PBB, AS, (bahkan juga pemerintah Indonesia), mengusulkan solusi dua negara (two states solution)
untuk mendamaikan Palestina-Israel. Tawaran solusi ini adalah: Israel
dan Palestina menjadi dua negara yang hidup berdampingan secara damai.
Ada lobang besar dalam tawaran ini, yaitu sifat alami (nature)
dari Rezim Zionis sendiri. Penyelesaian dengan cara mendirikan dua
negara terpisah yang berdampingan secara damai, sementara wilayah
Palestina sendiri (Tepi Barat dan Gaza) letaknya terpisah satu sama
lain, sulit terwujud. Sifat alami Rezim Zionis sejak didirikan adalah
menyerang, mengusir, dan menduduki wilayah milik orang-orang Palestina.
Terbukti, hingga hari ini, Israel masih terus melakukan kekerasan, yang
dibalas oleh para pejuang Palestina; pembangunan permukiman terus
dilanjutkan, bahkan ditambah pula dengan pembangunan Tembok Zionis.
Israel juga melancarkan perang terbuka secara terang-terangan, seolah
mengejek dunia internasional yang tidak mampu berbuat apa-apa. Pada
tahun 2006, Israel membombardir Gaza dengan Summer Rains and Autumn
Clouds Operation, tahun 2009 dengan ‘Cast Lead Operation', tahun 2012
dengan ‘Pillar of Defence Operation, dan kini tahun 2014 aksinya diulang
lagi dengan diberi nama ‘Protective Edge Operation'.
Dr. Ilan Pappe, sejarawan Yahudi, mengatakan,
"Two-state solution lebih merupakan sebuah cara untuk mengatur sejenis
pemisahan antara penjajah dan yang dijajah, daripada sebuah solusi
permanen yang terkait dengan kriminalitas Israel tahun 1948, dengan
keberadaan 20% orang Palestina di dalam wilayah Israel, dan dengan
populasi para pengungsi yang terus meningkat sejak 1948.
Ketika ide two-state menjadi landasan dari proses perdamaian, ide itu
memberikan payung bagi Israel untuk meneruskan operasi pendudukannya
tanpa takut. Hal ini karena pemerintah Israel, siapapun perdana
menterinya, dianggap terlibat dalam proses perdamaian- dan Anda tidak
bisa mengkritik sebuah negara yang terlibat dalam proses perdamaian.
Di bawah kedok ‘proses perdamaian', atau bisa juga disebut "di bawah
kedok dua negara untuk dua bangsa, permukiman-permukiman diperluas,
kekerasan dan penindasan terhadap bangsa Palestina semakin mendalam."[1]
Virginia Tilley, profesor ilmu politik asal AS, penulis buku The One State Solution, juga menyatakan kepesimisannya atas ide two-state solution.
"Two-state solution untuk konflik Israel-Palestina adalah ide, dan
kemungkinan, yang waktunya telah habis. Kematian ide ini dikaburkan oleh
tontonan sehari-hari: wacana ‘Peta Jalan' yang tak berguna, lingkaran
pembunuhan yang dilakukan tentara Israel dan bom bunuh diri orang
Palestina, pertarungan politik internal Palestina, penghancuran
rumah-rumah dan angka kematian – semua memperlihatkan konflik yang
selalu mendominasi wilayah itu."[2]
Di Mana Jalan Keluar?
Untuk mencari jawaban dari pertanyaan ini, mari kita kembali menelaah
pemikiran Ahmadinejad. Dalam peringatan Intifadhah Palestina di Teheran,
15 April 2006, Ahmadinejad menyampaikan pidato berikut ini.
Apakah tragedi yang diakibatkan oleh rezim seperti ini (Zionis)
dianggap kecil dibanding tragedi Holocaust yang kalian klaim itu? Jika
dalam tragedi Holocaust terdapat keragu-raguan, maka dalam holocaust di
Palestina tidak ada keraguan sama sekali, Holocaust ini telah dan sedang
terjadi di Palestina selama 60 tahun.
Kenyataan pahit
adalah, jaringan Zionisme yang luas selama puluhan tahun dengan tujuan
penguasaan dan penjajahan, telah memperalat negara-negara Barat untuk
melayani kepentingannya dan sebagian pemerintahan yang lemah di Barat
telah menyerah di depan kekuatan kaum Zionis. Hari ini tidak hanya
Palestina dan dunia Islam yang terkena pengaruh ancaman Zionisnme,
melainkan bangsa-bangsa di Barat; sebagian besar keuntungan ekonomi dan
kekuatan politik mereka berada dalam cengkeraman Zionis. Dengan menyesal
harus saya umumkan bahwa pemerintahan-pemerintahan di sebagian negara
Eropa yang berada di bawah pengaruh Zionis, untuk memperkuat kedudukan
mereka, telah menyerahkan sumber-sumber keuangan, industri, pertanian
dan pos-pos penting dalam negerinya kepada Zionis, begitu pula dengan
kebebasan, kehormatan, dan kemuliaan rakyatnya sendiri.
Masalah Palestina bukan hanya problem bagi Dunia Islam, melainkan juga
masalah kemanusiaan hari ini. Tragedi pendudukan dan kejahatan harian di
Palestina telah memberikan pukulan terhadap kehormatan dan kemuliaan
kemanusiaan. Manusia bebas mana yang akan rela terhadap apa yang sedang
terjadi di tanah pendudukan? Betapa banyak orang Palestina yang
meninggal dalam harapan untuk kembali ke rumahnya?Betapa banyak
anak-anak Palestina yang berada dalam impian untuk hidup di tanah airnya
sendiri dan berharap bisa kembali ke rumah ayah mereka? Di manakah
jalan keluar?
Kedamaian dan ketenangan yang abadi
haruslah berdasarkan keimanan kepada Tuhan, penghormatan atas kemuliaan
manusia, dan keadilan yang kokoh. Kezaliman dan permusuhan tidak akan
sejalan dgn keimanan, kemuliaan manusia, dan keadilan. Rezim Zionis
adalah sebuah kezaliman yang terang-terangan dan esensinya adalah sebuah
ancaman yang berkelanjutan; pendiriannya pun dengan tujuan yang sama,
yaitu untuk menempatkan sebuah ancaman kontinyu di kawasan. Oleh karena
itu keberlanjutan kehidupan rezim ini adalah keberlanjutan ancaman dan
kezaliman. Rezim ini tak punya wajah lain selain ancaman dan agresi dan
secara esensial, karena itu memang tidak mungkin berada dalam atmosfer
yang damai dan tenang. Rezim seperti ini bahkan bila hanya hidup di satu
jengkal tanah Palestina, tetap akan melanjutkan ancamannya.
Perhatikanlah betapa kekuatan-kekuatan arogan saat membela rezim Zionis
sama sekali tidak menghiraukan keadilan, HAM, dan kemuliaan manusia.
Pemerintahan illegal Zionis merupakan meeting point dari semua
kejahatan dan ketidakadilan kekuatan-kekuatan jahat dan arogan. Konflik
Palestina dan nasib bangsa-bangsa di kawasan hanya bisa selesai dengan
berdirinya sebuah pemerintahan yang merakyat. Hak memerintah adalah dari
rakyat Palestina dan merekalah yang harus memilih jenis dan pejabat
pemerintahan mereka sendiri. Dengan kata lain, harus diberikan
kesempatan supaya semua orang Palestina asli, baik itu muslim, Kristen
dan Yahudi, yang tinggal di dalam Palestina serta para pengungsi
Palestina yang tinggal di negara-negara lain secara bebas mengungkapkan
kehendak mereka dalam penentuan jenis pemerintahan dan siapa pejabatnya.
Dengan kata lain, satu-satunya jalan yang bijaksana dan logis dalam
parameter yang diakui oleh dunia internasional adalah referendum dengan
diikuti oleh semua orang Palestina asli. Para
pendukung rezim Zionis dalam menghadapi usulan logis ini berdiam diri.
Kepada mereka kita katakan, mau tidak mau, rezim Zionis pasti akan
hancur. Front perjuangan Palestina dipenuhi oleh para pemuda dan (jiwa
mereka dipenuhi) oleh iman dan kebebasan. Rezim Zionis adalah pohon yang
telah kering dan meranggas, yang akan segera ditumbangkan oleh sebuah
topan.
Yang dimaksud dengan Palestina asli
oleh Ahmadinejad dalam pidatonya adalah semua orang yang tinggal di
Palestina (artinya, termasuk juga orang-orang yang tinggal di wilayah
Palestina yang sejak 1948 diberi nama ‘Israel') dan orang-orang yang
semula tinggal di Palestina, lalu diusir keluar oleh tentara Zionis dan
hingga kini hidup di pengungsian.
Minimalnya, ada dua kesimpulan utama yang bisa diambil dari pendapat Ahmadinejad di atas, yaitu sebagai berikut.
1. Rezim Zionis secara esensial tidak akan bisa mengakomodasi solusi
perdamaian apapun. Karena itu, satu-satunya jalan keluar adalah
perubahan rezim.
2. Rezim
(pemerintahan) baru harus dibentuk dan pembentukannya harus melalui
referendum yang diikuti oleh semua orang Palestina asli.
Pernyataan Ahmadinejad di atas, dalam Kajian Palestina, masuk ke dalam ide one-state solution. One state solution
adalah ide untuk mendirikan sebuah negara bersama Palestina-Israel,
dengan dihuni oleh semua ras dan agama yang semuanya memiliki hak suara.
Bila ide ini diterima, konsekuensinya, Rezim Zionis
dibubarkan, begitu pula Otoritas Palestina; semua batas wilayah
Palestina-Israel dihapus dan dilebur ke dalam satu negara; para
pengungsi diizinkan kembali ke tanah/rumah mereka masing-masing; serta
dilakukan referendum untuk menentukan bentuk pemerintahan dan menetapkan
pejabat pemerintahan itu.
Ide ini dilandaskan pada pemikiran berikut:
1. Bila Rezim Zionis terus berdiri, perang tidak akan pernah berhenti
karena cita-cita Zionis adalah mendirikan negara khusus Yahudi dan untuk
itu, mereka akan terus mengusir orang-orang Palestina demi memperluas
wilayahnya.
2. Bila Palestina ingin
mendirikan negara khusus Palestina dan mengusir keluar orang-orang
Yahudi, perang juga akan terus berlanjut. Namun dalam perang ini,
Palestina berada dalam posisi yang lebih lemah: wilayahnya lebih kecil
dan terpisah, dikepung oleh wilayah Israel, serta kekurangan logistik
karena blokade Israel. Akibatnya, lagi-lagi, penindasan akan terus
berlangsung di Palestina.
Pertanyaannya, mungkinkah kedua pihak mau menerima ide ini?
Secara garis besar ada dua masalah dalam penerapan ide ini, pertama
dari sisi orang-orang Israel dan kedua, dari sisi orang-orang Palestina.
Bagi kebanyakan orang Israel, melepaskan cita-cita historis pendirian
"negara khusus Yahudi" adalah hal yang sangat sulit. Cita-cita itu telah
berurat-berakar dalam benak banyak orang dan sebagian mereka
menyatakan, lebih baik mati daripada melepaskan cita-cita ini. Bahkan,
para aktivis perdamaian Israel pun (mereka menyuarakan dihentikannya
pendudukan dan kekerasan terhadap bangsa Palestina) juga banyak yang
menolak ide berdirinya ‘satu negara bersama' ini. Misalnya, Uri Avnery,
aktivis perdamaian Israel, "Saya orang Israel. Saya berdiri dengan dua
kaki di atas realitas Israel. Saya ingin mengubah realitas ini dari satu
bentuk ke bentuk yang lain, tapi saya ingin negara ini tetap berdiri."[3]
Orang-orang Israel juga mengkhawatirkan bahwa bila dibentuk negara
bersama, otomatis mereka akan menjadi penduduk minoritas, sehingga
negara yang dibentuk itu akan menjadi sebuah negara Islam dengan
dipimpin oleh kelompok-kelompok ‘garis keras' macam Hamas, Jihad Islam.
Selain itu, umumnya mereka selama 60 tahun hidup dalam dunia mereka
sendiri, hidup di permukiman-permukiman yang dijaga ketat dan terisolir
dari kehidupan orang-orang Arab, dan menerima informasi satu arah.
Banyak di antara mereka yang tidak percaya bahwa militer Israel
sedemikian kejam seperti yang diceritakan orang-orang kepada mereka.
Mereka memandang orang-orang Arab Palestina dengan citra yang buruk dan
identik dengan teroris. Itulah sebabnya, sulit bagi mereka untuk
menerima ide ini: hidup bertetangga dengan orang-orang Arab.
Di pihak Palestina sendiri, situasi juga tidak sedemikian mudah. Pihak elit politik Palestina lebih diuntungkan dengan status quo.
Hal seperti ini sangat umum terjadi di banyak negara, dimana kehendak
elit politik belum tentu menyuarakan kehendak rakyat. Elit politik
Palestina, harus diakui, banyak hidup makmur berkat berlangsungnya
konflik. Karena itu banyak dari mereka yang lebih menyukai two-states solution, yang sebenarnya hanya memperpanjang konflik.
Alasan lain adalah, adanya paham-paham radikal yang berpaham the winner takes all, tidak ada damai dengan Yahudi. Setiap
jengkal Palestina harus dikembalikan, dan semua orang Yahudi harus
enyah dari Palestina, begitu biasanya retorika kaum radikal. Mereka tidak bisa menerima ide ‘hidup bersama dengan Yahudi' dalam satu negara.
Namun, dalam teori resolusi konflik, resolusi (kesepakatan,
penyelesaian) sulit tercapai jika tidak ada kemauan saling ‘memberi'
secara rasional (masing-masing pihak mengalah sedikit demi keuntungan
yang lebih besar).
Sebagian orang mengkhawatirkan
nasib orang-orang Yahudi bila para pengungsi Palestina diizinkan kembali
ke tanah/rumah mereka masing-masing. Namun, hal itu bisa diatasi bila
ada undang-undang yang adil. Di antara solusinya adalah ganti rugi yang
layak bagi orang-orang Palestina yang rumah/tanahnya ternyata sudah
diduduki orang Yahudi. Dengan uang ganti rugi itu, mereka bisa membeli
tanah/rumah baru di lokasi yang berdekatan atau di tempat lain. Tidak
perlu ada pengusiran di manapun karena akan menimbulkan konflik baru. Di
sini, poin utama yang dibutuhkan adalah kesamaan pandangan
dan motivasi dari semua pihak yang bertikai, yaitu motivasi untuk
menciptakan negara yang demokratis dan adil. Untuk mencapai kondisi seperti ini, Dr Ilan Pappe mengatakan diperlukannya ‘pendidik' (educator).
Ada perbedaan besar antara two state solution dan one state solution.
Untuk two state solution, diperlukan politisi, tapi untuk one state
solution, diperlukan pendidik. Pendidik adalah orang-orang yang tidak
mengharapkan hasil dalam satu-dua tahun. Bahkan mungkin terjadi, para
pendidik itu tidak melihat hasil kerja mereka sampai mereka mati. Apa
yang tidak bisa dilakukan Yossi Beilin, saya bisa lakukan: mati tanpa
mengetahui apakah benih pendidikan tentang satu negara bersama
Yahudi-Arab akan berbuah atau tidak. Seorang politisi tidak bisa
melakukan hal seperti ini, bukan karena dia tidak mau konflik berakhir,
tapi karena dia tidak mau karir politiknya berhenti.[4]
Perkataan Pappe senada dengan seruan Ahmadinejad, yaitu bahwa para
pemikir dan cendekiawanlah yang harus maju untuk memperjuangkan
penghentian kejahatan di Palestina.
Saya pikir, semua
pembunuhan dan perang sudah cukup. Telah tiba waktunya (untuk
menegakkan) semua sisi persaudaraan dan perdamaian. Tentu saja, yang
mengambil langkah awal dalam menegakkan keadilan adalah para pemikir,
cendekiawan, ulama, dan orang-orang yang hatinya dipenuhi hanya oleh
cinta kepada kemanusiaan, kemuliaan kemanusian, dan perdamaian. Kita
harus saling bergandengan tangan dalam melakukan usaha global untuk
menegakkan perdamaian dan mengikis akar ketidakamanan dan ketidakadilan
di dunia.[5] (IRIB Indonesia / SL)
*) Dikutip dari buku Ahmadinejad on Palestine, karya Dina Y. Sulaeman
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar