Untuk mengantisipasi redenominasi rupiah oleh Bank Indonesia
masyarakat harus mulai mengalihkan hartanya ke dinar emas dan dirham
perak.
Beberapa hari ini masyarakat menghebohkan rencana Bank Indonesia (BI)
untuk meredenominasi rupiah. Pada 18 Mei 2010 lalu rencana ini
sebenarnya sudah terbuka kepada publik saat dimulai Penjualan SUN (Surat
Utang Negara) Denominasi Rupiah di Bursa Efek Indonesia (BEI). Tapi,
hingar bingar Piala Dunia menenggelamkannya. Yang terasa mengagetkan
publik adalah respon Menteri Keuangan, Bpk Agus Martowardoyo, yang
menyatakan tidak tahu-menahu rencana BI tersebut. Ada apa ini?
Pelaksanaannya sendiri, tentu saja, menunggu dana hasil penjualan SUN
ini. Kenyataan bahwa sumber biaya redenominasi rupiah tersebut adalah
hasil utang ini yang seharusnya justru jauh lebih mengejutkan ketimbang
reaksi Menteri Keuangan di atas. Sebab, secara politik, BI memang bukan
bagian dari Republik Indonesia, dan Gubernur BI (yang beberapa bulan
lalu juga kosong) bukan bagian dari Kabinet RI lagi.
Wakil Presiden RI, Bpk Boediono, yang merupakan mantan Gubernur BI
terakhir, pun cuma menegaskan: *”Bahwa itu adalah kewenangan Bank
Indonesia!”* Tentu saja. Bukankah BI adalah bagian dari International
Monetary Fund (IMF)? Apa yang bisa dibuat oleh Republik Indonesia?
Memahami Redenominasi
Bagi masyarakat pun tidak terlalu penting soal silang sengketa itu,
tetapi akibat dari proyek redenominasi itulah yang perlu dimengerti dan
diantisipasi. Sebab, masyarakat yang menerima akibatnya, maka masyarakat
perlu memahami tindakan yang bisa diambilnya untuk menyelamatkan harta
bendanya. Kalau redenominasi itu dilaksanakan, atau selama masa rencana
ini, apa yang bisa dilakukan?
Redenominasi merupakan tindakan rekalibrasi mata uang. Langkah ini
dilakukan karena dua alasan (1) inflasi atau (2) devaluasi. Atau, bukan
karena keduanya, melainkan dengan alasan geopolitik tertentu. Ini
terjadi, misalnya, ketika berbagai negara di Eropa bersepakat untuk
memiliki mata uang regional euro, yang mengharuskan tiap negara
pesertanya merekalibrasi mata uang nasional masing-masing. Bila karena
inflasi ada dua variasi, yaitu hiperinflasi atau inflasi sangat tinggi
dalam tempo singkat, atau inflasi kronis, yaitu inflasi yang
terus-menerus terjadi dalam waktu panjang.
Secara teknis redenominasi mata uang nasional adalah rekalibrasi mata
uang suatu negara dengan cara mengganti currency unit mata uang lama
(yang berlaku) dengan mata uang yang baru, yang dipakai sebagai 1 unit
mata uang. Bedanya dengan devaluasi adalah pada yang terakhir ini unit
rekalibrasinya adalah mata uang asing, umumnya dolar AS. Kalau
inflasinya sangat besar, maka rasioanya juga akan besar, bisa kelipatan
10, 100, 1000, atau lebih besar lagi. Dalam hal ini, proses itu lalu
disederhanakan, dan disebut sebagai “penghilangan angka nol”.
Nasib Rupiah
Sepanjang umurnya yang 65 tahunan rupiah sudah mengalami berkali-kali
rekalibrasi. Yang dicatat dalam buku sejarah di sekolah adalah saat
rezim Orde Lama pada 31 Desember 1965, memangkas nilai Rp 1000 menjadi
Rp 1.Istilah yang populer untuk peristiwa ini adalah sanering.
Penyebabnya adalah hiperinflasi. Sesudah Orde Lama jatuh, selama kurun
pemerintah Orde Baru, rupiah juga mengalami berkali-kali rekalibrasi,
dengan istilah berbeda, yakni devaluasi.Atas
desakan IMF dan Bank Dunia rupiah didevaluasi pada Maret 1983, sebesar
55%, dari Rp 415 per dolar AS menjadi lebih dari Rp 600 per dolar AS.
Rupiah, kembali atas tekanan IMF dan Bank Dunia, didevaluasi lagi pada
September 1986, sebesar 45%, menjadi sekitar Rp 900 per dolar AS. Dari
waktu ke waktu nilai tukar rupiah lalu terus mengalami depresiasi sampai
mencapai angka sekitar Rp 2.200 per dolar AS sebelum ‘Krismon’ 1997.
Nilai rupiah kemudian ‘terjun bebas’ pertengahan 1997, dan sejak itu
terus terombang-ambing – lagi-lagi atas kemauan IMF dan Bank Dunia –
dalam sistem kurs mengambang (floating rate), dengan titik terendah yang
pernah dicapai sebesar Rp 15.000 per dolar AS, di awal 1998, dan saat
ini stabil di sekitar Rp 9.200 per dolar AS.
Jadi, munculnya gagasan untuk rekalibrasi rupiah kali ini, dengan
cara redenominasi melalui penghilangan tiga angka nol-nya, yakni mata
uang Rp 1.000 menjadi Rp 1, penyebabnya tiada lain adalah inflasi
kronis. Tetapi bagi masyarakat umum apakah ada perbedaan implikasinya
antara sanering, devaluasi, dan redenominasi?
Secara substansial, tentu saja, tidak ada bedanya. Ketiganya hanya
bermakna bahwa mata uang rupiah kita semakin kehilangan daya belinya.
Arti kongkritnya adalah masyarakat yang memegang rupiah semakin hari
semakin miskin. Penghilangan angka nol dilakukan karena dua alasan.
Pertama, alasan teknis, kerepotan dalam berbagai aspek pengelolaan mata
uang dengan angka nominal besar. Kedua, alasan psikologis atau tepatnya
psikis, karena pada titik tertentu masyarakat tidak akan bisa manerima
harga dengan nominal yang sangat besar.
Penyakit inflasi (akut atau kronis) atau tepatnya penurunan daya beli
mata uang kertas (depresiasi) bukan cuma diderita oleh rupiah. Semua
mata uang kertas mengalaminya. Dolar AS telah kehilangan daya belinya
lebih dari 95% dalam kurun 40 tahun. Euro, hasil rekalibrasi geopolitis,
yang konon merupakan mata uang terkuat saat ini, dalam sepuluh tahun
terakhir, kehilangan sekitar 70% daya belinya. Rupiah? Lebih dari 99,9%
daya belinya telah lenyap dalam 65 tahun ini. Maka, fungsi rekalibrasi
sebenarnya hanyalah untuk menutupi cacat bawaan uang kertas ini. Hingga
publik tidak merasakan bahwa dalam kurun 65 tahun Indonesia merdeka,
kita telah dipermiskin sebanyak 175 ribu kali! Rekalibrasi mata uang
kertas adalah senjata utama para bankir untuk mengelabui masyarakat atas
kenyataan ini. Dalam kurun sepuluh tahun terakhir ini saja belasan mata
uang berbagai negara direkalibrasi: Turki, Siprus, Slovakia, Romania,
Ghana, Azerbeijan, Slovenia, Turkmenistan, Mozambique, Venezuela, dll.
Yang paling spektakuler, tentu saja, adalah dolar Zimbabwe, yang dalam
kurun lima tahun terakhir mengalami tiga kali (2006, 2008, dan 2009)
redenominasi, dengan menghapus total 25 angka nol pada unit mata
uangnya!
Pilihan Masyarakat: Dinar emas dan Dirham Perak
Lalu adakah pilihan bagi masyarakat? Tentu saja ada. Yakni pilihlah alat
tukar yang tidak bisa disanering, didevaluasi atau diredenominasi,
artinya tidak dapat dimanipulasi oleh siapa pun, bukan cuma oleh bank
sentral atau IMF, yakni alat tukar yang memiliki nilai intrinsik.
Pilihan terbaik untuk itu adalah dinar emas atau dirham perak, yang kini
mulai beredar luas di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Kesultanan Kelantan, Malaysia, secara resmi akan me-launch dinar emas
dan dirham peraknya pada 2 Ramadhan 1431 H (12 Agustus) ini.
Ditargetkan pada Januari 2011 dinar emas dan dirham perak, termasuk yang
beredar di Indonesia, akan mulai berlaku sebagai alat tukar
internasional, dengan kurs tunggal. Jadi, inilah saat yang tepat bagi
masyarakat untuk mengalihkan uang kertasnya menjadi dinar emas dan
dirham perak. Alat tukar yang bebas inflasi, dan mustahil
diredenominasi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar