Sabtu, 30 Agustus 2014

Hasil Kesepakatan Gencatan Senjata Hamas - Israel

Gaza – Israel dan Palestina sepakat dengan usulan Mesir untuk mengakhiri gencatan senjata di Gaza setelah 50 hari peperangan yang menewaskan lebih dari 2.200 nyawa warga Palestina sebagian besar di antaranya adalah penduduk sipil.
Di bawah ini adalah poin-poin kesepakatan antara Israel dengan Palestina. Demikian diberitakan Reuters.

Poin-Poin Gencatan Senjata :
  • Hamas dan kelompok-kelompok lain di Gaza sepakat untuk untuk menghentikan serangan rudal ke wilayah Israel.
  • Israel menghentikan semua aksi militer, termasuk serangan darat dan udara.
  • Israel sepakat untuk membuka jalur perbatasan dengan Gaza untuk memperlancar pengiriman barang-barang, bantuan kemanusiaan, bahan-bahan bangunan. Ini juga merupakan bagian dari kesepakatan gencatan senjata pada 2012 yang tidak pernah terimplementasi.
  • Mesir sepakat membuka jalur perbatasan sepanjang 14 kilometer di Rafah.
  • Otoritas Palestina akan mengambil alih administrasi di perbatasan-perbatasan Gaza dari Hamas. Dengan kesepakatan ini, Israel dan Mesir dapat memastikan pencegahan masuknya persenjataan dan amunisi ke Gaza. Kedua negara juga akan mengawasi impor konstruksi material seperti semen dan besi baja untuk memastikan bahwa barang-barang tersebut digunakan untuk membangun perumahan alih-alih untuk basis militer Hamas.
  • Otoritas Palestina juga akan memimpin koordinasi upaya rekonstruksi Gaza yang akan dibantu oleh sejumlah donor internasional, termasuk di antaranya adalah Uni Eropa, Qatar, Turki, Norwegia.
  • Israel akan mempersempit “security buffer” (wilayah terlarang bagi warga Palestina di sepanjang dan di dalam perbatasan Gaza) dari 300 meter menjadi 100 meter jika gencatan senjata dapat bertahan. Kesepakatan ini memungkinan warga Palestina untuk memperluas lahan pertanian di wilayah perbatasan.
  • Israel akan memperluas batas penggunaan laut untuk kepentingan ekonomi warga Gaza dari tiga mil menjadi dua kali lipatnya. Palestina sendiri menginginkan ekses penuh selebar 12 mil sesuai dengan hukum internasional.
Kemudian di sisi lain, kedua pihak juga sepakat untuk mendiskusikan persoalan-persoalan yang lebih kompleks melalui perundingan tidak langsung dalam satu bulan ke depan.
Berikut ini persoalan yang akan dirundingkan kemudian
  • Tuntutan Hamas kepada Israel untuk melepaskan ratusan tahanan Palestina yang ditangkap menyusul pembunuhan terhadap tiga pemuda Yahudi pada bulan Juni. Hamas sendiri pada awalnya membantah keterlibatan terhadap pembunuhan itu, namun pada pekan lalu seorang pejabat senior Hamas di Turki mengakui bahwa kelompoknya memang bertanggung jawab.
  • Tuntutan Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, terhadap Israel untuk melepaskan tahanan yang pembebasannya ditangguhkan akibat kegagalan perundingan kedua belah pihak.
  • Tuntutan Hamas untuk pembangunan pelabuhan di Gaza yang memudahkan aktivitas impor-ekspor warga Palestina. Israel sejak lama menolak rencana tersebut namun sikap tersebut dapat berubah jika ada jaminan keamanan. Gaza sendiri merupakan titik penting perdagangan internasional di wilayah timur Mediterania.
  • Tuntutan Hamas untuk pencairan dana yang akan digunakan untuk membayar 40.000 polisi dan pegawai negeri sipil yang dari akhir tahun lalu sampai saat ini belum dibayarkan. Dana gaji pegawai pemerintah itu dibekukan oleh Otoritas Palestina.
  • Tuntutan Israel mengenai “demiliterisasi” penuh Gaza. PBB dan Uni Eropa mendukung permintaan tersebut namun Hamas dengan tegas menolaknya.
  • Tuntutan pembangunan kembali bandar udara di Gaza bernama Yasser Arafat International yang pada tahun 2000 lalu dihancurkan oleh Israel.


___________________________
Kutipan :  http://www.okeebos.com/news/internasional/poin-poin-kesepakatan-gencatan-senjata-antara-israel-dan-palestina/

Jumat, 29 Agustus 2014

Studing Perbandingan antara Redenominasi dengan Sanering Mata Uang

Banyak masyarakat yang masih keliru membedakan antara pengertian redenominasi mata uang dan sanering. Sesungguhnya, dua kebijakan tersebut merupakan dua hal yang sangat berbeda. Berikut penjelasan mengenai redenominasi dan sanering.

Redenominasi berarti menyederhanakan pecahan mata uang dengan mengurangi digit nol tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Misalnya, Rp 100.000 disederhanakan menjadi Rp 100 saja, dengan menghilangkan tiga buah angka nol yang paling belakang. Redenominasi biasanya dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil dan menuju ke arah yang lebih sehat.

Sementara sanering adalah pemotongan nilai uang sehingga terjadi penurunan daya beli masyarakat. Kebijakan ini biasanya dilakukan dalam kondisi perekonomian yang tidak sehat.

Adapun tujuan redenominasi rupiah adalah guna mempermudah masyarakat dalam melakukan transaksi. Sementara itu, sanering dilakukan untuk mengurangi jumlah uang beredar akibat harga-harga yang mengalami lonjakan.

Awalnya pemerintah dan BI berencana menjalankan tahapan redenominasi dalam tiga bagian. Pertama, tahap persiapan yang berlangsung selama tahun 2013. Kedua, tahap transisi yang berjalan mulai 2014 hingga 2016. Ketiga, tahap penyelesaian (phasing out) antara tahun 2017-2020. [1]


Pengertian Redenominasi 
Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah mata uang Pada waktu terjadi inflasi jumlah satuan moneter yang sama perlahan-lahan memiliki daya beli yang semakin melemah. Dengan kata lain, harga produk dan jasa harus dituliskan dengan jumlah yang lebih besar. Ketika angka-angka ini semakin membesar, mereka dapat memengaruhi transaksi harian karena risiko dan ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh jumlah lembaran uang yang harus dibawa, atau karena psikologi manusia yang tidak efektif menangani perhitungan angka dalam jumlah besar. Pihak yang berwenang dapat memperkecil masalah ini dengan redenominasi: satuan yang baru menggantikan satuan yang lama dengan sejumlah angka tertentu dari satuan yang lama dikonversi menjadi 1 satuan yang baru. Jika alasan redenominasi adalah inflasi, rasio konversi dapat lebih besar dari 1, biasanya merupakan bilangan positif kelipatan sepuluh, seperti 10, 100, 1.000, dan seterusnya. Prosedur ini dapat disebut sebagai "penghilangan nol".Contoh-contoh yang terkini antara lain:
Satuan baru
=
x
Satuan lama
Tahun
Dolar Zimbabwe
=
1 000 000 000 000
ZWR
Februari 2009
Dolar Zimbabwe ketiga (ZWR)
=
10 000 000 000
ZWN
Agustus 2008
Dolar Zimbabwe kedua (ZWN)
=
1 000
ZWD (dolar pertama)
Agustus 2006
Metical Mozambik baru
=
1 000
Metical lama
2006

Bank Indonesia memandang bahwa keberhasilan redenominasi sangat ditentukan oleh berbagai hal yang saat ini tengah dikaji sebagaimana yang telah dilakukan oleh beberapa Negara yang berhasil melakukannya. Hal-hal tersebut merupakan syarat-syarat untuk melakukan redenominasi yaitu antara lain :
1.2.1.       Inflasi stabil dibawah 5% selama 4 tahun berturut-turut.Redenominasi yang diwacanakan Bank Indonesia, telah mendapat persetujuan dari pemerintah. Oleh sebab itu, sebelum rencana itu terwujud, maka pemerintah harus memperhatikan keadaan ekonomi pada saat ini, salah satunya adalah inflasi. Jika inflasi stabil di bawah 5 % selama 4 tahun berturut-turut, maka redenominasi dapat dilakukan.Dengan melihat apa yang telah terjadi pada sanering, inflasi merupakan faktor penting untuk menjaga kestabilan rupiah. Jika pemerintah akan melakukan redenominasi tiga tahun mendatang, maka dengan tingkat inflasi yang stabil, maka redenominasi dapat dilakukan. Secara singkat inflasi adalah kenaikan harga-harga yang bersifat umum, secara terus menerus sehingga menyebabkan turunnya nilai uang.Dalam hal ini Bank Sentral juga mempunyai kewajiban untuk mengatasi jumlah uang yang beredar, hal ini untuk mencegah jangan sampai uang yang beredar melebihi kebutuhan perekonomian, sehingga akan menyebabkan inflasi. Di sini fungsi bank sentral adalah untuk menjaga nilai mata uang jangan sampai merosot, dengan mencegah jangan sampai terlalu tinggi. Seperti yang sudah diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Bank Indonesia No.3 Tahun 2004 yang isinya adalah  :a. Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.b. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.”Begitu pula di dalam penjelasannya, disebutkan bahwasannya kestabilan nilai rupiah yang dimaksud dalam Undang-undang tersebut adalah kestabilan terhadap barang dan jasa, serta terhadap mata uang Negara lain. Kestabilan terhadap barang dan jasa diukur dengan perkembangan laju inflasi. Jadi pemerintah, khususnya Bank Indonesia harus benar-benar memperhatikan hal itu. Di samping itu, telah jelas bahwasannya adanya Undang-undang tersebut agar kebijakan yang diambil oleh Bank Indonesia sudah mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian nasional.
1.2.2.       Stabilitas perekonomian terjaga dan jaminan stabilitas hargaStabilitas harga juga mempengaruhi terlaksananya redenominasi dengan baik. Karena pada saat rupiah diredenominasi, maka harga akan tetap pada harga lama, yang berubah adalah nominal pada rupiah saja. Sehingga dengan rupiah yang sudah diredenominasi (istilah rupiah baru pada masa transisi), tidak terjadi lonjakan harga-harga. Karena dengan nominal yang kecil, bukan tidak mungkin masyarakat akan merasa bahwa barang yang dijualnya terasa lebih murah dan menaikkan harga. Untuk itu harus ada jaminan stabilitas harga dari pemerintah sebelum redenominasi itu dilakukan agar stabilitas perekonomian tetap terjaga.
1.2.3.       Kesiapan Masyarakat. Kesiapan masyarakat sebelum redenominasi dilakukan merupakan hal yang penting, yaitu pemahaman tentang istilah redenominasi itu sendiri. Terlebih, untuk kalangan masyarakat yang pernah mengalami masa dilakukannya sanering pada tahun 1950-an. Sosialisasi ini juga sangat penting dilakukan untuk masyarakat kalangan bawah yang tidak mengerti rencana pemerintah tersebut. Misalnya saja dimulai dari keadaan yang mengharuskan masyarakat memakai dua mata uang rupiah pada masa transisi, mencantumkan dua label harga, dan jika nanti ada uang pecahan baru yang lebih kecil, maka masyarakat harus bisa menyesuaikan dengan semua perubahan itu.Pada akhirnya, banyak hal yang harus dipersiapkan untuk melakukan redenominasi mata uang rupiah tersebut. Walaupun Bank Indonesia dan juga pemerintah meyakinkan bebagai pihak, bahwasannya redenominasi berbeda dengan sanering. Karena pada redenominasi hanya nominal uangnya saja yang berubah dan cara penyebutannya, tidak mengurangi nilai uangnya. Akan tetapi, tanpa kesiapan yang matang dari berbagai pihak, khususnya sosialisasi kepada masyarakat akan menyebabkan kekacauan karena kesalahan persepsi.Terkait syarat-syarat redenominasi di atas, maka biaya dan risiko yang mungkin muncul ketika redenominasi dilakukan, Tarhan (2006) dalam tulisannya menjelaskan beberapa diantaranya adalah:
1) Efek inflasi karena pembulatan pada harga-harga. Bila dalam contoh rupiah misalnya Rp. 32.500 menjadi Rp 33.
2) Biaya perubahan menu dan administratif, termasuk diantaranya merubah harga pada label.3) Perubahan hukum dan undang-undang.
4) Biaya pencetakan mata uang baru baik kertas maupun koin, serta surat berharga lainnya
5) Biaya pemusnahan mata uang rupiah dan koin lama
6) Biaya edukasi kepada public dan iklan layanan masyarakat untuk perubahan tersebut kepada masyarakat terutama yang berada dipedesaan dimana tingkat pendidikannya rendah serta akses kepada media dan informasi juga sangat rendah
7) Perubahan software serta data akuntansi dan neraca
8) Efek psikologis karena tingkat pendapatan yang dirasakan menurun
9) Biaya tambahan pada ekonomi jika angka nol balik lagi karena inflasi.  
Hubungan Inflasi dengan Redenominasi Seperti telah dijelaskan sebelumnya pada syarat-syarat redenominasi, salah satunya adalah inflasi harus stabil di bawah 5 % dalam 4 tahun berturut-turut. Tentu hal ini sangat berhubungan erat dengan redenominasi yang akan dilakukan pemerintah. Untuk itu ada baiknya mengetahui tentang inflasi.Inflasi menurut Dwi Eko Waluyo adalah merupakan kecenderungankenaikan harga-harga umum secara terus-menerus. Sedangkan menurut Manullang, inflasi adalah satu keadaan dimana terjadi senantiasa meningkatnya harga-harga pada umumnya atau suatu keadaan dimana terjadi turunnya uang. Sedangkan menurut kamus lengkap perekonomian yang berlangsung secara terus-menerus dari waktu ke waktu. Menurut Rahardja dan Manurung mengatakan bahwa inflasi adalah gejala kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan berlangsung secara terus-menerus. Sedangkan menurut Sukirno, inflasi yaitu kenaikan dalam harga barang dan jasa yang terjadi karena permintaan pasar bertambah lebih besar dibandingkan dengan penawaran barang-barang di pasar. Jadi dapat disimpulkan bahwa inflasi adalah suatu kenaikan hargaharga pada umumnya yang berlangsung secara terus-menerus. Bersamaan dengan itu, nilai uang turun secara tajam sebanding dengan kenaikan harga-harga tersebut. Artinya telah terjadi kenaikan harga bila dibandingkan dengan tingkat harga sebelumnya dan kenaikan harga tersebut menyebabkan harga-harga secara umum naik.Akan tetapi belum dapat dikatakan sebagai inflasi jika kenaikan harga hanya secara umum naik. Misalnya harga mangga Rp 5000,- pada saat musim mangga, tetapa naik menjadi Rp 7000,- pada saat tidak musim. Itu bukan termasuk inflasi, karena bersifat sementara dan tidak menyebabkan harga barang lain naik. Begitu juga jika kenaikan harga hanya terjadi sesaat. Misalkan terjadinya kenaikan harga hari ini dibandingkan dengan hari sebelumnya, tetapi keesokan harinya sudah kembali turun. Biasanya perhitungan inflasi dalam rentang waktu minimal bulanan, sebab dalam sebulan akan terlihat kenaikan harga bersifat umum dan terus-menerus. Berbeda halnya dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Karena kenaikan BBM merupakan komoditas yang strategis sehingga menyebabkan harga barang atau komoditas lainnya ikut naik. 
Berikut adalah macam-macam inflasi, di antaranya adalah:Inflasi jika ditinjau dari sudut bobotnya, dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu:1) Inflasi ringan, Inflasi ringan disebut juga Creeping Inflation. Inflasi ringan adalah inflasi dengan laju pertumbuhan yang berlangsung secara perlahan dan berada pada posisi satu digit atau di bawah 10% pertahun.2) Inflasi sedang, Inflasi sedang (moderat) adalah inflasi dengan tingkat laju pertumbuhan berada di antara 10-30% pertahun atau melebihi dua digit dan sangat mengancam struktur dan pertumbuhan ekonomi suatu Negara.3) Inflasi berat, Inflasi berat merupakan inflasi dengan laju pertumbuhan berada diantara 30-100% pertahun. Pada kondisi demikian sektor-sektor produksi hampir lumpuh total kecuali yang dikuasai oleh Negara. 4) Inflasi sangat berat, Inflasi sangat berat (hyper inflation) adalah inflasi dengan laju pertumbuhan melampaui 100% pertahun yang timbul akibat adanya kenaikan harga-harga yang umum yang berlangsung sangat cepat. Sebagaimana yang pernah dialami oleh Negara Indonesia pada masa Orde Lama dan awal Orde Baru. Untuk keperluan perang terpaksa harus dibiayai dengan cara mencetak uang secara berlebihan.Sedangkan ditinjau dari asal terjadinya, maka inflasi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1) Domestic InflationDomestic Inflation (inflasi domestik) adalah inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestik). Kenaikan harga disebabkan karena adanya kejutan (shock) dari dalam negeri, baik karena perilaku masyarakat maupun pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang secara psikologis berdampak inflator. Kenaikan harga-harga terjadi secara absolute akibatnya terjadilah inflasi atau semakin meningkatnya angka (laju) inflasi.
2) Imported InflationImported Inflation adalah inflasi yang terjadi didalam negeri karena adanya pengaruh kenaikan harga dari luar negeri. Kenaikan harga didalam negeri terjadi karena dipengaruhi oleh kenaikan harga dari luar negeri, terutama barang-barang impor atau kenaikan bahan baku industry yang masih belum dapat diprodukai di dalam negeri. Inflasi memiliki memiliki beberapa dampak buruk terhadap individu dan masyarakat, menurut Pratama Rahardja dan Manurung yaitu :a) Menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakatInflasi menyebabkan daya beli masyarakat menjadi berkurang atau malah semakin rendah, apalagi bagi orang-orang yang berpendapatan tetap. Kenaikan upah tidak secepat kenaikan hargaharga, maka inflasi ini akan menurunkan upah riil setiap individu yang berpendapatan tetap, seperti pegawai negeri sipil ataupunkaryawan.b) Memperburuk distribusi pendapatan.Bagi masyarakat yang berpendapatan tetap akan menghadapi kemerosotan nilai riil dari pendapatannya dan pemilik kekayaan dalam bentuk uang akan mengalami penurunan juga. Akan tetapi bagi pemilik kekayaan tetapseperti tanah dan bangunan dapat mempertahankan atau justru menambah nilai riil kekayaannya. Dengan demikian inflasi akan menyebabkan pembagian pendapatan diantara golongan yang berpendapatan tetap dengan para pemilik kekayaan tetap akan semakin tidak merata.c) Terganggunya stabilitas ekonomiInflasi mengganggu stabilitas ekonomi dengan merusak perkiraan atas kondisi dimasa depan (ekspetasi) para pelaku ekonomi sehingga hal ini akan mengacaukan stabilitas dalam perekonomian suatu negara, karena akan memunculkan perilaku spekulasi dari masyarakat.Terkait dengan redenominasi yang akan dilakukan pemerintah, inflasi harus berada dikisaran 5 % selama 4 tahun berturut-turut. Artinya untuk melakukan redenominasi, tingkat inflasi harus ada pada inflasi ringan yaitu laju pertumbuhannya lambat 10 % pertahun. Karena selain dampak yang sudah dijelaskan di atas, terdapat juga dampak lainnya yaitu adanya dampak inflasi bagi para penabung. Ini menyebabkan orang enggan untuk menabung, karena nilai mata uang yang ditabung akan semakin menurun.Penabung yang biasanya menghasilkan bunga atau bagi hasil, tetapi jika tingkat inflasi terjadi masih diatas tingkat bunga yang diterima oleh penabung, tetap saja nilai mata uang yang akan diterima oleh penabung akan menurun. Bila orang sudah enggan menabung, maka dunia usaha dan investasi akan sulit untuk berkembang, karena berkembangnya dunia usaha membutuhkan dana dari masyarakat yang disimpan di Bank.Terlebih lagi jika inflasi yang terjadi melebihi itu akan terjadi kenaikan harga-harga pada umumnya dan bukan tidak mungkin redenominasi akan berubah menjadi sanering. Karena inflasi sulit dikendalikan, sementara akan ada rupiah baru walaupun nilainya tidak berubah, hanya penulisannya saja. Akan tetapi tanpa persiapan yang matang dari berbagai pihak khusunya bagi para penabung akan terjadi kekhawatiran terhadap uang mereka.
Tahapan Pelaksanaan Redenominasi 
Dalam menerapkan redenominasi, pemerintah Indonesia dapat melakukan secara bertahap untuk meredam gejolak yang mungkin akan terjadi di masyarakat. Karena selain efek ekonomi, efek psikologi di masyarakat yaitu kesiapan masyarakat perlu diperhatikan. Untuk itu Bank Indonesia sudah membuat tahapan-tahapan redenominasi. Tahapan-tahapan tersebut meliputi:a. 2011 – 2013 : Tahap sosialisasiBank Indonesia akan mensosialisasikan redenominasi kepada masyarakat. Yaitu Semua sistem akuntansi, pencatatan, dan sistem informasi akan disesuaikan secara bertahap. Hal itu untuk mempermudah masyarakat agar terbiasa dengan rupiah yang baru, dengan angka-angka yang kecil.b. 2013 – 2015 : Tahap transisiDalam masa ini, nantinya harga barang akan ditulis dalam dua harga yaitu terdiri atas rupiah lama dan rupiah baru. Misalnya, barang seharga Rp10.000 akan ditulis dalam dua harga yaitu Rp10.000 dan Rp10 (baru). Uang saat ini akan disebut rupiah lama, yang baru akan disebut rupiah baru. Selama masa ini, masyarakat akan menggunakan dua mata uang yaitu rupiah lama dan rupiah baru. Begitu juga untuk pengembalian uang, boleh menggunakan keduanya. BI juga akan perlahan-lahan mengganti uang rusak rupiah lama dengan uang rupiah baru.c. 2016 – 2018 : Tahap penarikan uang lamaBank Indonesia akan menarik uang lama, sehingga diharapkan pada akhir 2018 mata uang lama sudah tidak beredar lagi.d. 2019 – 2020 : Tahap pemantapanBank Indonesia akan mengganti uang baru yang bertuliskan “Uang Baru” dengan uang baru yang tidak memiliki tulisan baru tersebut sehingga diharapkan pada tahun 2021 redenominasi rupiah telah selesai. Kata-kata uang baru yang menandakan pengganti uang lama akan dihilangkan. Indonesia kembali pada rupiah seperti saat ini, namun nilai uangnya lebih kecil. Untuk mata uang kecil berlaku uang koin dan nilai pecahan sen akan berlaku lagi.Selain itu media diharapkan turut membantu mensosialisasikan proses dan tahapan redenominasi ini agar masyarakat paham akan manfaatnya bagi system keuangan dan perekonomian Negara. 
Alasan dan tujuan redenominasi 
Bank Indonesia (BI) berencana melakukan redenominasi rupiah karena uang pecahan Indonesia yang terbesar saat ini Rp 100.000. Uang rupiah tersebut mempunyai pecahan terbesar kedua di dunia, terbesar pertama adalah mata uang Vietnam yang mencetak 500.000 Dong. Namun tidak memperhitungkan negara Zimbabwe, negara tersebut pernah mencetak 100 miliar dolar Zimbabwe dalam satu lembar mata uang.(detikfinance, 07082010). Jadi BI berencana untuk menyederhanakan angka nominal pada mata uang rupiah. Dengan penyederhanaan ini diharapkan akan lebih memudahkan dalam pencatatan akuntansi.BI mengklaim bahwa sudah sejak lama, walaupun tidak formal, penyederhanaan ini sudah sering dilakukan di tengah masyarakat, misal dengan menyebut jumlah 1 juta menjadi seribu, 100 juta menjadi 100 ribu, jadi mengapa tidak di formalkan sekalian? Selain itu, langkah redenominasi ini dilakukan sebagai persiapan  menghadapi pemberlakuan mata uang bersama ASEAN, tahun 2015 (Ihda Faiz). Dengan penyebutan nominal yang ada, mata uang rupiah dianggap terlalu mencolok jika dibandingkan dengan nilai mata uang negara-negara ASEAN. Mata uang rupiah dianggap terlalu tambun, dan sulit untuk dieja.Dengan nilai nominal yang ada Muhaimin Iqbal menggambarkan ”kepelitan” wisatawan asing dalam memberi tips atas kepuasan pelayanan yang diberikan di hotel-hotel. Tidak jarang tips yang mereka berikan hanya Rp.500 atau Rp.1000, seperti besar padahal nilainya kecil. Bahkan tidak jarang kembalian taxi yang hanya Rp.500 atau Rp.1000, sampai ditagih, oleh para waisatawan asing tersebut karena terlihat seolah bernilai besar. Oleh karena itu redenominasi dilakukan sebagai upaya untuk efisiensi penghitungan dalam sistem pembayaran.(Junanto Herdiawan, 03082010) selain untuk menjadikan rupiah lebih setara (tidak harus sama nilainya tetapi tidak terlalu mencolok) dibanding mata uang negara lain, seperti negara-negara ASEAN, ataupun AS dengan mata uang  dolarnya.(muhammad Iqbal, Ihda Faiz) 

Dampak RedenominasiRencana kebijakan redenominasi di Indonesia akan mempunyai dampak yaitu:a) Dampak positif (manfaat) rencana redenominasiMenurut Bank Indonesia manfaat dilakukannya redenominasi adalah sebagai berikut:1. Mempermudah transaksi keuangan karena angka yang kecil dari pada nominal uang.2. Mempermudah perhitungan pada akuntasi keuangan.3. Meningkatkan kepercayaan diri dimata dunia Internasional.b) Dampak negatif rencana redenominasi1. Sampai saat ini laju inflasi belum stabil yaitu pada 2010 inflasi ada pada kisaran 6,96 %. Yaitu melebihi target pemerintah sebesar 5,3% atau target Bank Indonesia 5%. Sedangkan tingkat inflasi 2011 berada dikisaran 6,5-7,5%. Yaitu melebihi target pemerintah 5,3% yang dituangkan dalam APBN 2011.2. Melihat kondisi masyarakat Indonesia yang perekonomiannya tidak merata, rencana redenominasi kurang tepat jika dilakukan dalam waktu dekat karena akan merugikan masyarakat kalangan bawah yang tidak mengerti redenominasi tersebut sehingga akan terjadi kenaikan harga dari pedagang kecil yang menganggap rupiah semakin kecil akibat penyederhanaan rupiah tersebut. Dan bukan tidak mungkin jika rencana redenominasi dianggap sama dengan sanering yang pernah terjadi dulu

Pengertian SaneringSanering berasal dari bahasa Belanda yang berarti “penyehatan, pembersihan atau reorganisasi”. Sedangkan menurut konteks ilmu moneter, sanering adalah pemotongan nilai uang tanpa mengurangi nilai harga, sehingga daya beli masyarakat menurun1. Misalnya , jika nilai uang Rp. 100,- ribu dipotong menjadi Rp. 100,- Karena nilainya sudah di turunkan, jumlah barang yang di beli dengan uang baru akan lebih sedikit di bandingkan dengan uang lama. Jika Rp. 100,- ribu lama bisa dapat satu baju, maka dengan uang Rp. 100,- pecahan baru tidak bisa lagi mendapatkan satu baju yang sama. 
Dampak SaneringDampak positif (manfaat) sanering 
Kebijakan sanering yang pernah dilakukan pemerintah di Indonesia dimulai pertama kali pada tahun 1950, tepatnya 19 Maret 1950. Pemerintah melakukan sanering yaitu untuk mengatasi situasi perekonomian Indonesia yang saat itu sedang terpuruk yaitu utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung. Hal tersebut disebabkan perekonomian Indonesia yang masih belum tertata setelah kemerdekaan. Untuk itu pemerintah melakukan tindakan sanering yang dikenal dengan sebutan gunting syafruddin.Kemudian pemerintah kembali melakukan tindakan sanering yang kedua pada tahun 1959, tepatnya pada 25 Agustus 1959. Hal ini dilakukan untuk menekan laju infasi sehingga pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PERPU) No. 2 dan No. 3 tahun 1959 yang pada intinya melakukan pemotongan nilai uang kertas dari Rp 500,- dan Rp 1000,- menjadi Rp 50,- dan Rp 100,-. Dan pembekuan simpanan (giro dan deposito) di bank- bank.Selanjutnya pemerintah untuk yang ketiga kalinya melakukan tindakan sanering dengan sebab dan alasan yang sama dengan sebelumnya, yaitu untuk mengurangi jumlah uang yang beredar yang disebabkan oleh inflasi. Kebijakan sanering ini dilakukan oleh pemerintah tepatnya pada 13 Desember 1965. Hal ini menyebabkan penurunan drastis pada rupiah dari nilai Rp 1000,- (uang lama) menjadi Rp 1,- (uang baru).Jika dilihat dari sebab terjadinya sanering mulai dari tahun 1950,1959 dan 1965, maka kebijakan sanering yang dilakukan pemerintah terlihat adanya dampak positif (manfaat) nya yaitu:1. Pada sanering tahun 1950, untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang saat itu sedang terpuruk dan belum tertata setelah kemerdekaan, yakni utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung. Dengan adanya sanering bisa mengisi kas pemerintah yang kosong setelah kemerdekaan dan menurunkan harga-harga akibat inflasi.2. Sanering pada tahun 1959 dilakukan untuk menekan laju inflasi dan menutup hutang pemerintah di bank yaitu dengan adanya pembekuan simpanan (giro dan deposito) yang diganti dengan simpanan jangka panjang oleh pemerintah. Sehingga membantu menutup sebagian hutang pemerintah.3.Sanering pada tahun 1965 dilakukan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar akibat inflasi yang telah menjadi hyperinflasi. 
Dampak negatif sanering
setelah diuraikan sebelumnya tentang adanya manfaat dari kebijakan sanering, akan tetapi terdapat juga dampak negatif dari kebijakan sanering yaitu:1. Kebijakan sanering yang dilakukan pada tahun 1950 kurang tepat dilakukan pemerintah pada saat itu karena menyebabkan terjadinya tindakan sanering berikutnya yang semakin menyebabkan masyarakat menderita. Dan pada dasarnya sanering tersebut dilakukan cenderung untuk kepentingan pemerintah semata, yaitu untuk mengatasi hutang pemerintah yang menumpuk tanpa memikirkan kesulitan rakyatnya yang disebabkan pemotongan nilai rupiah tersebut.2. Sanering yang kedua yaitu tahun 1959 menyebabkan banyak bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Sehingga akhirnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PERPU) No.2 dan No. 3 yang isinya melakukan penurunan nilai rupiah dan pembekuan simpanan di bank-bank.3. Sanering yang ketiga juga tidak membawa perubahan yang lebih baik karena terjadi penurunan secara drastis nilai rupiah dari Rp 1000,- menjadi Rp 1,-. Setelah itu tanpa henti terjadi depresiasi nilai rupiah sehingga pada saat terjadi krisis financial di Asia tahun 1997, nilai rupiah semakin menurun dan tidak berharga.  
Pengalaman Kebijakan Sanering di Indonesia
 2.3.1.   Kebijakan Pertama 
Kebijakan sanering terjadi pertama kali dilakukan pada tahun 1950, tepatnya 19 Maret 1950 yang dikenal dengan sebutan gunting sjafruddin. Kebijakan ini ditetapkan oleh Syafruddin Prawiranegara, menteri keuangan dalam Kabinet Hata II. Kebijakan tersebut dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang saat itu sedang terpuruk. Yaitu utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung.Menurut kebijakan tersebut uang merah (uang NICA) dan uang De Javanesche Bank dari pecahan Rp 5,- digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula. Kemudian guntingan kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Selebihnya bisa juga tidak berlaku atau dibuang. Sedangkan bagian kanan juga tidak berlaku, tetapi masih bisa ditukarkan dengan obligasi Negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar 40 tahun kemudian dengan bunga 3 % setahun. Hal ini juga berlaku pada simpanan di bank. 
2.3.2. Kebijakan Senering Kedua 
Kebijakan sanering yang kedua yaitu terjadi pada tahun 1959. Kebijakan sanering ini salah satu kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk menekan laju inflasi. Akan tetapi akibat dari kebijakan ini banyak bankbank yang mengalami kesulitan likuiditas, yang ditanggapi Bank Indonesia melalui pemberian kredit. Yaitu terjadi pada tanggal 25 Agustus 1959, pemerintah melakukan kebijakan sanering dengan memberlakukan Peraturan Pemerintah (PERPU) No. 2 dan No. 3 tahun 1959 yang isinya adalah :1. Penurunan nilai uang kertas Rp 500 dan Rp 1000 menjadi Rp 50 dan Rp 100 (Perpu No. 2 tahun 1959). Penukaran uang kertas ini harus di 37 lakukan sebelum 1 Januari 1960 (Perpu No. 6 tahun 1959). Sedangkan untuk nilai uang yang hilang akibat pemberlakuan Perpu No. 2, tidak akan di perhatikan pada perhitungan laba maupun pajak (Perpu No. 5 tahun 1959, 25 Agustus 1959).2. Pembekuan sebagian simpanan pada bank-bank (giro dan deposito) sebesar 90% dari jumlah simpanan di atas Rp 25.000, dengan ketentuan bahwa simpanan yang di bekukan akan di ganti dengan simpanan jangka panjang oleh pemerintah (Perpu No. 3 tahun 1959 tanggal 24 Agustus 1959). 
2.3.3. Kebijakan Senering Ketiga
 Kebijakan sanering yang ketiga kalinya dilakukan pada tahun 1965. Tepatnya pada 13 Desember 1965, pada sanering yang ketiga ini terjadi penurunan drastis dari nilai Rp 1.000,- (uang lama) menjadi Rp 1,- (uang baru). Kebijakan ini harus dilakukan lagi oleh pemerintah untuk mengurangi jumlah uang yang beredar akibat inflasi. Karena sejak dilakukan tindakan sanering yang kedua, pada tahun 1959, inflasi memang menurun. Akan tetapi harga tetap menunjukkan kenaikan. Tetapi sejak tahun 1960, inflasi kembali mengalami peningkatan. Bahkan pada tahun 1962, inflasi meningkat menjadi hyperinflasi. Untuk itu pemerintah kembali mengeluarkan peraturan melalui Penetapan Presiden Penpres) No. 27 pasal 3 tahun 1965 yang isinya adalah :“(1) Sesudah 1 (satu) bulan berlakunya Penetapan Presiden ini maka semua jenis uang kertas Bank Negara Indonesia dari pecahan-pecahan Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) dan Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) yang beredar sebagai alat pembayaran yang sah sebelumPenetapan Presiden ini berlaku, tidak lagi merupakan alat pembayaran yang sah.(2) Sesudah 3 (tiga) bulan berlakunya Penetapan Presiden ini maka semua jenis uang kertas Bank Negara Indonesia dari pecahan Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah), Rp. 1.000,-(seribu rupiah) dan Rp. 500,- (lima ratus rupiah) yang beredar sebagai alat pembayaran yang sah sebelum Penetapan Presiden ini berlaku, tidak lagi merupakan alat pembayaran yang sah.(3) Sesudah 6 (enam) bulan berlakunya Penetapan Presiden ini maka semua jenis uang kertas bank, uang kertas Pemerintah dan uang logam dari pecahan-pecahan Rp. 100,- (seratus rupiah) ke bawah yang beredar sebagai alat pembayaran yang sah sebelum Penetapan Presiden ini berlaku, tidak lagi merupakan alat pembayaran yang sah.(4) Penarikan uang rupiah Irian Barat dari peredaran yang berlaku dan beredar sebagai alat pembayaran yang sah sebelum Penetapan Presiden ini berlaku, akan diatur lebih lanjut oleh Pemerintah”Sejak saat itu akibat dari pengeluaran uang rupiah baru yang nilinya ditetapkan sebasar 1000 kali uang rupiah lama, tidak berarti bahwa harga barang-barang dalam rupiah baru menjadi seperseribu dari harga uang rupiah lama.3 Hal ini menunjukkan bahwa nilai tukar antara uang rupiah baru dengan uang rupiah lama bergerak antara 1:10. Jadi , nilai uang rupiah baru hanya dinilai kurang lebih 10 kali lebih tinggi daripada uang rupiah lama. Setelah itu tanpa henti terjadi depresiasi nilai mata uang rupiah sehingga ketika terjadi krisis moneter di Asia tahun 1997 nilai Rp 1,- US $ menjadi Rp 5.500 dan terus-menerus tidakterkendali.     
Perbedaan redenominasi  dan sanering
Dalam redenominasi tersebut, BI berencana akan menghilangkan 3 digit dari nilai pecahan rupiah yang ada. Misalnya dari Rp1.000  menjadi Rp1. Harga barang yang semula Rp 1.000  juga berubah menjadi seharga Rp 1. Contohnya,  pada harga bawang putih 1 kilogram Rp.4000, dengan redenominasi tiga digit nolnya dihilangkan, maka harga bawang putih  menjadi Rp.4. Harga bawang putih tetap, hanya nominalnya saja yang disederhanakan. Daya beli uang yang dikenakan redenominasi pun tetap. Dengan uang Rp.4, masyarakat tetap dapat membeli 1 kilogram bawang putih.Sedangkan dalam sanering, pemotongan uang belum tentu diikuti dengan harga barang. Misalnya harga bawang putih yang semula Rp 4000, tidak serta merta bisa menjadi Rp 4. Bisa jadi, harga barang tetap seperti harganya semula. Sementara nilai uang Rp 4000 di masyarakat, telah berubah menjadi Rp 4. Artinya, daya beli masyarakat akan menurun drastis dengan adanya sanering. Kita jadi tak mampu membeli bawang putih lagi.
Redenominasi dilakukan pada saat inflasi terkendali,sementara sanering dilakukan dalam kondisi ekonomi yang tidak sehat dan inflasi yang melejit tidak terkendali.Perbedaan redenominasi dan sanering menurut Ihda Faiz, digambarkan dalam tabel berikut : 
Perbedaan
Redenominasi
Sanering
Pengertian
Penataan nominal mata uang
Pemotongan nilai mata uang
Tujuan
Penyederhanaan angka
Mengurangi jumlah uang beredar
Dampak thd masyarakat
Tidak ada (kecuali penyesuaian kebiasaaan)
Dirugikan karena daya beli uang turun
Daya Beli Uang
Tetap
Turun
Syarat kondisi
Kondisi makroekonomi stabil, ekonomi tumbuh    
Instabilitas makroekonomi, hiperinflasi
Waktu pergantian
Perlu masa transisi yang terukur dan terkendali
dilakukan secara mendesak
 
Kesimpulan 
Tampak jelas bahwa kebijakan redenominasi rupiah tidak akan menyelesaikan ekonomi di Indonesia, melainkan justru akan menambah biaya pembangunan dan semakin bercokolnya sistem ekonomi kapitalisme. Redenominasi yang seolah-olah merupakan solusi yang ditawarkan pemerintah saat ini sangat jauh dari akar permasalahan perekonomian. Yang menjadi akar permasalahan adalah dengan perubahan sistem mata uang dan sistem ekonomi Indonesia, ke arah yang lebih baik.           


 ________________________________

Daftar Pustaka :

[1] http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/02/04/1016380/Apa.Perbedaan.Redenominasi.dengan.Sanering.?utm_campaign=related_left&utm_medium=bp&utm_source=bisniskeuangan

Mempelajari Redenominasi Rupiah

Untuk mengantisipasi redenominasi rupiah oleh Bank Indonesia masyarakat harus mulai mengalihkan hartanya ke dinar emas dan dirham perak.
Beberapa hari ini masyarakat menghebohkan rencana Bank Indonesia (BI) untuk meredenominasi rupiah. Pada 18 Mei 2010 lalu rencana ini sebenarnya sudah terbuka kepada publik saat dimulai Penjualan SUN (Surat Utang Negara) Denominasi Rupiah di Bursa Efek Indonesia (BEI). Tapi, hingar bingar Piala Dunia menenggelamkannya. Yang terasa mengagetkan publik adalah respon Menteri Keuangan, Bpk Agus Martowardoyo, yang menyatakan tidak tahu-menahu rencana BI tersebut. Ada apa ini?
Pelaksanaannya sendiri, tentu saja, menunggu dana hasil penjualan SUN ini. Kenyataan bahwa sumber biaya redenominasi rupiah tersebut adalah hasil utang ini yang seharusnya justru jauh lebih mengejutkan ketimbang reaksi Menteri Keuangan di atas. Sebab, secara politik, BI memang bukan bagian dari Republik Indonesia, dan Gubernur BI (yang beberapa bulan lalu juga kosong) bukan bagian dari Kabinet RI lagi.
Wakil Presiden RI, Bpk Boediono, yang merupakan mantan Gubernur BI terakhir, pun cuma menegaskan: *”Bahwa itu adalah kewenangan Bank Indonesia!”* Tentu saja. Bukankah BI adalah bagian dari International Monetary Fund (IMF)? Apa yang bisa dibuat oleh Republik Indonesia?

Memahami Redenominasi

Bagi masyarakat pun tidak terlalu penting soal silang sengketa itu, tetapi akibat dari proyek redenominasi itulah yang perlu dimengerti dan diantisipasi. Sebab, masyarakat yang menerima akibatnya, maka masyarakat perlu memahami tindakan yang bisa diambilnya untuk menyelamatkan harta bendanya. Kalau redenominasi itu dilaksanakan, atau selama masa rencana ini, apa yang bisa dilakukan?
Redenominasi merupakan tindakan rekalibrasi mata uang. Langkah ini dilakukan karena dua alasan (1) inflasi atau (2) devaluasi. Atau, bukan karena keduanya, melainkan dengan alasan geopolitik tertentu. Ini terjadi, misalnya, ketika berbagai negara di Eropa bersepakat untuk memiliki mata uang regional euro, yang mengharuskan tiap negara pesertanya merekalibrasi mata uang nasional masing-masing. Bila karena inflasi ada dua variasi, yaitu hiperinflasi atau inflasi sangat tinggi dalam tempo singkat, atau inflasi kronis, yaitu inflasi yang terus-menerus terjadi dalam waktu panjang.
Secara teknis redenominasi mata uang nasional adalah rekalibrasi mata uang suatu negara dengan cara mengganti currency unit mata uang lama (yang berlaku) dengan mata uang yang baru, yang dipakai sebagai 1 unit mata uang. Bedanya dengan devaluasi adalah pada yang terakhir ini unit rekalibrasinya adalah mata uang asing, umumnya dolar AS. Kalau inflasinya sangat besar, maka rasioanya juga akan besar, bisa kelipatan 10, 100, 1000, atau lebih besar lagi. Dalam hal ini, proses itu lalu disederhanakan, dan disebut sebagai “penghilangan angka nol”.

Nasib Rupiah

Sepanjang umurnya yang 65 tahunan rupiah sudah mengalami berkali-kali rekalibrasi. Yang dicatat dalam buku sejarah di sekolah adalah saat rezim Orde Lama pada 31 Desember 1965, memangkas nilai Rp 1000 menjadi Rp 1.Istilah yang populer untuk peristiwa ini adalah sanering. Penyebabnya adalah hiperinflasi. Sesudah Orde Lama jatuh, selama kurun pemerintah Orde Baru, rupiah juga mengalami berkali-kali rekalibrasi, dengan istilah berbeda, yakni devaluasi.Atas desakan IMF dan Bank Dunia rupiah didevaluasi pada Maret 1983, sebesar 55%, dari Rp 415 per dolar AS menjadi lebih dari Rp 600 per dolar AS. Rupiah, kembali atas tekanan IMF dan Bank Dunia, didevaluasi lagi pada September 1986, sebesar 45%, menjadi sekitar Rp 900 per dolar AS. Dari waktu ke waktu nilai tukar rupiah lalu terus mengalami depresiasi sampai mencapai angka sekitar Rp 2.200 per dolar AS sebelum ‘Krismon’ 1997. Nilai rupiah kemudian ‘terjun bebas’ pertengahan 1997, dan sejak itu terus terombang-ambing – lagi-lagi atas kemauan IMF dan Bank Dunia – dalam sistem kurs mengambang (floating rate), dengan titik terendah yang pernah dicapai sebesar Rp 15.000 per dolar AS, di awal 1998, dan saat ini stabil di sekitar Rp 9.200 per dolar AS.
Jadi, munculnya gagasan untuk rekalibrasi rupiah kali ini, dengan cara redenominasi melalui penghilangan tiga angka nol-nya, yakni mata uang Rp 1.000 menjadi Rp 1, penyebabnya tiada lain adalah inflasi kronis. Tetapi bagi masyarakat umum apakah ada perbedaan implikasinya antara sanering, devaluasi, dan redenominasi?
Secara substansial, tentu saja, tidak ada bedanya. Ketiganya hanya bermakna bahwa mata uang rupiah kita semakin kehilangan daya belinya. Arti kongkritnya adalah masyarakat yang memegang rupiah semakin hari semakin miskin. Penghilangan angka nol dilakukan karena dua alasan. Pertama, alasan teknis, kerepotan dalam berbagai aspek pengelolaan mata uang dengan angka nominal besar. Kedua, alasan psikologis atau tepatnya psikis, karena pada titik tertentu masyarakat tidak akan bisa manerima harga dengan nominal yang sangat besar.
Penyakit inflasi (akut atau kronis) atau tepatnya penurunan daya beli mata uang kertas (depresiasi) bukan cuma diderita oleh rupiah. Semua mata uang kertas mengalaminya. Dolar AS telah kehilangan daya belinya lebih dari 95% dalam kurun 40 tahun. Euro, hasil rekalibrasi geopolitis, yang konon merupakan mata uang terkuat saat ini, dalam sepuluh tahun terakhir, kehilangan sekitar 70% daya belinya. Rupiah? Lebih dari 99,9% daya belinya telah lenyap dalam 65 tahun ini. Maka, fungsi rekalibrasi sebenarnya hanyalah untuk menutupi cacat bawaan uang kertas ini. Hingga publik tidak merasakan bahwa dalam kurun 65 tahun Indonesia merdeka, kita telah dipermiskin sebanyak 175 ribu kali! Rekalibrasi mata uang kertas adalah senjata utama para bankir untuk mengelabui masyarakat atas kenyataan ini. Dalam kurun sepuluh tahun terakhir ini saja belasan mata uang berbagai negara direkalibrasi: Turki, Siprus, Slovakia, Romania, Ghana, Azerbeijan, Slovenia, Turkmenistan, Mozambique, Venezuela, dll. Yang paling spektakuler, tentu saja, adalah dolar Zimbabwe, yang dalam kurun lima tahun terakhir mengalami tiga kali (2006, 2008, dan 2009) redenominasi, dengan menghapus total 25 angka nol pada unit mata uangnya!

Pilihan Masyarakat: Dinar emas dan Dirham Perak

Lalu adakah pilihan bagi masyarakat? Tentu saja ada. Yakni pilihlah alat tukar yang tidak bisa disanering, didevaluasi atau diredenominasi, artinya tidak dapat dimanipulasi oleh siapa pun, bukan cuma oleh bank sentral atau IMF, yakni alat tukar yang memiliki nilai intrinsik. Pilihan terbaik untuk itu adalah dinar emas atau dirham perak, yang kini mulai beredar luas di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Kesultanan Kelantan, Malaysia, secara resmi akan me-launch dinar emas dan dirham peraknya pada 2 Ramadhan 1431 H (12 Agustus) ini. Ditargetkan pada Januari 2011 dinar emas dan dirham perak, termasuk yang beredar di Indonesia, akan mulai berlaku sebagai alat tukar internasional, dengan kurs tunggal. Jadi, inilah saat yang tepat bagi masyarakat untuk mengalihkan uang kertasnya menjadi dinar emas dan dirham perak. Alat tukar yang bebas inflasi, dan mustahil diredenominasi!

Subsidi BBM : Studi Banding dengan Iran

Pemerintah mulai mewacanakan lagi pengurangan subsidi BBM.  Seperti biasa, tulisan seorang pengamat ekonomi soal ‘kebohongan subsidi BBM’ kembali disebarluaskan di media sosial (FB, blog, dll).  Argumen soal ‘kebohongan subsidi’ memang membuat nyaman masyarakat yang memang umumnya anti pencabutan subsidi. Namun, menurut sebagian orang, hitung-hitungan yang dilakukan sang pengamat ekonomi ini sangat banyak menyederhanakan, terlalu banyak berasumsi, dan banyak variabel yang  tidak dilibatkan, terutama yang dari segi keteknikan. Saya tidak akan membahas detil soal hitungan ini karena bukan bidang saya. Yang jelas, di internet kita bisa menemukan cukup banyak tulisan yang dengan detil menjelaskan dimana letak kesalahan kalkulasi sang pengamat ekonomi.
Ada argumen yang banyak diulang-ulang oleh pihak-pihak yang antipencabutan subsidi, yang saya tahu pasti kesalahannya, yaitu argumen yang melibatkan Iran. Iran disebut-sebut sebagai negara yang menjual minyak dengan harga sangat rendah kepada rakyatnya, yaitu Rp 1287/liter. Ini tidak benar. Harga bensin di Iran saat ini minimalnya 4000 IRR/liter dan ada pembatasan pembelian; akan saya jelaskan nanti. (IRR= Iranian Riyal; per 21 April 2013, 4000 IRR= Rp3160)[1]
Yang mungkin akan mengejutkan banyak orang, Iran pun MENCABUT subsidi BBM-nya. Pernah di suatu masa, harga bensin di Iran memang sangat murah, sekitar Rp1500/liter. Tapi, itu bukan harga asli, melainkan disubsidi 80%.
Sejak akhir tahun 2006, pembelian bensin bersubsidi dibatasi (setiap mobil cuma boleh beli bensin 120 liter/bulan/mobil), dan akhirnya mulai akhir 2010 subsidi pun dikurangi. Menariknya, semua itu terjadi tanpa gejolak (tentu saja, kalau protes-protes minor, selalu ada dalam masyarakat Iran yang memang karakternya outspoken –blak-blakan-itu). Yang lebih menarik, Wamen ESDM kita dulu, Dr. Widjajono Partowidagdo (alm) pernah berkunjung ke Iran untuk mempelajari apa yang dilakukan Iran dalam efisiensi energi. Tapi, sayang sebelum beliau bisa mengaplikasikan apapun , beliau meninggal dunia (yang menurut pengamatan sebagian orang, agak ‘misterius’).
Ada satu fakta penting yang perlu dicermati:  Iran memberikan subsidi BBM. Ini jelas kontradiktif dengan pernyataan seorang pengamat ekonomi terkenal: ‘tidak ada yang disebut subsidi BBM itu’. Padahal, Iran adalah negara dengan cadangan minyak nomor 3 di dunia dan dengan cadangan gas nomor 2 di dunia. Iran jauh lebih kaya minyak daripada Indonesia, tapi mereka tetap memberikan subsidi.
Artinya apa? Pemakaian BBM di Iran sangat tinggi karena (dulu) harganya murah, bahkan 18 kali lipat tingkat konsumsi orang Jepang dan 9 kali lipat orang AS. Kasus penyelundupan BBM ke luar negeri pun banyak terjadi. Iran pun terpaksa mengirim minyak mentahnya ke negara-negara lain untuk di-refinery, karena hasil refinery di dalam negeri tidak cukup, saking borosnya. Ketika harus di-refinery di luar negeri, jelas memakan biaya besar. Dan ketika dijual di dalam negeri, pemerintah harus memberikan subsidi agar harga tetap murah. Artinya, pemerintah terbebani oleh subsidi ini.
Saya sempat berada di Iran ketika harga bensin di sana sangat murah. Saat itu, saya menyaksikan sendiri, betapa borosnya rakyat Iran. Mereka mengisi tangki mobil sendiri (karena tidak disediakan pelayan di pom bensin) dengan ceroboh, sehingga bensin itu berceceran. Mereka cuek karena harga yang sangat murah.
Apa yang dilakukan Iran untuk mengatasi masalah ini? Pemerintah di sana dengan tepat melihat bahwa Iran memiliki cadangan gas yang sangat besar. Bila rakyat menggunakan bahan bakar gas (dari jenis CNG), Iran akan menghemat sangat banyak uang (yang digunakan untuk subsidi) dan bahkan menghasilkan banyak uang (karena surplus BBM bisa dijual). Inilah yang secara sistematis dilakukan Iran dan dilakukan secara kontinyu, meski presidennya berganti-ganti. Proses sosialisasi pencabutan subsidi itu dilakukan sejak tahun 1993, era Presiden Rafsanjani. Sosialisasi itu bahkan dilakukan lewat film. Di komedi lawak Powarchin, yang membuat kota Teheran lengang (saking semua orang duduk di rumah menonton film serial tersebut), sering diselipkan propaganda (dengan cara yang mengundang tawa) betapa subsidi minyak itu membebani pemerintah. Bayangkan bila uang untuk subsidi itu dialihkan membuat rumah sakit, sekolah, bla…bla..(demikian’iklan’ di film lucu tersebut).
Di saat yang sama, sejak 1999 (era Khatami), dimulailah proyek jangka panjang pembangunan stasiun pengisian CNG; dimulai dengan membangun pipa-pipa gas hingga ke pelosok desa-desa. Tahun 2004, seorang periset senior lembaga riset milik pemerintah berhasil menciptakan tabung CNG untuk mobil dan hasil risetnya itu diproduksi massal oleh pemerintah tahun itu juga. Stasiun pengisian CNG pun dibangun di seantero negeri. Tahun 2004 itu pula, Iran-Khodro (industri mobil terbesar Iran) mulai membuat kit-converter untuk mobil yang mau beralih dari BBM ke CNG. Iran-Khodro juga memulai produksi mobil berbahan bakar CNG yang selesai tahun 2005 (era Ahmadinejad).
Masih tahun 2004 itu pula, kepolisian Iran mulai menertibkan lagi sistem pendataan kepemilikan mobil untuk menunjang program e-smart-card untuk kartu bensin subsidi.
Tahun 2005, Pemerintahan Ahmadinejad memberikan subsidi kepada rakyat yang ingin mengganti sistem mobilnya agar berbahan bakar CNG. Subsidi itu berupa kit-converter, juga subsidi untuk pengadaan tabung CNG-nya, bahkan subsidi untuk orang-orang yang mau membuka usaha pompa CNG. Seseorang hanya perlu punya tanah kosong minimal 1000 m2 dan uang modal 500 juta IRR. Selanjutnya, semua alat, keperluan, dan berbagai biaya tambahan untuk membangun pompa CNG itu disuplai pemerintah.
Selanjutnya, sejak 2010, mulailah pembatasan subsidi dilakukan dengan menggunakan semacam kartu subsidi (e-smart card). Setiap mobil cuma berhak membeli 60 liter/bulan bensin yang disubsidi 50%. Harga bensin super 5.000 IRR dan bensin biasa 4.000 IRR perliter.  Kartu subsidi ini ada PIN-nya dan harus cocok antara nomor mobil, nama pemilik mobil, dan warna mobil. Satu mobil tidak bisa memakai jatah mobil lain saat membeli bensin. Jika pemakaian bensin sebuah mobil lebih dari 60 liter/bulan, pemilik mobil tersebut harus membeli bensin dengan harga pasar Iran (yang sebenarnya masih juga disubsidi 20 %), yaitu 8.000 IRR/liter (bensin super) dan 7.000 IRR/ liter (bensin biasa).
Sementara itu, harga 1 tabung CNG adalah 60.000 IRR yang bisa dipakai untuk jarak sekitar 750 km.Ketika di pasar terjadi perbedaan harga: harga BBM lebih mahal daripada CNG, jelas, rakyat akan memilih dengan sukarela: mengganti sistem mobilnya dengan sistem CNG (apalagi ditunjang dengan berbagai kemudahan yang diberikan pemerintah).
Jadi, inilah yang umumnya kita abaikan di tengah hiruk-pikuk perdebatan tentang pencabutan subsidi BBM. Publik lebih fokus kepada dampak negatif pencabutan subsidi BBM. Padahal, ada masalah lain yang lebih penting diangkat yaitu upaya mencapai kemandirian energi.
Minimalnya ada tiga  fakta yang sepertinya agak diabaikan para pengamat yang berkali-kali muncul di televisi (atau menulis di koran).
Pertama,Indonesia bukan lagi negeri yang kaya minyak. Indonesia saat ini berada di peringkat 22 dalam daftar pemilik cadangan minyak terbanyak dunia. Sejak era Orde Baru, kebijakan energi Indonesia sangat bertumpu kepada minyak, tanpa  melakukan upaya pengembangan sumber-sumber energi terbarukan. Semakin lama, cadangan minyak Indonesia semakin menurun sementara minyak tetap menjadi sumber utama energi di Indonesia.
Kedua,minyak Indonesia pun tidak sepenuhnya diproduksi bangsa ini. Pertamina hanya memproduksi 13,8% dari total produksi minyak Indonesia, sementara sisanya  diproduksi oleh perusahaan asing, antara lain Chevron (41%), Total E&P Indonesie (10%), Chonoco Philips (3,6%), dan CNOOC (4,6%). Perusahaan-perusahaan asing itu tentu saja menjual minyaknya dengan harga pasar internasional karena berdasarkan aturan UU Migas, pemerintah tidak berhak lagi ikut campur dalam kebijakan perusahaan-perusahaan asing tersebut. Sementara, demi memenuhi konsumsi dalam negeri, Indonesia setiap harinya harus mengimpor 600.000 barel minyak dengan harga internasional dan dijual dengan harga Indonesia. Inilah sebabnya pemerintah mensubsidi BBM.
Ketiga,terjadi ketidakefisienan dalam pengelolaan energi kita. Antara lain, mengapa kita hanya mengelola 13% minyak Indonesia dan sisanya diserahkan kepada perusahaan asing dengan bagi hasil yang tidak adil? Selain itu, mengapa kita harus memilih untuk mengimpor minyak, sementara kita mempunyai sumber energi yang jauh lebih murah bila dimanfaatkan, yaitu batu bara dan gas? Anehnya, batu bara dan gas justru dijual murah kepada negara asing.
Jawaban dari pertanyaan ini sudah banyak yang tahu: kalau ada energi alternatif, pastilah itu mafia-mafia minyak Indonesia maupun asing akan rugi besar! Itulah sebabnya mereka menekan pemerintah supaya tidak mengembangkan energi alternatif. Yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi beban anggaran hanya mencabut subsidi, tanpa ada upaya penyiapan infrastruktur untuk penggunaan energi alternatif. Di sinilah letak kesalahan besarnya. Jangan malah dikaburkan pada isu ‘kebohongan subsidi’.
Inti dari tulisan ini hanya satu: marilah kita lebih jernih dalam menyikapi berbagai isu. Tidak semua pencabutan subsidi itu antirakyat. Pencabutan subsidi hanya persoalan di ‘permukaan’, tapi ada hal-hal yang lebih penting dicermati dan disuarakan. Dan yang kunci utamanya memang pada pemerintahan yang jujur, amanah, dan bervisi. Mudah-mudahan kelak kita memiliki pemerintah yang seperti ini. Amin.

Dominasi Dollar dalam Pasar Uang Dunia dan Proyek Pendirian Israel

I. Sejarah Dominasi Dollar di AS dan Dunia

Awalnya, semua negara di dunia menggunakan emas dan perak ketika bertransaksi satu sama lain. Bahkan AS pun dalam UUD-nya mencantumkan bahwa negara menggunakan koin emas dan perak sebagai alat pembayaran. Pada tahun 1800-an hingga 1900-an, orang-orang AS menggunakan uang koin emas dan perak.
Lalu pada 1862, Presiden Lincoln perlu uang untuk membiayai perang saudara (pertanyaan klasik yang hingga kini bisa terus dipertanyakan: siapakah pemicu perang? siapakah yang meraup uang dari perang?). Parlemen AS mengizinkan Lincoln untuk meminjam uang dari bank negara (saat itu masih benar-benar bank milik pemerintah AS) sebesar 150 juta dollar (dalam bentuk koin emas/perak). Seharusnya, pemerintahan Lincoln mengembalikan uang itu dengan uang lagi, namun karena tidak mampu, diperkenalkanlah uang kertas yang berisi ‘janji’ untuk membayar kelak di lain waktu. Ketika itulah pemerintah AS memperkenalkan uang kertas dalam bentuk ‘sertifikat emas/perak’. Para pemilik uang menyimpan uangnya di bank pemerintah, pemerintah akan memberikan sertifikat bukti simpanan itu. Sertifikat itu kemudian bisa dijadikan alat tukar. Si A bisa membeli barang kepada si B dengan menggunakan sertifikat ini, lalu ketika si B butuh uang, dia bisa menyerahkan sertifikat ke bank dan menukarnya dengan koin emas/perak sesuai yang tertera di sertifikat.
Uang kertas ini secara bertahap diperkenalkan ke masyarakat dan dicetak terus-menerus untuk membiayai pengeluaran negara. Awalnya, saat itu ada cadangan emas di bank yang menjadi penjamin uang kertas itu, namun kelak, lama kelamaan, emas cadangan pun habis, sehingga pada akhirnya, uang kertas hanya uang kertas, bukan lagi ‘bukti’ penyimpanan cadangan emas di bank.

[Pertanyaan: mengapa uang kertas yang dijadikan jalan keluar?  
Jawabnya:
1) karena dgn uang kertas, segelintir orang bisa melakukan apa saja; misalnya, pemerintah bisa hidup mewah, yang tak mungkin bisa dilakukan bila hanya uang emas yang beredar; uang emas sangat terbatas dan hanya orang yang benar-benar bekerja dan punya sumber daya yang bisa memilikinya. Pemerintah korup tentu tak bisa bermewah-mewah dalam sistem uang emas, kecuali bila dengan terang-terangan menindas rakyat. Padahal, di era modern, penindasan dan perbudakan terang-terangan seperti zaman feodal dulu sudah tidak mungkin lagi dilakukan.
2) karena ada segelintir orang kaya yang bisa meraup kekayaan yang sangat-sangat-super banyak melalui sistem ini; selanjutnya akan dijelaskan pada bagian II “Sejarah The Fed”]
Tentu saja, prosesnya tidak mudah dan memakan waktu sangat panjang. Rakyat AS zaman itu sudah pasti tidak mau begitu saja dibodoh-bodohi: menyerahkan emas perak mereka untuk ditukar dengan kertas cetakan. Akhirnya pada 1933, dengan alasan untuk menyelamatkan perekonomian negara, Presiden Roosevelt menggunakan cara kekerasan: penyitaan emas-perak. Siapa saja yang menyimpan emas-perang dianggap kriminal dan terancam penjara dan denda. Transaksi harus menggunakan uang kertas. Semua kontrak bisnis yang menggunakan uang emas harus dikonversi ke uang kertas. Semua pemilik uang emas-perak harus datang ke bank untuk ditukar dengan sejumlah uang kertas. [Proses penyitaan emas ini juga dibarengi dengan indoktrinasi di sekolah-sekolah/universitas, karena pada era itu, sekolah di AS sudah dibawah kendali pemerintah. Rakyat AS didoktrin bahwa uang kertas sama baiknya dengan uang emas dan bahwa penyitaan emas adalah demi kebaikan rakyat.]
Setelah SEMUA uang emas ditarik, dan rakyat menggenggam uang kertas, bank pun melakukan devaluasi mata uang. Pemerintah AS lalu menjual sebagian emas yang disita dari rakyatnya itu kepada pasar internasional (tentu dengan melalui bank), dengan harga yang lebih mahal daripada harga beli dari rakyat. Pemerintah AS menerima uang kertas sebagai ganti emas yang ‘dirampok’ dari rakyat itu, lalu digunakan untuk membiayai roda pemerintahan (atau tepatnya, untuk membiayai kehidupan mewah para pejabat negara). Jelas ini adalah perampokan uang rakyat besar-besaran. Makanya dikatakan: sejak saat itu, rakyat AS dijajah oleh bank. Mereka harus bekerja keras, dibayar dengan uang kertas. Sumber daya alam –yang sejatinya milik rakyat- dieksplorasi (misalnya, emas dan minyak digali) lalu ditukar dengan uang kertas.

Pertanyaannya: siapa bank yang sedemikian berkuasa itu? Apakah benar-benar bank milik pemerintah AS? Jawabnya: baca di bagian II : Sejarah The Fed]
Selanjutnya, pada tahun 1944, AS menggagas sistem keuangan internasional yang disebut Perjanjian Bretton Woods. Perjanjian ini dihadiri 44 negara Barat ini sepakat bahwa negara-negara tidak lagi menggunakan emas sebagai alat transaksi internasional, melainkan dengan dollar yang di-back up oleh emas. Artinya, AS menjamin bahwa setiap uang kertas dollar yang dicetaknya, ada cadangan emas di bank dalam jumlah tertentu. Lalu, mengapa negara-negara adikuasa macam Inggris, Perancis, dll, mau menerima perjanjian ini? Pertama, karena saat itu mereka sedang dalam posisi lemah akibat Perang Dunia I-II. Kedua, karena bank AS saat itu memiliki cadangan emas terbanyak. Dengan demikian, negara-negara lain diminta percaya pada uang dollar karena bank AS menyimpan 2/3 emas dunia.
Kenyataannya, akhirnya AS tak mampu lagi (atau, saya curiganya, sudah didesain demikian oleh para penggagas uang kertas) mem-back up semua dollar hasil cetakan pabrik dengan uang (seperti dikatakan tadi, emas itu terbatas, uang kertas bisa dicetak semau pemilik percetakan). Akibatnya, pertukaran dolar dengan emas tidak lagi setara dengan harga pertukaran emas resmi yang disepakati di Bretton Woods. Pada tahun 1971, AS sepihak mengumumkan tidak lagi terikat pada Bretton Woods dan tidak lagi melakukan back-up emas terhadap dollar yang dicetaknya. Namun terlambat bagi dunia, dollar sudah merasuk ke seluruh penjuru dunia dan menjadi alat tukar utama transaksi internasional. Dunia sudah dicengkeram oleh penjajahan bank AS yang bisa seenaknya mencetak dollar. Pertanyaannya, siapakah sebenarnya bank yang mencetak dollar itu?

II. Sejarah The Fed
Satu-satunya lembaga yang ‘berhak’ mencetak dollar adalah bank bernama The Fed (Federal Reserve Bank). Ironisnya, ternyata bank ini bukan bagian/milik pemerintah AS. Bank itu murni bank swasta, bahkan dimiliki bukan oleh orang AS, melainkan klan konglomerat Yahudi-Zionis, bernama Rothschild dan rekan-rekannya (antara lain: Rothschild Bank of London, Rothschild Bank of Berlin, Warburg Bank of Hamburg, Warburg Bank of Amsterdam, Israel Moses Seif Bank of Italy, Lazard Brothers of Paris, Citibank, Goldman & Sach of New York, Lehman & Brothers of New York, Chase Manhattan Bank of New York, dan Kuhn & Loeb Bank of New York.)
Awalnya pada 1837-1862 AS punya bank pemerintah yang mencetak uang (sertifikat emas/perak, seperti sudah diceritakan sebelumnya). Secara bertahap, uang kertas diperkenalkan kepada masyarakat dan menjadi alat tukar pengganti koin emas/perak. Lalu, pada tahun 1913, Rothschild dkk membentuk The Fed. The Fed memiliki cadangan emas yang sangat banyak, sehingga mampu meminjamkan uang yang sangat besar kepada pemerintah AS. Kandidat-kandidat presiden AS dibiayai kampanye mereka oleh The Fed, dan setelah berkuasa, para presiden itu mengeluarkan keputusan/UU yang menguntungkan The Fed. Dimulai dari Presiden Woodrow Wilson, pada tahun 1914 menandatangani keputusan memberikan hak cetak mata uang AS kepada The Fed. Pemerintah mendapatkan uang kertas produksi The Fed dalam bentuk hutang yang harus dibayar kembali beserta bunganya. Rakyat AS dipaksa membayar pajak untuk membayar bunga tersebut.
Kelak Wilson menyesali keputusannya ini dan berkata, “Saya adalah orang yang paling tidak bahagia. Saya telah menghancurkan negara saya. Sebuah bangsa industri yang besar ini dikontrol oleh sistem kredit. Sistem kredit kita terkonsentrasi. Pertumbuhan bangsa ini dan seluruh aktivitas kita berada di tangan segelintir orang. Kita telah menjadi pemerintah yang paling diatur, dikontrol, dan didominasi di dunia modern. [Kita] tidak lagi pemerintah yang memiliki pandangan yang bebas, pemerintah yang diakui, yang dipilih oleh suara mayoritas, melainkan pemerintah yang dikontrol oleh opini dan paksaan sekelompok kecil orang yang mendominasi.”
(“I am a most unhappy man. I have unwittingly ruined my country. A great industrial nation is controlled by its system of credit. Our system of credit is concentrated. The growth of the nation, therefore, and all our activities are in the hands of a few men. We have come to be one of the worst ruled, one of the most completely controlled and dominated governments in the civilized world. No longer a government by free opinion, no longer a government by conviction and the vote of the majority, but a government by the opinion and duress of a small group of dominant men.”)
Pada tahun 1933, menyusul terjadinya krisis moneter, Presiden Roosevelt yang juga kampanyenya didanai The Fed, melakukan aksi penyitaan emas rakyat dan menyerahkannya kepada The Fed sehingga dollar benar-benar menjadi mata uang AS dan uang emas/perak tidak digunakan lagi.
Tentu tidak semua presiden AS sebodoh Wilson atau Roosevelt, sehingga mau menukar kedaulatan negara dengan uang bantuan kampanye. Presiden F Kennedy pernah berusaha melepaskan AS dari jeratan The Fed dengan membuat rencana penerbitan mata uang sendiri. Namun, sebelum rencananya terlaksana, dia sudah mati dibunuh. Presiden-presiden sebelumnya, dan para politisi dan ekonom AS pun sudah banyak yang memperingatkan bahaya penyerahan hak cetak dollar dan hak pendistribusiannya kepada bankir swasta; namun suara-suara itu lenyap begitu saja, seiring dengan terus berlanjutnya proses indoktrinasi sistem ekonomi uang kertas di kalangan akademisi seluruh dunia.
Situasi ini dijelaskan sendiri oleh Rothschild pada tahun 1863, “Sedikit orang yang memahami sistem ini sangat tertarik pada keuntungan sistem ini atau sangat memiliki ketergantungan pada sistem ini, sehingga tidak akan ada perlawanan dari mereka” (“The few who understand the system, will either be so interested from it’s profits or so dependant on it’s favours, that there will be no opposition from that class.”)
Meluasnya penggunaan dollar di dunia, dan dijadikannya dollar sebagai standar mata uang dunia (contoh: harga2 di Indonesia selalui dikaitkan dengan dollar, dollar naik, harga barang di Indonesia juga naik) membuat The Fed kini pada hakikatnya adalah penjajah dunia, termasuk rakyat AS sendiri. The Fed leluasa mencetak dollar, dan rakyat sedunia memberikan kekayaan alam dan keringat mereka untuk ditukar dengan dollar. Contohnya Indonesia, karena pemerintah Indonesia mau saja dibodoh-bodohi menerima hutang dollar; untuk membayarnya, digunakanlah uang pajak hasil keringat rakyat dan dengan menjual sumber daya alam.

III. Kemana Uang The Fed Mengalir?
Pertanyaan akhir, buat apa klan Rothschild dan kroni-kroninya itu mengeruk kekayaan dari seluruh penjuru dunia? Masih kurang kayakah mereka? Kapankah mereka akan bisa terpuaskan?

Jawabnya:
1. Kalau kita kembali pada Al Quran (AlHumazah:2-3), mereka inilah yang disebut “orang yang mengumpulkan uang dan menghitung-hitungnya; dan mengira bahwa hartanya itu akan mengekalkan dirinya.”
Mereka terus-menerus mengumpulkan uang, dengan menghalalkan segala cara, termasuk dengan menjajah secara terang-terangan, atau menjajah melalui sistem uang kertas, demi mempertahankan keabadian diri dan keluarga mereka di muka bumi. Dan inilah ujian bagi manusia yang beriman: mau terus tunduk di bawah penjajahan manusia-manusia jenis ini, atau bergerak, bergerak, bergerak, berjuang membebaskan diri dan menciptakan keadilan di muka bumi.
2. Kalau mau diperdalam lagi pembahasannya: Rothschild adalah Yahudi-Zionis yang punya impian untuk membangun Israel Raya. Israel mengenang Baron Edmond James (Avrahim Binyamin) de Rothschild (1845-1934) sebagai “Father of the Settlement”. Dialah yang pertama kali memulai proyek permukiman Israel dengan membeli tanah-tanah di Palestina untuk kemudian dihuni oleh imigran-imigran Yahudi dari berbagai penjuru dunia. Impian Edmond Rothschild ini diteruskan oleh keturunannya (bahkan, darah klan Rothschild tetap ‘murni’ hingga sekarang karena ada aturan ketat tentang pernikahan dalam keluarga itu). Ketika jumlah penduduk Yahudi sudah cukup signifikan, dengan uangnya, klan Rothschild menggunakan segala macam cara untuk menekan wakil-wakil negara-negara anggota PBB sampai mereka akhirnya pada tahun 1947 menyetujui Resolusi 181 yang merampas 56,5% wilayah Palestina untuk dijadikan negara Israel. Hingga kini, biaya operasional Israel masih terus disuplai oleh AS (dan siapa sesungguhnya pemilik uang di AS, dan bagaimana uang itu dikeruk, sudah terjawab di uraian di atas). Oya, ingat juga fakta bahwa Deklarasi Balfour 1917 -yang berisi kesepakatan Inggris untuk menyiapkan tanah air bagi bangsa Yahudi- disampaikan secara resmi oleh Menlu Inggris kepada Walter Rothschild (anak Edmon Rothschild).
Jasa Edmond Rothschild diabadikan dalam uang koin emas Israel yang dinamai “Koin Hari Kemerdekaan” berikut ini:
Bagian depan: foto Baron Rothschild bertulisan aksara Hebrew “Father of the Jewish Settlement"
Bagian depan: foto Baron Rothschild bertulisan aksara Hebrew “Father of the Jewish Settlement”.
Bagian belakang: lambang negara Israel dengan tulisan di bawahnya “Baron Edmond de Rothschild”, “1845-1934″ (masa hidup Edmond Rothschild), “Centenary of His First Settlement Activities in Eretz Israel”. Kata “Israel” ditulis dalam huruf Hebrew, Inggris, dan Arab. Tahun penerbitan mata uang ini adalah 1982.

IV. Penutup
Jadi inilah kenyataannya: dunia ini berjalin berkelindan, tak ada manusia/bangsa yang benar-benar hidup sendirian, semua saling terkait dan terpaut, dan karenanya umat manusia seharusnya berjalan bersama, berjuang bersama mencapai kesadaran diri (emansipasi), dan memandang dunia secara jernih supaya bisa melihat bahwa sebagian besar penduduk dunia ini saat ini sedang ditindas oleh segelintir lainnya. Dan karenanya, masihkah ada lagi yang harus bertanya: mengapa kita orang Indonesia musti membela Palestina, bukankah lebih baik mengurusi korban Lapindo? Lihatlah, siapa yang ada di balik semua ini dan bergeraklah! Minimalnya, bergeraklah dengan cara menyebarluaskan penyadaran dan pencerahan, melalui sikap sehari-hari (misalnya, mulai bersikap independen dan tidak lagi selalu berorientasi uang dalam menjalani hidup), kata-kata, atau tulisan