PERKEMBANGAN Timur Tengah terus memperlihatkan kemunduran strategis bagi pengaruh AS dan sekutunya. Invasi AS dan Barat ke Afghanistan hingga detik ini tidak menunjukkan sebuah keuntungan strategis dalam jangka pendek, menengah maupun panjang. Bahkan, dalam jangka pendek, invasi ini terbukti berbuah nestapa kemanusiaan yang mengerikan.
Invasi militer AS dan sekutunya ke Irak juga tidak membuahkan hasil-hasil sebagaimana yang semula direncanakan. Setelah mundur dari Irak, AS dan sekutunya kini terpaksa berhadapan dengan realpolitik Irak yang menjauh dari orbit AS dan mendekat ke orbit Iran. Irak di bawah pimpinan PM Nouri Al-Maliki telah menunjukkan realitas itu secara tegas dalam menyikapi situasi Suriah dan konfrontasi langsung Irak dengan negara-negara Arab Teluk seperti Arab Saudi dan Qatar.
Iran dan Hizbullah juga tidak menunjukkan tanda-tanda kemerosotan. Malah Iran mampu memperkuat posisi politiknya di tingkat regional dan global. KTT Non-Blok menunjukkan solidaritas internasional terhadap Iran dan program nuklir damainya. Keberhasilan diplomatik Iran ini menunjukkan bahwa AS dan sekutunya gagal mengisolasi Iran apalagi mematahkan tulang punggungnya.
Dengan demikian, angin Timur Tengah bergerak ke arah yang tak diinginkan AS dan sekutunya. Kartu-kartu penting AS mulai berjatuhan. Musim semi Arab tampaknya juga dapat dengan mudah berubah menjadi musim gugur hegemoni AS di Timur Tengah. AS dan sekutunya masuk dalam labirin yang berujung.
AS dan sekutunya sekarang punya satu kartu yang tersisa, yakni isu sektarian, terutama konflik Sunni-Syiah. Bila konflik ini berlanjut, maka arah perubahan di Timur Tengah bakal memasuki situasi chaos yang tidak berujung. Dalam chaos itu AS dan sekutunya merasa mampu keluar dari kepulan asap pertarungan dengan kemenangan, meski bersifat imajiner.
Pertanyaannya, bagaimana AS dan sekutunya hendak memainkan taktik busuk isu sektarian ini? Beberapa tahun lampau, dalam upaya meredam perlawanan bersenjata rakyat Irak terhadap pasukan invasi, AS dan sekutu mengobarkan sentimen-sentimen sektarian antara Sunni dan Syiah. Akan tetapi, berkat kearifan para pemimpin masing-masing mazhab di Irak, konflik itu berhasil diredam dan dinetralisasi.
Kegagalan di Irak tampaknya tidak membuat AS dan sekutunya kehilangan asa dalam mengobarkan konflik sektarian di Timur Tengah. Suriah adalah lahan baru untuk menyuburkan konflik ini. Bila konflik sektarian kembali gagal di Suriah, maka tampaknya nasib hegemoni AS bakal menemui ajalnya tak lama lagi. Redupnya hegemoni AS di Timteng tentu akan diikuti dengan buyarnya pengaruh negara-negara Arab dan Israel yang selama ini berpusar di orbit ini. Itulah mengapa negara-negara Arab dan Israel yang beredar dalam orbit AS ini begitu antusiastik menghembuskan sektarianisme di Suriah dan bahkan di seluruh dunia Islam. Ini bukan lantaran militansi religius atau ketaatan kepada Allah dan Rasul, melainkan semata-mata demi menjaga kekuasaan yang terus meluruh.
Invasi militer AS dan sekutunya ke Irak juga tidak membuahkan hasil-hasil sebagaimana yang semula direncanakan. Setelah mundur dari Irak, AS dan sekutunya kini terpaksa berhadapan dengan realpolitik Irak yang menjauh dari orbit AS dan mendekat ke orbit Iran. Irak di bawah pimpinan PM Nouri Al-Maliki telah menunjukkan realitas itu secara tegas dalam menyikapi situasi Suriah dan konfrontasi langsung Irak dengan negara-negara Arab Teluk seperti Arab Saudi dan Qatar.
Iran dan Hizbullah juga tidak menunjukkan tanda-tanda kemerosotan. Malah Iran mampu memperkuat posisi politiknya di tingkat regional dan global. KTT Non-Blok menunjukkan solidaritas internasional terhadap Iran dan program nuklir damainya. Keberhasilan diplomatik Iran ini menunjukkan bahwa AS dan sekutunya gagal mengisolasi Iran apalagi mematahkan tulang punggungnya.
Dengan demikian, angin Timur Tengah bergerak ke arah yang tak diinginkan AS dan sekutunya. Kartu-kartu penting AS mulai berjatuhan. Musim semi Arab tampaknya juga dapat dengan mudah berubah menjadi musim gugur hegemoni AS di Timur Tengah. AS dan sekutunya masuk dalam labirin yang berujung.
AS dan sekutunya sekarang punya satu kartu yang tersisa, yakni isu sektarian, terutama konflik Sunni-Syiah. Bila konflik ini berlanjut, maka arah perubahan di Timur Tengah bakal memasuki situasi chaos yang tidak berujung. Dalam chaos itu AS dan sekutunya merasa mampu keluar dari kepulan asap pertarungan dengan kemenangan, meski bersifat imajiner.
Pertanyaannya, bagaimana AS dan sekutunya hendak memainkan taktik busuk isu sektarian ini? Beberapa tahun lampau, dalam upaya meredam perlawanan bersenjata rakyat Irak terhadap pasukan invasi, AS dan sekutu mengobarkan sentimen-sentimen sektarian antara Sunni dan Syiah. Akan tetapi, berkat kearifan para pemimpin masing-masing mazhab di Irak, konflik itu berhasil diredam dan dinetralisasi.
Kegagalan di Irak tampaknya tidak membuat AS dan sekutunya kehilangan asa dalam mengobarkan konflik sektarian di Timur Tengah. Suriah adalah lahan baru untuk menyuburkan konflik ini. Bila konflik sektarian kembali gagal di Suriah, maka tampaknya nasib hegemoni AS bakal menemui ajalnya tak lama lagi. Redupnya hegemoni AS di Timteng tentu akan diikuti dengan buyarnya pengaruh negara-negara Arab dan Israel yang selama ini berpusar di orbit ini. Itulah mengapa negara-negara Arab dan Israel yang beredar dalam orbit AS ini begitu antusiastik menghembuskan sektarianisme di Suriah dan bahkan di seluruh dunia Islam. Ini bukan lantaran militansi religius atau ketaatan kepada Allah dan Rasul, melainkan semata-mata demi menjaga kekuasaan yang terus meluruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar