudi sendiri, terdapat 60
ladang minyak dan gas bumi yang menghasilkan 10 juta barel per hari.
Inilah yang kemudian dibentuk Dewan Kerjasama Teluk dengan pilar 6
negera Arab tersebut. Dari keenam negara tersebut, kecuali Oman,
merupakan negara OPEC(Negara-Negara Pengekspor Minyak).
Bisa dimaklumi jika negara-negara arab tersebut semuanya merupakan
negara monarki sehingga para pengusaha minyak yang berada di belakang
pemerintah Amerika dan Inggris dengan mudah bisa mengendalikan dan
mengaturnya melaui uang suap dan segala bentuk praktek korupsi lainnya
sebagai modus operandi.
Terciptanya Dewan Kerjasama Teluk yang disponsori Amerika-Inggris
tersebut, pada perkembanganya telah melemahkan negara-negara arab
berhaluan nasionalis seperti Lebanon dan Syria. Sementara negara-negara
monarki Arab boneka Amerika-Inggris ini justru kian menguat.
Skema ekonomi liberal seperti Foreign Direct Investment lewat
perbankan dan perusahaan-perusahaan barat, kemudian menciptakan zona
perdagangan bebas di wilayah kedaulatan negara-negara yang tergabung
dalam Dewan Kerjasama Teluk. Bahkan ada pelabuhan bebas arus masuk
barang di Dubai, Uni Emirat Arab.
Dan Bahrain, menjadi basis dan pusat perbankan dari kongsi bisnis
negara-negara Arab tersebut. Buruh-buruh murah dari Filipina dan
Bangladesh, dengan sengaja didorong ke negara-negara Dewan Kerjasama
Teluk tersebut. Singkat cerita, terbentuklah kemudian pasar bersama dan
harmonisasi kebijakan perminyakan keenam negara Arab.
Skema persekutuan strategis Amerika-Inggris dengan keenam negara
arab tersebut harus ditelusur melalui skema model penjajahan ala
Inggris sejak 1776. Melalui apa yang disebut sebagai British East India
Company, Kuwait dijadikan basis dan markas kekuasaan Kerajaan Inggris
dalam mengendalikan seluruh kawasan Timur Tengah.
Berarti sejak abad ke-16 Kuwait sudah dipandang Inggris sebagai
wilayah yang cukup strategis. Sejak 1917, Inggris mulai memindahkan
dukungannya kepada dinasti Ibnu Saud dari Arab Saudi melalui momentum
persekutuan untuk mengalahkan dinasti Ottoman dari Turki.
Di sinilah bermula campur tangan pengusaha Inggris Rothschild dengan
mendorong pemerintah Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour yang
mendukung berdirinya tanah air bagi Yahudi di tanah Palestina. Bagi
Rothschild, tujuan utamanya bukan mendukung Yahudi, melainkan
penguasaannya atas kawasan minyak di Timur Tengah.
Menyusul kekalahan Imperium Ottoman Turki, beberapa negara arab
kemudian jatuh ke tangan Inggris seperti Irak, Jordan dan Arab Saudi
lewat dinasti Ibnu Saud.
Pada 1922, Arab Saudi mendapatkan kemerdekaan penuh dari Kerajaan
Inggris melalui The Treaty of Jeddah. Sejak itu, praktis Arab Saudi
menguasai beberapa kawasan di Timur Tengah dengan dukungan sepenuhnya
Inggris. Setelah menganeksasi Riyadh, kemudian mencaplok Madina dan
Mekkah yang sebelumnya dikuasai dinasti Hashemite.
Melalui perjanjian yang dikenal The San Remo Agreement, kawasan
minyak Timur Tengah dibagi antara kedua negara Eropa . Beberapa
pengusaha minyak besar Amerika yang berada dalam kepemilikan
Rockefeller mulai merajalela seperti Exxon Mobil, Chevron, dan Texaco
kemudian bergabung dengan British Petroleum, Royal Dutch/Shell yang
berada dalam kepemilikan keluarga Rothschild dan keluarga kerajaan
Belanda.
Sementara itu, Iraqi Petroleum Company dan The Iranian Consortium
didominasi oleh beberapa perusahaan minyak Eropa, sedangkan Arab Saudi
berada dalam cengkeraman beberapa konglomerat minyak Amerika.
Singkat cerita, keenam negara Teluk yang mulai dilepas sepenuhnya
sebagai negara merdeka antara 1961 dan 1971, sejatinya merupakan alat
monopoli dari dua pengusaha minyak Amerika-Inggris Rockefeller dan
Rothschild.
Dan apa yang sedang terjadi di Timur Tengah saat ini, termasuk yang
sedang bergolak di Libya dan Bahrain sekarang ini, merupakan bagian
dari operasi siluman yang merupakan hajatan kedua pengusaha minyak
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar