Sanksi PBB: Embargo Iran
Dewan Keamanan (DK) PBB tanggal 23 Desember lalu akhirnya
mengeluarkan resolusi embargo terhadap Iran, yang memerintahkan semua
negara untuk menghentikan suplai material dan teknologi yang terkait
dengan proyek nuklir Iran. Menanggapi embargo ini, Presiden Iran,
Mahmoud Ahmadinejad dengan nada santai, dalam pidatonya di depan para
“veteran perang pencipta lapangan kerja” Teheran, (24/12), mengatakan,
“Apakah kalian—Barat—selama ini memberi kami peralatan (untuk reaktor
nuklir), sehingga kini kalian menghentikan suplai peralatan itu?Kalau
selama ini memang semua peralatan itu kami dapatkan dari kalian, sudah
sejak lama kalian akan menghentikan suplai itu, tanpa perlu ribut-ribut.
Yang membuat kalian kesal adalah karena kami mencukupi sendiri semua
kebutuhan dalam proyek nuklir damai kami.”
Resolusi embargo terhadap
Iran disahkan oleh DK PBB hanya dua belas hari setelah Perdana Menteri
Israel mengakui bahwa negaranya memiliki senjata nuklir, di samping
Amerika, Perancis, dan Rusia. Pengakuan Olmert ini tidak mendapat
tanggapan yang semestinya dari PBB. Namun di saat yang sama, DK terus
melanjutkan usaha untuk mengembargo Iran, sampai akhirnya resolusi
bernomor 1737 itu disepakati. Padahal, hingga kini tidak
ada satupun laporan dari Badan Energi Atom Internasional
(IAEA)—satu-satunya lembaga internasional di bawah naungan PBB yang
memiliki otoritas untuk mengawasi aktivitas nuklir negara-negara dunia
yang menjadi penandatangan perjanjian non-proliferasi nuklir (NPT)—yang
menyebutkan adanya penyelewengan dalam program nuklir Iran. Argumen yang
diajukan oleh para petinggi AS dan Troika Eropa dalam menyikapi laporan
ini adalah: ada kemungkinan Iran memproduksi senjata nuklir. Jawaban
singkat dari argumen ini sesungguhnya mudah: jika laporan IAEA tidak
dipercayai dan tetap saja dikemukakan kalimat ‘ada kemungkinan’, lalu
untuk apa dibentuk lembaga semacam IAEA? Apa gunanya investigasi yang
dilakukan IAEA selama tiga tahun terakhir terhadap situs nuklir Iran,
yang dilakukan secara mendadak tanpa pemberitahuan sebelumnya, bila
akhirnya laporan-laporan IAEA itu diabaikan dan tetap saja teori
‘kemungkinan’ dan asumsi itu yang diajukan?
Fasilitas nuklir Iran |
Program Pengayaan Uranium oleh Iran |
Namun
bila kita ingin mencari jawaban yang lebih mendalam tentang apa dan
bagaimana kinerja IAEA dalam menyikapi nuklir Iran, kita akan menemukan
banyak sekali penyimpangan yang justru dilakukan IAEA sendiri. Dalam
sebuah perjanjian internasional seperti NPT, semua negara yang menjadi
anggotanya harus mematuhi isi perjanjian itu dan keberadaan IAEA
memiliki tugas untuk mengawasi pelaksanaan dari perjanjian NPT. Namun,
kenyataan menunjukkan setelah berdiri 49 tahun, IAEA gagal dalam
menjalankan tugasnya tersebut. Lebih jauh lagi, IAEA bahkan menjadi
pelanggar atas sejumlah aturan penting yang dibuatnya sendiri. Kini kita
lihat sejumlah kegagalan atau pelanggaran yang dilakukan IAEA tersebut.
Pertama,
tujuan perjanjian NPT, sebagai tercantum dalam pembukaan (preambule)
adalah mencegah negara-negara di dunia untuk membuat senjata nuklir
serta mencegah negara-negara yang sudah memiliki senjata nuklir untuk
memperbanyak senjatanya itu. Negara-negara pemilik senjata nuklir itu
bahkan diharuskan secara bertahap memusnahkan senjata-senjata yang
dimilikinya itu. Kenyataan menunjukkan bahwa lima negara anggota NPT
yang sudah memiliki senjata nuklir, yaitu AS, Perancis, Inggris, Cina,
dan Rusia, bukan saja tidak memusnahkan senjatanya secara bertahap,
melainkan malah meneruskan produksi senjatanya itu.
Kedua, dalam Bab 3 ayat 2 NPT
disebutkan, negara-negara pemilik teknologi nuklir dilarang untuk
mengirimkan peralatan atau mentransfer teknologi ke negara-negara
non-NPT, bahkan untuk proyek nuklir bertujuan damai sekalipun. Hal ini
ditetapkan dengan alasan bahwa negara-negara non-NPT berada di luar
pengawasan IAEA sehingga aktivitas mereka tidak bisa dikontrol.
Kenyataan menunjukkan bahwa AS, Perancis, dan Inggris secara
terang-terangan membantu proyek pembuatan senjata nuklir di Israel.
Ketiga, dalam Bab 4 pasal 1 NPT disebutkan larangan tindakan diskriminatif terhadap
negara-negara anggota dalam mendayagunakan teknologi nuklir bertujuan
damai, dan pasal 2 mewajibkan negara-negara pemilik teknologi nuklir
untuk membantu negara-negara sesama anggota NPT dalam hal
ini. Namun, kenyataan menunjukkan dalam kasus Iran, alih-alih memberikan
bantuan, negara-negara pemilik teknologi nuklir itu bahkan melakukan
diskriminasi terhadap Iran dengan cara menghalang-halangi Iran dalam
melanjutkan proyek nuklirnya, dengan tuduhan ‘ada kemungkinan Iran akan
memproduksi senjata’.
Keempat, anggaran Dasar IAEA Pasal 7 F menyebutkan “In
the performance of their duties, the Director General and the staff
shall not seek or receive instructions from any source external to the
Agency.” Namun kenyataan menunjukkan bahwa Dirjen
IAEA selalu berada dalam tekanan AS. Dalam bab yang sama juga disebutkan
bahwa Dirjen IAEA harus menjaga kerahasiaan informasi. Namun,
berkali-kali terjadi, laporan atas investigasi situs-situs nuklir di
Iran yang dilakukan secara mendadak (sesuai isi Protokol Tambahan yang
ditandatangani Iran, Iran mengizinkan investigasi dadakan dari IAEA ke
semua bagian situs nuklirnya), malah diserahkan kepada CIA.
Kelima,
berdasarkan Anggaran Dasar Pasal 12 C, pengajuan kasus nuklir sebuah
negara kepada Dewan Keamanan PBB hanya bisa dilakukan jika negara
tersebut melakukan pelanggaran dalam aktivitas nuklirnya. Namun,
terkait dengan Iran, Dewan Gubernur memutuskan untuk melaporkan kasus
nuklir Iran ke Dewan Keamanan PBB di saat tidak ada satupun laporan dari
Dirjen IAEA yang membuktikan adanya penyimpangan dalam
proyek nuklir Iran. Sebagaimana diketahui, dikeluarkannya resolusi oleh
DK PBB kali ini bermula dari keputusan Dewan Gubernur IAEA untuk
melaporkan berkas nuklir Iran kepada lembaga keamanan tersebut.
Keenam,
dalam konvensi Wina tahun 1969 terkait dengan aturan perjanjian
internasional, pada pasal 31 disebutkan bahwa pemakaian istilah baru
dalam perjanjian haruslah dilakukan atas kesepakatan seluruh anggota
penanda tangan perjanjian itu. Namun, dalam Resolusi IAEA terkait dengan
proyek nuklir Iran, banyak digunakan istilah-istilah baru yang belum
disepakati maknanya (tidak tercantum dalam Anggaran Dasar IAEA),
misalnya “confidence building measures” (ukuran pembangunan kepercayaan)
atau “suspension” (penundaan).
Sebagaimana
diketahui, sejak tanggal 15 November 2004 Iran dan troika Eropa
menandatangani perjanjian di Paris bahwa untuk ‘meraih kepercayaan
internasional” Iran bersedia dengan sukarela ‘menunda’ aktivitas
nuklirnya dengan kompensansi bahwa ketiga negara Eropa itu memberikan
bantuan ekonomi dan teknologi kepada Iran. Namun sampai batas waktu yang
disepakati, Eropa tak jua memenuhi janjinya. Karena itulah pada bulan
Januari 2006, Iran telah mengaktifkan kembali aktivitas nuklirnya.
Ketujuh,
dalam laporan IAEA bulan Februari 2003, disebutkan bahwa kecurigaan
terhadap Iran disebabkan oleh ditemukannya ‘kontaminasi’ 200 miligram
plutonium pada salah satu alat di situs nuklir Iran. Meskipun Iran sudah
menjelaskan dalam laporannya bahwa sumber kontaminasi plutonium itu
berasal dari Pakistan, karena alat itu diimpor dari Pakistan, namun
laporan itu diabaikan saja selama tiga tahun oleh IAEA. Hal ini
jelas-jelas melanggar keprofesionalan sebuah badan yang dianggap berhak
mengawasi aktivitas nuklir, karena adanya ‘debu-debu’ 200 miligram
plutonium di sebuah alat sama sekali tidak bisa menjadi bukti bahwa Iran
sedang membuat senjata nuklir (untuk pembuatan senjata nuklir
dibutuhkan minimalnya 7 atau 8 kilogram plutonium). Selain itu,
negara-negara lain (seperti Perancis, Inggris, Rusia, Jepang, dan India) yang diketahui memiliki ratusan ton plutonium sama sekali tidak diprotes oleh IAEA.
Kedelapan,
dalam Anggaran Dasar IAEA disebutkan bahwa segala kesimpulan yang
dibuat tim inspeksi IAEA saat melakukan pemeriksaan terhadap situs
nuklir sebuah negara hanya akan memiliki nilai hukum jika didasarkan
kepada penemuan-penemuan yang faktual. Klausul ini jelas diratifikasi
demi mengkonsistenkan segala keputusan hukum yang dibuat IAEA dengan
asas ‘praduga tak bersalah’. Selama tidak ada bukti penyimpangan yang
bisa ditunjukkan oleh tim inspeksi IAEA, tidak boleh ada vonis yang
dijatuhkan terhadap sebuah negara pemilik proyek nuklir. Akan tetapi,
prinsip paling esensial dalam logika hukum itu ternyata dilanggar oleh
IAEA. Pernyataan berulang-ulang yang disampaikan IAEA terkait hasil
pemeriksaan atas situs nuklir Iran adalah “tidak ditemukannya
penyimpangan sedikitpun dari proyek nuklir Iran”. Anehnya, resolusi
terakhir Dewan Gubernur IAEA merekomendasikan agar Iran menghentikan
seluruh aktivitas nuklirnya. Resolusi Dewan Gubernur itu pula yang
menjadi landasan ratifikasi resolusi DK PBB. Artinya, Iran divonis
bersalah gara-gara tidak ditemukannya tanda-tanda penyimpangan.
Dalam sebuah pidato di depan sidang Uni Eropa tanggal 20 Februari 2006, Menlu
Iran, Manouchehr Mottaki, menyinggung masalah ini dengan mengatakan,
“Logika hukum apakah yang dipakai dalam kasus nuklir ini? Sebagai
terdakwa, kami disuruh membuktikan bahwa kami tidak bersalah.”
Sebagaimana diketahui, dalam proses pengadilan, hakim dan jaksalah yang
harus membuktikan kesalahan terdakwa, dan terdakwa umumnya akan selalu
membela dirinya. Namun dalam kasus Iran, justru negara ini yang didesak
untuk membuktikan ‘ketidakbersalahannya’.
Terkait
dengan ini, editorial Koran Kayhan terbitan Teheran edisi 13 April 2006
mengajukan pertanyaan retoris kepada Dirjen IAEA Mohamad Elbaradei
sebagai berikut. “Mr. Elbaradei, kami asumsikan bahwa Anda dituduh
terlibat dalam sebuah kejahatan. Kemudian, tim investigasi kepolisian
gagal menemukan bukti apapun terkait keterlibatan Anda dalam kejahatan
itu. Akan tetapi, Anda tetap ditahan oleh petugas keamanan karena
dimungkinkan suatu saat bukti-bukti itu akan ditemukan. Sebagai seorang
ahli hukum (Elbaradei adalah tokoh senior pada Kelompok Praktisi Hukum
New York– pen), bisakah Anda menerima logika hukum seperti itu?”
Self Delegitimation PBB
Pembahasan di atas adalah semacam judicial review
atas segala keputusan terkait proyek nuklir Iran yang pernah
dikeluarkan oleh IAEA, yang nota bene berada di bawah naungan PBB. Kasus
yang sama juga terjadi pada lembaga-lembaga dunia lainnya di bawah
payung PBB, misalnya Komisi HAM, WTO, dan IMF. Secara umum, saat ini
kinerja—bahkan eksistensi—PBB tengah menjadi bahan sorotan dunia.
Suara-suara yang muncul bahkan sudah mewacanakan pembentukan lembaga
semacam “PBB baru”. PBB sudah tidak bisa lagi diharapkan untuk menjadi
lembaga penyelesai berbagai persoalan dunia yang ada. Salah satu
penyebab utamanya adalah inkonsistensi lembaga itu dalam menyikapi
banyak persoalan dunia. Jika dilakukan judicial review atas produk-produk hukum PBB, kita akan menemukan banyak sekali keputusan-keputusan (atau tidak diambilnya keputusan) PBB yang menabrak landasan hukum lebih tinggi yang ada di lembaga itu, semisal Piagam PBB.
Contoh
paling kasat mata tentang pelanggaran terhadap Piagam PBB adalah adanya
hak veto yang dimiliki oleh AS, Rusia, Perancis, Inggris, dan Cina. Hak
veto jelas bertentangan dengan prinsip egalitarianisme, demokrasi,
keadilan, dan berbagai prinsip asasi lainnya dalam Piagam PBB. Karena
adanya hak veto inilah PBB gagal melakukan langkah tegas dalam
menyelesaikan konflik Timur Tengah yang semakin membara, dan malah
mengambil langkah tidak populer dengan mengeluarkan resolusi anti nuklir
Iran.
Dari sisi ini, sebenarnya yang sedang terjadi adalah proses self-deligitimation
oleh lembaga PBB. Lembaga ini secara sadar telah melakukan banyak
langkah yang justru menghancurkan legitimasi dirinya sendiri di tengah
masyarakat internasional. Jika tidak ada upaya pembenahan, sangat
mungkin PBB pada akhirnya akan ditinggalkan oleh negara-negara
anggotanya. Saat ini, kita betul-betul memerlukan tata dunia baru yang
lebih egaliter, terbuka, demokratis, dan adil. Langkah paling terdepan
yang paling mungkin diambil untuk mewujudkan hal ini adalah membenahi
PBB dan mencegahnya melakukan self-deligitimation
Tidak ada komentar:
Posting Komentar