Perdamaian yang dicanangkan di atas kezaliman, tidak akan abadi.
Perdamaian yang tidak didasarkan pada keimanan dan keadilan, tidak akan
abadi.
(Ahmadinejad)[1]
Juni 2012, lima tahun berlalu sejak Israel
memblokade Gaza. Selama lima tahun terakhir, wilayah seluas 365 km
persegi itu telah menjadi penjara raksasa. Sekitar 1,6 juta penduduknya
terisolir, tidak mendapatkan akses keluar-masuk secara bebas; tidak
mendapatkan suplai makanan, obat, bahan bakar; tidak bisa menjual
produksi mereka guna mendapatkan penghasilan. Orang-orang sakit banyak
yang syahid di pos-pos penjagaan Israel, karena tidak mendapatkan izin
untuk pergi ke wilayah lain demi mendapatkan pengobatan. Kehidupan
mereka sangat bergantung pada suplai bantuan internasional.
Namun sesungguhnya sejarah penderitaan Gaza tidaklah bermula lima
tahun lalu, melainkan jauh sebelumnya. Pada 29 November 1947 PBB mengeluarkan Resolusi
181 berisi rencana pembagian wilayah Palestina (UN Partition Plan),
yang mengalokasikan 56.5% wilayah Palestina untuk pendirian negara
Yahudi, 43% untuk negara Arab, dan Jerusalem menjadi wilayah
internasional. Wilayah 43% yang disisakan untuk bangsa Palestina itu
pun terbagi di dua wilayah yang berjauhan, yaitu Jalur Gaza dan Tepi
Barat.
Dengan berbekal resolusi itu, Israel melakukan ‘pembersihan etnis’ di bawah nama operasi ‘Plan Dalet ‘.
Orang-orang Palestina yang hidup di wilayah-wilayah yang ditetapkan
oleh PBB menjadi ‘jatah’ Israel, diusir, dan kalau melawan, dibunuh
secara brutal. Pada pertemuan kabinet Israel yang dipimpin Ben Gurion
tanggal 18 Agustus 1948, dilaporkan bahwa 286 desa telah ‘dibersihkan’
dan tiga juta dunum lahan (setara dengan 3 milyar meter
persegi) ditinggalkan oleh orang-orang Palestina yang memilikinya.
Selama enam bulan berikutnya, Haganah (organisasi teror Israel) telah
mengusir 452.780 orang-orang Palestina dari kawasan-kawasan yang menjadi
‘jatah’ Israel dan sebanyak 347.220 orang lainnya diusir dari kawasan
di sekitar garis batas ‘jatah’ wilayah Israel. Operasi-operasi militer
itu juga menyertakan berbagai pembunuhan massal, di antaranya di desa
Deir Yassin, dan berita mengenai teror ini membuat banyak orang
Palestina ketakutan sehingga segera mengungsi sebelum didatangi pasukan
Zionis.
Para pengungsi Palestina melalui musim dingin di tenda-tenda yang
disediakan oleh para sularelawan; hampir semua lokasi pengungsian ini
akhirnya menjadi tempat tinggal permanen mereka sampai hari ini.
Tenda-tenda itu kemudian digantikan oleh gubuk-gubuk dari tanah liat.
Satu-satunya harapan bagi para pengungsi saat itu adalah Resolusi PBB
nomor 194 (11 Desember 1948) yang menjanjikan bahwa mereka akan segera
dipulangkan ke rumah masing-masing; resolusi itu adalah salah satu dari
sekian banyak janji yang dibuat oleh masyarakat internasional untuk
bangsa Palestina, yang tidak pernah dilaksanakan hingga hari ini.
Berikutnya, setelah Perang 6 Hari melawan negara-negara Arab (yang
akhirnya dimenangkan Israel karena pengkhianatan para pemimpin Arab
sendiri), Israel bahkan menduduki keseluruhan wilayah Palestina, plus
Golan (yang semula milik Suriah) dan Sinai (yang semula milik Mesir).
Namun bangsa Palestina tak pernah berhenti melawan. Di saat-saat
terjepit, Israel setuju untuk mengadakan perundingan dengan pejuang
Palestina. Lagi-lagi, Palestina kalah oleh pengkhianatan. Perjanjian
Oslo I tahun 1994, adalah buktinya. Poin utama isi perjanjian ini adalah
Israel menyetujui pembentukan pemerintahan otonomi (Otoritas
Palestina); wilayah ‘pemerintahan’ yang diberikan hanya Gaza dan
Jericho, dan secara bertahap dalam lima tahun Israel akan menarik mundur
tentaranya dari Tepi Barat. Sebagai imbalannya, Otoritas Palestina
(saat itu langsung diketuai oleh Yaser Arafat yang juga ketua PLO)
bersedia mengakui kedaulatan Israel dan menjaga keamanan orang-orang
Israel dari serangan ‘teroris’.
Di sini, kata-kata Ahmadinejad menunjukkan buktinya, perdamaian yang dicanangkan di atas kezaliman, tidak akan abadi. Secara
sekilas saja, sudah dapat dilihat ketidakadilan dalam perjanjian ini.
Melalui perjanjian ini, PLO yang menempatkan diri sebagai wakil bangsa
Palestina seolah-olah telah ‘membeli’ posisi Otoritas Palestina dengan
sepotong wilayah (Gaza dan Jericho hanya 2% dari seluruh wilayah
Palestina yang ditetapkan oleh Resolusi PBB 181/UN Partition Plan).
Bahkan, dalam perjanjian ini, Otoritas Palestina telah dijadikan
perpanjangan tangan Israel dalam menekan kelompok-kelompok pejuang
Palestina (Hamas, Jihad Islam, dll) yang dalam perjanjian itu disebut
sebagai ‘teroris’. Janji Israel untuk menarik mundur tentaranya juga
tidak ditepati, bahkan aksi-aksi kekerasan dan pembangunan pemukiman
Israel terus dilanjutkan di wilayah Palestina.
Inilah yang pernah ditulis oleh Amira Hass, ‘sejarah
tidak dimulai dari roket Qassam’. Banyak pihak yang menyalahkan Hamas
sebagai penyulut kekerasan di Gaza. Mereka mengatakan, “Kalau Hamas
tidak melemparkan roket ke Israel, tentulah Israel tidak perlu
memblokade Gaza!” Orang-orang yang berpendapat demikian telah melupakan
sejarah, betapa jauh sebelum Hamas melakukan pembalasan dengan roket
Qassam, Israel telah melakukan berbagai kejahatan kemanusiaan terhadap
bangsa Palestina.
Hamas memang tidak pernah mau menyerah. Hamas sebagai organisasi
perjuangan utama di Gaza, tidak hanya melakukan perjuangan bersenjata,
namun juga membangun basis politik di tengah masyarakat. Mereka
bergabung dengan rakyat, membangun infrastruktur dan perekonomian
penduduk. Akhirnya, dalam pemilu 2006, yang disebut Carter Foundation
sebagai ‘pemilu paling demokratis yang pernah diamatinya’, Hamas
berhasil menang dan Ismail Haniyah menjadi Perdana Menteri. Berbagai
usaha dilakukan Israel (melalui tangan Fatah) untuk menggulingkan
pemerintahan Haniyah, namun gagal. Sejak Juni 2007, Gaza diblokade ketat
oleh Israel dan Gaza pun menjadi penjara terbesar di dunia. Blokade
yang sebenarnya hanya melanjutkan (dengan lebih brutal) blokade dan
brutalitas yang sudah dilakukan Israel jauh sebelumnya. Bahkan, pada 27
Desember 2008, Israel dengan dukungan persenjataan tercanggih yang
disuplai AS, melancarkan invasi ke Gaza dalam operasi militer “Menuang
Timah” (Cast Lead Operation). Tujuan utama Israel adalah menumbangkan
Hamas. Namun, meski 1200 warga Gaza syahid dan ribuan lainnya terluka
Hamas tetap tegak dan meneruskan perjuangannya.
Lalu, apa yang sudah dilakukan dunia internasional? Hingga hari ini,
masih berupa retorika dan, meskipun terbatas, upaya-upaya bantuan
kemanusiaan. Pada peringatan 5 tahun blokade Gaza, 14 Juni lalu, lebih
dari 50 organisasi internasional, antara lain Save the Children, Oxfam,
WHO, Amnesty International, dan Médecins du Monde mengeluarkan
pernyataan bersama menuntut dihentikannya blokade Gaza. Valerie Amos,
Wakil Sekjen PBB untuk urusan kemanusiaan, juga angkat bicara, dan
menyebut aksi blokade ini bertentangan dengan HAM. Aksi kemanusiaan
memang diperlukan mengingat urgennya masalah pangan dan kesehatan di
Gaza. Namun, tanpa aksi politik, jelas semua itu tidak cukup untuk
menghentikan penderitaan rakyat Palestina.
Inilah yang ditanyakan oleh Pemimpin Iran, Ayatullah Khamenei dalam
surat terbukanya, “Kini pertanyaan yang saya ajukan kepada para ulama
dan para rohaniawan di dunia Arab, juga kepada para pemimpin di negeri
manapun, bukankah kini telah tiba saatnya bagi Islam dan umat Muslim
untuk merasakan adanya ancaman? Bukankah kini telah tiba saatnya bagi
kalian untuk melaksanakan kewajiban mencegah kemungkaran dan
menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim?”[2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar