Jumat, 25 Juli 2014

Two States Solution, Jalan Keluar untuk Konflik Palestina-Israel, Efektifkah??

PBB, AS, (bahkan juga pemerintah Indonesia), mengusulkan solusi dua negara (two states solution) untuk mendamaikan Palestina-Israel. Tawaran solusi ini adalah: Israel dan Palestina menjadi dua negara yang hidup berdampingan secara damai.

 


Ada lobang besar dalam tawaran ini, yaitu sifat alami (nature) dari Rezim Zionis sendiri. Penyelesaian dengan cara mendirikan dua negara terpisah yang berdampingan secara damai, sementara wilayah Palestina sendiri (Tepi Barat dan Gaza) letaknya terpisah satu sama lain, sulit terwujud. Sifat alami Rezim Zionis sejak didirikan adalah menyerang, mengusir, dan menduduki wilayah milik orang-orang Palestina. Terbukti, hingga hari ini, Israel masih terus melakukan kekerasan, yang dibalas oleh para pejuang Palestina; pembangunan permukiman terus dilanjutkan, bahkan ditambah pula dengan pembangunan Tembok Zionis. Israel juga melancarkan perang terbuka secara terang-terangan, seolah mengejek dunia internasional yang tidak mampu berbuat apa-apa. Pada tahun 2006, Israel membombardir Gaza dengan  Summer Rains and Autumn Clouds Operation, tahun 2009 dengan ‘Cast Lead Operation', tahun 2012 dengan ‘Pillar of Defence Operation, dan kini tahun 2014 aksinya diulang lagi dengan diberi nama ‘Protective Edge Operation'.

 

Dr. Ilan Pappe, sejarawan Yahudi, mengatakan,

 

"Two-state solution lebih merupakan sebuah cara untuk mengatur sejenis pemisahan antara penjajah dan yang dijajah, daripada sebuah solusi permanen yang terkait dengan kriminalitas Israel tahun 1948, dengan keberadaan 20% orang Palestina di dalam wilayah Israel, dan dengan populasi para pengungsi yang terus meningkat sejak 1948.

 

Ketika ide two-state menjadi landasan dari proses perdamaian, ide itu memberikan payung bagi Israel untuk meneruskan operasi pendudukannya tanpa takut. Hal ini karena pemerintah Israel, siapapun perdana menterinya, dianggap terlibat dalam proses perdamaian- dan Anda tidak bisa mengkritik sebuah negara yang terlibat dalam proses perdamaian.

 

Di bawah kedok ‘proses perdamaian', atau bisa juga disebut "di bawah kedok dua negara untuk dua bangsa, permukiman-permukiman diperluas, kekerasan dan penindasan terhadap bangsa Palestina semakin mendalam."[1]

 

Virginia Tilley, profesor ilmu politik asal AS, penulis buku The One State Solution, juga menyatakan kepesimisannya atas ide two-state solution.

 

"Two-state solution untuk konflik Israel-Palestina adalah ide, dan kemungkinan, yang waktunya telah habis. Kematian ide ini dikaburkan oleh tontonan sehari-hari: wacana ‘Peta Jalan' yang tak berguna, lingkaran pembunuhan yang dilakukan tentara Israel dan bom bunuh diri orang Palestina, pertarungan politik internal Palestina, penghancuran rumah-rumah dan angka kematian – semua memperlihatkan konflik yang selalu mendominasi wilayah itu."[2]

 



Di Mana Jalan Keluar?

 

Untuk mencari jawaban dari pertanyaan ini, mari kita kembali menelaah pemikiran Ahmadinejad. Dalam peringatan Intifadhah Palestina di Teheran, 15 April 2006, Ahmadinejad menyampaikan pidato berikut ini.

 
Apakah tragedi yang diakibatkan oleh rezim seperti ini (Zionis) dianggap kecil dibanding tragedi Holocaust yang kalian klaim itu? Jika dalam tragedi Holocaust terdapat keragu-raguan, maka dalam holocaust di Palestina tidak ada keraguan sama sekali, Holocaust ini telah dan sedang terjadi di Palestina selama 60 tahun.

 

Kenyataan pahit adalah, jaringan Zionisme yang luas selama puluhan tahun dengan tujuan penguasaan dan penjajahan, telah memperalat negara-negara Barat untuk melayani kepentingannya dan sebagian pemerintahan yang lemah di Barat telah menyerah di depan kekuatan kaum Zionis. Hari ini tidak hanya Palestina dan dunia Islam yang terkena pengaruh ancaman Zionisnme, melainkan bangsa-bangsa di Barat; sebagian besar keuntungan ekonomi dan kekuatan politik mereka berada dalam cengkeraman Zionis. Dengan menyesal harus saya umumkan bahwa pemerintahan-pemerintahan di sebagian negara Eropa yang berada di bawah pengaruh Zionis, untuk memperkuat kedudukan mereka, telah menyerahkan sumber-sumber keuangan, industri, pertanian dan pos-pos penting dalam negerinya kepada Zionis, begitu pula dengan kebebasan, kehormatan, dan kemuliaan rakyatnya sendiri.

 

Masalah Palestina bukan hanya problem bagi Dunia Islam, melainkan juga masalah kemanusiaan hari ini. Tragedi pendudukan dan kejahatan harian di Palestina telah memberikan pukulan terhadap kehormatan dan kemuliaan kemanusiaan. Manusia bebas mana yang akan rela terhadap apa yang sedang terjadi di tanah pendudukan? Betapa banyak orang Palestina yang meninggal dalam harapan untuk kembali ke rumahnya?Betapa banyak anak-anak Palestina yang berada dalam impian untuk hidup di tanah airnya sendiri dan berharap bisa kembali ke rumah ayah mereka? Di manakah jalan keluar?


Kedamaian dan ketenangan yang abadi haruslah berdasarkan keimanan kepada Tuhan, penghormatan atas kemuliaan manusia, dan keadilan yang kokoh. Kezaliman dan permusuhan tidak akan sejalan dgn keimanan, kemuliaan manusia, dan keadilan. Rezim Zionis adalah sebuah kezaliman yang terang-terangan dan esensinya adalah sebuah ancaman yang berkelanjutan; pendiriannya pun dengan tujuan yang sama, yaitu untuk menempatkan sebuah ancaman kontinyu di kawasan. Oleh karena itu keberlanjutan kehidupan rezim ini adalah keberlanjutan ancaman dan kezaliman. Rezim ini tak punya wajah lain selain ancaman dan agresi dan secara esensial, karena itu memang tidak mungkin berada dalam atmosfer yang damai dan tenang. Rezim seperti ini bahkan bila hanya hidup di satu jengkal tanah Palestina, tetap akan melanjutkan ancamannya. Perhatikanlah betapa kekuatan-kekuatan arogan saat membela rezim Zionis sama sekali tidak menghiraukan keadilan, HAM, dan kemuliaan manusia.

 
Pemerintahan illegal Zionis merupakan meeting point dari semua kejahatan dan ketidakadilan kekuatan-kekuatan jahat dan arogan. Konflik Palestina dan nasib bangsa-bangsa di kawasan hanya bisa selesai dengan berdirinya sebuah pemerintahan yang merakyat. Hak memerintah adalah dari rakyat Palestina dan merekalah yang harus memilih jenis dan pejabat pemerintahan mereka sendiri. Dengan kata lain, harus diberikan kesempatan supaya semua orang Palestina asli, baik itu muslim, Kristen dan Yahudi, yang tinggal di dalam Palestina serta para pengungsi Palestina yang tinggal di negara-negara lain secara bebas mengungkapkan kehendak mereka dalam penentuan jenis pemerintahan dan siapa pejabatnya.

 

Dengan kata lain, satu-satunya jalan yang bijaksana dan logis dalam parameter yang diakui oleh dunia internasional adalah referendum dengan diikuti oleh semua orang Palestina asli. Para pendukung rezim Zionis dalam menghadapi usulan logis ini berdiam diri. Kepada mereka kita katakan, mau tidak mau, rezim Zionis pasti akan hancur. Front perjuangan Palestina dipenuhi oleh para pemuda dan (jiwa mereka dipenuhi) oleh iman dan kebebasan. Rezim Zionis adalah pohon yang telah kering dan meranggas, yang akan segera ditumbangkan oleh sebuah topan.

 



Yang dimaksud dengan Palestina asli oleh Ahmadinejad dalam pidatonya adalah semua orang yang tinggal di Palestina (artinya, termasuk juga orang-orang yang tinggal di wilayah Palestina yang sejak 1948 diberi nama ‘Israel') dan orang-orang yang semula tinggal di Palestina, lalu diusir keluar oleh tentara Zionis dan hingga kini hidup di pengungsian.

 
Minimalnya, ada dua kesimpulan utama yang bisa diambil dari pendapat Ahmadinejad di atas, yaitu sebagai berikut.

1. Rezim Zionis secara esensial tidak akan bisa mengakomodasi solusi perdamaian apapun. Karena itu, satu-satunya jalan keluar adalah perubahan rezim.

2. Rezim (pemerintahan) baru harus dibentuk dan pembentukannya harus melalui referendum yang diikuti oleh semua orang Palestina asli.

 

Pernyataan Ahmadinejad di atas, dalam Kajian Palestina, masuk ke dalam ide one-state solution. One state solution adalah ide untuk mendirikan sebuah negara bersama Palestina-Israel, dengan dihuni oleh semua ras dan agama yang semuanya memiliki hak suara. Bila ide ini diterima, konsekuensinya, Rezim Zionis dibubarkan, begitu pula Otoritas Palestina; semua batas wilayah Palestina-Israel dihapus dan dilebur ke dalam satu negara; para pengungsi diizinkan kembali ke tanah/rumah mereka masing-masing; serta dilakukan referendum untuk menentukan bentuk pemerintahan dan menetapkan pejabat pemerintahan itu.

 
Ide ini dilandaskan pada pemikiran berikut:
 

1. Bila Rezim Zionis terus berdiri, perang tidak akan pernah berhenti karena cita-cita Zionis adalah mendirikan negara khusus Yahudi dan untuk itu, mereka akan terus mengusir orang-orang Palestina demi memperluas wilayahnya.

2. Bila Palestina ingin mendirikan negara khusus Palestina dan mengusir keluar orang-orang Yahudi, perang juga akan terus berlanjut. Namun dalam perang ini, Palestina berada dalam posisi yang lebih lemah: wilayahnya lebih kecil dan terpisah, dikepung oleh wilayah Israel, serta kekurangan logistik karena blokade Israel. Akibatnya, lagi-lagi, penindasan akan terus berlangsung di Palestina.


Pertanyaannya, mungkinkah kedua pihak mau menerima ide ini?


Secara garis besar ada dua masalah dalam penerapan ide ini, pertama dari sisi orang-orang Israel dan kedua, dari sisi orang-orang Palestina. Bagi kebanyakan orang Israel, melepaskan cita-cita historis pendirian "negara khusus Yahudi" adalah hal yang sangat sulit. Cita-cita itu telah berurat-berakar dalam benak banyak orang dan sebagian mereka menyatakan, lebih baik mati daripada melepaskan cita-cita ini. Bahkan, para aktivis perdamaian Israel pun (mereka menyuarakan dihentikannya pendudukan dan kekerasan terhadap bangsa Palestina) juga banyak yang menolak ide berdirinya ‘satu negara bersama' ini. Misalnya, Uri Avnery, aktivis perdamaian Israel, "Saya orang Israel. Saya berdiri dengan dua kaki di atas realitas Israel. Saya ingin mengubah realitas ini dari satu bentuk ke bentuk yang lain, tapi saya ingin negara ini tetap berdiri."[3]


Orang-orang Israel juga mengkhawatirkan bahwa bila dibentuk negara bersama, otomatis mereka akan menjadi penduduk minoritas, sehingga negara yang dibentuk itu akan menjadi sebuah negara Islam dengan dipimpin oleh kelompok-kelompok ‘garis keras' macam Hamas, Jihad Islam. Selain itu, umumnya mereka selama 60 tahun hidup dalam dunia mereka sendiri, hidup di permukiman-permukiman yang dijaga ketat dan terisolir dari kehidupan orang-orang Arab, dan menerima informasi satu arah. Banyak di antara mereka yang tidak percaya bahwa militer Israel sedemikian kejam seperti yang diceritakan orang-orang kepada mereka. Mereka memandang orang-orang Arab Palestina dengan citra yang buruk dan identik dengan teroris. Itulah sebabnya, sulit bagi mereka untuk menerima ide ini: hidup bertetangga dengan orang-orang Arab.


Di pihak Palestina sendiri, situasi juga tidak sedemikian mudah. Pihak elit politik Palestina lebih diuntungkan dengan status quo. Hal seperti ini sangat umum terjadi di banyak negara, dimana kehendak elit politik belum tentu menyuarakan kehendak rakyat. Elit politik Palestina, harus diakui, banyak hidup makmur berkat berlangsungnya konflik. Karena itu banyak dari mereka  yang lebih menyukai two-states solution, yang sebenarnya hanya memperpanjang konflik.
 

Alasan lain adalah, adanya paham-paham radikal yang berpaham the winner takes all, tidak ada damai dengan Yahudi. Setiap jengkal Palestina harus dikembalikan, dan semua orang Yahudi harus enyah dari Palestina, begitu biasanya retorika kaum radikal. Mereka tidak bisa menerima ide ‘hidup bersama dengan Yahudi' dalam satu negara.

 
Namun, dalam teori resolusi konflik, resolusi (kesepakatan, penyelesaian) sulit tercapai jika tidak ada kemauan saling ‘memberi' secara rasional (masing-masing pihak mengalah sedikit demi keuntungan yang lebih besar).


Sebagian orang mengkhawatirkan nasib orang-orang Yahudi bila para pengungsi Palestina diizinkan kembali ke tanah/rumah mereka masing-masing. Namun, hal itu bisa diatasi bila ada undang-undang yang adil. Di antara solusinya adalah ganti rugi yang layak bagi orang-orang Palestina yang rumah/tanahnya ternyata sudah diduduki orang Yahudi. Dengan uang ganti rugi itu, mereka bisa membeli tanah/rumah baru di lokasi yang berdekatan atau di tempat lain. Tidak perlu ada pengusiran di manapun karena akan menimbulkan konflik baru. Di sini, poin utama yang dibutuhkan adalah kesamaan pandangan dan motivasi dari semua pihak yang bertikai, yaitu motivasi untuk menciptakan negara yang demokratis dan adil. Untuk mencapai kondisi seperti ini, Dr Ilan Pappe mengatakan diperlukannya ‘pendidik' (educator).


Ada perbedaan besar antara two state solution dan one state solution. Untuk two state solution, diperlukan politisi, tapi untuk one state solution, diperlukan pendidik. Pendidik adalah orang-orang yang tidak mengharapkan hasil dalam satu-dua tahun. Bahkan mungkin terjadi, para pendidik itu tidak melihat hasil kerja mereka sampai mereka mati. Apa yang tidak bisa dilakukan Yossi Beilin, saya bisa lakukan: mati tanpa mengetahui apakah benih pendidikan tentang satu negara bersama Yahudi-Arab akan berbuah atau tidak. Seorang politisi tidak bisa melakukan hal seperti ini, bukan karena dia tidak mau konflik berakhir, tapi karena dia tidak mau karir politiknya berhenti.[4]

 
Perkataan Pappe senada dengan seruan Ahmadinejad, yaitu bahwa para pemikir dan cendekiawanlah yang harus maju untuk memperjuangkan penghentian kejahatan di Palestina.

 
Saya pikir, semua pembunuhan dan perang sudah cukup. Telah tiba waktunya (untuk menegakkan) semua sisi persaudaraan dan perdamaian. Tentu saja, yang mengambil langkah awal dalam menegakkan keadilan adalah para pemikir, cendekiawan, ulama, dan orang-orang yang hatinya dipenuhi hanya oleh cinta kepada kemanusiaan, kemuliaan kemanusian, dan perdamaian. Kita harus saling bergandengan tangan dalam melakukan usaha global untuk menegakkan perdamaian dan mengikis akar ketidakamanan dan ketidakadilan di dunia.[5] (IRIB Indonesia / SL)
*) Dikutip dari buku Ahmadinejad on Palestine, karya Dina Y. Sulaeman 
 
 Sumber:
 
 
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar