Banyak masyarakat yang
masih keliru membedakan antara pengertian redenominasi mata uang dan
sanering. Sesungguhnya, dua kebijakan tersebut merupakan dua hal yang
sangat berbeda. Berikut penjelasan mengenai redenominasi dan sanering.
Redenominasi
berarti menyederhanakan pecahan mata uang dengan mengurangi digit nol
tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Misalnya, Rp 100.000
disederhanakan menjadi Rp 100 saja, dengan menghilangkan tiga buah angka
nol yang paling belakang. Redenominasi biasanya dilakukan dalam kondisi
ekonomi yang stabil dan menuju ke arah yang lebih sehat.
Sementara
sanering adalah pemotongan nilai uang sehingga terjadi penurunan daya
beli masyarakat. Kebijakan ini biasanya dilakukan dalam kondisi
perekonomian yang tidak sehat.
Adapun
tujuan redenominasi rupiah adalah guna mempermudah masyarakat dalam
melakukan transaksi. Sementara itu, sanering dilakukan untuk mengurangi
jumlah uang beredar akibat harga-harga yang mengalami lonjakan.
Awalnya
pemerintah dan BI berencana menjalankan tahapan redenominasi dalam tiga
bagian. Pertama, tahap persiapan yang berlangsung selama tahun 2013.
Kedua, tahap transisi yang berjalan mulai 2014 hingga 2016. Ketiga,
tahap penyelesaian (phasing out) antara tahun 2017-2020. [1]
Pengertian
Redenominasi
Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah mata uang Pada waktu terjadi inflasi jumlah satuan moneter yang
sama perlahan-lahan memiliki daya beli yang semakin melemah. Dengan kata lain,
harga produk dan jasa harus dituliskan dengan jumlah yang lebih besar. Ketika
angka-angka ini semakin membesar, mereka dapat memengaruhi transaksi harian
karena risiko dan ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh jumlah lembaran uang
yang harus dibawa, atau karena psikologi
manusia yang tidak efektif menangani perhitungan angka dalam jumlah besar.
Pihak yang berwenang dapat memperkecil masalah ini dengan redenominasi: satuan yang baru
menggantikan satuan yang lama dengan sejumlah angka tertentu dari satuan yang
lama dikonversi menjadi 1 satuan yang baru. Jika alasan redenominasi adalah
inflasi, rasio konversi dapat lebih besar dari 1, biasanya merupakan bilangan positif kelipatan sepuluh,
seperti 10, 100, 1.000, dan seterusnya. Prosedur ini dapat disebut sebagai
"penghilangan nol".Contoh-contoh yang terkini antara lain:
Satuan baru
|
=
|
x
|
Satuan lama
|
Tahun
|
Dolar Zimbabwe
|
=
|
1 000 000 000 000
|
ZWR
|
Februari 2009
|
Dolar Zimbabwe ketiga (ZWR)
|
=
|
10 000 000 000
|
ZWN
|
Agustus 2008
|
Dolar Zimbabwe kedua (ZWN)
|
=
|
1 000
|
ZWD (dolar pertama)
|
Agustus 2006
|
Metical Mozambik baru
|
=
|
1 000
|
Metical lama
|
2006
|
Bank Indonesia memandang bahwa keberhasilan
redenominasi sangat ditentukan oleh berbagai hal yang saat ini tengah dikaji
sebagaimana yang telah dilakukan oleh beberapa Negara yang berhasil
melakukannya. Hal-hal tersebut merupakan syarat-syarat untuk melakukan
redenominasi yaitu antara lain :
1.2.1. Inflasi stabil dibawah 5% selama 4 tahun
berturut-turut.Redenominasi yang diwacanakan Bank Indonesia, telah
mendapat persetujuan dari pemerintah. Oleh sebab itu, sebelum rencana itu
terwujud, maka pemerintah harus memperhatikan keadaan ekonomi pada saat ini,
salah satunya adalah inflasi. Jika inflasi stabil di bawah 5 % selama 4 tahun
berturut-turut, maka redenominasi dapat dilakukan.Dengan melihat apa yang telah terjadi pada
sanering, inflasi merupakan faktor penting untuk menjaga kestabilan rupiah.
Jika pemerintah akan melakukan redenominasi tiga tahun mendatang, maka dengan
tingkat inflasi yang stabil, maka redenominasi dapat dilakukan. Secara singkat
inflasi adalah kenaikan harga-harga yang bersifat umum, secara terus menerus
sehingga menyebabkan turunnya nilai uang.Dalam hal ini Bank Sentral juga mempunyai kewajiban
untuk mengatasi jumlah uang yang beredar, hal ini untuk mencegah jangan sampai
uang yang beredar melebihi kebutuhan perekonomian, sehingga akan menyebabkan
inflasi. Di sini fungsi bank sentral adalah untuk menjaga nilai mata uang
jangan sampai merosot, dengan mencegah jangan sampai terlalu tinggi. Seperti yang
sudah diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Bank Indonesia No.3 Tahun 2004 yang
isinya adalah :a. Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah.b. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten,
transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang
perekonomian.”Begitu pula di dalam penjelasannya, disebutkan bahwasannya
kestabilan nilai rupiah yang dimaksud dalam Undang-undang tersebut adalah
kestabilan terhadap barang dan jasa, serta terhadap mata uang Negara lain.
Kestabilan terhadap barang dan jasa diukur dengan perkembangan laju inflasi.
Jadi pemerintah, khususnya Bank Indonesia harus benar-benar memperhatikan hal
itu. Di samping itu, telah jelas bahwasannya adanya Undang-undang tersebut agar
kebijakan yang diambil oleh Bank Indonesia sudah mempertimbangkan dampaknya terhadap
perekonomian nasional.
1.2.2. Stabilitas perekonomian terjaga dan jaminan
stabilitas hargaStabilitas harga juga mempengaruhi terlaksananya
redenominasi dengan baik. Karena pada saat rupiah diredenominasi, maka harga
akan tetap pada harga lama, yang berubah adalah nominal pada rupiah saja. Sehingga
dengan rupiah yang sudah diredenominasi (istilah rupiah baru pada masa
transisi), tidak terjadi lonjakan harga-harga. Karena dengan nominal yang
kecil, bukan tidak mungkin masyarakat akan merasa bahwa barang yang dijualnya
terasa lebih murah dan menaikkan harga. Untuk itu harus ada jaminan stabilitas
harga dari pemerintah sebelum redenominasi itu dilakukan agar stabilitas
perekonomian tetap terjaga.
1.2.3. Kesiapan Masyarakat. Kesiapan masyarakat sebelum redenominasi dilakukan
merupakan hal yang penting, yaitu pemahaman tentang istilah redenominasi itu sendiri.
Terlebih, untuk kalangan masyarakat yang pernah mengalami masa dilakukannya
sanering pada tahun 1950-an. Sosialisasi ini juga sangat penting dilakukan
untuk masyarakat kalangan bawah yang tidak mengerti rencana pemerintah
tersebut. Misalnya saja dimulai dari keadaan yang mengharuskan masyarakat memakai
dua mata uang rupiah pada masa transisi, mencantumkan dua label harga, dan jika
nanti ada uang pecahan baru yang lebih kecil, maka masyarakat harus bisa menyesuaikan
dengan semua perubahan itu.Pada akhirnya, banyak hal yang harus dipersiapkan
untuk melakukan redenominasi mata uang rupiah tersebut. Walaupun Bank Indonesia
dan juga pemerintah meyakinkan bebagai pihak, bahwasannya redenominasi berbeda
dengan sanering. Karena pada redenominasi hanya nominal uangnya saja yang
berubah dan cara penyebutannya, tidak mengurangi nilai uangnya. Akan tetapi,
tanpa kesiapan yang matang dari berbagai pihak, khususnya sosialisasi kepada
masyarakat akan menyebabkan kekacauan karena kesalahan persepsi.Terkait syarat-syarat redenominasi di atas, maka
biaya dan risiko yang mungkin muncul ketika redenominasi dilakukan, Tarhan
(2006) dalam tulisannya menjelaskan beberapa diantaranya adalah:
1) Efek inflasi karena
pembulatan pada harga-harga. Bila dalam contoh rupiah misalnya Rp. 32.500
menjadi Rp 33.
2) Biaya perubahan menu
dan administratif, termasuk diantaranya merubah harga pada label.3) Perubahan hukum dan
undang-undang.
4) Biaya pencetakan mata
uang baru baik kertas maupun koin, serta surat berharga lainnya
5) Biaya pemusnahan mata
uang rupiah dan koin lama
6) Biaya edukasi kepada
public dan iklan layanan masyarakat untuk perubahan tersebut kepada masyarakat
terutama yang berada dipedesaan dimana tingkat pendidikannya rendah serta akses
kepada media dan informasi juga sangat rendah
7) Perubahan software
serta data akuntansi dan neraca
8) Efek psikologis karena
tingkat pendapatan yang dirasakan menurun
9) Biaya tambahan pada
ekonomi jika angka nol balik lagi karena inflasi.
Hubungan Inflasi dengan
Redenominasi Seperti telah dijelaskan sebelumnya pada
syarat-syarat redenominasi, salah satunya adalah inflasi harus stabil di bawah
5 % dalam 4 tahun berturut-turut. Tentu hal ini sangat berhubungan erat dengan
redenominasi yang akan dilakukan pemerintah. Untuk itu ada baiknya mengetahui
tentang inflasi.Inflasi menurut Dwi Eko Waluyo adalah merupakan
kecenderungankenaikan harga-harga umum secara terus-menerus. Sedangkan
menurut Manullang, inflasi adalah satu keadaan dimana terjadi senantiasa meningkatnya
harga-harga pada umumnya atau suatu keadaan dimana terjadi turunnya uang. Sedangkan
menurut kamus lengkap perekonomian yang berlangsung secara terus-menerus dari
waktu ke waktu. Menurut Rahardja dan Manurung mengatakan bahwa
inflasi adalah gejala kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan
berlangsung secara terus-menerus. Sedangkan menurut Sukirno, inflasi yaitu
kenaikan dalam harga barang dan jasa yang terjadi karena permintaan pasar
bertambah lebih besar dibandingkan dengan penawaran barang-barang di pasar. Jadi
dapat disimpulkan bahwa inflasi adalah suatu kenaikan hargaharga pada umumnya
yang berlangsung secara terus-menerus. Bersamaan dengan itu, nilai uang turun
secara tajam sebanding dengan kenaikan harga-harga tersebut. Artinya telah
terjadi kenaikan harga bila dibandingkan dengan tingkat harga sebelumnya dan
kenaikan harga tersebut menyebabkan harga-harga secara umum naik.Akan tetapi belum dapat dikatakan sebagai inflasi
jika kenaikan harga hanya secara umum naik. Misalnya harga mangga Rp 5000,-
pada saat musim mangga, tetapa naik menjadi Rp 7000,- pada saat tidak musim.
Itu bukan termasuk inflasi, karena bersifat sementara dan tidak menyebabkan
harga barang lain naik. Begitu juga jika kenaikan harga hanya terjadi sesaat. Misalkan
terjadinya kenaikan harga hari ini dibandingkan dengan hari sebelumnya, tetapi
keesokan harinya sudah kembali turun. Biasanya perhitungan inflasi dalam
rentang waktu minimal bulanan, sebab dalam sebulan akan terlihat kenaikan harga
bersifat umum dan terus-menerus. Berbeda halnya dengan kenaikan harga Bahan
Bakar Minyak (BBM). Karena kenaikan BBM merupakan komoditas yang strategis
sehingga menyebabkan harga barang atau komoditas lainnya ikut naik.
Berikut
adalah macam-macam inflasi, di antaranya adalah:Inflasi jika ditinjau dari sudut bobotnya, dapat
dibedakan menjadi empat macam, yaitu:1) Inflasi ringan, Inflasi ringan disebut juga Creeping Inflation.
Inflasi ringan adalah inflasi dengan laju pertumbuhan yang berlangsung
secara perlahan dan berada pada posisi satu digit atau di bawah 10%
pertahun.2) Inflasi sedang, Inflasi sedang (moderat) adalah inflasi dengan
tingkat laju pertumbuhan berada di antara 10-30% pertahun atau melebihi
dua
digit dan sangat mengancam struktur dan pertumbuhan ekonomi suatu
Negara.3) Inflasi berat, Inflasi berat merupakan inflasi dengan laju
pertumbuhan berada diantara 30-100% pertahun. Pada kondisi demikian
sektor-sektor produksi hampir lumpuh total kecuali yang dikuasai oleh
Negara. 4) Inflasi sangat berat, Inflasi sangat berat (hyper inflation) adalah inflasi dengan laju pertumbuhan melampaui 100% pertahun yang
timbul akibat adanya kenaikan harga-harga yang umum yang berlangsung sangat
cepat. Sebagaimana yang pernah dialami oleh Negara Indonesia pada masa Orde Lama
dan awal Orde Baru. Untuk keperluan perang terpaksa harus dibiayai dengan cara
mencetak uang secara berlebihan.Sedangkan ditinjau dari asal terjadinya, maka
inflasi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1) Domestic InflationDomestic Inflation (inflasi domestik) adalah inflasi yang berasal dari dalam negeri
(domestik). Kenaikan harga disebabkan karena adanya kejutan (shock)
dari dalam negeri, baik karena perilaku masyarakat maupun pemerintah dalam
mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang secara psikologis berdampak inflator.
Kenaikan harga-harga terjadi secara absolute akibatnya terjadilah inflasi atau
semakin meningkatnya angka (laju) inflasi.
2) Imported InflationImported Inflation adalah inflasi yang terjadi didalam negeri karena adanya pengaruh kenaikan
harga dari luar negeri. Kenaikan harga didalam negeri terjadi karena
dipengaruhi oleh kenaikan harga dari luar negeri, terutama barang-barang impor
atau kenaikan bahan baku industry yang masih belum dapat diprodukai di dalam
negeri. Inflasi memiliki memiliki beberapa dampak buruk terhadap individu dan
masyarakat, menurut Pratama Rahardja dan Manurung yaitu :a) Menurunnya tingkat
kesejahteraan masyarakatInflasi menyebabkan daya
beli masyarakat menjadi berkurang atau malah semakin rendah, apalagi bagi
orang-orang yang berpendapatan tetap. Kenaikan upah tidak secepat kenaikan
hargaharga, maka inflasi ini akan menurunkan upah riil setiap individu yang
berpendapatan tetap, seperti pegawai negeri sipil ataupunkaryawan.b) Memperburuk distribusi
pendapatan.Bagi masyarakat yang
berpendapatan tetap akan menghadapi kemerosotan nilai riil dari pendapatannya
dan pemilik kekayaan dalam bentuk uang akan mengalami penurunan juga. Akan
tetapi bagi pemilik kekayaan tetapseperti tanah dan bangunan dapat mempertahankan
atau justru menambah nilai riil kekayaannya. Dengan demikian inflasi akan
menyebabkan pembagian pendapatan diantara golongan yang berpendapatan tetap
dengan para pemilik kekayaan tetap akan semakin tidak merata.c) Terganggunya stabilitas
ekonomiInflasi mengganggu
stabilitas ekonomi dengan merusak perkiraan atas kondisi dimasa depan (ekspetasi)
para pelaku ekonomi sehingga hal ini akan mengacaukan stabilitas dalam
perekonomian suatu negara, karena akan memunculkan perilaku spekulasi
dari masyarakat.Terkait dengan redenominasi yang akan dilakukan
pemerintah, inflasi harus berada dikisaran 5 % selama 4 tahun
berturut-turut.
Artinya untuk melakukan redenominasi, tingkat inflasi harus ada pada
inflasi
ringan yaitu laju pertumbuhannya lambat 10 % pertahun. Karena selain
dampak
yang sudah dijelaskan di atas, terdapat juga dampak lainnya yaitu adanya
dampak
inflasi bagi para penabung. Ini menyebabkan orang enggan untuk menabung,
karena
nilai mata uang yang ditabung akan semakin menurun.Penabung yang
biasanya menghasilkan bunga atau bagi
hasil, tetapi jika tingkat inflasi terjadi masih diatas tingkat bunga
yang
diterima oleh penabung, tetap saja nilai mata uang yang akan diterima
oleh
penabung akan menurun. Bila orang sudah enggan menabung, maka dunia
usaha dan investasi
akan sulit untuk berkembang, karena berkembangnya dunia usaha
membutuhkan dana
dari masyarakat yang disimpan di Bank.Terlebih lagi jika inflasi yang
terjadi melebihi
itu akan terjadi kenaikan harga-harga pada umumnya dan bukan tidak
mungkin redenominasi
akan berubah menjadi sanering. Karena inflasi sulit dikendalikan,
sementara akan
ada rupiah baru walaupun nilainya tidak berubah, hanya penulisannya
saja. Akan
tetapi tanpa persiapan yang matang dari berbagai pihak khusunya bagi
para
penabung akan terjadi kekhawatiran terhadap uang mereka.
Tahapan Pelaksanaan
Redenominasi
Dalam menerapkan redenominasi, pemerintah Indonesia
dapat melakukan secara bertahap untuk meredam gejolak yang mungkin akan terjadi
di masyarakat. Karena selain efek ekonomi, efek psikologi di masyarakat yaitu
kesiapan masyarakat perlu diperhatikan. Untuk itu Bank Indonesia sudah membuat
tahapan-tahapan redenominasi. Tahapan-tahapan tersebut meliputi:a. 2011 – 2013 : Tahap
sosialisasiBank Indonesia akan mensosialisasikan redenominasi
kepada masyarakat. Yaitu Semua sistem akuntansi, pencatatan, dan sistem
informasi akan disesuaikan secara bertahap. Hal itu untuk mempermudah
masyarakat agar terbiasa dengan rupiah yang baru, dengan angka-angka yang
kecil.b. 2013 – 2015 : Tahap transisiDalam masa ini, nantinya harga barang akan ditulis
dalam dua harga yaitu terdiri atas rupiah lama dan rupiah baru. Misalnya,
barang seharga Rp10.000 akan ditulis dalam dua harga yaitu Rp10.000 dan Rp10
(baru). Uang saat ini akan disebut rupiah lama, yang baru akan disebut rupiah baru.
Selama masa ini, masyarakat akan menggunakan dua mata uang yaitu rupiah lama
dan rupiah baru. Begitu juga untuk pengembalian uang, boleh menggunakan
keduanya. BI juga akan perlahan-lahan mengganti uang rusak rupiah lama dengan
uang rupiah baru.c. 2016 – 2018 : Tahap
penarikan uang lamaBank Indonesia akan menarik uang lama, sehingga
diharapkan pada akhir 2018 mata uang lama sudah tidak beredar lagi.d. 2019 – 2020 : Tahap
pemantapanBank Indonesia akan mengganti uang baru yang
bertuliskan “Uang Baru” dengan uang baru yang tidak memiliki tulisan baru
tersebut sehingga diharapkan pada tahun 2021 redenominasi rupiah telah selesai.
Kata-kata uang baru yang menandakan pengganti uang lama akan dihilangkan. Indonesia
kembali pada rupiah seperti saat ini, namun nilai uangnya lebih kecil. Untuk
mata uang kecil berlaku uang koin dan nilai pecahan sen akan berlaku lagi.Selain itu media diharapkan turut membantu
mensosialisasikan proses dan tahapan redenominasi ini agar masyarakat paham
akan manfaatnya bagi system keuangan dan perekonomian Negara.
Alasan dan tujuan redenominasi
Bank Indonesia (BI) berencana melakukan
redenominasi rupiah karena uang pecahan Indonesia yang terbesar saat ini Rp
100.000. Uang rupiah tersebut mempunyai pecahan terbesar kedua di dunia,
terbesar pertama adalah mata uang Vietnam yang mencetak 500.000 Dong. Namun
tidak memperhitungkan negara Zimbabwe, negara tersebut pernah mencetak 100
miliar dolar Zimbabwe dalam satu lembar mata uang.(detikfinance, 07082010).
Jadi BI berencana untuk menyederhanakan angka nominal pada mata uang rupiah.
Dengan penyederhanaan ini diharapkan akan lebih memudahkan dalam pencatatan
akuntansi.BI mengklaim bahwa
sudah sejak lama, walaupun tidak formal, penyederhanaan ini sudah sering
dilakukan di tengah masyarakat, misal dengan menyebut jumlah 1 juta menjadi
seribu, 100 juta menjadi 100 ribu, jadi mengapa tidak di formalkan sekalian?
Selain itu, langkah redenominasi ini dilakukan sebagai persiapan menghadapi pemberlakuan mata uang bersama
ASEAN, tahun 2015 (Ihda Faiz). Dengan penyebutan nominal yang ada, mata uang
rupiah dianggap terlalu mencolok jika dibandingkan dengan nilai mata uang
negara-negara ASEAN. Mata uang rupiah dianggap terlalu tambun, dan sulit untuk
dieja.Dengan nilai
nominal yang ada Muhaimin Iqbal menggambarkan ”kepelitan” wisatawan asing dalam
memberi tips atas kepuasan pelayanan yang diberikan di hotel-hotel. Tidak
jarang tips yang mereka berikan hanya Rp.500 atau Rp.1000, seperti besar
padahal nilainya kecil. Bahkan tidak jarang kembalian taxi yang hanya Rp.500
atau Rp.1000, sampai ditagih, oleh para waisatawan asing tersebut karena
terlihat seolah bernilai besar. Oleh
karena itu redenominasi dilakukan sebagai upaya untuk efisiensi penghitungan
dalam sistem pembayaran.(Junanto Herdiawan, 03082010) selain untuk menjadikan
rupiah lebih setara (tidak harus sama nilainya tetapi tidak terlalu mencolok)
dibanding mata uang negara lain, seperti negara-negara ASEAN, ataupun AS dengan
mata uang dolarnya.(muhammad Iqbal, Ihda
Faiz)
Dampak RedenominasiRencana kebijakan redenominasi di Indonesia akan
mempunyai dampak yaitu:a) Dampak positif (manfaat) rencana redenominasiMenurut Bank Indonesia manfaat dilakukannya
redenominasi adalah sebagai berikut:1. Mempermudah transaksi
keuangan karena angka yang kecil dari pada nominal uang.2. Mempermudah perhitungan
pada akuntasi keuangan.3. Meningkatkan
kepercayaan diri dimata dunia Internasional.b) Dampak negatif rencana redenominasi1. Sampai saat ini laju
inflasi belum stabil yaitu pada 2010 inflasi ada pada kisaran 6,96 %. Yaitu
melebihi target pemerintah sebesar 5,3% atau target Bank Indonesia 5%.
Sedangkan tingkat inflasi 2011 berada dikisaran 6,5-7,5%. Yaitu melebihi target
pemerintah 5,3% yang dituangkan dalam APBN 2011.2. Melihat kondisi
masyarakat Indonesia yang perekonomiannya tidak merata, rencana redenominasi
kurang tepat jika dilakukan dalam waktu dekat karena akan merugikan masyarakat
kalangan bawah yang tidak mengerti redenominasi tersebut sehingga akan terjadi
kenaikan harga dari pedagang kecil yang menganggap rupiah semakin kecil akibat
penyederhanaan rupiah tersebut. Dan bukan tidak mungkin jika rencana
redenominasi dianggap sama dengan sanering yang pernah terjadi dulu
Pengertian SaneringSanering berasal dari bahasa Belanda yang berarti
“penyehatan, pembersihan atau reorganisasi”. Sedangkan menurut konteks ilmu
moneter, sanering adalah pemotongan nilai uang tanpa mengurangi nilai harga, sehingga
daya beli masyarakat menurun1. Misalnya , jika nilai
uang Rp. 100,- ribu dipotong menjadi Rp. 100,- Karena nilainya sudah di
turunkan, jumlah barang yang di beli dengan uang baru akan lebih sedikit di
bandingkan dengan uang lama. Jika Rp. 100,- ribu lama bisa dapat satu baju,
maka dengan uang Rp. 100,- pecahan baru tidak bisa lagi mendapatkan satu baju
yang sama.
Dampak SaneringDampak positif (manfaat) sanering
Kebijakan sanering yang pernah dilakukan pemerintah
di Indonesia dimulai pertama kali pada tahun 1950, tepatnya 19 Maret 1950.
Pemerintah melakukan sanering yaitu untuk mengatasi situasi perekonomian
Indonesia yang saat itu sedang terpuruk yaitu utang menumpuk, inflasi tinggi,
dan harga melambung. Hal tersebut disebabkan perekonomian Indonesia yang masih
belum tertata setelah kemerdekaan. Untuk itu pemerintah melakukan tindakan
sanering yang dikenal dengan sebutan gunting
syafruddin.Kemudian pemerintah kembali melakukan tindakan
sanering yang kedua pada tahun 1959, tepatnya pada 25 Agustus 1959. Hal ini
dilakukan untuk menekan laju infasi sehingga pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah (PERPU) No. 2 dan No. 3 tahun 1959 yang pada intinya melakukan
pemotongan nilai uang kertas dari Rp 500,- dan Rp 1000,- menjadi Rp 50,- dan Rp
100,-. Dan pembekuan simpanan (giro dan deposito) di bank- bank.Selanjutnya pemerintah untuk yang ketiga kalinya
melakukan tindakan sanering dengan sebab dan alasan yang sama
dengan sebelumnya, yaitu untuk mengurangi jumlah uang yang beredar yang disebabkan
oleh inflasi. Kebijakan sanering ini dilakukan oleh pemerintah tepatnya pada 13
Desember 1965. Hal ini menyebabkan penurunan drastis pada rupiah dari nilai Rp
1000,- (uang lama) menjadi Rp 1,- (uang baru).Jika dilihat dari sebab terjadinya sanering mulai
dari tahun 1950,1959 dan 1965, maka kebijakan sanering yang dilakukan
pemerintah terlihat adanya dampak positif (manfaat) nya yaitu:1. Pada sanering tahun
1950, untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang saat itu sedang terpuruk
dan belum tertata setelah kemerdekaan, yakni utang menumpuk, inflasi tinggi,
dan harga melambung. Dengan adanya sanering bisa mengisi kas pemerintah yang
kosong setelah kemerdekaan dan menurunkan harga-harga akibat inflasi.2. Sanering pada tahun
1959 dilakukan untuk menekan laju inflasi dan menutup hutang pemerintah di bank
yaitu dengan adanya pembekuan simpanan (giro dan deposito) yang diganti dengan
simpanan jangka panjang oleh pemerintah. Sehingga membantu menutup sebagian
hutang pemerintah.3.Sanering pada tahun 1965
dilakukan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar akibat inflasi yang telah
menjadi hyperinflasi.
Dampak negatif
sanering
setelah diuraikan sebelumnya tentang adanya manfaat
dari kebijakan sanering, akan tetapi terdapat juga dampak negatif dari kebijakan
sanering yaitu:1. Kebijakan sanering yang
dilakukan pada tahun 1950 kurang tepat dilakukan pemerintah pada saat itu
karena menyebabkan terjadinya tindakan sanering berikutnya yang semakin
menyebabkan masyarakat menderita. Dan pada dasarnya sanering tersebut dilakukan
cenderung untuk kepentingan pemerintah semata, yaitu untuk mengatasi hutang
pemerintah yang menumpuk tanpa memikirkan kesulitan rakyatnya yang disebabkan
pemotongan nilai rupiah tersebut.2. Sanering yang kedua
yaitu tahun 1959 menyebabkan banyak bank-bank yang mengalami kesulitan
likuiditas. Sehingga akhirnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah
(PERPU) No.2 dan No. 3 yang isinya melakukan penurunan nilai rupiah dan
pembekuan simpanan di bank-bank.3. Sanering yang ketiga
juga tidak membawa perubahan yang lebih baik karena terjadi penurunan secara
drastis nilai rupiah dari Rp 1000,- menjadi Rp 1,-. Setelah itu tanpa henti
terjadi depresiasi nilai rupiah sehingga pada saat terjadi krisis financial di
Asia tahun 1997, nilai rupiah semakin menurun dan tidak berharga.
Pengalaman Kebijakan Sanering di Indonesia
2.3.1. Kebijakan Pertama
Kebijakan
sanering terjadi pertama kali dilakukan pada tahun 1950, tepatnya 19 Maret 1950
yang dikenal dengan sebutan gunting sjafruddin. Kebijakan ini ditetapkan
oleh Syafruddin Prawiranegara, menteri keuangan dalam Kabinet Hata II.
Kebijakan tersebut dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang saat
itu sedang terpuruk. Yaitu utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung.Menurut kebijakan tersebut uang merah (uang NICA)
dan uang De Javanesche Bank dari pecahan Rp 5,- digunting menjadi dua. Guntingan
kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari
nilai semula. Kemudian guntingan kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas
baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Selebihnya bisa juga tidak
berlaku atau dibuang. Sedangkan bagian kanan juga tidak berlaku, tetapi masih
bisa ditukarkan dengan obligasi Negara sebesar setengah dari nilai semula, dan
akan dibayar 40 tahun kemudian dengan bunga 3 % setahun. Hal ini juga berlaku
pada simpanan di bank.
2.3.2. Kebijakan Senering
Kedua
Kebijakan sanering yang kedua yaitu terjadi pada
tahun 1959. Kebijakan sanering ini salah satu kebijakan yang dilakukan
pemerintah untuk menekan laju inflasi. Akan tetapi akibat dari kebijakan ini
banyak bankbank yang mengalami kesulitan likuiditas, yang ditanggapi Bank Indonesia
melalui pemberian kredit. Yaitu terjadi pada tanggal 25 Agustus 1959,
pemerintah melakukan kebijakan sanering dengan memberlakukan Peraturan
Pemerintah (PERPU) No. 2 dan No. 3 tahun 1959 yang isinya adalah :1. Penurunan nilai uang
kertas Rp 500 dan Rp 1000 menjadi Rp 50 dan Rp 100 (Perpu No. 2 tahun 1959).
Penukaran uang kertas ini harus di 37 lakukan sebelum 1 Januari 1960 (Perpu No.
6 tahun 1959). Sedangkan untuk nilai uang yang hilang akibat pemberlakuan Perpu
No. 2, tidak akan di perhatikan pada perhitungan laba maupun pajak (Perpu No. 5
tahun 1959, 25 Agustus 1959).2. Pembekuan sebagian simpanan
pada bank-bank (giro dan deposito) sebesar 90% dari jumlah simpanan di atas Rp
25.000, dengan ketentuan bahwa simpanan yang di bekukan akan di ganti dengan
simpanan jangka panjang oleh pemerintah (Perpu No. 3 tahun 1959 tanggal 24
Agustus 1959).
2.3.3. Kebijakan Senering Ketiga
Kebijakan sanering yang ketiga kalinya dilakukan
pada tahun 1965. Tepatnya pada 13 Desember 1965, pada sanering yang ketiga ini
terjadi penurunan drastis dari nilai Rp 1.000,- (uang lama) menjadi Rp 1,-
(uang baru). Kebijakan ini harus dilakukan lagi oleh pemerintah untuk mengurangi
jumlah uang yang beredar akibat inflasi. Karena sejak dilakukan tindakan
sanering yang kedua, pada tahun 1959, inflasi memang menurun. Akan tetapi harga
tetap menunjukkan kenaikan. Tetapi sejak tahun 1960, inflasi kembali mengalami
peningkatan. Bahkan pada tahun 1962, inflasi meningkat menjadi hyperinflasi.
Untuk itu pemerintah kembali mengeluarkan peraturan melalui Penetapan Presiden Penpres)
No. 27 pasal 3 tahun 1965 yang isinya adalah :“(1) Sesudah 1 (satu)
bulan berlakunya Penetapan Presiden ini maka semua jenis uang kertas Bank
Negara Indonesia dari pecahan-pecahan Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) dan
Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) yang beredar sebagai alat pembayaran yang sah
sebelumPenetapan Presiden ini berlaku, tidak lagi merupakan alat pembayaran
yang sah.(2) Sesudah 3 (tiga) bulan
berlakunya Penetapan Presiden ini maka semua jenis uang kertas Bank Negara
Indonesia dari pecahan Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah), Rp.
1.000,-(seribu rupiah) dan Rp. 500,- (lima ratus rupiah) yang beredar sebagai
alat pembayaran yang sah sebelum Penetapan Presiden ini berlaku, tidak lagi merupakan
alat pembayaran yang sah.(3) Sesudah 6 (enam) bulan
berlakunya Penetapan Presiden ini maka semua jenis uang kertas bank, uang
kertas Pemerintah dan uang logam dari pecahan-pecahan Rp. 100,- (seratus
rupiah) ke bawah yang beredar sebagai alat pembayaran yang sah sebelum
Penetapan Presiden ini berlaku, tidak lagi merupakan alat pembayaran yang sah.(4) Penarikan uang rupiah
Irian Barat dari peredaran yang berlaku dan beredar sebagai alat pembayaran
yang sah sebelum Penetapan Presiden ini berlaku, akan diatur lebih lanjut oleh
Pemerintah”Sejak saat itu akibat dari pengeluaran uang rupiah
baru yang nilinya ditetapkan sebasar 1000 kali uang rupiah lama, tidak berarti bahwa
harga barang-barang dalam rupiah baru menjadi seperseribu dari harga uang
rupiah lama.3 Hal ini menunjukkan bahwa nilai tukar antara uang
rupiah baru dengan uang rupiah lama bergerak antara 1:10. Jadi , nilai uang
rupiah baru hanya dinilai kurang lebih 10 kali lebih tinggi daripada uang
rupiah lama. Setelah itu tanpa henti terjadi depresiasi nilai mata uang rupiah
sehingga ketika terjadi krisis moneter di Asia tahun 1997 nilai Rp 1,- US $
menjadi Rp 5.500 dan terus-menerus tidakterkendali.
Perbedaan redenominasi dan sanering
Dalam redenominasi tersebut, BI
berencana akan menghilangkan 3 digit dari nilai pecahan rupiah yang ada.
Misalnya dari Rp1.000 menjadi Rp1. Harga
barang yang semula Rp 1.000 juga berubah
menjadi seharga Rp 1. Contohnya, pada
harga bawang putih 1 kilogram Rp.4000, dengan redenominasi tiga digit nolnya
dihilangkan, maka harga bawang putih
menjadi Rp.4. Harga bawang putih tetap, hanya nominalnya saja yang
disederhanakan. Daya beli uang yang dikenakan redenominasi pun tetap. Dengan
uang Rp.4, masyarakat tetap dapat membeli 1 kilogram bawang putih.Sedangkan dalam
sanering, pemotongan uang belum tentu diikuti dengan harga barang. Misalnya
harga bawang putih yang semula Rp 4000, tidak serta merta bisa menjadi Rp 4.
Bisa jadi, harga barang tetap seperti harganya semula. Sementara nilai uang Rp
4000 di masyarakat, telah berubah menjadi Rp 4. Artinya, daya beli masyarakat akan menurun drastis
dengan adanya sanering. Kita jadi tak mampu membeli bawang putih lagi.
Redenominasi dilakukan pada
saat inflasi terkendali,sementara sanering dilakukan dalam kondisi ekonomi yang
tidak sehat dan inflasi yang melejit tidak terkendali.Perbedaan redenominasi dan
sanering menurut Ihda Faiz, digambarkan dalam tabel berikut :
Perbedaan
|
Redenominasi
|
Sanering
|
Pengertian
|
Penataan
nominal mata uang
|
Pemotongan
nilai mata uang
|
Tujuan
|
Penyederhanaan
angka
|
Mengurangi
jumlah uang beredar
|
Dampak thd masyarakat
|
Tidak
ada (kecuali penyesuaian kebiasaaan)
|
Dirugikan karena daya beli uang turun
|
Daya
Beli Uang
|
Tetap
|
Turun
|
Syarat
kondisi
|
Kondisi
makroekonomi stabil, ekonomi tumbuh
|
Instabilitas
makroekonomi, hiperinflasi
|
Waktu
pergantian
|
Perlu masa transisi yang terukur dan terkendali
|
dilakukan
secara mendesak
|
Kesimpulan
Tampak jelas bahwa kebijakan redenominasi rupiah tidak akan menyelesaikan
ekonomi di Indonesia, melainkan justru akan menambah biaya pembangunan dan
semakin bercokolnya sistem ekonomi kapitalisme. Redenominasi yang seolah-olah
merupakan solusi yang ditawarkan pemerintah saat ini sangat jauh dari akar
permasalahan perekonomian. Yang menjadi akar permasalahan adalah dengan
perubahan sistem mata uang dan sistem ekonomi Indonesia, ke arah yang lebih
baik.
________________________________
Daftar Pustaka :
[1] http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/02/04/1016380/Apa.Perbedaan.Redenominasi.dengan.Sanering.?utm_campaign=related_left&utm_medium=bp&utm_source=bisniskeuangan