Sabtu, 09 Agustus 2014

Israel Inside

Membaca analisis orang ‘luar’ terhadap Israel, mungkin sudah biasa. Mendengar Ahmadinejad berkali-kali menyatakan prediksinya bahwa Israel sebentar lagi akan tumbang, juga sudah biasa. Namun, cukup menarik bila kita membaca analisis orang Israel terhadap negaranya sendiri.  Di dalam Israel, sesungguhnya ada juga segelintir orang yang ‘tercerahkan’ dan bisa menilai dengan jernih kebobrokan ‘negara’ dan pemerintahan Zionis. Mereka menulis, melakukan aksi-aksi perdamaian, dan berorasi di berbagai negeri untuk membangkitkan kesadaran sesama Yahudi dan umat manusia umumnya, supaya berhenti mendukung Zionisme.  Kelompok “Women in Black” misalnya. Mereka secara rutin melakukan aksi berdiri dalam diam dengan mengenakan pakaian hitam-hitam, sambil membawa spanduk-spanduk anti penjajahan Palestina. Tak pelak, mereka dikata-katai ‘pelacur’ dan ‘pengkhianat’ oleh orang-orang Israel.

Apa yang membangkitkan kesadaran orang-orang itu? Tak lain, karena kondisi di dalam negeri Israel memang sangat buruk. Uri Avnery dan Gilad Atzmon adalah dua penulis Israel yang sering menyuarakan kritik terhadap pemerintahan Zionis. Dalam tulisan berjudul “Why Israel Will Not Attack Iran”, Avnery dengan gaya sarkasmenya menyebut Israel bagaikan anak sekolah yang mengancam “Hold me back, before I break his bones!”

Israel sesumbar akan menyerang Iran, dengan atau tanpa persetujuan AS. Omong besar ini disiarkan tanpa henti oleh media massa di seluruh dunia; memicu berbagai analisis dan talkshow. Di dalam negeri pun, para pemimpin Zionis tak henti-hentinya menyuarakan perang terhadap Iran. Menurut Avnery, Israel sesungguhnya sedang sok-sokan di depan AS, dan berkata, “Gue serang Iran nih… Ayo, coba tahan gue, gue serang nih, sekarang!”

Dalam analisis Avnery, Israel sama sekali tidak mungkin menyerang Iran tanpa persetujuan AS karena memang secara militer, Israel yang disebut-sebut sebagai ‘kekuatan militer terbesar di Timur Tengah’ sangat bergantung pada suplai dari AS. Dengan sederhana, Avnery berupaya ‘menjelaskan’ kepada orang-orang Israel bahwa Iran punya kekuasaan atas sebuah selat ‘sempit’, yaitu Selat Hormuz, yang lebarnya 35 km. Jarak itu sama jauhnya dari Gaza ke Beer Sheva, yang ternyata bisa ‘dilalui’ dengan mudah oleh roket sederhana milik pejuang Palestina.

Begitu pesawat Israel memasuki wilayah udara Iran, selat Hormuz akan segera ditutup dan angkatan laut Iran punya sangat banyak kapal pengangkut rudal untuk menjaga selat itu, jelas Avnery. Belum lagi, penutupan selat Hormuz artinya menghalangi sepertiga suplai minyak dunia dan akan menimbulkan kekacauan ekonomi yang sangat besar di dunia. Dan untuk membuka paksa selat itu, dibutuhkan operasi militer yang sangat mahal; yang akan sangat berat ditanggung oleh AS dan NATO; apalagi oleh Israel. Avnery bahkan menambahkan bahwa bila perang terjadi, “Rudal pun akan menghujani Israel, tidak hanya dari Iran, tetapi juga dari Hizbullah dan mungkin Hamas. Kita tidak punya kekuatan yang cukup untuk mempertahankan kota-kota kita.”

Namun, ancaman Israel untuk menyerang Iran sudah cukup untuk membuat pemerintah  AS kalang-kabut dan mengirim misi untuk membujuk ‘ sang adik’. Komandan Staff Gabungan Militer AS, Gen. Dempsey bahkan menyebut Iran sebagai ‘aktor rasional’, untuk menenangkan Israel agar tidak menyerang Iran (baca tulisan saya sebelumnya).

Lalu, untuk apa Israel sesumbar akan menyerang Iran? Selain untuk menekan AS agar mau menuruti berbagai kehendak Israel, ternyata juga untuk konsumsi politik dalam negeri. Kondisi ekonomi Israel semakin buruk dan memicu demo-demo besar-besaran anti pemerintah. Tidak ada yang lebih mudah untuk mengalihkan perhatian warga dari masalah ekonomi selain adanya ancaman perang. Karena itulah ‘ancaman Iran’ sangat laku dijual. Iran terus-menerus disebut sebagai pembuat bom nuklir yang akan digunakan untuk menghancurkan Israel. Ucapan legendaris Ahmadinejad, “Israel harus dihapus dari muka bumi” adalah mantra yang sangat mempan untuk menimbulkan rasa takut di tengah warga. Itulah sebabnya Avnery dengan sarkasme menutup tulisannya, “Untung ada Ahmadinejad, kalau tidak apa jadinya kita hari ini?”

Sebenarnya, seperti apakah kekacauan ekonomi di Israel? Bukankah berbagai media menyebut Israel sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia? Gilad Atzmon, dalam artikelnya “Israel Economy For Beginners” menjelaskan hal ini. Atzmon mengajukan dengan pertanyaan kritis, “Dari mana Israel memperoleh kekayaannya?”

“Bukankah selain alpukat dan jeruk, kita tidak menjumpai produk Israel?” tulis Atzmon. Israel tidak memproduksi mobil, alat elektronik, dan sangat sedikit membuat barang-barang konsumsi lainnya. Dengan sarkasme, Atzmon menulis, “Di tanah yang mereka rampok dari bangsa asli Palestina, mereka juga tidak menemukan mineral berharga atau minyak.”

Jadi, darimana datangnya kekayaan Israel? Atzmon menyodorkan faka-fakta –dan kebanyakan dari kita sebenarnya sudah tahu—bahwa Israel mendapatkan ‘sedekah’ dari orang-orang kaya Yahudi di seluruh dunia. Dalam artikel lain di Haaretz (koran Israel), disebutkan bahwa ada istilah Ibrani yang menjadi standar nilai moral di kalangan Yahudi, yaitu ‘tzedakah’. Haaretz mengutip seorang peneliti yang menyebutkan bahwa orang-orang kaya Yahudi memiliki keterikatan kekeluargaan yang sangat erat dan menjadikan ‘tzedakah’ sebagai sebuah kewajiban moral.

“Enam dari tujuh konglomerat yang menguasai 50% ekonomi Rusia tahun 1990-an adalah orang Yahudi,” tulis Atzmon, dan banyak pengusaha Yahudi Rusia yang juga memiliki paspor Israel. Tentu saja, sudah banyak diketahui, kebanyakan konglomerat AS juga orang Yahudi.  Dalam artikel di Haaretz itu juga dipaparkan betapa berbagai organisasi sosial, sekolah, dan universitas di Israel sangat menggantungkan diri dari tzedakah.

Selain itu, Israel meraup keuntungan besar dari bisnis pencucian uang. Israel merupakan surga untuk mencuci uang haram yang dilakukan mafia-mafia dan pengusaha kotor. Israel juga mendapatkan uang dari industri berlian. Israel mengimpor berlian mentah dari negara-negara miskin Afrika lalu mengolahnya menjadi perhiasan dan mengekspornya ke berbagai  negara dunia. Mengingat bahwa penambangan berlian banyak mengorbankan rakyat miskin di Afrika, dan bahwa berlian menjadi salah satu pilar utama ekonomi Israel yang merupakan penjajah Palestina, maka berlian produksi Israel sering disebut sebagai ‘blood diamond’ (berlian berdarah).

Parahnya, di pasar, konsumen tidak bisa mendeteksi, mana ‘berlian berdarah’ produk Israel, mana berlian produk negara lain. Tak heran bila LSM-LSM pro-boikot produk Israel menyuarakan protes terkait tidak bisa terdeteksinya negara asal produksi berlian.

Israel juga mendapat uang dari penjualan alat-alat militer (dan sayangnya, Indonesia termasuk pembelinya!), bahkan dari penjualan organ tubuh manusia. Pendek kata, Israel memiliki perekonomian yang maju karena melakukan aktivitas ekonomi yang sangat kotor.

Dan, berita buruknya (atau baiknya?), orang-orang Yahudi kasta rendah di Israel sama sekali tidak menikmati kekayaan itu. Pertumbuhan ekonomi yang pesat di Israel pada saat yang sama justru disertai dengan ketidakadilan sosial. Di Israel, ada 18 keluarga yang mengontrol 60% perusahaan. “Jurang antara si kaya dan si miskin di Israel sangat besar,” tulis Atzmon.

Menariknya, kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang kaya Zionis di berbagai penjuru dunia lewat aktivitas ekonomi kotornya, membuat Atzmon menyimpulkan, “Kita semua ini adalah bangsa Palestina dan kita memiliki satu musuh yang sama.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar