Selasa, 20 Januari 2015

ISIS dan Sejarah Panjang Ideologi Kebencian


Lambang ISIS
Kesadisan dan kebrutalan kelompok teror ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) membuat dunia terperangah. Menyusul maraknya Deklarasi Baiat kepada ISIS yang dilakukan oleh berbagai ormas di Indonesia, serta munculnya video seruan jihad dari anggota ISIS asal Indonesia yang kini berada di Suriah/Irak, Pemerintah Indonesia pun akhirnya mengambil langkah tegas.

“Pemerintah tidak mengizinkan paham ISIS berkembang di Indonesia. Setiap upaya pengembangbiakan paham ISIS harus dicegah, Indonesia tidak boleh jadi tempat persemaian,” Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko polhukam) Djoko Suyanto (4/8/2014).

Dan, berbagai ormas dan partai Islam pun segera mengeluarkan pernyataan kecaman terhadap ISIS di Indonesia. Tentu saja ini adalah langkah positif. Namun, ada satu hal yang terlupakan: ISIS tidak lahir dari ruang hampa. ISIS tidak muncul tiba-tiba saja. Ada sejarah panjang ideologis yang harus diperhatikan dalam mencermati fenomena ISIS di Indonesia.


Genealogi ISIS

ISIS lahir dalam proses Perang Suriah. Secara umum, upaya penggulingan Presiden Suriah, Bashar Assad, dilakukan oleh dua faksi. Pertama, faksi sekuler yang mengusung narasi demokratisasi. Namun narasi ini tidak berhasil. Demo-demo anti Assad tidak pernah mencapai klimaks seperti terjadi di Tunisia atau Mesir. Akhirnya, kelompok-kelompok bersenjata pun turun ke lapangan, diinisiasi oleh jaringan jihad Al Qaida Irak yang membentuk Jabhah Al Nusra di Suriah. Selain Al Nusra, ada puluhan kelompok jihad lainnya yang ikut bertempur dengan cara-cara khas Al Qaida, meledakkan bom di kerumunan sipil, bom bunuh diri, dan pembantaian massal dengan cara-cara non militer, misalnya dengan menggorok leher. Meski terdiri dari banyak kelompok, para jihadis itu membawa narasi yang sama: penegakan khilafah dan penggulingan Rezim “Syiah” Assad.

Problem utama muncul di titik ini: mereka menggunakan informasi palsu yang sangat masif untuk membuktikan dosa Assad. Misalnya, foto korban pembantaian tentara AS di Irak, atau video kekerasan di Jordan, disebut sebagai korban kekejaman Assad. Media-media berlabel Islam bergandengan tangan dengan media mainstream menyebarluaskan foto-foto palsu mengerikan yang menimbulkan histeria kaum Sunni yang mengira saudara seakidah mereka dibantai oleh kaum Syiah. Narasi anti-Syiah ini berhasil membuat puluhan hingga ratusan ribu Muslim dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong datang ke Suriah untuk ‘berjihad’.

Bulan April 2013 menjadi titik balik dari Perang Suriah. Saat itu, dua kelompok bersenjata yang sama-sama lahir dari rahim Al Qaeda, mulai berseteru. Abu Bakr al-Baghdadi (pemimpin Al Qaida Irak) menyatukan ‘perjuangan’ di Irak dengan Suriah, dengan membentuk Negara Islam Irak-Suriah (ISIS). Deklarasi ini ditentang oleh kelompok Jabhah Al Nusra pimpinan Al Julani. Lalu, dimulailah pertikaian di antara kedua kubu, mereka mengafirkan dan saling bantai dengan cara-cara mengerikan: menggorok leher atau membakar kepala terpenggal.

Dan inilah ideologi dasar kelompok-kelompok jihad Suriah dan Irak itu: takfirisme. Mereka merasa sah berperang dan membunuh siapa saja yang dianggap kafir. Definisi kafir menjadi semakin bias: bahkan sesama Muslim pun bisa didefinisikan kafir. Sayangnya, ini pula ideologi yang dimiliki oleh ormas-ormas (dan partai tertentu) di Indonesia yang sejak awal Perang Suriah terang-terangan menyatakan dukungan kepada para ‘mujahidin’. Satu-satunya alasan dukungan mereka adalah ‘kekafiran’ Rezim Assad.

Mereka dulu menolak melihat konflik dari sudut pandang yang lebih luas. Misalnya, aspek geopolitik dan sikap frontal Suriah terhadap Israel. Sebagaimana terdokumentasi dengan jelas, Suriah selama ini justru pendukung utama perjuangan Hamas. Khaled Mashal selama bertahun-tahun berkantor di Damaskus dan mendapatkan perlindungan keamanan penuh. Oleh UNHCR, Suriah pun tercatat sebagai negara pemberi pelayanan terbaik kepada pengungsi Palestina.

Jihadis Itu bukan Robot

Dan kini, ketika kebrutalan ISIS tidak bisa lagi dicarikan justifikasi relijiusnya, para pendukung ‘mujahidin’ itu pun menyerukan teori konspirasi: “ISIS adalah buatan AS dan Israel.” Benar, Barat memang diam-diam mendukung ISIS. Ada banyak datanya. Namun, datangnya para jihadis ke Suriah dan Irak, semata-mata konspirasi AS-kah? Sedemikian hebatnyakah AS dan Israel, sehingga bisa membuat puluhan ribu muslim dari berbagai penjuru dunia datang dengan sukarela ke Suriah dan Irak, mempertaruhkan nyawa, “berjihad”, menjagal sambil berteriak Allahu Akbar? Apakah mereka robot yang bisa disetir dengan remote control?

Tidak, tentu saja. Mereka semua datang karena didorong oleh ideologi kebencian dan takfirisme. Dan siapa yang menanamkan ideologi ini kepada mereka? Tak lain, para ustadz, ustadzah, ormas, partai, atau lembaga yang memiliki ideologi sejenis. Mereka selama puluhan tahun menyebarkan ajaran kebencian itu. Mereka menanamkan doktrin kebencian pada semua orang yang ‘berbeda’ serta kesetiaan kepada syekh-syekh asing dan organisasi transnasional. Ajaran Islam hakiki, yaitu cinta kasih dan rahmat, justru diabaikan.

Mereka, meskipun saat ini mengaku anti-ISIS dan menyebutnya buatan AS, tak bisa menghapus catatan sejarah masa lalu. Yaitu bahwa merekalah yang sejak awal konflik Suriah telah berkeliling Indonesia, menyebarkan kebencian yang dilandasi informasi palsu, sambil menggalang dana, untuk disalurkan kepada para jihadis. Kebencian itu pun disebarkan secara masif melalui jejaring sosial, dengan bantuan para simpatisan, ibu-ibu, mahasiswa, dan masyarakat awam, yang merasa sedang ‘berdakwah’ saat menyebarluaskan berbagai manipulasi informasi konflik Suriah.

Model penyebaran kebencian ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan di seluruh dunia. Karena mereka memang berjejaring secara transnasional. ISIS lahir dari sebuah proses panjang ajaran kebencian yang akhirnya mencapai puncak kebengisannya, yang menakutkan semua orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar