Argumen bahwa pencabutan subsidi BBM memang perlu dilakukan, sudah banyak
ditulis. Saya juga pernah menulis
bagaimana Iran yang jauh lebih kaya minyak daripada Indonesia juga
mencabut subsidi BBM-nya (namun prosesnya sangat panjang, rakyat Iran diberi
berbagai fasilitas untuk berpindah ke bahan bakar gas dulu, baru harga bensin
naik).
Pertanyaannya, mengapa sekarang? Mengapa baru sebulan setelah dilantik,
Presiden Jokowi sudah menaikkan harga BBM (apapun istilahnya: pengurangan
subsidi, pengalihan subsidi, dll)? Mengapa tidak dilakukan dulu hal-hal kreatif
untuk menambah pundi-pundi APBN (misalnya, menyingkirkan Mafia Migas
dulu, menghentikan
subsidi bunga obligasi rekap perbankan sisa “warisan” BLBI era
krisis moneter 1997/98 atau melakukan subsidi
silang harga BBM)?
Rizal Ramli menulis, keputusan itu diambil karena tekanan Bank Dunia.
Berita yang dirilis Antara pada
Maret 2014 juga menegaskan bahwa Bank Dunia merekomendasikan kenaikan BBM
Rp2000. Soal Bank Dunia ini yang akan saya tulis secara singkat.
Sebenarnya bukan fakta baru bahwa Indonesia ini berada di bawah tekanan
berbagai lembaga donor. Ketika Anda berhutang banyak, sangat banyak,
pada lembaga-lembaga rente, mau tak mau Anda harus menuruti kemauan mereka.
Jadi, siapapun presidennya, opsi pencabutan subsidi BBM pasti diambil (Prabowo
pun pernah menyatakan dukungan atas pencabutan subsidi BBM dan menyebut subsidi
BBM = membakar uang).
Ada 10 lembaga donor terbesar Indonesia (=lembaga yang memberi hutang
kepada Indonesia), yaitu: Asian Development Bank (jumlah utang: 96T), Bank
Dunia (jumlah utang: 122 T) , Japan International Cooperation Agency (jumlah
utang: 226T), Australian Agency for International Development, Global Fund to
Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria, Agence Française de Développement, United
States Agency for International Development, United Nations, Millennium
Challenge Corp. dan Federal Ministry for Economic Cooperation and Development (data tahun
2012). Total utang pemerintah Indonesia: 123M USD (sekitar 1476T).
Total utang swasta kepada asing: 146M USD (1752T).
Lalu, apa yang disarankan oleh Bank Dunia kepada Indonesia? Sama sekali
tidak mengagetkan, sama saja dengan yang disarankan oleh IMF yang memberikan
‘pertolongan’ kepada Pak Harto saat Indonesia hampir kolaps diterjang krisis
moneter 1998: privatisasi, pencabutan subsidi, deregulasi (demi kenyamanan
investor asing). Bukan cuma Bank Dunia, lembaga-lembaga donor (=renternir)
lainpun punya resep yang senada-seirama dengan IMF.
Mari kita baca dokumen STRATEGI
KEMITRAAN Bank Dunia untuk Indonesia tahun fiskal
2013-2015. Minimalnya, ada lima kalimat yang senada “subsidi BBM menyerap
sebagian besar anggaran yang sebetulnya dapat digunakan bagi infrastruktur dan
perlindungan sosial” (meskipun redaksi tidak persis).
Dalam tabel saya kutip dari dokumen itu, terlihat sekali kemiripan program
Bank Dunia dengan program Jokowi:
Tujuan
Jangka Panjang Indonesia
|
Kendala
|
Kelompok Bank Dunia akan
Berkontribusi pada:
|
Tonggak Pembangunan Indikatif
Jangka Menengah
|
Mode Keterlibatan Kelompok Bank
Dunia
|
Infrastruktur
Meningkatkan taraf dan
efisiensi investasi publik dan swasta dalam infrastruktur untuk memenuhi
kebutuhan dan memperkuat daya saing
|
Kurangnya investasi infrastruktur; tidak mungkin didukung oleh investasi
publik saja
|
-Peningkatan kilometer efektif jalan nasional yang akan dipelihara dan
dibangun-mengurangi hambatan infrastruktur kelistrikan untuk memenuhi
kebutuhan-meningkatkan investasi swasta pada infrastruktur
|
-mengurangi kebutuhan subsidi PLN
-dibentuknya mekanisme dana
pendamping pemerintah [kartu indonesia sehat, dll?]
-setidaknya satu transaksi
Kemitraan Publik Swasta untuk proyek air baku
|
Pembiayaan untuk: Transportasi kawasan timur Indonesia, Proyek perbaikan jalan
kawasan barat Indonesia, pemeliharaan aset jalan, DPL konektivitas,
Pembangunan transmisi I&II, Energi terbarukan untuk Listrik, .. investasi
oleh IFC pada listrik, air, pelabuhan, perkapalan, dan logistik,
telekomunikasi, minyak,dan gasPengetahuan: Kajian Industri Konstruksi
Jalan,Layanan Konsultasi mengenai layanan dan subsidi energi, Dana
Pendamping Pemerintah, dll
|
Secara umum, kelihatannya program-program tersebut baik-baik saja. Tentu
saja, saat ini masih terlalu pagi untuk menilai bagaimana Jokowi melaksanakan
janjinya (bahwa subsidi dialihkan untuk infrastruktur dan peningkatan
kesejahteraan rakyat). Meskipun, berdasarkan track record kinerja
Bank Dunia selama ini (baik di Indonesia maupun di negara Dunia Ketiga
lainnya), bisa diprediksikan bagaimana hasilnya. Anggoro, peneliti dari
Institute of Global Justice (2008) menulis, kerugian yang diderita Indonesia
karena menerima pinjaman dari Bank Dunia antara lain:
- Indonesia kehilangan hasil dari pengilangan minyak dan penambangan mineral (karena diberikan untuk membayar hutang dan karena proses pengilangan dan penambangan itu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan transnational partner Bank Dunia)
- Jebakan hutang yang semakin membesar, karena mayoritas hutang diberikan dengan konsesi pembebasan pajak bagi perusahaan-perusahaan AS dan negara donor lainnya.
- Hutang yang diberikan akhirnya kembali dinikmati negara donor karena Indonesia harus membayar “biaya konsultasi” kepada para pakar asing, yang sebenarnya bisa dilakukan oleh para ahli Indonesia sendiri.
- Hutang juga dipakai untuk membiayai penelitian-penelitian yang tidak bermanfaat bagi Indonesia melalui kerjasama-kerjasama dengan lembaga penelitian dan universitas-universitas.
- Bahkan, sebagian hutang dipakai untuk membangun infrastuktur demi kepentingan perusahaan-perusahaan asing, seperti membangun fasilitas pengeboran di ladang minyak Caltex atau Exxon Mobil. Pembangunan infrastruktur itu dilakukan bukan di bawah kontrol pemerintah Indonesia, tetapi langsung dilakukan oleh Caltex dan Exxon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar