Apa beda AS dan Indonesia? Membaca tulisan berikut ini (saya adaptasi dari tulisan Gonzalo Lira), kita akan melihat bahwa hampir tak ada bedanya. Rakyat Sidoarjo jadi korban lumpur Lapindo. Uang rakyat Indonesia dipakai untuk membail-out Century karena ada ancaman ‘dampak sistemik’. Rakyat Louisianna –yang jaraknya ratusan mil dari Teluk Meksiko- kini harus mencium bau sengak tumpahan minyak British Petroleum (terbayang, bau seperti apa yang diderita orang-orang yang lebih dekat lagi dengan teluk itu). Uang pajak mereka juga habis-habisan dipakai untuk membail-out bank-bank yang bankrut karena salah urus (alasannya juga sama: kalau tak dibail-out bisa ada dampak sistemik!). Presiden Obama tak berdaya (hanya bisa main ancam) di depan BP, karena BP-lah salah satu penyumbang dana kampanyenya. Presiden Indonesia di hadapan Ical Bakrie? Ehm, tau sendirilah.
Tumpahan lumpur Lapindo Brantas |
Jadi, rakyat biasa di AS dan rakyat biasa di Indonesia, sama-sama menjadi korban liberalisme, korban sistem yang memberi kebebasan kepada para pemilik uang untuk berbuat semaunya. Gonzalo Lira memang tidak menyebutnya ‘liberalisme’, tapi ‘anarkhi korporasi’. Namun, sesungguhnya, esensinya sama saja, yaitu pada paradigma liberal, bahwa pelaku ekonomi harus dibiarkan bebas. Oh ya, ya, tentu saja ada aturan, regulasi. Tapi kalau aturan dibuat oleh mereka-mereka juga, bisa ditebak kan bagaimana bentuk aturannya? Dan mari kita kenal satu istilah busuk: kartel politik-bisnis, dimana pebisnis dan segelintir pengusaha besar saling bekerjasama untuk menguatkan posisi masing-masing.
Masihkah kita patut berargumen: sistem apapun baik, asal yang menjalankannya baik dan tidak korup?
Atau, patutkah kita menyanggah orang-orang yang bukan ahli ekonomi tapi mengkritik liberalisme ekonomi dengan perkataan, “Kalau enggak ngerti ekonomi, gak usah ikut-ikutan ngomong deh!”
Ekonomi liberalisme mengganggu nasib saya Bung! Harga-harga kebutuhan rumah tangga, biaya pendidikan anak, transportasi, listrik, telpon, air, melonjak tinggi karena harus disesuaikan dengan pasar bebas. Dan saya dilarang bicara soal paradigma ekonomi?! Duh!
–
Era Anarkhi Korporasi
(diadaptasi dari tulisan Gonzalo Lira oleh Dina Y. Sulaeman)
Di tengah-tengah krisis tumpahan minyak BP (British Petroleum), President Obama berpidato di Gedung Putih, bicara soal “clean energy” dan “menghentikan ketergantungan pada energi fosil”. Menghadapi tumpahan minyak BP, yang sepertinya merupakan bencana lingkungan terbesar sepanjang sejarah, inilah respon President Obama: kemarahan yang sopan dan rencana samar-samar berbunyi “get tough”, “set aside just compensation” and “do something”.
President Obama melewatkan apa sesungguhnya di balik bencana tumpahan minyak BP. Memang, BP adalah bencana lingkungan, namun dimensinya jauh lebih luas lagi. Bencana BP adalah bencana yang sama seperti krisis finansial. Keduanya adalah dua bukti bahwa hari ini kita hidup di era anarkhi korporasi.
Dalam era anarkhi korporasi, korporasi tidak perlu mematuhi aturan apapun, sama sekali. Karena, aturan yang menghalang akan diupayakan dengan segala cara (termasuk suap bila perlu) supaya bisa direvisi oleh parlemen dan pemerintah. Aturan legal, moral, etika, bahkan keuangan sama sekali tidak relevan bagi korporasi. Semua aturan itu telah dibatalkan demi profit. Satu-satunya yang perlu dipertimbangkan adalah profit. Nothing else matters.
Sebagai hasilnya, korporasi saat ini hidup dalam kondisi yang benar-benar anarkhi, tetapi anarkhi yang bergantung pada ukuran tiap korporasi itu. Semakin besar sebuah korporasi, semakin besar kebebasan yang dimilikinya, untuk berbuat semaunya. Akibatnya, banyak korporasi kelas kecil dan menengah yang akhirnya terlindas karena tak sanggup bersaing dengan korporasi raksasasa.
Korporasi-korporasi raksasa itu selain bebas berbuat semaunya, juga berhasil meyakinkan pemerintah dan rakyat di berbagai negara bahwa ‘mereka terlalu besar untuk jatuh’ (Too Big To Fail). Kalau mereka sampai bangkrut, dunia akan mengalami bencana besar (atau seperti kata SMI dan Budiono : berdampak sistemik). Karena itu, jika mereka bangkrut, mereka harus diselamatkan oleh negara (=dibail-out), tanpa argumen (kalau kata SBY: itu namanya ‘kebijakan’), tanpa pinalti, dan tanpa reformasi.
Mari kita lihat apa yang terjadi pada BP: perusahaan ini melakukan kesalahan dalam ekspolrasi minyak di lepas pantai Teluk Meksiko sehingga terjadi tumpahan minyak ke lautan. Seharusnya, ada agen-agen pemerintah yang bertanggung jawab mengawasi eksplorasi BP, namun semua agen pengawas itu tunduk kepada BP sebelum terjadinya kecelakaan itu. Sebagai salah satu korporasi terbesar di dunia, BP beroperasi hampir tanpa pengawasan pemerintah. Dan mereka dibiarkan saja melakukan eksplorasi yang beresiko. Begitu terjadi kebocoran dan tumpahan minyak, BP menolak mengambil jalan keluar yang seharusnya diambil, yaitu ‘menutup sumur minyak’ (top kill of the well), dan malah mengambil pilihan ‘membuat sumur pelepasan’ (relief well). Alasan BP simpel saja : kalau sumur minyak itu ditutup, mereka akan rugi besar. Investasi raksasas sudah terlanjur digelontorkan. Akhirnya, setelah strategi ‘relief well’ gagal, barulah diambil pilihan menutup sumur itu. Tapi, sudah terlambat. Tumpahan minyak terus menyembur, menghitamkan Teluk Meksiko.
Dimana pemerintah? Di mana pihak yang seharusnya mengawasi BP? Faktanya, tidak ada yang mengawasi. Parahnya, BP pun sepenuhnya menyadari, kalau mereka tidak mampu mengatasi bencana itu, mereka dengan mudah akan menyerahkan urusan kepada pemerintah AS. Benar saja, urusan BP selesai hanya dengan pertemuan beberapa jam dengan Obama : BP diharuskan membayar kompensasi 20M dollar yang akan dibayarkan dalam dua tahun ke depan.
Sounds familiar, huh? Mirip-mirip seperti kejadian di Lapindo?
Kasus ini sama seperti krisis finansial 2008. Bank-bank di Eropa dan AS dibiarkan ‘mengatur dirinya sendiri’ (self-regulate) dan membiarkan pasar bebas ‘menemukan jalannya sendiri’. Toh, seperti kata Adam Smith, ada ”Tangan Tuhan” yang akan mengatur pasar bebas. Kartu akses bebas ini dipakai bank-bank untuk mengeruk uang seenak mereka sendiri. Setelah mereka bangkrut karena kesalahan sendiri, pemerintah AS dan negara-negara Eropa beramai-ramai mem-bailout, dengan uang yang dikumpulkan dari pajak rakyatnya dengan alasan ‘too big too fail’ (=berdampak sistemik).
Dan gaya ini pula yang ditiru Indonesia : 6,7 T digelontorkan untuk membailout Century, dengan alasan berdampak sistemik. Para pengambil keputusan bail-out dibiarkan bebas, bahkan ada yang naik jabatan jadi petinggi bank lebih besar lagi, yang memang kerjanya memeras uang rakyat di seluruh dunia. DPR pun, setali tiga uang, setelah teriak-teriak mengumumkan kesalahan keputusan bail-out, sekarang tenang-tenang saja karena arah angin berubah. Sungguh, tak jauh beda dengan parlemen AS di hadapan bencana BP. Kemana para senator pembela lingkungan hidup yang selama ini berteriak menekan negara-negara berkembang supaya menjaga hutannya?
Inilah era anarkhi korporasi. Korporasi dibiarkan mengeruk uang sebanyak-banyaknya, bahkan dengan mengorbankan milyaran manusia di muka bumi. Dan manusia-manusia tertindas hingga saat ini belum mampu berbuat apa-apa, karena pemimpin mereka sudah dibeli oleh korporasi. Mereka bahkan sudah dibeli sejak jauh-jauh hari, sejak mereka masih menuntut ilmu. Paradigma mereka sudah dibentuk seperti patung besi, tak tergoyahkan oleh apapun. Dan merekalah yang terus mengumandangkan mantra ‘liberalisme adalah penyelamat dunia’ dan menjadi pelaksana setia kehendak korporasi-korporasi yang tak pernah bisa dikenyangkan.
Memang orang-orang jaman sekarang sangat meterialistis.
BalasHapusMereka merasa itu uang lebih penting dari segalanya sehingga terjadilah semua bencana ini.
Salam....
hidup adalah PERJUANGAN
Bahagia selamanya
Lemahnya sistem ekonomi kapitalis