Charb, Cabu, Wolinski dan Tignous tewas. Empat kartunis Perancis yang gemar mengolok-olok lewat kartun yang mereka publikasikan itu seolah menjadi tumbal bagi kebebasan berbicara (freedom of speech). Kebebasan berbicara konon salah satu kredo utama di Perancis. Kredo yang dibangun oleh Voltaire, “Saya tidak menyetujui perkataan Anda, tapi saya akan membela hak Anda untuk mengatakannya.”
Pembunuhan atas empat kartunis dan tujuh orang lainnya yang bekerja di tabloid satire Charlie Hebdo, serta seorang polisi, sesungguhnya dipenuhi kejanggalan. Sulit diterima bahwa dua bersaudara keturunan Aljazair yang bekerja sebagai pengantar pizza, Said dan Cherif Kouachi, bebas mendapatkan logistik yang sempurna: Kalashnikov, roket peluncur, amunisi, rompi, sepatu tentara, dan Citroen hitam. Keduanya pernah ditangkap pada kasus terorisme tahun 2008, sehingga semestinya selalu dalam pengawasanSous-direction de l’anti-terrorisme (Sub Direkturat Anti Terorisme).
Polisi mengetahui identitas Kouachi bersaudara karena mereka kebetulan (?) meninggalkan kartu identitas di Citroen hitam. Sungguh mirip dengan peristiwa 911. Penyelidik mengetahui identitas pengebom Menara Kembar WTC dari paspor yang ditemukan di sela-sela puing-puing bangunan. Gilad Atzmon, penulis Yahudi yang selalu mengkritik Israel pun menulis, “Sejak kapan seorang teroris membawa kartu identitas saat beraksi?”
Namun, tak urung, diskusi publik dipenuhi oleh perdebatan mengenai ‘kebebasan berbicara’. Narasi yang terus diulang: Islam anti kritik dan anti kebebasan, dan lebih suka melawan pena dengan pedang. Sayangnya, narasi itu memang memiliki konteks yang nyata. Citra Islam akhir-akhir ini semakin buram akibat aksi-aksi pemenggalan kepala oleh ISIS. Mereka membunuh –dengan cara terbrutal yang bisa dibayangkan manusia modern—siapa saja yang bukan bagian dari mereka, baik itu Muslim Sunni dan Syiah, Alawi, Kurdi, Kristen, atau Yazidi. Sesama jihadis tetapi berbeda ‘imam’, tak luput dari aksi barbar ISIS. Ini pula agaknya yang dimaksud Charlie Hebdo dalam salah satu kartun satirenya: bahkan Nabi Muhammad pun dipenggal oleh ISIS.
Financial Times, misalnya, dalam editorialnya menulis bahwa pembunuhan terhadap kartunis Charlie Hebdo adalah serangan terhadap kebebasan berbicara.
“Dalam masyarakat yang demokratis, harus ada ruang debat yang beradab tentang selera dan kepatutan ketika berhadapan dengan ejekan terhadap agama apapun. Tetapi, yang tidak bisa dibantah adalah adanya hak mendasar bagi semua warga untuk menyampaikan pendapat secara bebas di bawah hukum. Di zaman yang ditandai dengan meningkatkan kepercayaan agama dan politisasi agama, semua agama harus terbuka pada opini, analisis, dan olok-olok,” tulis FT (7/1).
Menariknya, editorial FT muncul untuk meredakan kritikan tajam atas tulisan editor media tersebut, Tony Barber yang ditayangkan beberapa jam sebelumnya. Barber menulis, “Charlie Hebdo memiliki catatan panjang dalam mengejek, mengumpan, dan menusuk hati kaum Muslim Perancis. Perancis adalah tanah Voltaire, namun terlalu sering kebodohan editorial muncul dalam Charlie Hebdo.”
Barber menekankan pentingnya akal sehat digunakan dalam publikasi seperti Charlie Hebdo dan Jyllands-Posten, yang merasa sedang memperjuangkan kebebasan, namun sebenarnya tengah melakukan ‘kebodohan’.
Tulisan Barber dikritik karena dianggap tidak empati pada Charb dan kawan-kawannya. Versi asli tulisan itu kemudian diedit, dengan menghilangkan dua kata ‘kebodohan’ (foolishness dan stupidity), bahkan frasa ‘land of Voltaire’. Bukankah bila Charlie Hebdo dianggap berhak mengolok-olok apapun, siapapun juga berhak menyebutnya melakukan ‘kebodohan editorial’?
Di sini, kebebasan menjadi kata yang absurd. Siapa yang berhak memiliki kebebasan? O’Flynn (2009) menulis bahwa interpretasi politik terhadap kebebasan selalu bergantung pada ‘poin keuntungan’ yang dilihat dari struktur sosial ekonomi. Bagi kaum ekonomi-liberal, interpretasi kebebasan adalah emansipasi kapital dan kebebasan dalam mengontrol buruh. Sebaliknya bagi kaum buruh, kebebasan adalah terlepas dari penjajahan kapitalis. Bagi Charlie Hebdo, kebebasan adalah mencari uang dengan cara membuat kartun yang mengolok-olok tokoh masyarakat, politik, dan agama-agama, termasuk Islam.
Oplah Hebdo memang semakin naik ketika semakin besar kontroversi yang diraihnya dengan cara mengolok-olok. Kontroversi terbesar tentu saja ketika tabloid ini mengolok-olok kaum Muslim dan Nabi Muhammad. Charlie Hebdo menggambar Nabi Muhammad tengah telanjang, atau tengah berciuman dengan seorang lelaki yang menggunakan kaos bertulis ‘Charlie Hebdo’, atau tengah memegang kepala dan berkata “Sulit sekali dicintai oleh kaum idiot”. Bagi Muslim, itu adalah penghinaan yang sangat menyakitkan hati. Organisasi Islam di Perancis pernah menuntut Charlie Hebdo ke pengadilan, namun kalah.
Bandingkan dengan nasib filsuf Perancis, Roger Garaudy saat menulis bukuLes Mythes fondateurs de la politique israelienne (Mitos-mitos yang mendasari Politik Israel). Karena dianggap mengandung ‘penolakan’ terhadap Holocaust, pengadilan Perancis pada 1998 membredel buku itu, mendenda Garaudy sebesar 240,000 Frank, dan menjatuhinya hukuman penjara (namun ditangguhkan).
Bandingkan dengan nasib Dieudonne M’bala M’bala, komedian Perancis. Pada tahun 2014, pertunjukannya di setidaknya 8 kota telah dilarang oleh aparat Perancis karena dianggap melecehkan kaum Yahudi.
Bandingkan pula dengan nasib aktivis pro-Palestina di Perancis. Negeri Voltaire ini telah menjadi negara pertama di dunia yang resmi melarang aksi demo pro-Palestina. Pada Juli 2014, ditetapkan undang-undang: siapa saja yang hadir dalam aksi demo itu akan terancam hukuman 1 tahun penjara dan denda 15.000 Euro; siapa saja yang datang dengan mengenakan penutup muka, terancam 3 tahun penjara dan denda 45.000 Euro.
Kredo Voltaire soal kebebasan akan selalu absurd jika standar yang digunakan berubah-ubah. Pembunuh redaktur Charlie Hebdo adalah anggota Al Qaida. Di Perancis, aksi mereka disebut serangan terhadap kebebasan berbicara. Namun, kelompok yang sama justru dipandang sebagai “pejuang kebebasan” saat memerangi pemerintahan yang sah di Libya dan Suriah. Perancis adalah salah satu di antara negara-negara Barat yang secara aktif mendukung para “pejuang kebebasan” di Libya dan Suriah melalui diplomasi, pengiriman dana, dan suplai senjata. Di sini, kebebasan dalam kaca mata Perancis adalah tumbangnya rezim yang sulit diajak kompromi soal sumber daya alamnya.
Memang, pena tak boleh dilawan dengan pedang. Kebodohan Charlie Hebdo tak pantas dibalas dengan kebodohan yang lebih besar: membunuh para kartunis. Namun, melindungi penerbitan yang mengolok-olok agama apapun dengan alasan kebebasan berbicara; sementara di saat yang sama membungkam suara-suara yang mengancam kepentingan elit, adalah kemunafikan.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar