Media-media Barat mulai menyebarkan berita bahwa tensi di Mesir sudah
menurun. New York Times, media terdepan penyambung lidah kaum Zionis,
menurunkan headline, “Protests Lingers as Normal Life in Cairo Begins to Resume”
(Protes tetap berjalan seiring dengan mulai kembalinya kehidupan normal
di Kairo). Perhatikan bahwa New York Times menggunakan kata ‘linger’
yang juga punya makna ‘hidup segan mati tak mau’ dan memberitakan,
“Kerumunan yang menuntut turunnya Mubarak semakin mengecil.” NYT bahkan
mengutip pernyataan Omar Suleiman (yang didukung AS untuk memimpin
proses transisi) yang sejatinya merendahkan bangsa Mesir sendiri,
“[Mesir belum siap berdemokrasi dan tidak akan siap sampai] rakyat di
sini memiliki budaya berdemokrasi.”
Headline NYT itu didampingi dengan artikel opini dengan judul provokatif, How Democracy Became Halal
(Ketika Demokrasi Menjadi Halal). Isinya, seperti tergambar dari
judulnya, menyatakan bahwa sumbangan terbesar peradaban Barat terhadap
Islam adalah demokrasi. Sambil bersuara miring terhadap proses
demokrasi di Iran, penulis artikel itu memosisikan AS sebagai pihak yang
berjasa meningkatkan kesadaran demokrasi di tengah bangsa-bangsa Timur
Tengah. Islam digambarkan sebagai agama diktator yang harus belajar
berdemokrasi.
Penghinaan. Inilah kata kunci dari gelombang kebangkitan rakyat Timur
Tengah, menurut Ayatullah Khamenei, pemimpin tertinggi Iran. Media
Barat selama ini berusaha menampilkan analisis-analisis yang membebankan
kesalahan kepada kediktatoran Mubarak. Sebagian analis yang agak
‘merdeka’ bisa menemukan bahwa justru Barat-lah sumber kesengsaraan
Mesir dan Mubarak hanya boneka [baca dua tulisan saya sebelumnya tentang
Tunisia dan Mesir]. Tetapi, dari Iran, muncul analisis yang lebih
mendasar. Betul, ekonomi menjadi salah satu pemicu kemarahan rakyat.
Tapi pemicu utamanya adalah keterhinaan yang ditimpakan oleh imperialis
Barat melalui boneka-bonekanya yang sudah tak bisa lagi ditanggung oleh
manusia yang secara fitrah memiliki harga diri dan kehormatan.
Saya tak hendak menganalisis ulang apa isi analisis Ayatullah Khamenei. Saya pikir, sebaiknya kita membaca sendiri apa yang beliau ungkapkan tentang Tunisia dan Mesir (selama ini yang beredar di media Indonesia adalah kutipan-kutipan berantai yang sangat mungkin jauh berbeda dengan apa yang sebenarnya beliau sampaikan). Berikut ini terjemahan lengkap analisis Ayatullah Khamenei tentang Tunisia dan Mesir.
*
Apa yang terjadi di Tunisia dan Mesir adalah sebuah ‘gempa besar’.
Seandainya rakyat Mesir, dengan bantuan Tuhan, mampu berhasil maka akan
terjadi sebuah situasi dimana AS mengalami kekalahan yang sangat besar
dalam politik Timur Tengahnya. Penguasa Mesir tentu saja sangat khawatir
menghadapi situasi ini, tetapi yang paling ketakutan sebenarnya adalah
para pejabat Israel. Para pejabat Israel tahu persis bahwa seandainya
Mesir menarik diri dari persekutuannya dengan Israel dan Mesir
menempatkan dirinya dalam posisi yang seharusnya, akan terjadi tragedi
politik yang sangat besar bagi Zionis. Inilah yang sebenarnya dulu
pernah diprediksikan oleh Imam Khomeini dan yakinlah bahwa prediksi itu
akhirnya akan terwujud. Dari sisi inilah maka yang terjadi di Mesir
adalah peristiwa yang sangat penting.
Analisis-analisis yang muncul di kalangan internasional berusaha
keras agar faktor utama dari peristiwa yang terjadi di Mesir ini
diabaikan. Mereka menyebut faktor-faktor ekonomi ataupun non ekonomi,
tetapi itu bukanlah faktor utama. Faktor utama dari apa yang terjadi di
Tunisia dan Mesir adalah perasaan keterhinaan. Segala kebijakan yang
diambil oleh pemerintah kedua negara itu menyebabkan munculnya perasaan
terhina itu. Para penguasa Mesir telah membuat rakyatnya merasa terhina.
Sebelumnya, saya akan menyampaikan dulu apa yang terjadi di Tunisia.
Presiden Tunisia yang sudah lari itu memiliki ikatan yang sangat kuat
dengan AS. Bahkan kami memiliki beberapa laporan yang menyebutkan bahwa
Ben Ali adalah bagian dari CIA. Perhatikanlah betapa ini adalah suatu
hal yang sangat berat bagi sebuah bangsa: ketika pemimpin bangsa itu,
presidennya, yang secara lahiriah menunjukkan diri sebagai seorang yang
sangat sombong kepada rakyatnya sendiri, tapi pada saat yang sama adalah
seorang budak resmi dari sebuah lembaga negara lain, yaitu AS. Ben Ali
bertahun-tahun berkuasa atas rakyat Tunisia, menerapkan berbagai
kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan nasional, juga
bertentangan dengan nilai-nilai agama di negara itu. Tunisia adalah
sebuah negara muslim dan memiliki sejarah panjang peradaban Islam, serta
mewarisi kebudayaan agung Islam, tapi rakyatnya justru tidak bisa pergi
ke masjid dengan bebas pada era Ben Ali. Agar bisa pergi ke mesjid,
mereka harus memiliki kartu khusus yang hanya dirilis oleh pemerintah.
Kartu itu pun tidak diberikan kepada semua rakyat. Ini artinya
pembatasan yang sangat ketat bagi rakyat untuk pergi ke mesjid.
Jangankan melaksanakan sholat berjamaah, untuk sekedar sholat sendirian
pun di masjid dilakukan pembatasan. Pembatasan ini dilakukan secara
terang-terangan. Jilbab secara resmi dinyatakan terlarang. Dari sisi
ini, sangatlah jelas terlihat bahwa kebangkitan rakyat Tunisia didasari
pada semangat kebangkitan Islam. Hal ini juga terlihat dari fenomena
ketika para mahasiswi Tunisia langsung mengenakan jilbab ketika pergi ke
kampus segera setelah Ben Ali yang pengkhianat itu lari ke luar negeri
dan kacaunya kendali pemerintah. Hal ini menunjukkan motivasi keislaman
yang sangat kuat. Hal-hal semacam inilah yang berusaha keras
disembunyikan oleh para analis Barat.
Motivasi yang lainnya terkait dengan kebangkitan rakyat Tunisia
adalah keinginan untuk berlepas diri dari AS dan motivasi ini sungguh
sangat penting. AS tidak ingin muncul suara-suara yang menyatakan bahwa
alasan kebangkitan rakyat Tunisia –dan berikutnya menjalar ke
Mesir—terkait dengan permasalahan ketergantungan kepada AS. Ini adalah
hakikat ynag sebenarnya.
Di Tunisia saat ini sudah terjadi perubahan tetapi masih di lapisan
permukaan. Ben Ali sudah pergi, akan tetapi kaki tangannya masih bisa
bercokol di pemerintahan. Mudanh-mudahan Allah memberi pertolongan
kepada rakyat Tunisia agar mereka memahami situasi yang sebenarnya dan
jangan sampai musuh melakukan penipuan kepada rakyat Tunisia.
Adapun di Mesir, Mesir adalah sebuah negara yang sangat penting.
Mesir adalah negara muslim pertama yang berkenalan dengan budaya Barat.
Mesir pulalah yang menjadi negara pertama yang memahami budaya Barat dan
memahami berbagai macam cela-nya untuk kemudian mereka melakukan kritik
terhadap keburukan-keburukan itu. Jamaluddin Al Afghani, seorang ulama
Islami pemberani dan pejuang besar, menemukan bahwa tempat yang tepat
untuk melawan Barat dan Eropa adalah di Mesir. Kemudian muridnya, Syekh
Muhammad Abduh dan para pejuang Islam lainnya mengikuti jejak Al
Afghani. Mesir pulalah kawasan yang melahirkan tokoh-tokoh besar politik
dan budaya Islam. Mereka semua adalah pejuang kebebasan. Karena itulah
maka sangat layak jika Mesir dulu sempat menjadi pemimpin dunia Arab
secara pemikiran maupun politik. Dalam jangka waktu yang cukup lama,
negara-negara Arab sangat mengakui kepemimpinan Mesir.
Mesir bersama Suriah adalah negara Arab yang pertama kali berani
tampil memasuki medan pertempuran untuk membebaskan rakyat Palestina.
Dengan gagah berani Mesir mengirimkan tentara dan rakyatnya, didukung
segala fasilitas negara, demi peperangan itu. Walaupun pada akhirnya
peperangan itu (tahun 1967 dan 1973) gagal dimenangkan, [namun] inilah
fakta sejarah Mesir. Mesir kemudian menjadi tempat bernaungnya pejuang
Palestina. Bahkan kaum revolusioner dari negara-negara lainpun ketika
membutuhkan perlindungan, mereka akan datang ke Mesir. Bisa dibayangkan,
negara yang memiliki sejarah yang membanggakan seperti ini, selama 30
tahun terakhir justru jatuh di bawah kekuasaan seseorang yang malah
menjadi musuh dari kebebasan itu sendiri. Dia bukannya memusuhi Zionisme
tetapi malah merupakan bagian dan penjamin agenda-agenda Zionisme. Dia
malah menjadi budak dari Zionisme. Sebuah negara yang dulunya menjadi
pengibar panji perjuangan melawan Zionisme dan menjadi inspirator bagi
gerakan perjuangan di seluruh dunia Arab selama 30 tahun terakhir ini,
selama 30 tahun terakhir malah menjadi tumpuan harapan dan tameng bagi
Israel dalam menjalankan berbagai politik penindasan terhadap Palestina.
Dalam peristiwa Gaza misalnya, seandainya Mubarak tidak membantu
Israel, tidak mungkin Israel bisa mengepung Gaza. Orang-orang Palestina
di kota Gaza hingga saat ini telah empat tahun berada dalam pengepungan.
Dalam peperangan 21 hari [Des 2009-Jan 2010], laki-laki, perempuan,
anak-anak Palestina di Gaza dibunuh Israel, rumah-rumah mereka
dihancurkan, dan pemerintahan Mubaraklah yang melarang sampainya bantuan
kepada warga Gaza. Larangan pemberian bantuan ini bukan hanya
diberlakukan kepada rakyat Mesir, melainkan juga diterapkan kepada
negara-negara lain yang ingin memberikan bantuan melalui kawasan Mesir.
Husni Mubaraklah yang menetapkan pelarangan itu. Situasi seperti inilah
yang terjadi di Mesir.
Sangat layak jika rakyat Mesir kemudian marah. Rakyat Mesir marah
melihat dukungan total pemerintah mereka kepada Israel, ketaatan luar
biasa Mubarak kepada AS. Mereka merasakan keterhinaan dan kerendahan.
Inilah yang sebenarnya menjadi faktor utama yang sekarang terjadi di
Mesir. Mereka adalah para pejuang Islam, gerakannya pun dimulai dari
sholat Jumat dan dari masjid-masjid. Yel-yel yang mereka kumandangkan
adalah Allahu Akbar. Rakyat menggelorakan slogan-slogan keagamaan. Dan
para aktivis yang menggerakkan demo di Mesir adalah para aktivis Islam.
Rakyat Mesir menghendaki terhapusnya kehinaan ini dari diri mereka.
Inilah sebenarnya faktor utama. Tapi tentu saja negara-negara Barat
tidak membiarkan analisis semacam ini muncul dan menyebar di kalangan
masyarakat internasional. Hampir semuanya menunjuk kepada permasalahan
ekonomi. Tentu saja, hal ini pun menjadi sebuah realitas. Penghambaan
seseorang seperti Mubarak kepada AS terbukti tidak mampu membawa Mesir
selangkah pun ke arah kemajuan. 40% dari penduduk Mesir yang berjumlah
sekitar 70 juta hidup di bawah garis kemiskinan. Laporan-laporan
menyebutkan bahwa ratusan ribu orang (sebenarnya saya mendengar
jumlahnya 2-3 juta, tapi yang bisa dipastikan adalah ratusan ribu) di
kota Kairo sedemikian miskinnya sehingga terpaksa hidup di
kompleks-kompleks pemakaman. Banyak lagi di antara mereka yang menjadi
gelandangan. Rakyat memang berhadapan dengan situasi kehidupan yang luar
biasa sulit. Penghambaan pemimpin Mesir kepada AS ternyata tidak
berbuah dukungan ekonomi dari pemerintah AS kepada bangsa Mesir. Hari
ini pun AS tidak akan membantu Mesir. Yakinlah bawah seandainya Husni
Mubarak melarikan diri dari Mesir, negara pertama yang menutup pintunya
untuk Mubarak adalah AS. Inilah yang juga dilakukan AS kepada Ben Ali
dan Muhammad Reza [Pahlevi].
Inilah nasib yang dialami oleh orang yang hatinya tertambat kepada AS
dan menunjukkan pertemanan kepada AS. AS itu seperti setan. Dalam doa
Sahifah Sajadiah, dikatakan bahwa “ketika sudah menipu manusia, maka
setan akan memalingkan mukanya” dan-menurut penafsiran saya- pada saat
itu sesunggunnya setan sedang menertawakan dan tidak pernah mempedulikan
lagi orang yang ditipunya. Dengan perantaraan orang-orang yang lemah
dan hina seperti inilah AS mencoba berusaha mengamankan kepentingan
dirinya sendiri.
Tapi hari ini AS betul-betul dalam kondisi terpojok dan yang lebih
merasakan situasi sulit saat ini adalah Israel. Mereka sedang berusaha
keras untuk mencari jalan keluar bagi peristiwa yang terjadi di Mesir,
jalan keluar yang tidak mungkn mereka dapatkan, Mereka berusaha membuat
berbagai macam penipuan, seperti berpura-pura menunjukkan dukungan
terhadap gerakan rakyat. [Misalnya] sekarang dikabarkan bahwa AS sudah
meminta Mubarak untuk mengundurkan diri dan pergi. Keberhasilan politik
AS ini tentu saja bergantung kepada rakyat Mesir sendiri.
(Ayatullah Khamenei kemudian melanjutkan khutbahnya dengan bahasa
Arab, yang ditujukan kepada muslim berbahasa Arab. Isi khutbah bahasa
Arab adalah ringkasan dari khutbah berbahasa Persia, namun ada tambahan
kalimat yang khusus ditujukan kepada bangsa Mesir):
Saudara-saudara ini adalah pengalaman kita bersama. Saya sebagai
saudara muslim Anda menyampaikan semua ini kepada Anda dengan didasarkan
kepada suatu komitmen agama. Perhatikanlah bahwa terompet propaganda
musuh akan kembali bersuara. Mereka akan mengatakan bahwa Iran akan
melakukan intervensi, ingin mensyiahkan Mesir, ini mengekspor wilayatul
faqih ke Mesir, dan berbagai macam tuduhan lainnya. Ini adalah
kebohongan yang sudah berlangsung 30 tahun yang tujuannya adalah agar
kaum muslimin berpecah-belah dan tidak bisa saling memberikan
pertolongan satu sama lain. Slogan-slogan itu diulang-ulang pula oleh
para pengikut Barat. [mengutip ayat Quran 6:112] “Sebagian mereka
membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang menipu,
tetapi jika Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan mampu
mewujudkannya. Maka tinggalkanlah mereka dengan segala kebohongan
mereka.” Meskipun berbagai konspirasi dirancang sedemikian hebatnya oleh
musuh, kami tidak akan pernah melepaskan kewajiban yang diletakkan oleh
agama Islam di atas pundak kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar