Hutang minyak negara dibayar dengan bom Sebelum membahas motif utama sebagai pokok topik
artikel ini, sebaiknya menengok kembali surat Hugo Chaves, Presiden
Venezuela kala itu kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
sebagaimana dikutip oleh Lizzie Phelan, 2011. Ya. Suratnya dikirim di
tengah-tengah bombardier NATO terhadap Libya dengan berbekal Resolusi
PBB Nomor 1973 tentang Zona Larangan Terbang (No Fly Zone). Ia menulis:
"Ada ancaman yang sangat serius terhadap perdamaian dunia. Sebuah seri
baru perang kolonial yang dimulai di Libya dengan tujuan jahat untuk
memulihkan sistem kapitalisme global".
Hasil diskusi terbatas di GFI, Jakarta, tentang esensi surat Chavez ke Majelis Umum PBB seperti dicuplik oleh Phelan, diperoleh dua pointres. Pertama, bahwa sistem dan ideologi kapitalis kini di ujung kebangkrutan; kedua, ada modus-modus baru dalam metode kolonial di muka bumi. Dan agaknya, kedua isyarat tadi saling bertaut, berkait serta ada sebab dan akibat tak terpisah. Lalu, dimana letak keterkaitan kedua isyarat dimaksud?
Hasil diskusi terbatas di GFI, Jakarta, tentang esensi surat Chavez ke Majelis Umum PBB seperti dicuplik oleh Phelan, diperoleh dua pointres. Pertama, bahwa sistem dan ideologi kapitalis kini di ujung kebangkrutan; kedua, ada modus-modus baru dalam metode kolonial di muka bumi. Dan agaknya, kedua isyarat tadi saling bertaut, berkait serta ada sebab dan akibat tak terpisah. Lalu, dimana letak keterkaitan kedua isyarat dimaksud?
Sinyalemen Chaves bukannya mengada-ada. Betapa badai krisis ekonomi dan
finansial seperti enggan berhenti menyapu negeri Paman Sam, selain ia
sebagai titik inti serta awal krisis ekonomi global, termasuk
negara-negara penyanggahnya. Efek domino tidak dapat dielak terutama
jajaran Uni Eropa (EU). Tidak hanya ekonomi dan finansial, aspek lain
seperti sosial, politik, moral dan lainnya pun diterjang. Banyak
penembakan-penembakan massal di tempat umum, bahkan di pangkalan
Angkatan Laut di Washington yang nota bene merupakan ksatrian militer
bisa terjadi penembakan-penembakan. Ada badai, topan, serta banjir yang
tak kunjung reda melanda. Bank-bank dan tidak sedikit lembaga sejenisnya
gulung tikar. Ya. Sekitar 90-an bank dinyatakan ambruk. Beberapa negara
bagian sepertinya mengambil sikap hendak memisahkan diri. Bahkan pusat
otomotif di AS sekelas Detroit pun akhirnya colaps. Tak pelak,
penganguran meningkat, unjuk rasa kian meraja lela menggugat kinerja
kapitalis.
Perlu dicatat, substansi gerakan Occupy Wall Street, Occupy Melbern, dan gerakan sejenisnya yang sempat marak kemarin di banyak negara, intinya memprotes dominasi segelintir elit (1%) super kaya raya, sedang sisanya (99%) biasa-biasa bahkan banyak yang terlunta-lunta. Tata Dunia yang diawaki kapitalis sebagai ideologi unggulan pasca Perang Dingin, sepertinya tengah berdiri di ujung kehancuran.
Prof Dr Beat Bernet (21/11), pakar ekonomi Universitas Saint Gallen, Swiss, berani menyatakan bahwa dampak krisis finansial dan ekonomi EU adalah runtuhnya lembaga tersebut. Pasca krisis bank-bank dan lembaga finansial, niscaya akan memunculkan krisis politik. Dan UE di masa mendatang tidak akan bertahan dalam bentuk yang kita kenal saat ini (alias bubar). Hey, benarkah UE bakal bubar?
Ia menambahkan, hingga kini tidak ada indikasi akan ada pemulihan kondisi di Eropa bahkan sampai beberapa bulan mendatang. Indikasi yang ada justru menunjukkan sebaliknya. Menurutnya, program penghematan dan kenaikan pajak diperkirakan akan menyulut instabilitas sosial di negara-negara UE. Bahkan akan muncul kekuatan baru yang bakal mengubahnya. Sejak dibentuk hingga kini, UE belum pernah menghadapi krisis separah dan seluas saat ini. Krisis finansial dan ekonomi itu disebut bak bola salju tak terbendung. Bukan hanya sekedar krisis nilai tukar euro saja, melainkan juga akar-akar krisis tersebut begitu dalam, termasuk di antaranya masalah struktur, penurunan kekuatan bersaing dan melemahnya kekuatan finansial anggota UE.
Dosen ekonomi Eropa itu menekankan, kondisi saat ini sangat berbahaya dan dimensinya lebih luas dari yang diumumkan secara resmi. Saya tidak yakin krisis ini dapat diselesaikan dengan "payung penalang" atau dana-dana bantuan, kata Bernet. “Solusi yang dibicarakan hanya mampu menutupi permukaan masalah saja, oleh karena dasar krisisnya sangat dalam. Negara-negara yang mengeluarkan dana penyelamatan ekonomi hanya mengulur-ulur waktu. Pada hakikatnya, mata uang euro kini sudah sampai di ujung usianya”, jelas Bernet. Pertanyaan timbul, bagaimana dengan negara inti dan awal (sumber) krisis dalam hal ini AS itu sendiri? Sedangkan efek domino begitu mengerikan sebagaimana dipaparkan oleh Bernet.
Betapa ironi. Di tengah krisis multi dimensional tak kunjung usai, Paman Sam justru menyebar militernya di berbagai belahan dunia dengan aneka dalih. Ada paradoks skenario saling bertolak belakang. Di satu sisi, rakyat AS dan sekutu ingin segera ada langkah-langkah nyata perbaikan ekonomi dan penarikan seluruh pasukan, namun di sisi lain, para elit penguasa menebar teror melalui penyebaran pasukan di berbagai belahan dunia. Agaknya inilah isyarat Chaves sesuai esensi suratnya ke PBB, bahwa AS dan sekutunya hendak menggunakan “seri baru” perang kolonial guna memulihkan sistem kapitalisme yang terseok-seok menuju kehancuran. Dan jika merujuk surat Chaves, tampaknya seri baru perang kolonial tersebut telah dimulai di Libya. Apakah itu?
Perlu dicatat, substansi gerakan Occupy Wall Street, Occupy Melbern, dan gerakan sejenisnya yang sempat marak kemarin di banyak negara, intinya memprotes dominasi segelintir elit (1%) super kaya raya, sedang sisanya (99%) biasa-biasa bahkan banyak yang terlunta-lunta. Tata Dunia yang diawaki kapitalis sebagai ideologi unggulan pasca Perang Dingin, sepertinya tengah berdiri di ujung kehancuran.
Prof Dr Beat Bernet (21/11), pakar ekonomi Universitas Saint Gallen, Swiss, berani menyatakan bahwa dampak krisis finansial dan ekonomi EU adalah runtuhnya lembaga tersebut. Pasca krisis bank-bank dan lembaga finansial, niscaya akan memunculkan krisis politik. Dan UE di masa mendatang tidak akan bertahan dalam bentuk yang kita kenal saat ini (alias bubar). Hey, benarkah UE bakal bubar?
Ia menambahkan, hingga kini tidak ada indikasi akan ada pemulihan kondisi di Eropa bahkan sampai beberapa bulan mendatang. Indikasi yang ada justru menunjukkan sebaliknya. Menurutnya, program penghematan dan kenaikan pajak diperkirakan akan menyulut instabilitas sosial di negara-negara UE. Bahkan akan muncul kekuatan baru yang bakal mengubahnya. Sejak dibentuk hingga kini, UE belum pernah menghadapi krisis separah dan seluas saat ini. Krisis finansial dan ekonomi itu disebut bak bola salju tak terbendung. Bukan hanya sekedar krisis nilai tukar euro saja, melainkan juga akar-akar krisis tersebut begitu dalam, termasuk di antaranya masalah struktur, penurunan kekuatan bersaing dan melemahnya kekuatan finansial anggota UE.
Dosen ekonomi Eropa itu menekankan, kondisi saat ini sangat berbahaya dan dimensinya lebih luas dari yang diumumkan secara resmi. Saya tidak yakin krisis ini dapat diselesaikan dengan "payung penalang" atau dana-dana bantuan, kata Bernet. “Solusi yang dibicarakan hanya mampu menutupi permukaan masalah saja, oleh karena dasar krisisnya sangat dalam. Negara-negara yang mengeluarkan dana penyelamatan ekonomi hanya mengulur-ulur waktu. Pada hakikatnya, mata uang euro kini sudah sampai di ujung usianya”, jelas Bernet. Pertanyaan timbul, bagaimana dengan negara inti dan awal (sumber) krisis dalam hal ini AS itu sendiri? Sedangkan efek domino begitu mengerikan sebagaimana dipaparkan oleh Bernet.
Betapa ironi. Di tengah krisis multi dimensional tak kunjung usai, Paman Sam justru menyebar militernya di berbagai belahan dunia dengan aneka dalih. Ada paradoks skenario saling bertolak belakang. Di satu sisi, rakyat AS dan sekutu ingin segera ada langkah-langkah nyata perbaikan ekonomi dan penarikan seluruh pasukan, namun di sisi lain, para elit penguasa menebar teror melalui penyebaran pasukan di berbagai belahan dunia. Agaknya inilah isyarat Chaves sesuai esensi suratnya ke PBB, bahwa AS dan sekutunya hendak menggunakan “seri baru” perang kolonial guna memulihkan sistem kapitalisme yang terseok-seok menuju kehancuran. Dan jika merujuk surat Chaves, tampaknya seri baru perang kolonial tersebut telah dimulai di Libya. Apakah itu?
Kembali pada poin diskusi terbatas di GFI, pimpinan Hendrajit,
sekurang-kurangnya telah diendus pola atau metode (seri baru) penjajahan
yang hendak ditebar oleh AS dan sekutu di muka bumi, dan salah satunya
adalah modus ‘utang dibayar bom’. Ya. Utang dibayar bom! Maka merujuk
suratnya Chaves tentang seri baru perang kolonial berpola ‘utang dibayar
bom’ telah diawali oleh Barat ketika mereka menyerbu Libya. Inilah
kronologis secara sederhana.
Tak bisa tidak. Keberanian Gaddafi mencetak uang emas/dinar disinyalir merupakan titik awal. Ia menyatakan bahwa sistem transaksi minyak Libya harus menggunakan dinar, bukan uang kertas (US Dollar) seperti biasanya. Hal tersebut membuat AS dan UE geram sebab mereka berutang lebih 200 miliar USD atas minyak Libya. Secara kasuistis, gempuran Barat terhadap Libya hampir mirip dengan serbuan militer AS dan sekutu ke Irak, oleh karena salah satu penyebabnya ---meski banyak penyebab lainnya--- diawali ketika Presiden Saddam Hussein menyatakan transaksi minyaknya harus menggunakan uero, bukan dolar AS lagi. Kebijakan (rencana) Saddam tadi membuat rezim Bush Jr marah besar dan berujung invasi militer oleh AS dan sekutu ke Negeri 1001 Malam dengan isue: ‘Saddam menyimpan senjata pemusnah massal’.
Stigma bergerak. Itulah modus lanjutan yang bisa dipotret dalam invasi ilegal dimaksud. Artinya ketika di lapangan tidak ditemukan senjata pemusnah massal (bahkan hingga kini tak terbukti), maka isue pun berubah ‘melawan pemimpin tirani’. Selanjutnya tatkala Saddam berhasil digantung oleh Bush Jr, maka stigma pun diubah lagi menjadi ‘menjaga stabilitas’, demikian seterusnya. Sekali lagi, itulah sekilas cerita ‘stigma atau isue bergerak’ yang pernah dimainkan Barat ketika Saddam berkuasa, dimana hakiki stigma sejatinya hanya dalih dan pembenaran bagi pendudukan AS dan sekutu di Irak.
Kembali ke Libya. Selain daripada itu, bahwa konsesi para korporasi minyak milik Barat di Libya berakhir tahun 2012-an. Gaddafi mengatakan bahwa jika mereka tidak segera membayar utangnya dengan uang emas, maka konsesi baru akan diberikan kepada perusahaan-perusahaan minyak milik Rusia dan Cina (http://libyasos.blogspot.com/). Sudah barang tentu deadline itu membuat para pemilik korporasi minyak Barat kebakaran jenggot.
Sebagaimana uraian sekilas di atas, khusus dalam prinsip dasar geopolitik (Barat), apabila suatu negara dinilai tak lagi selaras dengan kepentingan nasionalnya (dan sekutu) maka pemerintah dimaksud mutlak harus diganti, dikudeta, dan lain-lain. Singkat cerita, terbitnya Resolusi PBB Nomor 1973 tentang No Fly Zone bagi Libya yang mandatnya turun ke NATO, sejatinya ialah penerapan modus kolonial baru bertitel “utang dibayar bom”!
Dugaan GFI, sasaran metode ‘utang dibayar bom’ berikut pasca Libya diluluh-lantakan oleh NATO kemungkinan besar ialah Cina dan Jepang. Kenapa Jepang, bukankah ia sekutu dekat Paman Sam di Asia? Dalam politik, tak ada kawan dan lawan abadi tetapi kepentingan sebagai ‘tuhan’. Kalau Cina sudah jelas, selain ia merupakan kompetitor inti dalam mengkonsumsi BBM (separuh) di pasar dunia, juga dalam beberapa asymmetric warfare sebenarnya Cina lebih unggul daripada Paman Sam.
Simak utang AS kepada kedua negara tadi. Cina menguasai surat utang milik AS sebesar 1,107 triliun USD, meski September 2011 turun dibanding per Juli 2011 yang sebesar 1,173 triliun USD. Entah 2013 kini. Mungkin lebih berlipat lagi angkanya mengingat, selain ekonomi AS belum stabil, juga munculnya berbagai bencana yang tak kunjung usai menyapu kota-kota di Amerika. Sedang Jepang selain merupakan partner dagang terbesar, ia menguasai surat utang AS hingga mencapai 1,038 triliun USD (Detik.com, 02/02/2012, 08:35:56, Ini Dia Pemberi Utang Terbesar AS). Isue dan pemicunya diperkirakan sengketa Kepulauan Diaoyu/Senkaku antara Cina versus Jepang. Disinyalir AS akan kembali menerapkan metode “utang dibayar bom” seperti ia dan NATO membombardir Libya era 2011-an dulu. Sengketa kepulauan bakal dijadikan isue, pemicu sekaligus skenario utama dalam melancarkan seri baru penjajahan melalui taktik divide et impera. Adu domba negara-negara proxy.
Kembali lagi ke Syria. Hipotesa pun berkembang: apakah motif utama AS dan sekutu menyerang Syria guna menerapkan kembali modus utang dibayar bom seperti yang ia lakukan di Libya, atau (kemungkinan akan dilakukannya) terhadap Cina dan Jepang? Mari kita telaah hipotesa ini agak dalam.
Memang tak diketemukan data utang AS kepada Syria, demikian pula tidak ada utang Syria ke AS. Sebagaimana utangnya terhadap Libya, Cina, Jepang, dan lain-lain. Akan tetapi tagihan PBB pada AS ternyata cukup besar. Data 2010 menyebut, bahwa ia memiliki utang sebesar 1,2 miliar USD (15 Oktober 2010 17:14 wib, Fajar Nugraha – Okezone). Tidak bisa dielak, angka itu setara dengan seperempat tunggakan iuran dari keseluruhan anggota PBB. Entah sekarang. Kemungkinan lebih membengkak mengingat sistem perekonomian Paman Sam belum pulih. Pertanyaanya: siapa bisa ‘menekan’ superpower untuk segera melunasi utangnya kecuali PBB? Inilah asumsi pembuka.
Sebagaimana dibahas bab terdahulu, Syria kini tengah merintis pembangunan pipa gas dari Irak dan Iran. Seandainya hal ini terwujud, maka Syria akan sangat kaya dan bahkan kuat karena faktor fee atas geopolitic of pipeline dan geo-strategi posisi di Jalur Sutera. Hal yang sangat dikhawatirkan oleh Israel karena saluran pipa ke Mediterania mutlak harus melalui Syria, walau outlet pipanisasi yang menuju Afrika Utara ada di Isreal dan outlet ke Eropa berada di Turki (Ceyhean), tetapi Syria merupakan “titik simpul” dari semua pipanisasi minyak dan gas di Jalur Sutera. Sekali lagi, betapa dahsyatnya pemberdayaan geopolitik Syria oleh Presiden Bashar al Assad.
Pada mapping geopolitik di Jalur Sutera telah jelas, bahwa Israel dan Turki yang ketempatan outlet saluran pipa Iran-Irak-Syria sebagaimana penandatanganan nota di Bushehr, Iran, pada 25 Juni 2011 adalah sekutu dekat Paman Sam. Maka penggulingan rezim Assad adalah langkah pasti. Tak boleh tidak. Inilah beberapa kronologis acara.
Ketika Arab Spring sukses mengoyak Tunisia, Yaman dan Mesir tetapi gagal di Syria, kualitas isue pun ditingkatkan menjadi ‘perang sipil’ yang diawaki oposisi anti-Assad didukung oleh Barat (baca: Mencermati Pola Kolonialisme di Syria dan Mesir, www.theglobal-review). Sudah tentu bumbunya adalah sektarian sebagai citarasa terlezat bagi konflik-konflik di Timur Tengah.
Dalam perang sipil pun dimunculkan goro-goro agar supaya terbit Resolusi PBB sebagaimana lazimnya di Libya, Irak, dan lain-lain. Pertama adalah tuduhan genosida (pelanggaran HAM) terhadap militer pemerintah Syria di Hawla. Isue inipun terbantah dan tak terbukti sehingga dalih humanitarian intervention PBB pun tak jadi ‘mendarat’ di Syria. Kedua, tuduhan penggunaan senjata kimia oleh militer Assad yang hingga kini masih tarik ulur antara Rusia versus AS, meskipun Tim Pertama PBB dibawah pimpinan Carla Del Ponte, anggota Komisi Independen untuk Penyelidikan di Syria sudah mengatakan: “Kami tidak menemukan bukti bahwa pasukan pemerintah Damaskus menggunakan senjata kimia terhadap milisi bersenjata” (Reuters, Senin 6/5/13). Silahkan dihitung, sudah berapa tahapan skenario dimulai dari Arab Spring hingga senjata kimia guna melengserkan rezim bandel ----di mata Barat--- seperti Bashar al Assad.
Kuat dugaan penulis, entah gagal atau bakal terlaksana serangan Barat ke Syria kelak, maka motif utamanya adalah utang dibayar bom sebagai metode pamungkas. Entah guna melunasi berbagai utang baik ke Cina, Jepang, maupun ke PBB, dan lainnya, inilah motif utama yang dapat dibaca. Ya. Menguasai Syria ibarat mengendalikan separuh Jalur Sutera, terutama kompensasi fee atas setiap pipanisasi disana. Teorinya ada: "Kapitalisme yang terjebak krisis akhirnya membuahkan fasisme, sedang fasisme ialah perjuangan penghabisan para monopolis kapitalis yang terancam bangkrut" (Bung Karno, 1959). Mungkin inilah jawaban atas surat Chaves dahulu. Itulah satu-satunya jalan!
Tak bisa tidak. Keberanian Gaddafi mencetak uang emas/dinar disinyalir merupakan titik awal. Ia menyatakan bahwa sistem transaksi minyak Libya harus menggunakan dinar, bukan uang kertas (US Dollar) seperti biasanya. Hal tersebut membuat AS dan UE geram sebab mereka berutang lebih 200 miliar USD atas minyak Libya. Secara kasuistis, gempuran Barat terhadap Libya hampir mirip dengan serbuan militer AS dan sekutu ke Irak, oleh karena salah satu penyebabnya ---meski banyak penyebab lainnya--- diawali ketika Presiden Saddam Hussein menyatakan transaksi minyaknya harus menggunakan uero, bukan dolar AS lagi. Kebijakan (rencana) Saddam tadi membuat rezim Bush Jr marah besar dan berujung invasi militer oleh AS dan sekutu ke Negeri 1001 Malam dengan isue: ‘Saddam menyimpan senjata pemusnah massal’.
Stigma bergerak. Itulah modus lanjutan yang bisa dipotret dalam invasi ilegal dimaksud. Artinya ketika di lapangan tidak ditemukan senjata pemusnah massal (bahkan hingga kini tak terbukti), maka isue pun berubah ‘melawan pemimpin tirani’. Selanjutnya tatkala Saddam berhasil digantung oleh Bush Jr, maka stigma pun diubah lagi menjadi ‘menjaga stabilitas’, demikian seterusnya. Sekali lagi, itulah sekilas cerita ‘stigma atau isue bergerak’ yang pernah dimainkan Barat ketika Saddam berkuasa, dimana hakiki stigma sejatinya hanya dalih dan pembenaran bagi pendudukan AS dan sekutu di Irak.
Kembali ke Libya. Selain daripada itu, bahwa konsesi para korporasi minyak milik Barat di Libya berakhir tahun 2012-an. Gaddafi mengatakan bahwa jika mereka tidak segera membayar utangnya dengan uang emas, maka konsesi baru akan diberikan kepada perusahaan-perusahaan minyak milik Rusia dan Cina (http://libyasos.blogspot.com/). Sudah barang tentu deadline itu membuat para pemilik korporasi minyak Barat kebakaran jenggot.
Sebagaimana uraian sekilas di atas, khusus dalam prinsip dasar geopolitik (Barat), apabila suatu negara dinilai tak lagi selaras dengan kepentingan nasionalnya (dan sekutu) maka pemerintah dimaksud mutlak harus diganti, dikudeta, dan lain-lain. Singkat cerita, terbitnya Resolusi PBB Nomor 1973 tentang No Fly Zone bagi Libya yang mandatnya turun ke NATO, sejatinya ialah penerapan modus kolonial baru bertitel “utang dibayar bom”!
Dugaan GFI, sasaran metode ‘utang dibayar bom’ berikut pasca Libya diluluh-lantakan oleh NATO kemungkinan besar ialah Cina dan Jepang. Kenapa Jepang, bukankah ia sekutu dekat Paman Sam di Asia? Dalam politik, tak ada kawan dan lawan abadi tetapi kepentingan sebagai ‘tuhan’. Kalau Cina sudah jelas, selain ia merupakan kompetitor inti dalam mengkonsumsi BBM (separuh) di pasar dunia, juga dalam beberapa asymmetric warfare sebenarnya Cina lebih unggul daripada Paman Sam.
Simak utang AS kepada kedua negara tadi. Cina menguasai surat utang milik AS sebesar 1,107 triliun USD, meski September 2011 turun dibanding per Juli 2011 yang sebesar 1,173 triliun USD. Entah 2013 kini. Mungkin lebih berlipat lagi angkanya mengingat, selain ekonomi AS belum stabil, juga munculnya berbagai bencana yang tak kunjung usai menyapu kota-kota di Amerika. Sedang Jepang selain merupakan partner dagang terbesar, ia menguasai surat utang AS hingga mencapai 1,038 triliun USD (Detik.com, 02/02/2012, 08:35:56, Ini Dia Pemberi Utang Terbesar AS). Isue dan pemicunya diperkirakan sengketa Kepulauan Diaoyu/Senkaku antara Cina versus Jepang. Disinyalir AS akan kembali menerapkan metode “utang dibayar bom” seperti ia dan NATO membombardir Libya era 2011-an dulu. Sengketa kepulauan bakal dijadikan isue, pemicu sekaligus skenario utama dalam melancarkan seri baru penjajahan melalui taktik divide et impera. Adu domba negara-negara proxy.
Kembali lagi ke Syria. Hipotesa pun berkembang: apakah motif utama AS dan sekutu menyerang Syria guna menerapkan kembali modus utang dibayar bom seperti yang ia lakukan di Libya, atau (kemungkinan akan dilakukannya) terhadap Cina dan Jepang? Mari kita telaah hipotesa ini agak dalam.
Memang tak diketemukan data utang AS kepada Syria, demikian pula tidak ada utang Syria ke AS. Sebagaimana utangnya terhadap Libya, Cina, Jepang, dan lain-lain. Akan tetapi tagihan PBB pada AS ternyata cukup besar. Data 2010 menyebut, bahwa ia memiliki utang sebesar 1,2 miliar USD (15 Oktober 2010 17:14 wib, Fajar Nugraha – Okezone). Tidak bisa dielak, angka itu setara dengan seperempat tunggakan iuran dari keseluruhan anggota PBB. Entah sekarang. Kemungkinan lebih membengkak mengingat sistem perekonomian Paman Sam belum pulih. Pertanyaanya: siapa bisa ‘menekan’ superpower untuk segera melunasi utangnya kecuali PBB? Inilah asumsi pembuka.
Sebagaimana dibahas bab terdahulu, Syria kini tengah merintis pembangunan pipa gas dari Irak dan Iran. Seandainya hal ini terwujud, maka Syria akan sangat kaya dan bahkan kuat karena faktor fee atas geopolitic of pipeline dan geo-strategi posisi di Jalur Sutera. Hal yang sangat dikhawatirkan oleh Israel karena saluran pipa ke Mediterania mutlak harus melalui Syria, walau outlet pipanisasi yang menuju Afrika Utara ada di Isreal dan outlet ke Eropa berada di Turki (Ceyhean), tetapi Syria merupakan “titik simpul” dari semua pipanisasi minyak dan gas di Jalur Sutera. Sekali lagi, betapa dahsyatnya pemberdayaan geopolitik Syria oleh Presiden Bashar al Assad.
Pada mapping geopolitik di Jalur Sutera telah jelas, bahwa Israel dan Turki yang ketempatan outlet saluran pipa Iran-Irak-Syria sebagaimana penandatanganan nota di Bushehr, Iran, pada 25 Juni 2011 adalah sekutu dekat Paman Sam. Maka penggulingan rezim Assad adalah langkah pasti. Tak boleh tidak. Inilah beberapa kronologis acara.
Ketika Arab Spring sukses mengoyak Tunisia, Yaman dan Mesir tetapi gagal di Syria, kualitas isue pun ditingkatkan menjadi ‘perang sipil’ yang diawaki oposisi anti-Assad didukung oleh Barat (baca: Mencermati Pola Kolonialisme di Syria dan Mesir, www.theglobal-review). Sudah tentu bumbunya adalah sektarian sebagai citarasa terlezat bagi konflik-konflik di Timur Tengah.
Dalam perang sipil pun dimunculkan goro-goro agar supaya terbit Resolusi PBB sebagaimana lazimnya di Libya, Irak, dan lain-lain. Pertama adalah tuduhan genosida (pelanggaran HAM) terhadap militer pemerintah Syria di Hawla. Isue inipun terbantah dan tak terbukti sehingga dalih humanitarian intervention PBB pun tak jadi ‘mendarat’ di Syria. Kedua, tuduhan penggunaan senjata kimia oleh militer Assad yang hingga kini masih tarik ulur antara Rusia versus AS, meskipun Tim Pertama PBB dibawah pimpinan Carla Del Ponte, anggota Komisi Independen untuk Penyelidikan di Syria sudah mengatakan: “Kami tidak menemukan bukti bahwa pasukan pemerintah Damaskus menggunakan senjata kimia terhadap milisi bersenjata” (Reuters, Senin 6/5/13). Silahkan dihitung, sudah berapa tahapan skenario dimulai dari Arab Spring hingga senjata kimia guna melengserkan rezim bandel ----di mata Barat--- seperti Bashar al Assad.
Kuat dugaan penulis, entah gagal atau bakal terlaksana serangan Barat ke Syria kelak, maka motif utamanya adalah utang dibayar bom sebagai metode pamungkas. Entah guna melunasi berbagai utang baik ke Cina, Jepang, maupun ke PBB, dan lainnya, inilah motif utama yang dapat dibaca. Ya. Menguasai Syria ibarat mengendalikan separuh Jalur Sutera, terutama kompensasi fee atas setiap pipanisasi disana. Teorinya ada: "Kapitalisme yang terjebak krisis akhirnya membuahkan fasisme, sedang fasisme ialah perjuangan penghabisan para monopolis kapitalis yang terancam bangkrut" (Bung Karno, 1959). Mungkin inilah jawaban atas surat Chaves dahulu. Itulah satu-satunya jalan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar