Membaca analisis orang ‘luar’ terhadap Israel, mungkin sudah biasa.
Mendengar Ahmadinejad berkali-kali menyatakan prediksinya bahwa Israel
sebentar lagi akan tumbang, juga sudah biasa. Namun, cukup menarik bila
kita membaca analisis orang Israel terhadap negaranya sendiri. Di dalam
Israel, sesungguhnya ada juga segelintir orang yang ‘tercerahkan’ dan
bisa menilai dengan jernih kebobrokan ‘negara’ dan pemerintahan Zionis.
Mereka menulis, melakukan aksi-aksi perdamaian, dan berorasi di berbagai
negeri untuk membangkitkan kesadaran sesama Yahudi dan umat manusia
umumnya, supaya berhenti mendukung Zionisme. Kelompok “Women in Black”
misalnya. Mereka secara rutin melakukan aksi berdiri dalam diam dengan
mengenakan pakaian hitam-hitam, sambil membawa spanduk-spanduk anti
penjajahan Palestina. Tak pelak, mereka dikata-katai ‘pelacur’ dan
‘pengkhianat’ oleh orang-orang Israel.
Apa yang membangkitkan kesadaran orang-orang itu? Tak lain, karena
kondisi di dalam negeri Israel memang sangat buruk. Uri Avnery dan Gilad
Atzmon adalah dua penulis Israel yang sering menyuarakan kritik
terhadap pemerintahan Zionis. Dalam tulisan berjudul “Why Israel Will
Not Attack Iran”, Avnery dengan gaya sarkasmenya menyebut Israel
bagaikan anak sekolah yang mengancam “Hold me back, before I break his
bones!”
Israel sesumbar akan menyerang Iran, dengan atau tanpa persetujuan
AS. Omong besar ini disiarkan tanpa henti oleh media massa di seluruh
dunia; memicu berbagai analisis dan talkshow. Di dalam negeri pun, para
pemimpin Zionis tak henti-hentinya menyuarakan perang terhadap Iran.
Menurut Avnery, Israel sesungguhnya sedang sok-sokan di depan AS, dan
berkata, “Gue serang Iran nih… Ayo, coba tahan gue, gue serang nih,
sekarang!”
Dalam analisis Avnery, Israel sama sekali tidak mungkin menyerang
Iran tanpa persetujuan AS karena memang secara militer, Israel yang
disebut-sebut sebagai ‘kekuatan militer terbesar di Timur Tengah’ sangat
bergantung pada suplai dari AS. Dengan sederhana, Avnery berupaya
‘menjelaskan’ kepada orang-orang Israel bahwa Iran punya kekuasaan atas
sebuah selat ‘sempit’, yaitu Selat Hormuz, yang lebarnya 35 km. Jarak
itu sama jauhnya dari Gaza ke Beer Sheva, yang ternyata bisa ‘dilalui’
dengan mudah oleh roket sederhana milik pejuang Palestina.
Begitu pesawat Israel memasuki wilayah udara Iran, selat Hormuz akan
segera ditutup dan angkatan laut Iran punya sangat banyak kapal
pengangkut rudal untuk menjaga selat itu, jelas Avnery. Belum lagi,
penutupan selat Hormuz artinya menghalangi sepertiga suplai minyak dunia
dan akan menimbulkan kekacauan ekonomi yang sangat besar di dunia. Dan
untuk membuka paksa selat itu, dibutuhkan operasi militer yang sangat
mahal; yang akan sangat berat ditanggung oleh AS dan NATO; apalagi oleh
Israel. Avnery bahkan menambahkan bahwa bila perang terjadi, “Rudal pun
akan menghujani Israel, tidak hanya dari Iran, tetapi juga dari
Hizbullah dan mungkin Hamas. Kita tidak punya kekuatan yang cukup untuk
mempertahankan kota-kota kita.”
Namun, ancaman Israel untuk menyerang Iran sudah cukup untuk membuat
pemerintah AS kalang-kabut dan mengirim misi untuk membujuk ‘ sang
adik’. Komandan Staff Gabungan Militer AS, Gen. Dempsey bahkan menyebut
Iran sebagai ‘aktor rasional’, untuk menenangkan Israel agar tidak
menyerang Iran (baca tulisan saya sebelumnya).
Lalu, untuk apa Israel sesumbar akan menyerang Iran? Selain untuk
menekan AS agar mau menuruti berbagai kehendak Israel, ternyata juga
untuk konsumsi politik dalam negeri. Kondisi ekonomi Israel semakin
buruk dan memicu demo-demo besar-besaran anti pemerintah. Tidak ada yang
lebih mudah untuk mengalihkan perhatian warga dari masalah ekonomi
selain adanya ancaman perang. Karena itulah ‘ancaman Iran’ sangat laku
dijual. Iran terus-menerus disebut sebagai pembuat bom nuklir yang akan
digunakan untuk menghancurkan Israel. Ucapan legendaris Ahmadinejad,
“Israel harus dihapus dari muka bumi” adalah mantra yang sangat mempan
untuk menimbulkan rasa takut di tengah warga. Itulah sebabnya Avnery
dengan sarkasme menutup tulisannya, “Untung ada Ahmadinejad, kalau tidak
apa jadinya kita hari ini?”
Sebenarnya, seperti apakah kekacauan ekonomi di Israel? Bukankah
berbagai media menyebut Israel sebagai salah satu negara dengan
pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia? Gilad Atzmon, dalam artikelnya
“Israel Economy For Beginners” menjelaskan hal ini. Atzmon mengajukan
dengan pertanyaan kritis, “Dari mana Israel memperoleh kekayaannya?”
“Bukankah selain alpukat dan jeruk, kita tidak menjumpai produk
Israel?” tulis Atzmon. Israel tidak memproduksi mobil, alat elektronik,
dan sangat sedikit membuat barang-barang konsumsi lainnya. Dengan
sarkasme, Atzmon menulis, “Di tanah yang mereka rampok dari bangsa asli
Palestina, mereka juga tidak menemukan mineral berharga atau minyak.”
Jadi, darimana datangnya kekayaan Israel? Atzmon menyodorkan
faka-fakta –dan kebanyakan dari kita sebenarnya sudah tahu—bahwa Israel
mendapatkan ‘sedekah’ dari orang-orang kaya Yahudi di seluruh dunia.
Dalam artikel lain di Haaretz (koran Israel), disebutkan bahwa ada
istilah Ibrani yang menjadi standar nilai moral di kalangan Yahudi,
yaitu ‘tzedakah’. Haaretz mengutip seorang peneliti yang menyebutkan
bahwa orang-orang kaya Yahudi memiliki keterikatan kekeluargaan yang
sangat erat dan menjadikan ‘tzedakah’ sebagai sebuah kewajiban moral.
“Enam dari tujuh konglomerat yang menguasai 50% ekonomi Rusia tahun
1990-an adalah orang Yahudi,” tulis Atzmon, dan banyak pengusaha Yahudi
Rusia yang juga memiliki paspor Israel. Tentu saja, sudah banyak
diketahui, kebanyakan konglomerat AS juga orang Yahudi. Dalam artikel
di Haaretz itu juga dipaparkan betapa berbagai organisasi sosial,
sekolah, dan universitas di Israel sangat menggantungkan diri dari
tzedakah.
Selain itu, Israel meraup keuntungan besar dari bisnis pencucian
uang. Israel merupakan surga untuk mencuci uang haram yang dilakukan
mafia-mafia dan pengusaha kotor. Israel juga mendapatkan uang dari
industri berlian. Israel mengimpor berlian mentah dari negara-negara
miskin Afrika lalu mengolahnya menjadi perhiasan dan mengekspornya ke
berbagai negara dunia. Mengingat bahwa penambangan berlian banyak
mengorbankan rakyat miskin di Afrika, dan bahwa berlian menjadi salah
satu pilar utama ekonomi Israel yang merupakan penjajah Palestina, maka
berlian produksi Israel sering disebut sebagai ‘blood diamond’ (berlian
berdarah).
Parahnya, di pasar, konsumen tidak bisa mendeteksi, mana ‘berlian
berdarah’ produk Israel, mana berlian produk negara lain. Tak heran bila
LSM-LSM pro-boikot produk Israel menyuarakan protes terkait tidak bisa
terdeteksinya negara asal produksi berlian.
Israel juga mendapat uang dari penjualan alat-alat militer (dan
sayangnya, Indonesia termasuk pembelinya!), bahkan dari penjualan organ
tubuh manusia. Pendek kata, Israel memiliki perekonomian yang maju
karena melakukan aktivitas ekonomi yang sangat kotor.
Dan, berita buruknya (atau baiknya?), orang-orang Yahudi kasta rendah
di Israel sama sekali tidak menikmati kekayaan itu. Pertumbuhan ekonomi
yang pesat di Israel pada saat yang sama justru disertai dengan
ketidakadilan sosial. Di Israel, ada 18 keluarga yang mengontrol 60%
perusahaan. “Jurang antara si kaya dan si miskin di Israel sangat
besar,” tulis Atzmon.
Menariknya, kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang kaya Zionis di
berbagai penjuru dunia lewat aktivitas ekonomi kotornya, membuat Atzmon
menyimpulkan, “Kita semua ini adalah bangsa Palestina dan kita memiliki
satu musuh yang sama.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar