Masyarakat Indonesia kembali dilanda histeria duka lara menyaksikan
di layar kaca, warga Gaza bergelimpangan akibat serangan rudal dan bom
Israel. Seruan penggalangan dana kembali dilakukan. Para capres pun
berlomba memberikan pernyataan akan menyumbang uang bermilyar-milyar.
Umpatan dan caci maki terhadap ‘Zionis la’natullah’ menggema di facebook
atau twitter. Seolah dengan semua ini, rasa bersalah karena membiarkan
Palestina dijajah selama 66 tahun (sejak 1948) sedikit terobati.
Tapi, bukankah bahkan PBB pun tak berdaya menghentikan sepak terjang
Israel? Paul Findley dalam bukunya “Deliberate Deceptions: Facing the
Facts About US-Israeli Relationship” (1995) menyebutkan bahwa Israel
melalui kolusinya dengan pemerintah AS telah berhasil mencegah PBB
mengambil langkah konkret penyelesaian konflik. Lebih dari 65 resolusi
kecaman kepada Israel dirilis Dewan Keamanan PBB atas berbagai
serangannya ke Gaza, Tepi Barat, Jordan, Lebanon, dan Tunisia.
Roket Zionis Israel menggempur wilayah Gaza |
Mari kita baca salah satu isinya. Resolusi 1860/8
Januari 2009 yang dirilis menyusul serangan ‘Operasi Menuang Timah’
Israel ke Gaza, penuh dengan kalimat-kalimat normatif: menyatakan
keprihatinan mendalam atas kekerasan yang terjadi, menyatakan
keprihatinan mendalam atas memburuknya krisis kemanusiaan di Gaza,
menyerukan gencatan senjata sesegera mungkin, dan mengutuk semua
kekerasan terhadap warga sipil dan semua aksi terorisme.
Adakah efek dari resolusi seperti ini? Tidak.
Bandingkan dengan Resolusi tahun 2011 untuk Libya. Segera setelah
pecahnya perang internal antara kelompok pemberontak melawan Rezim
Qaddafi, pada 26 Februari 2011 DK Keamanan PBB merilis resolusi yang
mengenakan no-fly-zone di Libya, pembekuan aset negara,
pencekalan para pejabat Libya, dan mengizinkan NATO untuk ‘mengambil
tindakan yang diperlukan’. Sebulan kemudian, tanggal 31 Maret,
pesawat-pesawat NATO membombardir Libya dan rezim Qaddafi pun tumbang.
Semua Presiden AS, sejak Woodrow Wilson (1919) hingga Obama (2014)
secara terang-terangan menyatakan dukungan mereka kepada Israel. Logika blaming the victim
dan kesamaan kepentingan antara AS-Israel selalu dikemukakan. Misalnya,
Obama pada Januari 2009 pernah mengatakan, “Biarkan saya jelaskan,
Amerika berkomitmen pada keamanan Israel. Dan kita akan selalu mendukung
hak Israel untuk membela dirinya di hadapan ancaman yang nyata. Selama
bertahun-tahun Hamas telah meluncurkan ribuan roket kepada warga Israel
yang tak berdosa.”
Para pemimpin negara-negara lainnya pun (kecuali segelintir negara)
hanya mampu menyampaikan kata-kata normatif. Pada tahun 1955 dalam
Konferensi Asia-Afrika di Bandung, negara-negara eks-jajahan, yang
seharusnya lebih mampu meresapi pahitnya penjajahan hanya mampu
‘menyatakan dukungannya terhadap hak bangsa Arab-Palestina dan
menyerukan pengimplementasian Resolusi PBB’, tanpa sedikit pun mengecam
Israel.
Jakarta Main Mata
Menlu RI, Marty Natalegawa |
Indonesia tidak terkecuali. Selama puluhan tahun kita melakukan
hal-hal normatif itu: mengecam, memprihatinkan, atau mengirim sumbangan.
Gebrakan diplomatik yang cukup signifikan pernah dilakukan oleh Menlu
Marty Natalegawa. Pada sidang Umum PBB ke-67 bulan September 2012, Marty
yang secara tegas mengusulkan boikot atas produk Israel. Namun, itu
hanya berhenti pada usulan. Tidak ada tindak lanjut nyata. Produk Israel
yang ternyata cukup banyak masuk ke pasar Indonesia, mulai dari kurma,
jeruk, hingga mainan anak-anak. Bahkan, Kemenhan pada 2012 diberitakan
berniat membeli pesawat tanpa awak (UAV) buatan Israel yang ‘tidak
diragukan lagi kualitasnya’ dan ‘kecanggihan teknologi pesawatnya selalu
terdepan’ (Brigjen Hartind Asrin, seperti dikutip Republika 3/2/2012).
Bila pun Kemenhan jadi membelinya, ini bukanlah pertama kalinya. Melalui
operasi rahasia bersandi ‘Alpha’ tahun 1980, TNI pernah membeli 32
pesawat A4-Skyhawk dari Israel. Bahkan sejak tahun 2002 kantor
Indonesia-Israel Public Affairs Committee (IIPAC) telah dibuka di
Jakarta. Pada 29 Januari 2010, IIPAC telah meresmikan Indonesia Business
Lobby. Tak terdengar reaksi pemerintah dan tokoh masyarakat atas
fenomena ini.
Bila serius ingin membantu Palestina, ada dua langkah yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia. Pertama,
terkait embargo, seharusnya pemerintah meniru AS yang serius
mengembargo Iran. Pemerintah AS mengidentifikasi produk-produk asal
Iran, melarangnya masuk, bahkan memberi sanksi kepada perusahaan AS yang
bertransaksi dengan Iran. Artinya, bila benar ingin mengupayakan
kemerdekaaan Palestina, Presiden perlu melakukan koordinasi konkrit
antara Kemenlu, Kemendag, Kemenhan, dan Kemenperin. Tidak sekedar
retorika.
Produk-produk Yahudi banyak berkeliaran di pasar |
Produk air mineral buatan pribumipun sekarang dimiliki perusahaan Yahudi |
Kedua, pemerintah pun perlu mengubah paradigma diplomasinya
terkait Palestina. Hingga kini, Kemenlu (sejalan dengan PBB) selalu
mengusung two-states solution dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel. Two-state solution
memandang bahwa konflik Israel dan Palestina bisa selesai bila keduanya
menjadi dua negara yang hidup berdampingan secara damai.
Ada lobang besar dalam tawaran ini, yaitu sifat alami (nature)
dari Rezim Zionis sendiri. Seperti ditulis sejarawan Yahudi, Ilan
Pappe, sifat alami Rezim Zionis sejak didirikan adalah menyerang,
mengusir, dan menduduki wilayah milik orang-orang Palestina. Terbukti,
hingga hari ini, Israel masih terus melakukan kekerasan, yang dibalas
oleh para pejuang Palestina; pembangunan permukiman terus dilanjutkan,
bahkan ditambah pula dengan pembangunan Tembok Zionis. Israel juga
melancarkan perang terbuka secara terang-terangan, seolah mengejek dunia
internasional yang tidak mampu berbuat apa-apa. Karena itu, perlu
dicari solusi lain yang lebih masuk akal.
Bantuan uang milyaran rupiah memang sangat dibutuhkan warga Gaza yang
selama ini memang bergantung pada bantuan internasional untuk tetap
hidup. Namun, serangan brutal Israel dipastikan akan terus terjadi di
masa depan bila pembelaan terhadap Palestina hanya sebatas pencitraan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar