Isu tentang organisasi ISIS menggelinding bak bola salju. Khususnya
di Indonesia, setelah klip video tentang sejumlah pemuda Indonesia di
Suriah, ISIS seperti menjadi hantu yang tampak begitu mengkhawatirkan
NKRI. Tak hanya kalangan Islam, tapi tokoh lintas agama pun membuat
pernyataan penolakan terhadap ISIS.
Sebagai organisasi militer
yang tumbuh dari rahim negara yang dilanda konflik bersenjata, dan
bersifat regional itu, wajar bila ISIS dipandang membawa mimpi buruk
bagi kaum Muslimin di Indonesia dan juga dunia. Kondisi Indonesia yang
jauh dari situasi krisis yang dialami Irak dan Suriah, sudah tentu pola
gerakan bersenjata amat tidak sesuai. Di sinilah, publik perlu
mengerti rangkaian informasi yang akan kita urai dalam tulisan kali ini,
sehingga mereka bisa menyaring informasi dan menentukan sikap.
Selain
itu, bila dirunut, maka sejarah dan sepak terjang organisasi ISIS yang
memiliki latar belakang dan perkembangan dalam konflik senjata di Irak
dan Suriah, mau tidak mau menyangkut konflik komunitas Sunni dan Syiah
di wilayah tersebut. Kita juga tidak ingin template gerakan
ISIS berikut muatan konflik ideologi yang ada di dalamnya, diaplikasikan
pada kehidupan masyarakat Indonesia yang jauh dari kondisi asal muasal
organisasi itu lahir dan tumbuh.
Peta Revolusi Irak menurut Asosiasi Ulama Muslim Irak (AMS)
Irak
sebagai tempat cikal bakal organisasi ISIS, memang diwarnai isu
pertikaian antara Sunni – Syiah di Irak. Di Irak, hingga saat ini masih
berlangsung upaya revolusi yang menghendaki pergantian kepemimpinan
Al-Maliki. Pertengahan Juni 2014 lalu, Mohamed Bashar Al-Faidhi, juru
bicara Asosiasi Ulama Muslim (AMS) di Irak, mengungkapkan situasi di
Irak. Menurutnya, saat ini tengah terjadi revolusi nyata terhadap rezim
ketidakadilan, tirani, penindasan dan perbudakan yang terlalu lama
dilakukan PM Nouri Al -Maliki terhadap Muslim Sunni di Irak.
Dalam
pernyataan AMS, Al-Faidhi mengatakan ada empat kekuatan pendorong
revolusi Irak saat ini; Pertama, kelompok suku revolusioner sebagai
kekuatan independen, dimotivasi oleh penolakan terhadap ketidakadilan
yang menimpa mereka oleh rezim Al-Maliki sehingga mereka bergabung dalam
arus revolusi. Kelompok revolusioner kedua adalah faksi utama
perlawanan Irak, seperti “Rasyidin Army”, “Tab’een Army”, “Al-Ishreen
Revolusioner” dan lain-lainnya. Mereka menolak pendudukan AS di Irak.
Setelah pasukan AS pergi, mereka menghentikan semua aksi militernya
karena khawatir membunuh sesama bangsa Irak, dan berusaha mencari solusi
tanpa perang. Namun, kelompok-kelompok ini akhirnya kembali angkat
senjata ketika melihat bahwa Al-Maliki tidak bekerja untuk agenda Irak,
melainkan digerakkan oleh kekuatan asing. Kelompok ini dianggap sebagai
faksi terbesar dalam revolusi Irak.
Kelompok ketiga adalah dewan
militer revolusi Irak yang didirikan di Anbar, dan menjadi aktor
revolusi di beberapa provinsi Irak. Banyak perwira independen yang
sebelumnya bertugas di militer Irak sekarang aktif dengan kelompok ini.
Sedangkan
kelompok keempat, menurut Al-Faidhi adalah organisasi yang disebut
Negara Islam di Suriah dan Irak (ISIS), yang muncul di Pertempuran
Mosul. ISIS, tambahnya, sebenarnya tidak terlalu besar, melainkan hanya
sekitar 500-an orang dan 100-an kendaraan. Tapi media begitu
membesar-besarkan kekuatan ISIS, dan menunjukkan seolah-olah itu pemain
tunggal atau utama dalam proses revolusi di Irak.
Cikal Bakal Gerakan ISIS
Pasca
meninggalnya Saddam Husein, gerakan yang menamakan dirinya “Daulah
Islamiyah” berdiri. Gerakan ini tak bisa dilepaskan dari gerakan Tauhid wa Al-Jihad
yang dipimpin oleh Abu Mos’ab Az Zarqawi, dan terindikasi kuat banyak
terlibat dalam aksi penculikan dan pembunuhan di Irak sejak invasi AS
tahun 2003. Mereka juga menargetkan kalangan Syi’ah Irak dalam aksinya.
Mereka mempunyai alasan, karena kelompok Syi’ah radikal juga terlibat
dalam pembersihan kaum Sunni di Irak.
Abu Mos'ab Az Zarqawi |
Konflik
Sunni-Syiah sulit dihindari dalam konteks krisis Irak. Meski motif apa
di belakang konflik berdarah itu pun perlu diurai dan didalami secara
objektif. Sebab dalam situasi serba tak menentu, sangat banyak kelompok
yang bermain di belakang perselisihan yang ada di lapangan, khususnya
dalam konteks ini adalah konflik Sunni-Syiah di Irak.
Di pertengahan September 2005,
Az Zarqawi mendeklarasikan apa yang dinamakan “Operasi perang
menyeluruh terhadap kaum Syiah Rafidhah” di Irak. Aksi ini dinyatakan
setelah rangkaian peristiwa ledakan di wilayah tempat tinggal mayoritas
Syiah dan menyebabkan ratusan orang meninggal berikut yang terluka.
Tahun 2006,
Az Zarqawi menyatakan sumpah setianya kepada Osama bin Laden untuk
menjadikan nama organisasinya dari Tauhid wa Al-Jihad, menjadi
Organisasi “Al-Qaeda fi Bilad Ar Rafidin” (Al-Qaeda di Mesopotamia).
Tak
lama setelah perubahan itu, Az Zarqawi tewas di akhir tahun 2006.
Kepemimpinan organisasi berpindah ke pada orang yang bernama Abu Hamza
al-Mohajir. Ketika itulah dibentuk nama baru yang disebut, Ad Daulah Al Islamiyah fi Al-Iraq dipimpin oleh Abu Omar al-Baghdadi.
Abu Omar Al-Baghdadi akhirnya juga tewas di bulan April 2010.
Dan sejak itulah Abu Bakar Al-Baghdadi memegang tampuk pimpinan
organisasi Ad-Daulah Al-Islamiyah fi Al-Iraq, atau Negara Islam di Irak,
yang kerap disingkat menjadi ISI (Islamic State in Iraq)
April 2013, organisasi di bawah pimpinan Abu Bakar Al-Baghdadi memperluas pengaruhnya di Suriah dan membuat organisasi baru bernama “Ad Daulah Al Islamiyah fi Al-Iraq wa Asy Syam” yang sekarang disebut dengan ISIS. Awalnya, organisasi “Jabhah Nushra”
yang lebih dulu ada di Suriah bergabung dalam payung organisasi besar
ini. Tapi kemudian pimpinan Jabha Nushra, Abu Mohammed Al Gaulani
menolak penggabungan itu. Ia lebih cenderung menyatakan diri tetap
berada di bawah organisasi Al-Qaeda di bawah kepemimpinan Az Zawahiri.
Kehadiran
elemen ISIS di Suriah mengubah pola perlawanan menghadapi rezim Bashar
Al-Assad dan berhasil melemahkan pasukan pemerintah Suriah. Majalah Times
menyebut bahwa sejak kepemimpinan ISIS diemban oleh Al-Baghdadi, tahun
2010, perkiraan jumlah pasukan ISIS dari 800 meningkat hingga 1000 orang
pada tahun 2010, kemudian menjadi 2.500 pada tahun 2012, dan di tahun
2013 berkisar antara 7000 hingga 10.000 orang.
Bulan Mei 2013,
Az Zawahiri meminta agar ISIS lebih fokus di Irak dengan tetap di bawah
kepemimpinan Al-Baghdadi. Sementara Jabha Nusra tetap fokus di Suriah
di bawah kepemimpinan Al-Gaulani. Permintaan ini ditolak oleh Abu Bakar
Al-Baghdadi, bahkan Az Zawahiri dituduh melakukan penyimpangan dari
garis perjuangan.
Januari 2014
yang lalu, ISIS mengeluarkan keterangan berisi pengkafiran pasukan
pembebasan Suriah. ISIS juga mengancam akan membawa pasukannya di Irak
ke Suriah dan melakukan operasi militer bernama “Nafyu Al-Khabits” atau Pembersihan kotoran, yang targetnya adalah pasukan oposisi pembebasan Suriah.
Di akhir bulan Februari 2014,
ISIS dituduh membunuh tokoh Al Qaeda Abu Khaled As Suri yang berusaha
menjadi penengah antara ISIS dan Jabha Nushra, yang kemudian ditolak
oleh ISIS.
Tanggal 8 April 2014, perselisihan
antara ISIS dan Al Qaeda makin mencuat. Jubir ISIS Abo Mohammed
Al-Adnani, menyerang pimpinan Al Qaeda Ayman Az Zawahiri dengan tuduhan
menyimpang dari metode jihad dan memecah belah barisan. Al-Adnani juga
menyerukan berbagai kelompok lain agar mendukung sikapnya yang
menentang Al-Qaeda.
Sepak Terjang ISI, ISIL, hingga “Khilafah Islamiyah ala ISIS”
Sejak tahun 2006,
ISI menjadi organisasi bersenjata terkuat di Irak. Pasukan ISI
menguasai wilayah yang cukup luas di Irak. Akan tetapi kemunculan ISI
bukan tanpa halangan, sebab mereka juga harus berhadapan dengan kelompok
lain dari Irak, yakni “Majales Shahawat”. Kelompok ini merupakan aksi
gabungan dari para kabilah Irak yang menentang kekerasan.
Pada tanggal 10 Juni 2013,
pasukan ISIS mulai mengorganisir sejumlah kelompok bersenjata dan
melakukan serangan hingga menguasai kota Mosul, dan sebagian besar
provinsi Nineveh, di samping kota Tikrit di provinsi Salahuddin, Irak,
serta sebagian provinsi Diyala.
Tanggal 13 Juni 2013,
ISIS juga diduga kuat melakukan aksi serangan ke penjara Abu Ghraib dan
Al Hout, di pinggiran Baghdad yang kemudian membebaskan ratusan
tahanan. Mereka melakukan aksi ini dalam operasi yang disebut “Hadmu Al Aswar” atau “Pembongkaran Dinding.”
Tanggal 6 Agustus 2013,
ISIS dituding terlibat dalam aksi bom mobil yang meledak di gedung
Kementerian Kehakiman, hingga menyebabkan kematian 25 orang.
29 September 2013,
ISIS menyerang markas besar Keamanan Umum “Assayesh” kota Erbil
(ibukota wilayah Kurdistan Irak) dengan bom mobil dan bom manusia.
Desember 2013,
bersama sejumlah suku militan, ISIS berhasil mengendalikan sebagian
dari kota Ramadi di Irak barat, dan menguasai kota Fallujah secara
keseluruhan.
Di Suriah, ISIS mampu mencapai prestasi militer yang
signifikan dan mampu menguasai semua provinsi Riqqa dan sebagian Deir
al-Zour yang berbatasan dengan Irak. Mereka juga mampu merebut kota
Riqqa setelah mengusir sisa pasukan faksi oposisi Suriah dari wilayah
tersebut. Namun demikian, ISIS kalah dan terusir dari kota Aleppo dan
sekitarnya.
5 Agustus 2013, ISIS
menguasai bandara militer Meng yang terletak di utara Suriah, setelah
menghancurkan bangunan utama bandara dengan bunuh diri.
Awal Januari 2014,
ISIS akhirnya berhasil mengambil alih kontrol kota Ezzaz yang
berdekatan dengan perbatasan Suriah dan Turki, dengan mengalahkan
organisasi “Asefat Shemal” (Badai Utara) yang merupakan salah satu faksi
Tentara Pembebasan Suriah.
Pusat keamanan di Tikrit yang hancur pasca serangan pasukan ISIS, Juli 2014. (Associated Press) |
Belakangan,
setelah ISIS menguasai kota Mosul, secara otomatis mereka telah
menghilangkan hambatan di perbatasan Irak dengan Suriah. Mereka lalu
terus memperluas penguasaannya daerah pedesaan utara dari kota Deir
al-Zour dan akses ke kota Shaddadi.
Pada 29 Juni 2014
mengumumkan pembentukan organisasi baru yang mereka namakan “Khilafah
Islamiyah”, sekaligus mendeklarasikan Abu Bakar al-Baghdadi yang diklaim
sebagai Khalifahnya dan meminta pembai’atan dari semua umat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar