Sabtu, 26 Juli 2014

Konflik Suriah: Antara Motif Sektarian dan Kepentingan Busuk Zionis

Aroma busuk perang Suriah telah menguar hingga ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Berbagai fatwa yang menyulut permusuhan dan kebencian diterbangkan oleh angin dengan sedemikian jauh, hingga baunya tercium sampai di Indonesia. Yusuf Qaradhawi, misalnya, berfatwa agar kaum Sunni berjihad melawan Syiah di Suriah. Padahal untuk pembebasan Palestina pun tak pernah ia sampai berfatwa sevulgar itu. Tak heran bila saat tulisan ini dibuat, sebuah ormas Islam sedang mengadakan road show penggalangan dana ke 35 kota se-Indonesia untuk membantu ‘umat muslim Sunni yang dibantai oleh rezim Syiah Suriah’. Dari beberapa lokasi awal saja, diberitakan sudah lebih dari seratus juta rupiah terkumpul.

Suriah, yang semula tak banyak dikenal rakyat Indonesia tiba-tiba menjadi sebuah isu penting, menyamai atau bahkan melebihi Palestina yang sejak lama menjadi sumber keprihatinan Muslimin Indonesia. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun sampai mengeluarkan ‘saran’ agar Presiden Suriah Bashar al-Assad mengundurkan diri dari jabatannya. Saran SBY ini disampaikan dalam pertemuannya dengan ahli tafsir asal Suriah, Syekh Muhammad Ali Ash-Shobuni, di Istana Presiden Bogor (7/1/2013).  Dari sisi etika diplomasi, ini sungguh sebuah pernyataan yang serius. Buat negara-negara Barat yang sangat sering mengabaikan etika diplomasi, hal ini mungkin biasa. Tapi, buat SBY yang selama ini selalu ‘hati-hati’ dalam memberikan pernyataan, ini jelas luar biasa. Wow. Bila terhadap Israel yang sudah terbukti brutal, SBY tidak pernah menuntut agar Rezim Zionis dibubarkan dan digantikan oleh rezim yang demokratis, lalu mengapa terhadap Assad, SBY bertindak demikian?
Situasi ini menunjukkan bahwa konflik Suriah memang bukan konflik biasa dan akan membawa efek bagi Indonesia. Konflik ini perlu diwaspadai karena Indonesia adalah negara yang multietnis, agama, dan mazhab, sehingga menyimpan potensi konflik yang cukup besar.

Sayangnya, konflik Suriah juga dipenuhi berbagai penyesatan informasi, yang bahkan dilakukan oleh media massa terkemuka sekelas BBC, New York Times, atau Al Jazeera. Namun, meski informasi bersilang sengkarut, ada sebuah paradoks besar dari konflik ini yang tak mungkin tertutupi. Seiring dengan fatwa-fatwa kebencian ulama garis keras, seiring dengan aksi-aksi bom bunuh diri, pengeboman, dan mutilasi mayat yang disertai suara takbir yang dilakukan pasukan pemberontak, mengapa AS, Prancis, dan Inggris berkeras mendukung mereka? Sejak kapankah perjuangan jihad bisa seiring sejalan dengan agenda Barat?
Paradoks ini bisa dipahami dengan mempelajari peta konflik Suriah. Oposisi Suriah minimalnya terdiri dari tiga kubu. Pertama, kubu pemberontak yang mengklaim akan mendirikan khilafah (pemerintahan Islam) di Suriah, sehingga didukung oleh Hizbut Tahrir. Milisi yang bergabung dalam kubu ini antara lain Jabhah Al Nusrah yang berafiliasi dengan Al Qaida. Kedua, kubu yang  bergabung dalam Syrian National Council (SNC) dan milisi Free Syrian Army, yang didominasi Ikhwanul Muslimin.

Didominasi Kelompok Pro-Israel
SNC bermarkas di Istanbul dan tak henti-hentinya bersidang dengan didampingi AS, Prancis, Inggris, Turki, Arab Saudi, dan Qatar. Kubu kedua ini lebih disukai Barat, meskipun pada saat yang sama sebenarnya Barat juga tetap mendorong Qatar dan Arab Saudi untuk terus membiayai kubu pertama. Sementara, kubu ketiga yang nyaris tak diberitakan media massa mainstream adalah kubu antiperang dan anti-intervensi asing yang tergabung dalam National Coalition Body. Bagi mereka, upaya penggulingan Assad haruslah dilakukan dengan cara-cara demokratis tanpa harus merusak perdamaian bangsa.
Lalu, dimana benang merah yang mempersatukan langkah Barat dengan kubu pertama dan kedua, yang secara umum sering disebut ‘mujahidin’ itu? Tak lain, Israel. Sejarah mencatat betapa Suriah adalah duri dalam daging bagi Israel. Selain tak pernah mau berdamai dengan Israel, rezim Assad juga pendukung Hamas dan Hizbullah.
Seperti diungkap penulis Yahudi pengkritik Israel, Gilad Atzmon, pemerintah Inggris maupun Prancis sesungguhnya didominasi oleh kelompok lobby pro-Israel. Sekitar 80%  anggota parlemen konservatif Inggris adalah anggota organisasi ultra Zionis, CFI (Conservatif Friend of Israel). Di Prancis situasinya bahkan lebih dahsyat karena sistem politik negara itu seluruhnya dibajak oleh organisasi lobby Zionis, CRIF (Conseil Représentatif des Institutions juives de France). Itulah sebabnya, Prancis dan Inggris sedemikian berkeras menyuplai dana dan senjata kepada pemberontak Suriah. Dan, sudah menjadi rahasia umum pula bahwa politik AS juga didominasi oleh Israel.  Sebagaimana dianalisis dua pakar Hubungan Internasional dari AS, Mearsheimer dan Walt, kelompok-kelompok lobby pro-Israel telah berhasil mengalihkan kebijakan politik AS menjauh dari kepentingan nasionalnya sendiri.
Bagi Barat, perang Suriah sebenarnya adalah perang proksimal untuk mengamankan kepentingan Israel. Artinya, untuk menjaga agar tangan mereka tetap bersih, Barat memperalat kelompok-kelompok Islam garis keras untuk berjihad di Suriah. Api kebencian agaknya telah membutakan sebagian dari mereka sehingga tak bisa menangkap realitas bahwa mereka sedang diadu jangkrik oleh Barat. Barat membantu dengan dana, senjata, dan yang terpenting, propaganda. Upaya propaganda ini sangat ampuh. Buktinya, semangat jihad dan kebencian terhadap Assad yang ‘kafir’ itu bisa menyebar luas bahkan hingga ke kampung-kampung di Indonesia yang jauhnya lebih dari 8500 km dari Damaskus.
Inilah yang dinarasikan dalam film dokumenter karya jurnalis Rusia, Proddubniy, dkk, “Hasil perang ini tidak hanya berpengaruh bagi masa depan Suriah. Situasi di Suriah telah membagi dua dunia. Ini adalah konflik internal yang membawa konsekuensi global.” Saat ini, dunia memang sudah terbelah, sebagian besar berdiri bersama Barat menentang Assad (Indonesia termasuk di dalamnya), dan sebagian kecilnya, antara lain Iran, Rusia, China, tetap bertahan membela Assad.
Sejak sepekan terakhir, Assad sudah kembali menguasai medan dan memukul mundur para pemberontak yang sebagian besarnya adalah tentara bayaran yang didatangkan dari berbagai negara asing. Namun, bila Barat tetap membabi buta ingin mengikuti kehendak Israel, bukan tak mungkin perang masih akan berlanjut ke tahap intervensi militer. Yang jelas, inilah suara hati seorang dokter dari Suriah yang diwawancarai Steve Inskeep dari NPR (29/5), “20% dari rakyat Suriah sangat mencintai Assad. Dan, 20 % lagi sangat membencinya. Tetapi, sisanya, 60% mencintai negara mereka. Mereka tidak mau negara mereka dihancurkan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar